Tuesday, July 14, 2020

Salib: Mengenang Sang Korban

Hampir setiap hari, ada pengemis datang ke rumahku untuk meminta sesuatu. Tidak hanya mereka tetapi juga para pengamen yang menjual suara dari rumah ke rumah hanya dengan suatu tujuan utama yaitu mencari uang. Uang menjadi harapan bagi siapa saja untuk dipergunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu ketika seseorang mengalami ketiadaan uang maka banyak cara dilakukan untuk mencari uang.

          Peristiwa yang lumrah ini kita jumpai setiap hari sebagai bagian dari kehidupan umum. Tetapi peristiwa ini terkadang mengganggu, maka aku perlu menghindar. Tapi bagaimana caranya supaya rumah saya tidak didatangi lagi? Aku berpikir bahwa yang datang meminta dengan pelbagai cara adalah orang-orang non Katolik maka saya lalu mengambil sebuah salib dan menggantungkan pada daun pintu sebagai bentuk informasi pada orang-orang yang meminta bahwa agama mereka tidak sama dengan agama saya, dan karenanya tidak perlu meminta sesuatu pada saya. Hari pertama ketika saya menggantungkan salib tersebut, masih ada yang datang ke rumahku untuk meminta. Hari kedua dan seterusnya, malah semakin banyak yang datang meminta.

          Aku mulai bertanya diri, mengapa setelah salib Yesus yang digantung pada daun pintu, malah begitu banyak orang yang datang dan meminta sesuatu? Pernah saya bertanya salah seorang pengemis yang datang meminta di rumahku. Mengapa rumahku selalu dijadikan sasaran bagi para pengemis untuk meminta? Secara spontan, si pengemis katakan bahwa mereka tertarik akan Yesus yang tersalib. Melihat salib, bagi mereka adalah melihat keberpihakkan Yesus pada mereka. Yesus yang tersalib adalah bagian dari hidup mereka sendiri yang kini tersalib di tengah penderitaan hidup. Karena itu tidak ada alasan bagi mereka untuk meminta kepada siapa saja yang bermurah hati pada mereka, termasuk rumah saya yang dipasang dengan salib.

          Mendengar sebuah jawaban spontan yang lahir dari kedalaman batin seorang yang sederhana, memungkinkan saya untuk berefleksi panjang tentang arti kehidupanku di tengah manusia lain. Memasang sebuah salib tidak berarti aku membentengi diri dari orang lain, apalagi dari agama lain tetapi semakin aku berlindung dibalik salib, semakin aku dicari oleh orang-orang sederhana. Tentang orang-orang miskin, aku teringat akan sebuah pertanyaan sederhana yang dilontarkan oleh seorang pewawancara kepada Muder Teresa. Suatu saat Muder Teresa diminta ke bulan, apakah Muder bersedia ke sana? Dengan santai ia menjawab, “kalau di bulan ada orang miskin, aku pasti ke sana.”

          Jawaban Muder Teresa sangat sederhana bahasanya tetapi kaya akan arti tentang kepedulian terhadap orang-orang miskin. Kehidupan Muder Teresa merupakan bagian integral dengan kehidupan orang-orang miskin. Di mana ada orang-orang miskin, di situ pasti ada Muder Teresa. Kematian Muder Teresa turut menyeret duka yang mendalam bagi mereka yang telah mengalami sentuhan tangan kasihnya. Kehadiran dia di tengah orang-orang miskin selalu membawa perubahan yang mendalam bagi mereka yang membutuhkan pertolongan. Kehadiran Muder Teresa ibarat setitik embun yang jatuh ke tengah padang gurun, yang memberi kesegaran, membangkitkan semangat bagi mereka yang telah kehilangan daya hidup.

          Melihat salib, sama halnya melihat sebuah ketelanjangan hidup, tak ada yang tertutup dalam hidup ini.  Karena itu memandang salib merupakan suatu keharusan dan bagi yang memandang dapat memperoleh kekayaan batin.  Bagi seorang pengemis, melihat salib dapat memberikan sebuah inspirasi akan sebuah keberpihakkan dan sumber utama mereka dalam menggali nilai-nilai perjuangan. Salib, bagi siapa yang memandangnya, tidak akan pernah menemukan titik puncak penyelesaian hidup tetapi melalui salib, ada daya juang, ada harapan baru terbersit di sana. Seperti matahari, yang setiap sore harus beranjak terbenam di peraduannya agar esoknya dapat terbit kembali sebagai matahari abadi. Tanpa terbenam, pasti ia (matahari) tidak akan mengalami proses terbit yang baru di ufuk timur. Kristus, Sang Matahari abadi, juga harus mengalami pengalaman derita agar kelak memperoleh kemuliaan abadi. Salib dan kebangkitan merupakan dua rangkaian kisah yang mengutuh penuh makna. Tanpa salib, kebangkitan tak mungkin terjadi. Dan kebangkitan tanpa salib adalah sebuah kisah yang absurd.

          Salib telah menyadarkan manusia akan peran yang diperlihatkan oleh Yesus. Runutan kisah tragis yang dilalui Yesus adalah sebuah kisah korban yang tak pernah selesai. Korban yang muncul akibat penggusuran dan tindakan eksploitatif lain, secara terbuka, manusia sendiri sedang dan telah main salib-salib baru untuk menyalibkan sesamanya sendiri.

          Memasang salib di depan pintu rumahku merupakan tindakan untuk menyalagunakan makna salib itu sendiri. Salib telah saya pergunakan untuk membentengi diri bahkan mengusir orang-orang yang tidak seagama dengan aku, tetapi pada saat yang sama, apa yang saya lakukan justeru berbalik makna. Kristus telah mengubah motif awal dari rencana pembatasan diri. Dengan penyaliban diri-Nya, Kristus tidak membangun sebuah “pulau pengecualian” untuk mengalienasi diri, tetapi dengan penyaliban Ia mau membuka diri dan dalam luka-luka-Nya Ia menawarkan rasa solider bagi mereka yang tak berpunya. Dari luka lambung yang tertusuk tombak keangkuhan, dari sanalah mengalir kasih yang sempurna dari hati yang mendalam. Kasih Yesus adalah kasih yang tidak menemukan titik kulminasi. Menggali kasih Yesus, ibarat menggali sumur tanpa dasar.

          Mari kita memaku keangkuhan kita dengan paku egoisme agar yang terpancar adalah kemurahan hati dan kelemahlembutan. Salib telah membuat kita berdaya di hadapan Dia yang tak berdaya dan orang-orang miskin akan menggapai kekayaan di dalam kemiskinan-Nya. Nemo dat quod non habet (tak seorang memberi tanpa memilikinya).***(Valery Kopong)

 

No comments: