Hampir setiap hari, ada pengemis datang
ke rumahku untuk meminta sesuatu. Tidak hanya mereka tetapi juga para pengamen
yang menjual suara dari rumah ke rumah hanya dengan suatu tujuan utama yaitu
mencari uang. Uang menjadi harapan bagi siapa saja untuk dipergunakan dalam
memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu ketika seseorang mengalami ketiadaan uang
maka banyak cara dilakukan untuk mencari uang.
Peristiwa yang lumrah ini kita jumpai
setiap hari sebagai bagian dari kehidupan umum. Tetapi peristiwa ini terkadang
mengganggu, maka aku perlu menghindar. Tapi bagaimana caranya supaya rumah saya
tidak didatangi lagi? Aku berpikir bahwa yang datang meminta dengan pelbagai
cara adalah orang-orang non Katolik maka saya lalu mengambil sebuah salib dan
menggantungkan pada daun pintu sebagai bentuk informasi pada orang-orang yang
meminta bahwa agama mereka tidak sama dengan agama saya, dan karenanya tidak
perlu meminta sesuatu pada saya. Hari pertama ketika saya menggantungkan salib
tersebut, masih ada yang datang ke rumahku untuk meminta. Hari kedua dan
seterusnya, malah semakin banyak yang datang meminta.
Aku mulai bertanya diri, mengapa
setelah salib Yesus yang digantung pada daun pintu, malah begitu banyak orang
yang datang dan meminta sesuatu? Pernah saya bertanya salah seorang pengemis
yang datang meminta di rumahku. Mengapa rumahku selalu dijadikan sasaran bagi
para pengemis untuk meminta? Secara spontan, si pengemis katakan bahwa mereka
tertarik akan Yesus yang tersalib. Melihat salib, bagi mereka adalah melihat
keberpihakkan Yesus pada mereka. Yesus yang tersalib adalah bagian dari hidup
mereka sendiri yang kini tersalib di tengah penderitaan hidup. Karena itu tidak
ada alasan bagi mereka untuk meminta kepada siapa saja yang bermurah hati pada
mereka, termasuk rumah saya yang dipasang dengan salib.
Mendengar sebuah jawaban spontan yang
lahir dari kedalaman batin seorang yang sederhana, memungkinkan saya untuk
berefleksi panjang tentang arti kehidupanku di tengah manusia lain. Memasang
sebuah salib tidak berarti aku membentengi diri dari orang lain, apalagi dari
agama lain tetapi semakin aku berlindung dibalik salib, semakin aku dicari oleh
orang-orang sederhana. Tentang orang-orang miskin, aku teringat akan sebuah
pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh seorang pewawancara kepada Muder
Teresa. Suatu saat Muder Teresa diminta ke bulan, apakah Muder bersedia ke
sana? Dengan santai ia menjawab, “kalau di bulan ada orang miskin, aku pasti ke
sana.”
Jawaban Muder Teresa sangat sederhana
bahasanya tetapi kaya akan arti tentang kepedulian terhadap orang-orang miskin.
Kehidupan Muder Teresa merupakan bagian integral dengan kehidupan orang-orang
miskin. Di mana ada orang-orang miskin, di situ pasti ada Muder Teresa.
Kematian Muder Teresa turut menyeret duka yang mendalam bagi mereka yang telah
mengalami sentuhan tangan kasihnya. Kehadiran dia di tengah orang-orang miskin
selalu membawa perubahan yang mendalam bagi mereka yang membutuhkan
pertolongan. Kehadiran Muder Teresa ibarat setitik embun yang jatuh ke tengah
padang gurun, yang memberi kesegaran, membangkitkan semangat bagi mereka yang
telah kehilangan daya hidup.
Melihat salib, sama halnya melihat
sebuah ketelanjangan hidup, tak ada yang tertutup dalam hidup ini. Karena itu memandang salib merupakan suatu
keharusan dan bagi yang memandang dapat memperoleh kekayaan batin. Bagi seorang pengemis, melihat salib dapat
memberikan sebuah inspirasi akan sebuah keberpihakkan dan sumber utama mereka
dalam menggali nilai-nilai perjuangan. Salib, bagi siapa yang memandangnya,
tidak akan pernah menemukan titik puncak penyelesaian hidup tetapi melalui salib,
ada daya juang, ada harapan baru terbersit di sana. Seperti matahari, yang
setiap sore harus beranjak terbenam di peraduannya agar esoknya dapat terbit
kembali sebagai matahari abadi. Tanpa terbenam, pasti ia (matahari) tidak akan
mengalami proses terbit yang baru di ufuk timur. Kristus, Sang Matahari abadi,
juga harus mengalami pengalaman derita agar kelak memperoleh kemuliaan abadi.
Salib dan kebangkitan merupakan dua rangkaian kisah yang mengutuh penuh makna.
Tanpa salib, kebangkitan tak mungkin terjadi. Dan kebangkitan tanpa salib
adalah sebuah kisah yang absurd.
Salib telah menyadarkan manusia akan
peran yang diperlihatkan oleh Yesus. Runutan kisah tragis yang dilalui Yesus
adalah sebuah kisah korban yang tak pernah selesai. Korban yang muncul akibat
penggusuran dan tindakan eksploitatif lain, secara terbuka, manusia sendiri
sedang dan telah main salib-salib baru untuk menyalibkan sesamanya sendiri.
Memasang salib di depan pintu rumahku
merupakan tindakan untuk menyalagunakan makna salib itu sendiri. Salib telah
saya pergunakan untuk membentengi diri bahkan mengusir orang-orang yang tidak
seagama dengan aku, tetapi pada saat yang sama, apa yang saya lakukan justeru
berbalik makna. Kristus telah mengubah motif awal dari rencana pembatasan diri.
Dengan penyaliban diri-Nya, Kristus tidak membangun sebuah “pulau pengecualian”
untuk mengalienasi diri, tetapi dengan penyaliban Ia mau membuka diri dan dalam
luka-luka-Nya Ia menawarkan rasa solider bagi mereka yang tak berpunya. Dari
luka lambung yang tertusuk tombak keangkuhan, dari sanalah mengalir kasih yang
sempurna dari hati yang mendalam. Kasih Yesus adalah kasih yang tidak menemukan
titik kulminasi. Menggali kasih Yesus, ibarat menggali sumur tanpa dasar.
Mari kita memaku keangkuhan kita
dengan paku egoisme agar yang terpancar adalah kemurahan hati dan
kelemahlembutan. Salib telah membuat kita berdaya di hadapan Dia yang tak
berdaya dan orang-orang miskin akan menggapai kekayaan di dalam kemiskinan-Nya. Nemo dat quod non habet (tak seorang
memberi tanpa memilikinya).***(Valery Kopong)