Friday, September 12, 2008

11 September 2008
Selamat jalan Pak Anshary Thayib
Wartawan Idealis Itu Berpulang Oleh Dahlan IskanKalau ada sejumlah wartawan Surabaya yang sangat idealis, salah satunya yang penting adalah ini: H Anshary Thayib.Dan dia meninggal dunia: kemarin 911/9/2008), tengah hari.Saya mengenalnya melebihi yang lain-lain. Dia satu ''komplotan" dengan kakak saya, Sofwati, namun lebih berkomplot lagi dengan saya, terutama karena kakak saya itu meninggal. Umurnya di antara umur kakak saya dan umur saya.Tapi, bahwa dia teman baik kakak saya, baru saya ketahui kemudian. Yakni ketika sama-sama menjalani pendidikan khusus wartawan di Jakarta selama tiga bulan pada 1975.Waktu itu, sebuah yayasan dari Jerman yang bekerja sama dengan LP3ES memang ingin mendidik 10 wartawan muda dari seluruh Indonesia. Tujuannya untuk memajukan koran-koran daerah. Hanya 10 orang. Agar pendidikannya berjalan efektif. Siang hari kami dititipkan untuk magang di koran Jakarta. Malamnya mengikuti pelajaran teori di kelas.Anshary terpilih mewakili Jatim. Saya terpilih dari Kaltim. Saya sendiri tidak mengira kalau bisa lulus seleksi, mengingat peminatnya begitu banyak. Nasibnya sama: kami sama-sama ditempatkan di majalah TEMPO. Inilah bagian dari keberuntungan kami. Kalau saja saya waktu itu ditempatkan di Pos Kota atau Berita Buana, hasilnya bisa jadi sangat berbeda.Ketika pendidikan sudah berlangsung 1,5 bulan, seharusnya kami bertukar tempat. Tapi, pimpinan TEMPO berkeberatan. Sebagai majalah mingguan, mendidik orang 1,5 bulan belum cukup. Maka, ketika yang lain-lain bertukar tempat, kami berdua tetap di TEMPO. Hasil pendidikan itu juga sama: kami sama-sama dinilai baik. Bahkan sama-sama ditawari untuk menjadi wartawan TEMPO di Jakarta. Kami tidak bisa menerima tawaran itu. Kontrak kami dengan penyelenggara pendidikan adalah harus kembali ke daerah, setidaknya selama dua tahun.Maka, kami pun pulang. Anshary pulang ke Surabaya. Saya ke Samarinda. Masing-masing kembali bekerja di koran kami yang sama-sama tidak terkenal. Anshary kembali bekerja di mingguan Indonesia Membangun dan saya kembali bekerja di mingguan Mimbar Masyarakat Samarinda. Namun, hubungan kami terus berjalan akrab. Mengapa? Kami sama-sama merangkap sebagai wartawan TEMPO di daerah. Ketika pulang dari Jakarta, dengan kereta api, kami sama-sama sudah mengantongi kartu wartawan TEMPO.Nasib kami lantas berubah karena ini: pembina kami yang di TEMPO itu, Bur Rasuanto, berhenti dari TEMPO. Ingin mendirikan majalah sendiri, dengan nama Obor. Kami diminta ikut dia. Kami langsung menyanggupi -karena harus membalas budi. Anshary langsung keluar dari TEMPO. Saya belum -karena harus menunggu persiapan untuk boyongan ke Surabaya.Dalam proses itulah akhirnya saya ketahui bahwa Obor tidak mendapat izin terbit. Waktu itu, untuk bikin penerbitan, sulitnya bukan main. Dianggap ekstrem sedikit tidak akan bisa dapat izin. Mas Bur, begitu kami biasa memanggil Bur Rasuanto, bergabung di majalah itu dengan tokoh-tokoh aktivis mahasiswa anti-Soeharto. Mas orang hebat. Dialah sastrawan yang antara lain menciptakan kata ''santai" (untuk mengganti relax yang berasal dari bahasa Inggris). Kata ''santai'' dia ambil dari bahasa daerahnya di Ogan Komering, Palembang. Anshary akhirnya beberapa tahun terus di Jakarta sambil menunggu proses perizinan tersebut. Selama menunggu itu, mereka sempat menerbitkan majalah Derap, yang dulu milik Pramuka.Belakangan Anshary lantas bekerja di harian Surya. Jadi salah seorang redaktur penting di situ. Saya ke Jawa Pos. Setelah pensiun dari Surya. Anshary terpilih sebagai anggota Komisi Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Sungguh layak dia di situ.Anshary lantas sangat sibuk dengan urusan idealisme. Itu cocok dengan kepribadiannya yang sangat kuat. Tidak henti-hentinya dia keliling Indonesia untuk mengecek pengaduan masyarakat yang merasa dilanggar hak-hak asasinya. Mulai Nias sampai Papua.Saya tahu, dia sangat ingin menerbitkan buku tentang pengalamannya jadi anggota Komnas HAM. Tapi, ketika pensiun dari lembaga itu, kesehatannya keburu memburuk. Dia mengeluhkan punggungnya. Juga sedikit stroke. Ternyata, punggungnya diserang kanker. Sudah sangat terlambat. Waktu saya menengoknya di rumah sakit, keadaannya sudah sangat parah. Saya tidak berhasil bertanya apakah persiapan penulisan bukunya sudah beres.Mestinya sudah.Anshary sangat cepat kalau menulis. Juga sangat serius. Banyak buku yang sudah dihasilkannya. Saya kagum ketika masih sama-sama menderita dulu: dia cepat sekali menghasilkan ''buku-kilat''. Yakni, buku yang temanya sedang hangat saat itu. Ada heboh Islam Jamaah, langsung terbit buku tentang kehebohan itu. Hangat, tipis, murah, laris. Dia juga pembaca buku yang tekun. Termasuk yang berbahasa Inggris.Kami juga sama-sama punya latar belakang sebagai aktivis di Pelajar Islam Indonesia (PII). Juga HMI. Juga sama-sama di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. Prof Sam Abede dan Agil H. Ali adalah senior kami. Secara pribadi, saya yang lebih sering merepotkan dia. Ketika saya tiba di Surabaya, saya nunut di rumah kos-kosannya di salah satu gang di Semut Kali Surabaya. Lalu, ketika dia harus pindah ke rumah kontrakan di Kertajaya Gang KA, saya minta dicarikan kontrakan di dekat-dekat situ. Saya belum begitu paham Surabaya. Maka, dia dapatkan sebuah rumah kecil untuk saya kontrak. Rumah itu terbuat dari setengah bata, setengahnya lagi papan. Lantainya semen. Tidak ada perabotan. Satu rumah dihuni tiga keluarga. Karena tidak ada saluran air PDAM, tiga rumah itu menggunakan satu sumur di tengah-tengahnya. Tiga keluarga itu juga harus menggunakan kamar mandi yang sama. Yakni, di Gang I C, Jalan Kertajaya, belakang pasar, tidak jauh dari rel kereta api.Dua tahun saya di situ sebelum pindah ke rumah kontrakan di Gubeng Airlangga Gang 4. Anshary kemudian bisa membeli rumah mungil. Dan kawin dengan istrinya yang sekarang. Dua anak diperolehnya yang kini sudah pada jadi sarjana dan bekerja.Anshary pribadi yang kuat, keras, dan memegang prinsip. Sebagian orang menilainya kaku. Ketika saya sudah dua kali menjabat ketua PWI Jatim, Anshary yang terpilih menggantikan saya.Tidak mengira, dalam hal kematian, dia mendahului saya.Selamat jalan Anshary. Toh kita akan ketemu lagi.

No comments: