Monday, August 24, 2009

IDEOLOGI RASA

Oleh: Valery Kopong*

BEDA, nama sahabat saya dari Flores (Adonara). Kami bertemu untuk pertama kalinya di Jakarta. Suatu sore, di bawah gemerlapnya sorotan sinar lampu kota, dengan langkah pasti ia berjalan menelusuri lorong-lorong kota untuk mencari makanan khas Flores. Dalam proses pencarian panjang, ia berjumpa dengan Warteg (warung tegal), Warsun (Warung Sunda), Warung Padang. Lama ia mencari tetapi pada akhirnya ia lelah dan bertanya kepada saya. Di mana letak warung Flores atau NTT yang menghidangkan cita rasa masakan NTT? Aku tersipu dan tersenyum malu karena selama sekian tahun berada di perantauan, tak satu pun orang NTT yang berada di perantauan memperkenalkan jenis-jenis makanan khas kepada publik. Ia pada akhirnya membeli sebungkus nasi yang dilengkapi dengan lauk-pauk di warung tegal. Kita terlalu ego, kataku dalam hati. Kita (orang NTT) selalu memendam rasa yang berbeda dan tak pernah disatukan oleh cita rasa makanan khas NTT.
Pencarian seorang Beda menunjukkan suatu perjuangan untuk mempertahankan aspek rasa lokal yang secara perlahan bisa diperkenalkan ke wilayah publik. Cita rasa yang tertampil lewat masakan khas daerah, terkesan sederhana tetapi lebih dari itu mereka memperkenalkan nama-nama daerah dan masyarakat pembeli dapat menilai, model kepribadian dari sang pemilik warung yang mewakili sebuah etnis secara kolektif. Upaya dalam mencari makanan yang dilakukan Beda, merupakan bentuk terobosan untuk mengenal wilayah-wilayah yang direpresentasikan melalui warung-warung tersebut. Bagi Beda, sebuah cita rasa diberi beban makna oleh pelbagai kekuatan rasa kedaerahan dan dalam cita rasa makanan tersimpan sebuah tanggung jawab dalam mempertahankan nilai khas yang merupakan warisan sejarah.
Tidak memiliki warung dan makanan khas daerah tidak membuat Beda berkecil hati. Ia malah dengan leluasa mencari dalam nilai rasa lain dan berjumpa dengan ciri khas masakan lain. Andaikata, ada warung Adonara, Manggarai, Maumere atau pun Timor, maka ia tak lagi memiliki kesempatan untuk mencari dan berjumpa dengan yang lain. Karena tidak memiliki warung di daerah perantauan maka ia dengan leluasa untuk berani keluar dari dirinya dan menyatu dengan orang-orang lain. Warung adalah ruang publik yang menyuguhkan pelbagai rasa bahkan para politisi mencoba untuk meramu suasana menjadi perdebatan politik sambil menikmati cita rasa daerah.
Memahami cita rasa makanan secara mendalam khas daerah dan bila dikaitkan dengan problematika yang menyerang dan mengganggu kedaulatan negara maka cita rasa kedaerahan perlu sedikit ditinggalkan sambil mecicipi makanan sesuai cita rasa nasionalitas. SBY barangkali memahami cita rasa ini. Ia dan para tim sukses mencoba meramu cita rasa nasional dan memperkenalkan diri melalui iklan milik indomie yang telah disunglap. Banyak perdebatan yang muncul bahwa presiden mencari sesuatu yang instan, yang serba praktis dalam memperkenalkan diri kembali ke hadapan publik. Dengan berlindung dibalik iklan indomie yang disunglap itu, sebenarnya ia (SBY) berpura-pura untuk bersikap adil terhadap semua daerah. Dalam catatan saya, SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden, ia baru dua kali ke wilayah NTT. Sebuah kunjungan yang sangat jauh dari nilai empati politik seorang pemimpin. Pertama kali ia mengunjungi Manggarai yang waktu itu terkena bencana. Kunjungan itu pun terkesan ada pemaksaan karena setelah dikritik. Dan kunjungan yang kedua adalah berkampanye di Kupang, itu pun dilakukan untuk mendulang suara. Masih adakah cita rasa seorang pemimpin yang menaruh perhatian pada NTT yang sudah telanjur “dibaptis” sebagai wilayah paling miskin dan terkorup? Berpijak pada cita rasa daerah, SBY bertolak ke cita rasa komersial yang ada dalam indomie. Ia (SBY) tentu tahu bahwa lewat cita rasa kedaerahan tidak menunjukkan solidaritas sebagai bangsa yang utuh. Ia berani merangkum masyarakat lewat “lilitan mie” kepedulian dan menyodok kesadaran masyarakat.
Kehidupan para capres dalam episode politik, memperlihatkan wajah yang penuh pura-pura, jauh dari cita rasa makanan yang tidak dimanipulasi. Atau meminjam bahasa iklan, “soal rasa, lidah tak bisa berbohong.” Momentum pemilu menghantar para capres untuk melakukan sebuah ziarah ke dalam wilayah masyarakat kecil sambil membawa slogan keberpihakkan pada mereka. Politik yang ditampilkan lebih berwajah “warteg,” di mana keberpihakkan berpura-pura melingkar di tengah kehidupan “wong cilik.”
Demokrasi yang hidup memang selalu mengalir dari rakyat tetapi apa artinya demokrasi yang hidup kalau hanya dihidupkan menjelang pilres? Kampanye politik hanyalah sebuah dagelan yang menggelikan tanpa memberi arti bagi kehidupan publik. Visi dan misi yang diusung adalah sesuatu yang biasa tetapi menjadi luar biasa bila sang pemimpin tidak sanggup menerjemahkan visi dan misinya ke dalam kehidupan praksis. Ia (visi-misi) hanyalah jargon politik yang bombastis dan menguap seketika bersama hembusan angin politik kekuasaan.
Tawaran Mega-Prabowo akan perubahan dan membangun ekonomi kerakyatan seakan merobek langit harapan orang-orang kecil. “Dari Bantar Gebang menuju istana,” dari dunia nista menuju tanah terjanji adalah komitmen sentral yang menggerakkan kesadaran orang-orang kecil yang terpinggirkan. Andaikata Mega-Prabowo terpilih, dapatkah mereka mengubah kehidupan para penghuni Bantar Gebang untuk menjadi lebih baik? Andaikata terwujud maka sampah-sampah terus menumpuk karena tidak ada lagi orang miskin yang sebelumnya mengkonsumsi sampah untuk dijadikan sebagai sumber ekonomi.
Kalla tak mau kalah. Berbekal semboyan “lebih cepat lebih baik” dapat memberikan suntikan bagi para pengusaha untuk berpihak padanya. Ia menggerakkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan otak sendiri, menggunakan ilmu sendiri dalam membangun kehidupannya. Sejauh mana negara memberi ruang kebebasan kepada masyarakat dan memberikan suntikan dana? Apakah BLT dapat dijadikan sebagai dana awal dalam membangun kehidupan ekonomi?
Para capres pandai membaca peluang dan meramu situasi politik yang selalu berpihak pada rakyat. SBY dalam iklannya terlihat cemas mengemis suara rakyat, sampai-sampai harus keluar masuk di warung-warung sederhana untuk menjumpai orang-orang kecil. Megawati-Prabowo selalu menjumpai masyarakat di pasar-pasar tradisional sebagai cara pintas dalam mengukuhkan keberpihakkan ekonomi rakyat. Sedangkan Kalla lebih sering menjumpai para Kiay dan Santri yang merupakan basis yang cukup berpengaruh dalam komunitas muslim.
Sebagai calon pemimpin, mestinya berani berbeda namun berani menerima perbedaan sebagai bagian integral dalam mewujudkan cita rasa masyarakat majemuk. SBY tidak hanya berkunjung saja pada warteg dan mencicipi makanan khas Jawa tetapi lebih dari itu berani mencari makanan khas daerah lain yang walaupun tidak terjual di warung-warung publik. Kalla tidak hanya mengunjungi pesantren saja tetapi sesekali bisa mengunjungi biara yang mewakili komunitas agama lain. Dan Mega tidak hanya berpihak pada kekuasaan saja tetapi lebih dari itu harus berpihak pada rakyat sehingga tidak dicap sebagai megawatilomania. Mungkinkah mereka bertarung dan menerima keberbedaan yang lain seperti Beda yang berani menyicip makanan khas lain karena tidak memiliki warung sendiri? Mengolah rasa tidak lebih dari mengolah sebuah ideologi yang selalu menjiwai nafas kehidupan seseorang.***

Thursday, May 28, 2009

JAM DINDING

Oleh: Valery Kopong*

Hampir setiap hari saya selalu melihat jam, entahkah jam dinding atau jam tangan. Bangun pagi aku diingatkan oleh detakan jam dinding yang menunjukkan waktu yang tak lama lagi untuk bergegas menuju tempat kerja. Demikian juga di tempat kerja, aku tak luput dari detakan dinding oleh jarum jam. Memang, membosankan apabila suasana terus berlanjut dalam rutinitas hidup manusia.
Setiap manusia selamanya berada pada rel waktu dan manusia terus diingatkan untuk memanfaatkan waktu secara efektif demi pengembangan diri, sesama dan pada akhirnya bermuara pada waktu keselamatan Allah sendiri. Ketika menjelang sengsaraNya, Yesus selalu mengingatkan para muridNya, saatKu hampir tiba, berjaga-jagalah dan berdoalah. Saat yang dimaksudkan di sini adalah waktu, di mana seorang anak manusia harus diserahkan pada tangan para algoju. Walaupun tidak ada jam dinding yang berdetak menemani saat menjelang sengsara Yesus, tetapi Ia tahu, berapa lama lagi jalan kesengsaraan harus ditapaki.
Waktu, saat yang paling genting akhirnya diterima Yesus dengan lapang dada. Tetapi dalam kemanusiaan Yesus, Ia berani berdoa dalam kesendirian dan ketakutan, “Ya Bapa, kalau mungkin biarlah piala ini berlalu daripadaKu tetapi bukan atas kehendakKu melainkan kehendak Dia yang telah mengutus Aku.” Yesus selalu menunggu saat, menunggu waktu yang pas untuk membiarkan diriNya terbawa dalam arus kehendak Allah. Sebagai manusia yang berada dalam ketakutan, tentunya ada pengharapan akan pembebasan diriNya dari belenggu maut yang bakal mengancam diriNya. “Kalau mungkin, biarlah piala ini berlalu…..” tetapi kuasa Allah lebih besar dan dalam waktu yang berbarengan, jalan kesengsaraan dijalani demi umat manusia yang ditebusNya.
Ketika mengikuti retret di Puspanita, sebuah pertanyaan sederhana tetapi mendesak yang dilontarkan oleh salah seorang panitia retret. “Apabila hidup Anda tinggal 3 hari lagi, apa yang harus engkau lakukan?” Pertanyaan yang terkesan menuding ini membuatku untuk menjawab dengan menuliskannya pada secarik kertas kusam. Apabila hidupku tinggal 3 hari lagi, yang kuperbuat adalah berbuat baik dengan orang lain. Konsep berbuat baik di saat-saat akhir menjadi momentum pembenahan diri sebagai bagian purifikasi diri tetapi lebih dari itu merupakan bentuk pertanggungjawaban hidup. Dalam refleksi yang bernas, ada sebuah kejujuran yang mengental yaitu bahwa setiap manusia perlu bebas dari tekanan tanggung jawab dan dalam “terowongan pertanyaan” yang sama, secara individual sepertinya tergiring untuk masuk ke dalam ruang ketakutan. Tetapi pertanyaan yang diberikan untuk digumuli secara massal maka di sini, ada penegasan kolektif yang seakan menyembunyikan “pemberontakan akhir.”
Melalui puisi Aku, Chairil Anwar pun mengumandangkan kemerdekaan Akunya, Aku yang lepas bebas, Aku yang berani. Namun juga seorang Chairil Anwar ternyata membutuhkan sebuah kelompok, sebuah angkatan, yang siap bersamanya mengangkat suara, agar suaranya sendiri boleh lenyap dalam kebersamaan itu. Dia membutuhkan dan karena itu membentuk sebuah angkatan, yang bersamanya siap mengangkat kepala, supaya kalau hendak dicerca masyarakat karena gagasan individualisme itu, bukan cuma kepalanya sendiri yang dilihat dan dibacok. Chairil mengungkapkan sebuah kerinduan untuk menjadi Aku, namun menyadari perlunya sebuah tembok pelindung bernama kelompok, massa, nafas zaman.
Yesus sendiri, dalam pergulatanNya, secara implisit mengharapkan dukungan dari kelompok muridNya sendiri melalui doa. “Berjaga-jagalah dan berdoalah….” Doa dari murid-muridNya, selain supaya terbebas dari godaan dan dosa tetapi bahwa Yesus melihat doa sebagai pangkal dan benteng terakhir dalam menghadapi sakratul maut. Saat-saat kritis, Ia berdoa dalam kesendirian untuk menunjukkan bahwa pola relasi dengan BapaNya tidak hanya dibangun pada saat-saat normal namun dalam suasana genting pun doa menjadi ‘bekal sandaran’ dalam memaknai “via dolorosa.”
Kristus mengambil waktu yang pas, yang walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan bagiNya namun melalui momentum derita itu Ia selalu mengajarkan tentang bagaimana menghargai waktu. Saat itu, waktu itu, Ia tidak menunda lagi proses penderitaan yang bakal dijalani. Hanya dalam waktu, Ia merunduk pasrah dalam balutan kecemasan. Seluruh hidup Yesus dimulai dalam waktu dan berakhir pada waktunya. Ketika di atas salib, Ia mempertanggungjawabkan seluruh karya dan proses penderitaan yang dijalaniNya. “Bapa, selesailah sudah……” Pada saat itu Ia merunduk kaku di atas salib dan menghembuskan nafas terakhir.
Tidak ada jam dinding yang setia mengontrol seluruh perjalanan hidup Yesus. Namun demikian, dalam waktu yang tidak diwarnai dengan gesekan jarum jam, Ia memulai dan mengakhiri seluruh karyaNya dalam genggaman waktu. Barangkali, suatu saat kita pun mempertanggungjawabkan seluruh perbuatan kita di hadapan Allah dalam waktu yang sama. “Bapa, selesailah sudah…..***

MARIA DAN EMPATI SOSIAL

Oleh: Valery Kopong*

Ketika almahrum, Pater Sareng Oringbao, SVD menggagas sebuah pahatan patung Maria dengan mengenakan pakaian adat Sikka-Maumere-Flores, mengundang reaksi dari banyak pihak. Ada perdebatan yang muncul di permukaan silang pendapat. Ada yang mengatakan bahwa pakaian Bunda Maria adalah simbol religius yang dapat merangkul semua orang di bawah kepakan mantel sang Bunda, karena itu pakaiannya tidak perlu digantikan oleh pakaian bermotif lokal.
Perdebatan tentunya berlanjut, tetapi dalam kisaran waktu yang lama, pada akhirnya semua pihak menerima keberadaan patung Maria dalam komunitas biara yang terletak di atas bukit teduh itu. Orang-orang yang bersilang pendapat bahkan bersitegang dengan sang penggagas, pada akhirnya memahami arah idealisme sang pencetus. Satu alasan sederhana dari sang pastor dan antropolog itu yakni bahwa sudah waktunya kita mewajahkan wajah Maria dengan wajah seorang ibu dari Asia. Dengan proses perwajahan ini secara implisit menggambarkan sebuah kepedulian dalam menerima pribadi Maria sebagai bagian dari hidup manusia terutama orang-orang Asia (Indonesia). Bunda Maria yang sebelumnya dirasa jauh jaraknya, tetapi sekarang, dengan modifikasi patung Maria yang mengenakan pakaian daerah, seakan membuka jalan bagi orang kampung untuk berdoa sambil tidak segan-segan mengungkapkan segala persoalan hidup.
Kepribadian Bunda Maria selalu memperlihatkan nilai empati sosial yang sangat kuat. Dalam pesta perkawinan di Kana misalnya, Maria selalu mau bersolider dengan tuan pesta untuk kemudian memperkenalkan Yesus ke hadapan umum dalam peristiwa pengubahan air menjadi anggur. Mujizat pertama yang dilakukan Yesus dapat terselenggara karena kehadiran dan peran serta Maria. Kehadirannya di tengah pesta membawa daya pengubah, yang pada akhirnya setiap undangan berhak menikmati anggur kebaikan yang datang dari sang Ilahi.
Ada beberapa nilai kebaikan sekaligus empati sosial yang perlu dipelajari dari Sang Bunda yaitu: pertama, sikap tanggap darurat. Apabila merujuk pada momentum perkawinan di Kana, jelas terlihat bahwa sikap yang ditunjukkan Maria adalah sikap tanggap darurat. Dikatakan demikian karena dalam hitungan waktu singkat, Maria dapat membantu dalam proses penyelesaian masalah kekurangan anggur bagi tuan pesta. Memang, menanggap situasi darurat seperti yang dialami oleh Maria adalah sesuatu yang tidak mudah. Maria, dengan gaya diplomasi otentik, mencoba untuk memahami kekurangan yang dihadapi oleh tuan pesta. Kedua, memperkenalkan Yesus di hadapan umum. Peristiwa Kana barangkali dilihat sebagai peristiwa publik di mana komunitas yang turut serta dalam pesta dapat mewakili umat manusia lain yang dapat menikmati hasil mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus kepada dunia.
Mukjizat perdana pada pesta perkawinan di Kana merupakan hasil rancangan Allah sendiri. Ia mau memperlihatkan Yesus di hadapan publik melalui Maria. Di sini, Maria dilihat sebagai pintu masuk atau gerbang Ilahi yang siap memperkenalkan Yesus kepada siapa saja yang melewati gerbang dunia ini. Tindakan untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik adalah bagian dari rasa cinta Maria terhadap manusia. Apa yang dilakukan oleh Maria untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik merupakan suatu gerakan Allah untuk keluar dari diriNya dan terlibat dalam suasana pesta. Allah adalah penantang, pendobrak, pembebas dan pencinta. CintaNya kepada manusia adalah cinta yang menantang, membebaskan dan mengubah.
Para ekseget berpendapat bahwa kehadiran Maria di tengah pesta, dia tidak hanya datang sebagai seorang undangan biasa tetapi lebih dari itu Ia adalah bagian dari anggota keluarga si tuan pesta. Dugaan ini kuat mengemuka bertitik tolak dari keterlibatan Maria saat berurusan dengan keluarga ketika menghadapi kekurangan anggur. Secara rasional dapat dikatakan bahwa rasa empati sosial Maria dapat muncul karena adanya unsur kedekatan dengan pemilik pesta.
Melalui mukjizat pertama itu, Allah mau berbicara kepada dunia tentang pengalaman pesta di Kana menjadi pesta umum, pesta rakyat di mana setiap orang dipuaskan oleh anggur terbaik. Dengan menikmati minuman berharga itu, kualitas pesta semakin bernilai di mata para undangan. Apakah kita sekarang yang membaca kembali teks Kitab Suci tentang perkawinan di Kana, seperti siapa kita memposisikan diri? Sebagai tuan pesta yang cemas saat mengalami kekurangan anggur? Ataukah sebagai Maria yang selalu membuka diri bagi keselamatan orang lain? Di sini, Maria menyadari “pentingnya menjadikan orang lain penting” terutama tuan pesta. Dalam bulan Mei sebagai bulan rosario ini kita diajak untuk merenungkan kisah keterlibatan Maria dalam diri dan masyarakat kita. Patung Maria seperti dalam kisah di atas, tidak hanya menjadi monopoli kelompok tertentu, namun kita juga membiarkan Maria masuk ke dalam keluarga dan kita berani menawarkan pakaian bermotif lokal daerah kita untuk dikenakan olehnya. Tetapi dalam proses menawarkan dan memberikan pakaian bermotif lokal kepada Maria, kita terbentur pada sebuah pertanyaan sederhana, untuk apa dan mengapa?**

TITIAN HIDUP

Oleh: Valery Kopong*

“Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas untuk dijalani.” Barangkali benar bahwa ketika menjalani hidup terkadang dilihat sebagai sebuah rutinitas maka ada bahaya yang muncul yaitu kita terjebak dalam sebuah rutinitas yang membosankan. Orang tidak melihat pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari panggilan hidup tetapi lebih dari itu hanya sekedar untuk mengisi waktu. Untuk apa kita perlu mempertanyakan tentang hidup dan kehidupan ini? Lakon hidup apa yang harus aku lakonkan di bawah terik matahari abadi? Tetapi hidup dan kehidupan yang beragam selalu mewarnai perjalanan ini, yang kaya tetap bertahan dengan kemewahannya dan orang-orang miskin tidak takut lagi menghadapi kemiskinan dirinya.
Ketika membaca dan merenungkan perumpamaan yang ada dalam kitab suci, hatiku menjadi tenang dan percaya diri dalam menjalani hidup ini. Salah satu perumpamaan yang menarik dan menjadi sabda peneguh hidupku adalah: “Lihatlah burung-burung di udara yang tidak bekerja tetapi tak satu pun mati kelaparan. Lihatlah bunga bakung yang begitu indah dan Salomo yang dalam kemewahannya pun kalah dari bunga bakung itu.” Perumpamaan ini menjadi sumber inspirasi dalam proses pertarungan hidup ini. Yang miskin tetap berusaha mengais segumpal rezeki di tong-tong sampah untuk mempertahankan hidup. Tempat-tempat sampah barangkali dilihat sebagai bagian dari Allah menabur rezeki untuk burung-burung (baca: orang-orang miskin) yang kehilangan harapan dengan perputaran roda zaman. Allah tidak mau mereka terhempas tak berdaya di tepian pertarungan hidup. Kehadiran mereka di tengah-tengah kota sebagai praisyarat pada orang-orang kaya untuk mengafirmasi diri sebagai orang kaya karena tanpa mereka tidak ada titik pembeda yang tegas.
Perumpamaan yang dilontarkan oleh Yesus memiliki daya magnetis dan sekaligus memberikan daya rangsang pada orang-orang yang sedang berputus asa dan menderita kelaparan untuk bangkit dari ketakberdayaan sembari menatap sebuah “fatamorgana harapan.” Tetapi apakah dalam kondisi yang lapar, mereka yang menderita dikenyangkan oleh sabda dan perumpamaan yang selalu menggema? Seberapa jauh mereka dapat mengalami sentuhan kasihNya?
Penderitaan yang mendera kehidupan manusia, terutama saat-saat di mana manusia kehilangan daya dalam menggapai kehidupan ekonomi yang layak, perumpamaan ini layak untuk dijadikan sebagai hiburan yang menjanjikan. Tetapi tidak hanya menjadi perumpamaan ini sebagai patokan melainkan Kristus dijadikan sebagai landasan dasar dalam menjalani hidup ini. Dalam diri Yesus, seluruh keterputusasaan manusia selalu tercarikan jalan keluarnya. Dalam diri Yesus tertemukan nilai-nilai perjuangan hidup. Ia mengalami dua situasi yang berbeda, situasi Tabor dan Golgota. Peristiwa Tabor memperlihatkan sebuah suasana hidup yang baik dan menjanjikan sebuah masa depan dan peristiwa Golgota memperlihatkan sebuah pergulatan hidup yang penuh penderitaan. Dua situasi inilah yang membuka kemungkinan bagi kita untuk memahami bahkan mengambil situasi tersebut dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup. Dalam iman, peristiwa Golgota tidak mengalami titik stagnasi tetapi menjanjikan harapan baru akan sebuah kebangkitan.
Masyarakat miskin tidak dilihat sebagai “penghuni tetap di titian hidup Golgota” tetapi mereka sedang menunggu sebuah kebangkitan baru yang lebih menjanjikan. Mereka juga tidak hanya memuaskan diri dalam “ruang perumpamaan semu” tetapi melalui perumpamaan ini, sebenarnya Yesus menampilkan sebuah proses pembelajaran hidup. Di dalam perumpamaan itu orang dipacu untuk berpikir, untuk pada akhirnya menilai situasi, menentukan keputusan sendiri dan mulai bertindak. Seperti burung-burung yang berkeliaran di alam bebas tanpa tuan, mereka tidak pernah mengalami kelaparan. Allah sendiri sebagai yang Empunya semesta memberikan makanan lewat tanaman-tanaman yang tumbuh liar di sepanjang hidup mereka. Bukankah manusia lebih berharga daripada burung-burung di udara?
Ketika mendirikan sebuah biara di Jerman, Arnold Janssen, sepertinya menjadi figur yang perlu ditertawakan. Mengapa? Karena ia sendiri mendirikan sebuah biara tanpa adanya modal uang. Bagaimana mungkin mendirikan sebuah biara tanpa adanya uang untuk menopang perjalanan biara? Inilah kata-kata pesimis yang datang, baik dari kalangan biarawan maupun awam. Tetapi hanya ada satu keyakinan bahwa Allah Tri Tunggal pasti menyertainya dalam karya misionernya. Bagi dia, “uang masih ada di saku orang.” Itu berarti bahwa ia yakin, Tuhan akan memberikan jalan untuk menghidupkan biara dan sesama yang peduli pasti memberikan sumbangan untuk kelanjutan biaranya. Karena ketekunan dalam doa-doa dan menaruh harapan yang kuat maka pada akhirnya ia mendirikan tiga biara besar yang dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan iman umat manusia sejagat.***
Tuhan membekaskan
telapak peringatanNya
pada debu refleksiku
memapah jejak kakiku
menelusuri lorong kota sepi
pada ujung lelah sebuah pendakian
dengan jantung setengah berdenyut
kudapati tikaman terakhir dariNya
tikaman pedang bermakna kata