Tuesday, September 9, 2008

Inspirasi Amerika Latin


Selasa, 9 September 2008 | 00:34 WIB

Robert Bala

Derasnya arus neososialisme yang merambah Amerika Latin kian menjadi perhatian dunia. Bisa saja hal itu dilihat secara miris, sekadar reaksi atas gembosnya roda kapitalisme.

Namun, bila pengaruhnya sudah menggurita mencakup Kuba, Venezuela Brasil, Ekuador, Argentina, Cile, Peru, Nikaragua, Uruguay, dan kini Paraguay, hal itu bukan lagi kebetulan.

Pesimisme

Awal abad XX dengan janji kesejahteraan menyeluruh, disambut penuh antusias di Amerika Latin dan diakui para uskup AL dalam Dokumen Medellin (1968). Ada optimisme bakal terwujudnya emansipasi total, pembebasan dari segala bentuk perbudakan, kemantangan pribadi, dan integrasi kolektif.

Dalam kenyataan, harapan itu cepat sirna. Optik desarrollista (asal dianggap maju) yang mengandalkan pinjaman luar negeri, dengan cepat diketahui kedoknya. Kesejahteraan yang dijanjikan berubah wajah menjadi seram. ”Bantuan” telah menggiring negara miskin ke jalan buntu. Mereka terus ”dibuntuti” untuk melunasi utang luar negeri.

Oleh Leonardo Boff (Pasado y Futuro de la Teologia de la Liberacion, 1987) kenyataan ini dilihat sebagai produk logika pasar (logica del mercado). Di sana modal dibiarkan bergerak semau gue. Sementara itu, gerakan ke arah pendistribusian kekayaan demi meratanya kesejahteraan dibendung.

Bukan itu saja. Kemiskinan menjadi awal dari serentetan kekerasan baru. Konflik, pertentangan, peperangan, kelaparan, dan kematian menjadi wajah baru. Oleh José Comblin (Liberación y Cautiverio, 1976), fenomena ini disebut kekerasan yang terinstitusionalisasi (violencia institucionalizada). Hal ini memprihatinkan. Hidup seakan tidak berharga karena begitu mudah dimangsa kematian oleh perebutan makanan.

Logika kehidupan

Jeratan neokapitalisme yang dipromotori oleh saudara sebenua AS dengan cepat disadari. Tawaran memperbanyak senjata dan menggandakan militer demi mengatasi konflik dipahami sebagai taktik licik. Di sana, atas ”nama keamanan”, sejumlah negara miskin (tetapi kaya sumber alam) dipaksakan memiliki delapan kali lipat tentara daripada jumlah dokter (R Ruiz, El Paiz, 1992). Padahal, masalah yang dihadapi adalah ancaman kematian oleh kelaparan.

Kuba yang cukup mahir mempelajari gelagat ”sang tetangga”, menawarkan jalan keadilan sosial. Kekayaan bersama dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama dan menjamin hak hidup masyarakat. Tak pelak, puluhan rumah sakit dibangun. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba yang hanya berpenduduk 10 juta jiwa memiliki 4.000 tamatan dokter spesialis setiap tahun. Sebanyak 30.000 dokter bekerja di jaringan rumah sakit (red de hospitales), 20.000 lebih sebagai dokter keluarga. Yang lain sebagai peneliti dan pengajar di berbagai tempat. Dalam 25 tahun terakhir, Kuba telah menjadi pionir dalam pemberian beasiswa bagi mahasiswa kedokteran di seluruh Amerika Latin (Gianni Mina, Habla Fidel, 1987). Seluruh dokter tamatan Kuba kini melayani hampir 70 juta penduduk dunia.

Venezuela dengan keunggulan sumber daya alam tidak kurang keterlibatan sosialnya. Pada saat dunia menjerit akibat kenaikan harga BBM, Chavez menawarkan ”harga berdamai” kepada sesama negara di Amerika Latin. Ia bahkan menawarkan harga 100 dollar AS per barrel kepada pemerintahan sosialis Spanyol. Di Bolivia, bertepatan dengan hari Buruh 1 Mei 2006, Evo Morales memulai program reapropiación social de la riqueza pública dengan menasionalisasi semua perusahaan migas. Baginya, perwujudan keadilan sosial adalah harga mati.

Harapan

Gelombang sosialisme yang menyebar di Amerika Latin menjadi inspirasi bagi kita.

Pertama, butuh komitmen pada keadilan sosial sebagai pijakan awal. Ia bukan sekadar ekspresi aksi karitatif yang mungkin dilakukan dengan motif politis sekunder. Tidak. Keadilan sosial dipahami secara komutatif demi terpenuhinya kebutuhan dasar dan terjunjungnya harkat dan martabat semua manusia.

Kita masih jauh dari idealisme ini. Kelangkaan kebutuhan dasar, melambungnya harga BBM dan gas, kian sulitnya mendapatkan beras murah, selain orang miskin yang ”dilarang untuk sakit” (karena itu berarti ajal) adalah tanda betapa jauhnya kita dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, butuh gerakan sosial yang kompak. Untuk ini, Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia bersyukur punya Ramadhan, bulan penuh rahmat. Di sana pembaruan sosial berawal dari pengekangan nafsu badaniah perlahan dibatinkan untuk kemudian hadir sebagai gerakan sosial demi membarui negeri ini.

Pembaruan seperti ini bersifat menyeluruh karena mencakup dimensi transenden sekaligus imanen, demikian Boff dalam El águila y la gallina (1989). Agama selain bagai elang (águila) yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam (gallina) yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Kalau proses ini dijalani, impian akan surga sudah akan terwujud kini dan di sini.

Robert Bala Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca dan Universidad Complutense de Madrid

No comments: