Thursday, May 28, 2009

MARIA DAN EMPATI SOSIAL

Oleh: Valery Kopong*

Ketika almahrum, Pater Sareng Oringbao, SVD menggagas sebuah pahatan patung Maria dengan mengenakan pakaian adat Sikka-Maumere-Flores, mengundang reaksi dari banyak pihak. Ada perdebatan yang muncul di permukaan silang pendapat. Ada yang mengatakan bahwa pakaian Bunda Maria adalah simbol religius yang dapat merangkul semua orang di bawah kepakan mantel sang Bunda, karena itu pakaiannya tidak perlu digantikan oleh pakaian bermotif lokal.
Perdebatan tentunya berlanjut, tetapi dalam kisaran waktu yang lama, pada akhirnya semua pihak menerima keberadaan patung Maria dalam komunitas biara yang terletak di atas bukit teduh itu. Orang-orang yang bersilang pendapat bahkan bersitegang dengan sang penggagas, pada akhirnya memahami arah idealisme sang pencetus. Satu alasan sederhana dari sang pastor dan antropolog itu yakni bahwa sudah waktunya kita mewajahkan wajah Maria dengan wajah seorang ibu dari Asia. Dengan proses perwajahan ini secara implisit menggambarkan sebuah kepedulian dalam menerima pribadi Maria sebagai bagian dari hidup manusia terutama orang-orang Asia (Indonesia). Bunda Maria yang sebelumnya dirasa jauh jaraknya, tetapi sekarang, dengan modifikasi patung Maria yang mengenakan pakaian daerah, seakan membuka jalan bagi orang kampung untuk berdoa sambil tidak segan-segan mengungkapkan segala persoalan hidup.
Kepribadian Bunda Maria selalu memperlihatkan nilai empati sosial yang sangat kuat. Dalam pesta perkawinan di Kana misalnya, Maria selalu mau bersolider dengan tuan pesta untuk kemudian memperkenalkan Yesus ke hadapan umum dalam peristiwa pengubahan air menjadi anggur. Mujizat pertama yang dilakukan Yesus dapat terselenggara karena kehadiran dan peran serta Maria. Kehadirannya di tengah pesta membawa daya pengubah, yang pada akhirnya setiap undangan berhak menikmati anggur kebaikan yang datang dari sang Ilahi.
Ada beberapa nilai kebaikan sekaligus empati sosial yang perlu dipelajari dari Sang Bunda yaitu: pertama, sikap tanggap darurat. Apabila merujuk pada momentum perkawinan di Kana, jelas terlihat bahwa sikap yang ditunjukkan Maria adalah sikap tanggap darurat. Dikatakan demikian karena dalam hitungan waktu singkat, Maria dapat membantu dalam proses penyelesaian masalah kekurangan anggur bagi tuan pesta. Memang, menanggap situasi darurat seperti yang dialami oleh Maria adalah sesuatu yang tidak mudah. Maria, dengan gaya diplomasi otentik, mencoba untuk memahami kekurangan yang dihadapi oleh tuan pesta. Kedua, memperkenalkan Yesus di hadapan umum. Peristiwa Kana barangkali dilihat sebagai peristiwa publik di mana komunitas yang turut serta dalam pesta dapat mewakili umat manusia lain yang dapat menikmati hasil mukjizat yang diperlihatkan oleh Yesus kepada dunia.
Mukjizat perdana pada pesta perkawinan di Kana merupakan hasil rancangan Allah sendiri. Ia mau memperlihatkan Yesus di hadapan publik melalui Maria. Di sini, Maria dilihat sebagai pintu masuk atau gerbang Ilahi yang siap memperkenalkan Yesus kepada siapa saja yang melewati gerbang dunia ini. Tindakan untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik adalah bagian dari rasa cinta Maria terhadap manusia. Apa yang dilakukan oleh Maria untuk memperkenalkan Yesus ke hadapan publik merupakan suatu gerakan Allah untuk keluar dari diriNya dan terlibat dalam suasana pesta. Allah adalah penantang, pendobrak, pembebas dan pencinta. CintaNya kepada manusia adalah cinta yang menantang, membebaskan dan mengubah.
Para ekseget berpendapat bahwa kehadiran Maria di tengah pesta, dia tidak hanya datang sebagai seorang undangan biasa tetapi lebih dari itu Ia adalah bagian dari anggota keluarga si tuan pesta. Dugaan ini kuat mengemuka bertitik tolak dari keterlibatan Maria saat berurusan dengan keluarga ketika menghadapi kekurangan anggur. Secara rasional dapat dikatakan bahwa rasa empati sosial Maria dapat muncul karena adanya unsur kedekatan dengan pemilik pesta.
Melalui mukjizat pertama itu, Allah mau berbicara kepada dunia tentang pengalaman pesta di Kana menjadi pesta umum, pesta rakyat di mana setiap orang dipuaskan oleh anggur terbaik. Dengan menikmati minuman berharga itu, kualitas pesta semakin bernilai di mata para undangan. Apakah kita sekarang yang membaca kembali teks Kitab Suci tentang perkawinan di Kana, seperti siapa kita memposisikan diri? Sebagai tuan pesta yang cemas saat mengalami kekurangan anggur? Ataukah sebagai Maria yang selalu membuka diri bagi keselamatan orang lain? Di sini, Maria menyadari “pentingnya menjadikan orang lain penting” terutama tuan pesta. Dalam bulan Mei sebagai bulan rosario ini kita diajak untuk merenungkan kisah keterlibatan Maria dalam diri dan masyarakat kita. Patung Maria seperti dalam kisah di atas, tidak hanya menjadi monopoli kelompok tertentu, namun kita juga membiarkan Maria masuk ke dalam keluarga dan kita berani menawarkan pakaian bermotif lokal daerah kita untuk dikenakan olehnya. Tetapi dalam proses menawarkan dan memberikan pakaian bermotif lokal kepada Maria, kita terbentur pada sebuah pertanyaan sederhana, untuk apa dan mengapa?**

0 komentar: