Friday, September 12, 2008

11 September 2008
Selamat jalan Pak Anshary Thayib
Wartawan Idealis Itu Berpulang Oleh Dahlan IskanKalau ada sejumlah wartawan Surabaya yang sangat idealis, salah satunya yang penting adalah ini: H Anshary Thayib.Dan dia meninggal dunia: kemarin 911/9/2008), tengah hari.Saya mengenalnya melebihi yang lain-lain. Dia satu ''komplotan" dengan kakak saya, Sofwati, namun lebih berkomplot lagi dengan saya, terutama karena kakak saya itu meninggal. Umurnya di antara umur kakak saya dan umur saya.Tapi, bahwa dia teman baik kakak saya, baru saya ketahui kemudian. Yakni ketika sama-sama menjalani pendidikan khusus wartawan di Jakarta selama tiga bulan pada 1975.Waktu itu, sebuah yayasan dari Jerman yang bekerja sama dengan LP3ES memang ingin mendidik 10 wartawan muda dari seluruh Indonesia. Tujuannya untuk memajukan koran-koran daerah. Hanya 10 orang. Agar pendidikannya berjalan efektif. Siang hari kami dititipkan untuk magang di koran Jakarta. Malamnya mengikuti pelajaran teori di kelas.Anshary terpilih mewakili Jatim. Saya terpilih dari Kaltim. Saya sendiri tidak mengira kalau bisa lulus seleksi, mengingat peminatnya begitu banyak. Nasibnya sama: kami sama-sama ditempatkan di majalah TEMPO. Inilah bagian dari keberuntungan kami. Kalau saja saya waktu itu ditempatkan di Pos Kota atau Berita Buana, hasilnya bisa jadi sangat berbeda.Ketika pendidikan sudah berlangsung 1,5 bulan, seharusnya kami bertukar tempat. Tapi, pimpinan TEMPO berkeberatan. Sebagai majalah mingguan, mendidik orang 1,5 bulan belum cukup. Maka, ketika yang lain-lain bertukar tempat, kami berdua tetap di TEMPO. Hasil pendidikan itu juga sama: kami sama-sama dinilai baik. Bahkan sama-sama ditawari untuk menjadi wartawan TEMPO di Jakarta. Kami tidak bisa menerima tawaran itu. Kontrak kami dengan penyelenggara pendidikan adalah harus kembali ke daerah, setidaknya selama dua tahun.Maka, kami pun pulang. Anshary pulang ke Surabaya. Saya ke Samarinda. Masing-masing kembali bekerja di koran kami yang sama-sama tidak terkenal. Anshary kembali bekerja di mingguan Indonesia Membangun dan saya kembali bekerja di mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda. Namun, hubungan kami terus berjalan akrab. Mengapa? Kami sama-sama merangkap sebagai wartawan TEMPO di daerah. Ketika pulang dari Jakarta, dengan kereta api, kami sama-sama sudah mengantongi kartu wartawan TEMPO.Nasib kami lantas berubah karena ini: pembina kami yang di TEMPO itu, Bur Rasuanto, berhenti dari TEMPO. Ingin mendirikan majalah sendiri, dengan nama Obor. Kami diminta ikut dia. Kami langsung menyanggupi -karena harus membalas budi. Anshary langsung keluar dari TEMPO. Saya belum -karena harus menunggu persiapan untuk boyongan ke Surabaya.Dalam proses itulah akhirnya saya ketahui bahwa Obor tidak mendapat izin terbit. Waktu itu, untuk bikin penerbitan, sulitnya bukan main. Dianggap ekstrem sedikit tidak akan bisa dapat izin. Mas Bur, begitu kami biasa memanggil Bur Rasuanto, bergabung di majalah itu dengan tokoh-tokoh aktivis mahasiswa anti-Soeharto. Mas orang hebat. Dialah sastrawan yang antara lain menciptakan kata ''santai" (untuk mengganti relax yang berasal dari bahasa Inggris). Kata ''santai'' dia ambil dari bahasa daerahnya di Ogan Komering, Palembang. Anshary akhirnya beberapa tahun terus di Jakarta sambil menunggu proses perizinan tersebut. Selama menunggu itu, mereka sempat menerbitkan majalah Derap, yang dulu milik Pramuka.Belakangan Anshary lantas bekerja di harian Surya. Jadi salah seorang redaktur penting di situ. Saya ke Jawa Pos. Setelah pensiun dari Surya. Anshary terpilih sebagai anggota Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sungguh layak dia di situ.Anshary lantas sangat sibuk dengan urusan idealisme. Itu cocok dengan kepribadiannya yang sangat kuat. Tidak henti-hentinya dia keliling Indonesia untuk mengecek pengaduan masyarakat yang merasa dilanggar hak-hak asasinya. Mulai Nias sampai Papua.Saya tahu, dia sangat ingin menerbitkan buku tentang pengalamannya jadi anggota Komnas HAM. Tapi, ketika pensiun dari lembaga itu, kesehatannya keburu memburuk. Dia mengeluhkan punggungnya. Juga sedikit stroke. Ternyata, punggungnya diserang kanker. Sudah sangat terlambat. Waktu saya menengoknya di rumah sakit, keadaannya sudah sangat parah. Saya tidak berhasil bertanya apakah persiapan penulisan bukunya sudah beres.Mestinya sudah.Anshary sangat cepat kalau menulis. Juga sangat serius. Banyak buku yang sudah dihasilkannya. Saya kagum ketika masih sama-sama menderita dulu: dia cepat sekali menghasilkan ''buku-kilat''. Yakni, buku yang temanya sedang hangat saat itu. Ada heboh Islam Jamaah, langsung terbit buku tentang kehebohan itu. Hangat, tipis, murah, laris. Dia juga pembaca buku yang tekun. Termasuk yang berbahasa Inggris.Kami juga sama-sama punya latar belakang sebagai aktivis di Pelajar Islam Indonesia (PII). Juga HMI. Juga sama-sama di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Prof Sam Abede dan Agil H. Ali adalah senior kami. Secara pribadi, saya yang lebih sering merepotkan dia. Ketika saya tiba di Surabaya, saya nunut di rumah kos-kosannya di salah satu gang di Semut Kali Surabaya. Lalu, ketika dia harus pindah ke rumah kontrakan di Kertajaya Gang KA, saya minta dicarikan kontrakan di dekat-dekat situ. Saya belum begitu paham Surabaya. Maka, dia dapatkan sebuah rumah kecil untuk saya kontrak. Rumah itu terbuat dari setengah bata, setengahnya lagi papan. Lantainya semen. Tidak ada perabotan. Satu rumah dihuni tiga keluarga. Karena tidak ada saluran air PDAM, tiga rumah itu menggunakan satu sumur di tengah-tengahnya. Tiga keluarga itu juga harus menggunakan kamar mandi yang sama. Yakni, di Gang I C, Jalan Kertajaya, belakang pasar, tidak jauh dari rel kereta api.Dua tahun saya di situ sebelum pindah ke rumah kontrakan di Gubeng Airlangga Gang 4. Anshary kemudian bisa membeli rumah mungil. Dan kawin dengan istrinya yang sekarang. Dua anak diperolehnya yang kini sudah pada jadi sarjana dan bekerja.Anshary pribadi yang kuat, keras, dan memegang prinsip. Sebagian orang menilainya kaku. Ketika saya sudah dua kali menjabat ketua PWI Jatim, Anshary yang terpilih menggantikan saya.Tidak mengira, dalam hal kematian, dia mendahului saya.Selamat jalan Anshary. Toh kita akan ketemu lagi.

Wednesday, September 10, 2008

TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA
( Sebuah Analisis Sosio-kultural)

Oleh: Valery Kopong*

KETIKA menonton tarian “hedung”, sebuah tarian perang dari Adonara-Flores Timur, seorang sahabat yang bukan berasal dari Adonara sempat berdecak kagum melihat sentakan kaki dan ayunan parang serta tombak para penari menuruti irama gong-gendang. Sebuah kekaguman apresiatif yang lahir dari kedalaman rasa seni seorang manusia. Aku yang menyaksikan pentasan tarian dan memahami latar belakang munculnya tarian itu, sempat tergidik diam dan merenungkan kisah perjalanan penuh kebuasan hingga melahirkan tarian itu. Tarian hedung, kini dijadikan sebagai tarian yang mencirikan karakter orang Adonara, menyisahkan garis luka batin yang mendalam buat orang Adonara sendiri. Betapa tidak!
Adonara yang pernah dijuluki sebagai “The killer island,” terproyeksi lewat tarian yang mengungkapkan kebuasan, sekaligus mempertontonkan sebuah kebiadaban. Di sini, di atas panggung pentas, tempat para penari berlaga adalah cerminan “medan laga” di mana sebagian warga Adonara berunjuk kebenaran di mata parang dan tombak. Kisah perang saudara yang seringkali terjadi, kini terakumulasi lewat sentakan kaki dan ayunan tombak serta parang para penari. Pada pentasan kisah masa lalu yang sempat terekam oleh mataku sendiri, membuka memori kesadaranku untuk mengingat cerita masa lalu akan sosok kakekku sendiri yang menjadi korban saat terjadi perang.
Tarian lalu menjadi semacam ‘siluet tipis’, pemberi informasi masa lampau yang penuh dengan kekerasan. Memang, bumi Adonara memendam kekerasan, baik alamnya yang ganas maupun karakter orangnya. “Seseorang pernah bertanya pada saya saat berlibur di kampung halamanku, di masa macam apa kita ini hidup? Aku menjawab,” di masa ketika adanya koma….,koma…., seribu koma membentang pada perjalanan hidup ini.” Jawaban seribu koma dan koma lagi menunjukkan sesuatu yang tak pernah selesai. Kekerasan yang sudah sekian tahun hidup di bumi Adonara tak pernah mencapai titik akhir penyelesaian. Pembunuhan yang terjadi turun temurun, juga tak pernah berhenti dibalik limbahan darah dan gelimangnya nyawa manusia. Kekerasan dan pembunuhan seakan menjadi budaya dan bahasa terakhir di mana seluruh jalan penyelesaian masalah menemukan jalan buntu.
Seperti tersirat dalam kisah perang “Paji dan Demon”, mimpi tetua adat memang menyiapkan petunjuk dalam aktivitas berperang. Berangsur-angsur para tetua adat, dengan memamah halia sembari menuangkan tuak ke tanah, mengajak “Rera Wulan Tana Ekan”, (Wujud Tertinggi) sebagai yang suci untuk memihaki dia saat berlaga. Ia menghimpun yang suci dan mengajaknya untuk berpihak padanya saat berperang melawan musuh. Di sini, “Yang Sakral” telah dinodai oleh para pembujuk untuk melakukan sesuatu yang bertolak belakang dengan kehendak yang suci itu. Mungkinkah dalam peperangan, Sang Rera Wulan Tana Ekan merestui tangan-tangan para pembunuh untuk mengayun tombak dan parang? Melalui dosa dan keterbatasan, ia menghimpun kearifan, sementara Tuhan kian terasa jauh. Konflik batin pun berkecamuk di sekitar ketaksempurnaan itu. Pembunuhan pun tak terelakkan.
Proses itu memang jarang diakui sekarang. Tetapi pada dasarnya sejarah sosial manusia di mana pun terpaksa mencampuradukkan yang sakral dan yang bukan dengan cacat dan kelebihannya. Tetapi mungkin, dengan jiwa yang haus akan darah dan meminta korban, para pembunuh mencari legitimasi pada yang suci. Keberpihakan dari yang suci (baca: Rera Wulan Tana Ekan), menurut konsep para pembunuh, dapat terlihat setelah terjadi peperangan. Pihak yang mengalami korban adalah bukti bahwa mereka berada pada posisi yang salah dan secara tidak langsung keterlibatan dari yang suci pun tidak ada. Demikian sebaliknya, pihak yang menang dalam peperangan merasa bahwa Rera Wulan Tana Ekan sebagai Wujud yang suci berada pada pihak mereka.
Tarian “hedung” dalam arti tertentu membawa misi ke arah penggugahan hati manusia Adonara yang kerap membatu. Ia (tarian hedung) hadir di atas pentas untuk memberikan kritik sosial kepada masyarakat tentang teori konflik yang telah dirancang dan dibangun dalam sekian abad. Tarian membawa pesan peradaban dan sepertinya memberikan kritik terhadap pola interaksi kekerasan antarmanusia. Dengan melihat kondisi masyarakat yang militan ini, perlu adanya pengembangan pemikiran ke arah baru tentang harmoni dan konflik dalam masyarakat sebagai dua hal yang tak terpisahkan.
Menyoroti masalah harmoni dan konflik, dalam sosiologi dicarikan jalan tengah untuk mengimbangi dominasi antara struktural fungsionalisme dari Talcot Parsons dan kaum Parsonian. Pada tataran ini aspek konflik mendapat tempat utama. Pengembangan teori konflik sebagai alternatif memberikan pemahaman yang lebih luas tentang masyarakat. Tetapi sebetulnya ia merupakan varian lain dari sebuah pendekatan makro. Kalau teori fungsionalisme menekankan integrasi dan harmoni, teori konflik menekankan unsur perubahan dan konflik. Seperti pemikiran Parson memberikan gugahan tersendiri terhadap harmoni dan konflik, demikian juga tarian membawa sebuah isyarat baru untuk membangun perdamaian di bumi Adonara. Tetapi untuk menegakkan damai di Adonara, ibarat memilin benang kusut, sesuatu yang sulit dibangun. Dibalik keterbenturan itu, terlintas sebuah pertanyaan nakal, begitu mahalkah damai di bumi kampungku?***

Tuesday, September 9, 2008

Berhenti sampai Jaksa Urip?

Selasa, 9 September 2008 | 00:33 WIB

Saldi Isra

Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi kepada jaksa Urip Tri Gunawan, Kamis (4/9), sama sekali tidak mengejutkan. Bahkan, dengan derajat penyalahgunaan jabatan yang dilakukannya, hukuman lebih berat masih amat pantas dijatuhkan kepada Urip.

Bagaimanapun, putusan Pengadilan Tipikor yang dipimpin Teguh Hariyanto ini membuat dewi keadilan sedikit lega. Sebelumnya, dalam putusan Artalyta Suryani (Ayin), sang dewi hanya bisa senyum kecut. Meskipun telah dijatuhi pidana maksimal, hukuman lima tahun kepada Ayin masih begitu jauh dari pemenuhan rasa keadilan masyarakat.

Masalahnya, apakah skandal suap kasus BLBI yang melibatkan Jaksa Urip dan Ayin tersebut akan dijadikan langkah awal untuk membongkar semua jejaring yang berperan di sekeliling skandal tersebut? Atau yang akan terjadi justru sebaliknya, proses hukum berhenti alias macet total setelah vonis 20 tahun dijatuhkan kepada Jaksa Urip?

Isyarat vonis

Sejak semula hampir tidak ada yang percaya bahwa tindakan Urip merupakan inisiatif pribadi tanpa melibatkan pihak lain di Kejaksaan Agung. Dalam ”Membongkar Gedung Bundar” (Kompas, 18/6) dikemukakan, sulit untuk membantah bahwa uang ”tanda terima kasih” yang diterima Urip bukan merupakan ”hadiah” atas kerja kolektif. Apalagi, Ayin meminta kepada Jamdatun Untung Udji Santoso untuk ”menyelamatkan semua, orang- orang kita”. Tidak hanya itu, dalam proses persidangan terungkap skenario untuk menyelamatkan Ayin agar tidak ditangkap KPK.

Sebelum vonis Jaksa Urip, setiap pendapat yang mengindikasikan keterlibatan pejabat tinggi di lingkungan Kejaksaan Agung hampir selalu dibantah dengan berbagai dalih. Untuk memberi kesan bahwa Kejaksaan Agung peduli dengan pendapat publik, petinggi yang terlibat hotline dengan Ayin dijatuhi sanksi berupa pelanggaran terhadap kode etik. Kemudian, mereka diselamatkan dengan penjatuhan sanksi administrasi.

Berdasarkan vonis Pengadilan Tipikor, upaya penyelamatan tersebut menjadi tidak banyak bermanfaat kecuali menambah bopeng wajah kejaksaan. Vonis majelis hakim menegaskan keterkaitan jaksa Urip dengan mantan Jampidsus Kemas Yahya Rahman, mantan Direktur Penyidikan Muhammad Salim, dan anggota Tim Penyelidik BLBI Hendro Dewanto (Kompas, 5/9). Keterkaitan itu berdasarkan keyakinan hakim: jaksa Urip bersama-sama dengan Kemas dan Salim mengatur penarikan kesimpulan untuk menyatakan hasil penyelidikan skandal BLBI dalam kasus BDNI ”tidak ditemukan unsur melawan hukum”.

Dengan demikian, setelah vonis hakim dibacakan, kerja kolektif Jaksa Urip dengan sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung tidak lagi terbatas level keyakinan publik, ia berubah menjadi fakta hukum. Penegasan itu memberikan isyarat yang amat jelas: Jaksa Urip bukan pemain tunggal, tetapi menjadi bagian dari lingkaran kejahatan yang tertata rapi (organized crime) di lingkungan Kejaksaan Agung.

Tidak kejaksaan

Dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), terutama pemberantasan korupsi, sesuai dengan asas equality before the law, semua pihak yang terkait dengan jaksa Urip harus mendapat perlakuan yang sama dengan Urip. Artinya, Jaksa Urip tidak boleh dijadikan tumbal demi melindungi petinggi kejaksaan yang terindikasi menjadi bagian dari persekongkolan jahat skandal ini. Sebagai sebuah fakta hukum, penyidik harus melanjutkan proses hukum terhadap nama-nama yang disebutkan dalam vonis Pengadilan Tipikor tersebut.

Sekalipun menjadi sebuah keniscayaan untuk menindaklanjuti, penyidiknya tidak boleh berasal dari kejaksaan. Selain sulit bagi penyidik kejaksaan bersikap obyektif terhadap nama-nama yang menjadi jejaring Jaksa Urip, kejaksaan tidak lagi memiliki alasan moral yang kuat untuk bertindak sebagai penyidik. Apalagi sejak skandal Urip terkuak ke permukaan, Kejaksaan Agung terkesan melindungi pejabat yang menjadi jaringan Urip. Bahkan, dengan terbongkarnya skandal Urip, kejaksaan menjadi kehilangan segala-galanya untuk tetap dipertahankan dalam melanjutkan penyelesaian kasus BLBI.

Keengganan KPK

Dengan posisi kejaksaan yang demikian, KPK menjadi satu-satunya lembaga yang masih dapat diterima akal sehat menindaklanjuti vonis Pengadilan Tipikor. Jika selama ini KPK enggan menindaklanjuti penyidikan terhadap petinggi kejaksaan yang terindikasi terlibat suap, vonis Pengadilan Tipikor meletakkan kewajiban bagi KPK untuk membongkar semua pelaku yang menjadi bagian konspirasi jaksa Urip. Dalam hal ini, vonis Pengadilan Tipikor harus dimaknai sebagai sabda keadilan oleh KPK.

Sabda itu tidak hanya untuk memosisikan petinggi-petinggi kejaksaan yang disebut dalam vonis tersebut ke dalam jalur pesakitan seperti yang dirasakan Jaksa Urip saat ini, tetapi juga napas keadilan untuk kasus BLBI (terutama dengan obligor Sjamsul Nursalim) yang selama ini telah merampas ruang untuk hidup layak bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Sekiranya tetap enggan menindaklanjuti vonis Pengadilan Tipikor, patut diduga KPK terjebak dalam pola perlindungan petinggi kejaksaan yang berkembang di Kejaksaan Agung.

Yang dikhawatirkan banyak kalangan, keengganan KPK amat mungkin terkait dengan Ketua KPK Antasari Azhar yang pernah menjadi inner-circle Kejaksaan Agung. Apalagi, nama Antasari Azhar pernah disebut Ayin ketika berkomunikasi dengan Jamdatun Untung Udji Santoso. Untuk membuktikan bahwa KPK punya pola pikir yang berbeda dengan Kejaksaan Agung dalam penyelesaian keterlibatan petinggi kejaksaan dan skandal BLBI secara keseluruhan, jangan biarkan megaskandal ini berhenti sampai pada vonis Jaksa Urip.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Inspirasi Amerika Latin


Selasa, 9 September 2008 | 00:34 WIB

Robert Bala

Derasnya arus neososialisme yang merambah Amerika Latin kian menjadi perhatian dunia. Bisa saja hal itu dilihat secara miris, sekadar reaksi atas gembosnya roda kapitalisme.

Namun, bila pengaruhnya sudah menggurita mencakup Kuba, Venezuela Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan kini Paraguay, hal itu bukan lagi kebetulan.

Pesimisme

Awal abad XX dengan janji kesejahteraan menyeluruh, disambut penuh antusias di Amerika Latin dan diakui para uskup AL dalam Dokumen Medellin (1968). Ada optimisme bakal terwujudnya emansipasi total, pembebasan dari segala bentuk perbudakan, kemantangan pribadi, dan integrasi kolektif.

Dalam kenyataan, harapan itu cepat sirna. Optik desarrollista (asal dianggap maju) yang mengandalkan pinjaman luar negeri, dengan cepat diketahui kedoknya. Kesejahteraan yang dijanjikan berubah wajah menjadi seram. ”Bantuan” telah menggiring negara miskin ke jalan buntu. Mereka terus ”dibuntuti” untuk melunasi utang luar negeri.

Oleh Leonardo Boff (Pasado y Futuro de la Teologia de la Liberacion, 1987) kenyataan ini dilihat sebagai produk logika pasar (logica del mercado). Di sana modal dibiarkan bergerak semau gue. Sementara itu, gerakan ke arah pendistribusian kekayaan demi meratanya kesejahteraan dibendung.

Bukan itu saja. Kemiskinan menjadi awal dari serentetan kekerasan baru. Konflik, pertentangan, peperangan, kelaparan, dan kematian menjadi wajah baru. Oleh José Comblin (Liberación y Cautiverio, 1976), fenomena ini disebut kekerasan yang terinstitusionalisasi (violencia institucionalizada). Hal ini memprihatinkan. Hidup seakan tidak berharga karena begitu mudah dimangsa kematian oleh perebutan makanan.

Logika kehidupan

Jeratan neokapitalisme yang dipromotori oleh saudara sebenua AS dengan cepat disadari. Tawaran memperbanyak senjata dan menggandakan militer demi mengatasi konflik dipahami sebagai taktik licik. Di sana, atas ”nama keamanan”, sejumlah negara miskin (tetapi kaya sumber alam) dipaksakan memiliki delapan kali lipat tentara daripada jumlah dokter (R Ruiz, El Paiz, 1992). Padahal, masalah yang dihadapi adalah ancaman kematian oleh kelaparan.

Kuba yang cukup mahir mempelajari gelagat ”sang tetangga”, menawarkan jalan keadilan sosial. Kekayaan bersama dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama dan menjamin hak hidup masyarakat. Tak pelak, puluhan rumah sakit dibangun. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba yang hanya berpenduduk 10 juta jiwa memiliki 4.000 tamatan dokter spesialis setiap tahun. Sebanyak 30.000 dokter bekerja di jaringan rumah sakit (red de hospitales), 20.000 lebih sebagai dokter keluarga. Yang lain sebagai peneliti dan pengajar di berbagai tempat. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba telah menjadi pionir dalam pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran di seluruh Amerika Latin (Gianni Mina, Habla Fidel, 1987). Seluruh dokter tamatan Kuba kini melayani hampir 70 juta penduduk dunia.

Venezuela dengan keunggulan sumber daya alam tidak kurang keterlibatan sosialnya. Pada saat dunia menjerit akibat kenaikan harga BBM, Chavez menawarkan ”harga berdamai” kepada sesama negara di Amerika Latin. Ia bahkan menawarkan harga 100 dollar AS per barrel kepada pemerintahan sosialis Spanyol. Di Bolivia, bertepatan dengan hari Buruh 1 Mei 2006, Evo Morales memulai program reapropiación social de la riqueza pública dengan menasionalisasi semua perusahaan migas. Baginya, perwujudan keadilan sosial adalah harga mati.

Harapan

Gelombang sosialisme yang menyebar di Amerika Latin menjadi inspirasi bagi kita.

Pertama, butuh komitmen pada keadilan sosial sebagai pijakan awal. Ia bukan sekadar ekspresi aksi karitatif yang mungkin dilakukan dengan motif politis sekunder. Tidak. Keadilan sosial dipahami secara komutatif demi terpenuhinya kebutuhan dasar dan terjunjungnya harkat dan martabat semua manusia.

Kita masih jauh dari idealisme ini. Kelangkaan kebutuhan dasar, melambungnya harga BBM dan gas, kian sulitnya mendapatkan beras murah, selain orang miskin yang ”dilarang untuk sakit” (karena itu berarti ajal) adalah tanda betapa jauhnya kita dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, butuh gerakan sosial yang kompak. Untuk ini, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia bersyukur punya Ramadhan, bulan penuh rahmat. Di sana pembaruan sosial berawal dari pengekangan nafsu badaniah perlahan dibatinkan untuk kemudian hadir sebagai gerakan sosial demi membarui negeri ini.

Pembaruan seperti ini bersifat menyeluruh karena mencakup dimensi transenden sekaligus imanen, demikian Boff dalam El águila y la gallina (1989). Agama selain bagai elang (águila) yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam (gallina) yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Kalau proses ini dijalani, impian akan surga sudah akan terwujud kini dan di sini.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid

Friday, September 5, 2008


Dansa tango.
Kamis, 4 September 2008 | 12:55 WIB

Bila Anda pernah menyaksikan keanggunan sepasang penari membawakan tarian waltz, tango, atau samba, Anda akan menyadari bahwa makna lantai dansa tak sekadar arena untuk bergoyang, tapi juga dalam tarian dansa itu tersimpan rahasia hidup manusia.

Secara garis besar, ada dua karakteristik dansa yang populer, yakni latin dan ballroom standar. Dansa latin, misalnya cha cha, rumba, samba, jive, dan paso double. Sedangkan yang disebut ballroom standar antara lain waltz, romantic, slow foxtrot, quick step vienese waltz, dan tango. Meski demikian, tarian-tarian ini pada dasarnya adalah luapan ekspresi perasaan, entah itu gairah, kemarahan, kesedihan, atau keindahan.

Janet Carlson, penulis buku Quick, Before the Music Stop mengatakan, baginya dansa juga berarti kegiatan menemukan diri sendiri. Menurutnya, gerakan-gerakan dansa bagaikan metafora yang menuntun kita untuk mengambil langkah tepat dalam kehidupan nyata. Dansa telah mengajarkan Carlson pada cinta, diri sendiri, juga keindahan hidup.

Mengalah
Bila Anda perhatikan, saat berdansa, pasangan penari akan bergerak berlawanan. Ketika salah seorang melangkah kakinya ke depan, pasangannya akan melangkah mundur, demikian juga sebaliknya. Konsep ini, menurut Carlson, juga bisa diterapkan dalam hubungan kita dengan orang lain. Misalnya saja, bila salah satu sedang emosi, pasangannya harus menahan diri, bergerak mundur.

It Takes Two to Tango
Dansa yang baik membutuhkan keseimbangan. Penari pria bukan yang memimpin, dan penari wanita bukanlah pengikut. Sebuah gerakan dansa adalah dialog, keduanya berkomunikasi. Bila diterapkan dalam sebuah hubungan, ini berarti butuh dua orang untuk menjaga ikatan cinta dan keduanya harus peduli pada kebutuhan pasangan. "Dalam sebuah hubungan, seperti juga dansa, tugasmu adalah membuat saya nyaman, dan tugas saya adalah membuatmu nyaman," kata Carslon.

Hiduplah saat ini
Meditasi mengajarkan kita untuk hadir pada saat ini, menikmati saat ini. "Kita sering berada di satu tempat, tapi pikiran kita mengembara ke mana-mana, tak bisa fokus sehingga kita kehilangan momen yang berharga dengan orang lain," ujar Carlson. Oleh karena itu, hadirlah seutuhnya pada suatu momen. "Buat apa tergesa-gesa, bukalah mata pada keindahan setiap momen dan biarkan diri kita tinggal di situ," katanya.

Penguatan Ekonomi Desa


Jumat, 5 September 2008

Mukhaer Pakkanna

Tim Ekspedisi Anjer-Panaroekan 2008 yang digelar Kompas menyampaikan reportase menarik tentang ”Bendar, Pengecualian Desa Nelayan” (Kompas, 23/8/2008).

Kehidupan Desa Bendar Juwana, Pati, Jawa Tengah, dikesankan sebagai desa yang memiliki tingkat kesejahteraan rata-rata di atas penduduk desa nelayan dari daerah lain.

Ada tiga hal yang bisa ditangkap dari ritme kehidupan desa itu, pertama, tingkat social trust masih berjalan sempurna. Relasi kekerabatan yang ditandai semangat gotong royong dan persaudaraan masih terasah.

Kedua, keterlibatan kaum perempuan, termasuk dalam proses produksi dan penjualan hasil tangkap, masih sangat tinggi.

Ketiga, hilangnya sistem ijon (lintah darat) diganti pola lembaga keuangan sederhana yang didasarkan sistem bagi hasil.

Ketiga hal itu sejatinya menjadi modal sosial bagi penduduk desa lain di Tanah Air. Pola kehidupan nelayan yang diperlihatkan di Desa Bendar sebenarnya sudah lama hidup dan bersemayam dalam kearifan lokal masyarakat Indonesia. Namun, pola-pola itu terberangus akibat kebijakan pembangunan yang tersentralisasi. Inisiasi lokal menjadi lumpuh, diganti kebijakan penyeragaman pusat.

Desentralisasi Desa

Otonomi daerah meniscayakan desentralisasi. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangga sendiri berdasar prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2000, kebijakan desentralisasi diikuti desentralisasi fiskal dan anggarannya pun terus meningkat signifikan.

Tidak mengherankan pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD), 22 Agustus, kembali menyampaikan, transfer dana dari pusat ke daerah meningkat lebih dari dua kali lipat, yang semula Rp 129,7 triliun (2004) menjadi Rp 292,4 (APBN-P 2008). Bahkan, pada RAPBN 2009 transfer digenjot lagi menjadi Rp 303,9 triliun. Namun, Presiden mengakui tidak optimalnya pembelanjaan di daerah melalui APBD. Akibatnya, pada APBN 2007 ada sisa anggaran yang amat besar, mencapai lebih Rp 45 triliun.

Peningkatan 134,3 persen transfer dana pusat ke daerah sejatinya mampu menguatkan ekonomi desa. Namun, transfer dana itu lebih banyak berhenti pada lingkaran elite pejabat di daerah. Para pejabat di daerah menganggap pemerintahan desa adalah bawahan bupati. Segala kebijakan desa diatur oleh pemerintahan daerah sehingga desa tidak dianggap sebagai pemerintahan yang otonom (Rozaki dkk; IRE dan FF, 2004). Padahal, desa adalah pion terdepan dalam peningkatan prakarsa dan partisipasi rakyat. Pemerintahan desa seyogianya mampu mangagregasi dan mengatalisasi aspirasi rakyat, terutama dalam rangka merangsang rakyat dalam partisipasi publik.

Diakui, di tingkat desa sudah ada Badan Perwakilan Desa (BPD) yang menjadi corong masyarakat desa menyalurkan aspirasinya. Namun, secara umum, anggota BPD banyak yang tidak paham arti dan fungsi yang mereka miliki.

Tupoksinya tidak jalan karena pemerintah daerah kurang melakukan sosialisasi serius, hanya sekadar prosedural. Fungsi-fungsi legislasi DPD di tingkat lokal tidak optimal. Sementara itu, pemerintahan desa juga kurang memiliki prakarsa merangsang partisipasi dan inisiasi rakyat. Implikasinya, rakyat pun berjalan sendiri-sendiri. Tidak mengherankan jika arus urbanisasi membesar akibat kemelaratan rakyat yang terus mengimpit di desanya.

Penguatan desa

Menurut data Data Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT; 2008), terdapat 38.232 (54,14 persen) kategori desa maju, yang terdiri dari 36.793 (52,03 persen) kategori maju dan 1.493 (2,11 persen) kategori amat maju. Sementara itu, desa tertinggal berjumlah 32.379 (45,86 persen) yang terdiri dari 29.634 (41,97 persen) kategori tertinggal dan 2.745 (3,89 persen) kategori amat tertinggal.

Desa tertinggal adalah desa yang belum dapat dilalui mobil, belum ada sarana kesehatan, belum ada pasar permanen, dan belum ada listrik. Rata-rata keluarga miskin di desa tertinggal adalah 46,44 persen dan IPN desa tertinggal sebesar 66,46 persen.

Data ini berbicara, hampir separuh desa di Indonesia tertinggal. Tentu, peningkatan alokasi anggaran ke daerah dari tahun ke tahun seharusnya mampu mengurangi jumlah desa tertinggal. Namun, stimulus desentralisasi fiskal kurang optimal berjalan untuk membangun prakarsa dan kesejahteraan masyarakat desa. Maka, pendekatan sosial-kultural seharusnya berjalan simultan dengan peningkatan alokasi anggaran ke daerah dan desa.

Untuk menguatkan kapasitas ekonomi desa, perspektif desentralisasi seharusnya berujung tombak di tingkat desa. Prakarsa pemimpin dan tokoh masyarakat desa harus digalakkan. Jangan sampai karisma dan keteladanan pemimpin/tokoh masyarakat desa kian hilang.

Dengan tipikal masyarakat paternalistik, penguatan ekonomi masyarakat desa membutuhkan ”nabi-nabi” yang mampu menggelorakan semangat wirausaha desa. Maka, Pemda harus membuat program berkesinambungan—tidak sekadar dijadikan proyek jangka pendek—mendekati tokoh teladan di masyarakat.

Selanjutnya, perlu pula menghidupkan kembali sistem kekerabatan di desa-desa. Hidupkan kembali semangat gotong royong dan persaudaraan masyarakat. Dalam konteks ini, alokasi anggaran yang besar bukan jaminan untuk membangun sistem kekerabatan. Yang diperlukan adalah membangun saling percaya (social trust) melalui perkumpulan-perkumpulan warga.

Selanjutnya perlu membangun berbagai kelompok sosial dan ekonomi kaum perempuan. Keberhasilan Grameen Bank di Banglades karena mampu membangun kolektivitas produksi di tingkat perempuan. Kata Muhammad Yunus, membantu perempuan akan lebih mempercepat proses pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Dan, inilah yang membuat Desa Bendar Juwana, Pati, mampu membuktikannya.

Namun, perlu diingat, diperlukan upaya kuat membangun sistem dan kelembagaan ekonomi desa yang didasarkan pada pola kekerabatan dan bagi hasil. Untuk itu, hidupkan kembali sistem jimpitan, lumbung padi, warung-warung desa, dan lainnya.

Mukhaer Pakkanna Peneliti Cides; Wakil Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta



Anjloknya Ketahanan Pangan


Jumat, 5 September 2008 |

IVAN A HADAR

Indonesia masuk perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Tujuh komoditas utama nonberas yang dikonsumsi masyarakat bergantung pada impor.

Padahal, sejak dua tahun terakhir, terjadi lonjakan harga pangan dan komoditas pertanian lainnya. Akibatnya, terjadi penurunan ketahanan pangan dengan indikasi mengenaskan, seperti meningkatnya kasus gizi buruk serta kematian anak balita dan ibu melahirkan.

Sebenarnya, spirit penguatan ketahanan pangan bisa ditemui dalam judul utama disertasi doktoral SBY, ”Pembangunan Pertanian dan Pedesaan sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Pengangguran”. Sayang, kebijakan pemerintah selama ini dinilai mengorbankan pertanian di pedesaan sebagai sektor penyerap tenaga kerja terbanyak. Indikasinya, penyunatan subsidi dan impor produk pertanian yang menyengsarakan petani dan memperburuk pembangunan pertanian itu sendiri.

Saat ini sumber pertumbuhan ekonomi lebih bertumpu pada sektor konsumtif dan padat modal. Tak heran jika dulu tiap pertambahan pertumbuhan satu persen, bisa membuka 300.000 sampai 400.000 lapangan kerja, kini hanya mampu menampung 178.000 lapangan kerja.

Mereka yang jatuh miskin pun semakin bertambah. Sebagian besar berstatus petani gurem atau buruh tani. Bagi World Food Programme (WFP, 2005), mereka yang miskin dan kekurangan gizi di Indonesia dipastikan sulit keluar dari belenggu kemiskinan tanpa perubahan kebijakan yang signifikan.

Bagi Amartya sen (Poverty and Famines), persyaratan pengamanan pangan masyarakat bukan hanya pada pengadaan bahan pangan, tetapi aksesibilitas pada pangan bagi mereka yang lapar. Sebenarnya, ketimpangan distribusi dan bahayanya dalam sebuah pertumbuhan ekonomi yang sering jauh dari harapan di negara berkembang sudah jauh hari disadari. Simon Kuznets (1995) dan Gunnar Myrdal (1956), misalnya, mengingatkan, kesenjangan penghasilan dan menunjukkan trickle-down effect sulit dicapai.

Di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sejak tahun 1980-an diberlakukan sebuah sistem kontrol oleh negara atas sektor pertanian dengan tujuan mengamankan keterjangkauan harga produk pertanian bagi penduduk kota yang kian meningkat. Hal ini dipertegas pada tahun 1990-an lewat kebijakan Structural Adjustment Program oleh IMF sebagai persyaratan mutlak pemberian bantuan dan utang kepada negara berkembang. Brandt (2000) menyebut program ini sebagai ”masalah makropolitik, yaitu keharusan mundurnya negara dari sektor dan jasa pertanian serta liberalisasi kebijakan harga, pasar, dan perdagangan pertanian.” Sejak itu, sektor pertanian menjadi bagian makroekonomi yang paling menderita akibat penyunatan berbagai subsidi negara. Bagi Brandt, penerapan SAP menjadi akhir dari pembangunan pedesaan.

Keberhasilan negara lain

Dilatari kegagalan pembangunan pedesaan itu, ada baiknya menengok keberhasilan Korea Selatan, Thailand, Taiwan, Malaysia, dan (sejak 1978) China, yang menjadikan sektor pertanian sebagai ”motor” pengembangan sektor lainnya. Strategi yang dijalankan mencakup beberapa hal penting, yaitu dukungan kepada perusahaan keluarga kecil menengah, menghindari sistem kredit bersubsidi, membangun infrastruktur pedesaan, mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi yang bermanfaat bagi petani kecil, serta menghindari diskriminasi sektor pertanian (Binswanger, 1998). Berkat kebijakan itu terjadi lonjakan pertumbuhan di sektor pertanian, peningkatan produksi dan produktivitas, modernisasi teknologi pertanian, dan pengurangan tingkat kemiskinan di pedesaan.

Beberapa perbaikan dan modifikasi kebijakan juga dianjurkan Gabrielle Geier (1996). Pertama, perlu koreksi price bias yang terlalu percaya pada pengaturan produksi lewat harga pasar Yang diperlukan adalah perbaikan struktur pertanian dan dukungan pada inovasi pertanian.

Kedua, agar mengubah kebijakan income bias yang percaya pada perbaikan pendapatan petani lewat mekanisme pasar menjadi kebijakan stabilisasi basic subsistence dan jaminan tidak digusur.

Ketiga, mengoreksi kebijakan male bias demi memperkuat status sosial-ekonomi perempuan.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Pangan di Roma 12 tahun lalu, semua negara peserta, termasuk Indonesia, bertekad mengurangi angka kelaparan global dari 840 juta menjadi separuhnya pada tahun 2015. Namun, sesuai data FAO 2005, masih ada 825 juta jiwa kelaparan. Meski terjadi proses deras urbanisasi, 60-70 persen penduduk negeri ini masih bermukim di pedesaan. Sementara nyaris separuh dari mereka yang mengalami rawan pangan berasal dari keluarga petani gurem.

Perubahan

Dua pertiga petani gurem tergolong marginalized karena memiliki lahan tandus, terisolasi letaknya serta tanpa pengamanan hak atas tanah dan tanpa akses kredit. Penyebab lainnya, buruknya infrastruktur dan ketergantungan pada pedagang antara. Sementara itu, sekitar 30 persen bernasib lebih buruk karena tidak memiliki lahan pertanian dan bekerja sebagai buruh tani, nelayan musiman, dan menggantungkan hidup pada hasil hutan (Armin Paasch, 2006).

Ketahanan pangan atau hak atas pangan harus dimulai dari berbagai kelompok ini. Kenyataannya, sejak dekade terakhir mereka kian tergusur. Perubahan struktural berupa komersialisasi sumber daya produktif, seperti lahan, air, dan bibit serta anjloknya harga produk pertanian dan liberalisasi asismetris perdagangan pertanian, telah memperburuk kondisi mereka (Windfuhr, 2005). Tanpa perubahan drastis kebijakan agar berpihak pada petani gurem dan pembangunan pedesaan, permintaan pemerintah pusat agar gubernur, wali kota, bupati, dan masyarakat untuk bekerja keras dalam peningkatan ketahanan pangan akan sia-sia karena menjadi sekadar imbauan tanpa arah dan pemihakan yang jelas.

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs; Pendapat Pribadi

Didi Supriyanto: Setahu Saya Sophan Ditabrak

KOMPAS.COM/SUGIHARTO
Seorang kerabat termenung melihat foto kenangan Alm Sophan Sophiaan di rumah duka Jl.Garuda V, Bintaro, Jakarta Selatan, Sabtu (17/5). Alm Sophan Sophiaan meninggal diusia 64 tahun karena kecelakaan dalam tour jalur merah Putih di Ngawi Jawa Timur menuju Yogyakarta dalam rangka menyambut hari Kebangkitan Nasional

Kamis, 4 September 2008 | 17:27 WIB

Laporan wartawan Kompas.com Inggried Dwi Wedhaswary

JAKARTA, KAMIS - Sahabat almarhum Sophan Sophiaan, Didi Supriyanto mengaku mendapat kabar bahwa Sophan meninggal dunia karena ditabrak oleh seorang pengendara sepeda motor gede (moge) yang berada di belakangnya. Bukan jatuh, seperti yang diberitakan selama ini.

Didi merupakan teman sesama pecinta Harley Davidson dan juga teman satu partai Sophan di Partai Demokrasi Pembaruan. Kabar meninggalnya Sophan, didapat Didi dari salah satu temannya yang juga ikut dalam touring Jalur Merah Putih (JMP).

"Info dan berita yang saya terima di hari H (hari kecelakaan), almarhum ditabrak oleh orang yang berada di belakangnya. Tapi karena saat itu semua panik, nggak saya follow up. Sehari kemudian, saya berangkat umroh. Sepulang umroh, kok jadinya karena jatuh saya nggak tahu juga. Karena yang saya tahu, di hari kecelakaan itu ditabrak, bukan jatuh," kata Sekretaris Pelaksana Harian PDP, di Jakarta, Kamis (4/9).

Si penyampai informasi menyebutkan siapa orang yang diduga menabrak Sophan. "Tapi tidak usah disebutkan. Saat saya tanya, juga orangnya nggak ngaku," ujarnya.

Menurut pengalaman yang diketahui Didi selama melakukan touring bersama Sophan, aktor kawakan itu tahu bagaimana menyelamatkan diri jika terjatuh. Sesuai teori yang diajarkan, jika pengendara moge terjatuh, maka ia akan melepas motornya dan menyelamatkan diri ke arah yang berlawanan dengan arah jatuhnya motor. Sehingga, tak memungkinkan tubuhnya akan tertindih motor yang cukup berat.

Kisah Didi, Sophan pernah mengalami dua kali kecelakaan. Pertama, di kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan dan kedua, saat melakukan touring di Amerika Serikat. Saat kejadian, Didi berada di dekat Sophan. "Sehingga, saya tahu pasti bagaimana almarhum menyelamatkan diri sesuai teori yang diajarkan. Dan selama dua kali kecelakaan itu, almarhum sama sekali tidak mengalami luka," kata Didi.

Terlepas dari takdir Tuhan, Didi mengatakan tak masuk akal jika Sophan mengalami akibat yang fatal sampai meninggal dunia kalau hanya jatuh dari motornya. Sebab, menurut dia, kecepatan motor saat touring sangat rendah, di bawah 40 km/jam. (ING)