Monday, September 21, 2009

J A N J I

Oleh: Valery Kopong*

“Di sebuah paroki di Wina, Austria, terjadi sebuah peristiwa yang membahagiakan tetapi mengundang keanehan. Satu pasangan suami-isteri meresmikan pernikahannya secara gerejani tepat pada saat mereka merayakan HUT ke 25 pernikahan mereka secara sipil. Putra tunggal mereka berusia 23 tahun. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bagi sementara orang membuat sebuah keputusan untuk mengikatkan diri secara abadi pada sesuatu, dengan seseorang tidaklah mudah.”
Model pernikahan di atas menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan sebuah kedalaman hati bagi pasangan masing-masing. Dalam rentang waktu 25 tahun hidup di bawah naungan perkawinan sipil, tentu mereka melakukan sebuah refleksi panjang dan mendalam tentang nilai-nilai perkawinan apa yang mau dipersembahkan mereka untuk Tuhan. Bahwa janji untuk hidup semati, setia dalam untung dan malang, merupakan sebuah penggalan hidup yang telah mereka lakoni, sebelum janji itu diikrarkan di altar suci. Bagi mereka, pengalaman suka-duka dalam hidup menjadi landasan baku dan menjadi alasan untuk bergembira dan sebuah kado terindah yang dipersembahkan untuk Tuhan dalam ikrar perkawinan sakramental. Terhadap pasangan yang mengikrarkan janji pada 25 tahun usia perkawinan sipil, memberikan sebuah nokta pertanyaan, apa artinya sebuah janji?
Mengikrar sebuah janji yang membawa sebuah konsekuensi, mengantar kita yang telah dan sedang dalam proses berkeluarga untuk memahami secara bernas akan nilai dan esensi janji itu. Janji tidak hanya menjadi sebuah permainan yang mengasyikan karena hal ini akan mengundang bahaya bahwa penghayatan orang akan janji menjadi kabur makna dan pada akhirnya janji yang merupakan daya ikat tetapi ternyata membawa daya pisah. Dalam drama tragedinya Hamlet, Pangerang Denmark bertanya: Apa artinya sebuah janji? Apa artinya sebuah janji yang pernah diucapkan oleh ibunya kepada ayahnya untuk tidak akan menikah lagi kalau ayah, sang raja itu meninggal? Pertanyaan mendasar ini mengatakan kepada publik bahwa mahalnya sebuah janji dan perlu adanya cara dalam mempertahankannya. Janji berperan sebagai roh yang sanggup menggerak seluruh kesadaran bagi pasangan yang mengikrar janji untuk memahami eksistensi makna dari apa yang diucapkan di sepanjang perjalanan hidup. Apakah nilai sebuah janji terutama perkawinan akan berakhir tatkala salah satu pasangan itu meninggal dunia? Peristiwa meninggalnya salah satu pasangan suami-isteri tidak menjadi alasan dalam pembatalan sebuah esensi janji tersebut. Max Scheller, etikawan Jerman pernah mengatakan bahwa ketika kita mengatakan cinta kepada orang lain, sama halnya dengan mengatakan cinta itu tak akan pernah mati. Di sini, Scheller seakan memburai pemahaman kita akan janji yang sekian banyak ternoda oleh pola tingkah laku yang secara tidak langsung memberikan nokta hitam pada apa yang dijanjikan. Ia (Scheller) dengan gagasan sederhana di atas, menawarkan rasa sanggup kita untuk coba memahami nilai rasa sebuah janji.
Seorang sahabat saya pernah bercerita bahwa suatu ketika isterinya menyadari diri sebagai orang yang tak berarti lagi di hadapan suami dan anaknya karena telah melakukan perselingkuhan. Dia mengatakan, “Pak, aku tidak berarti lagi, aku bagai sampah. Aku tidak layak lagi disebut sebagai isteri.” Dengan santun, suaminya yang dikenal sabar mengatakan bahwa, tidak apa-apa, ibu masih berharga di mata saya. Sampah bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos. Ibu akan didaur ulang untuk menjadi manusia yang baik dan berharga di mata semua orang. Aku terkesima mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatku terhadap isterinya. Bahwa karena cinta dan janji suci, apa pun bentuk kesalahan yang dilakukan isterinya dimaafkan secara terbuka sambil menata kehidupan ke depan secara lebih baik. Mungkinkah kita sanggup menempatkan diri sebagai seorang pendaur ulang terhadap kehidupan salah satu pasangan yang barangkali pola tingkah lakunya tidak sesuai jalur yang benar?
Dalam konteks perkawinan katolik yang sifatnya monogam, setidaknya diberi pemahaman secara baru yang dilakukan secara terus-menerus agar para pengucap janji menyadari diri dalam mempertanggung-jawabkan janji itu secara baik. Persoalan-persoalan tentang perkawinan katolik semakin marak terjadi saat ini. Ketika salah satu pasangan melakukan sedikit kesalahan maka hal tersebut membawa dampak yang tidak baik bahkan berujung pada perpisahan (kalau tidak disebut sebagai perceraian). Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mendatangkan kelanggengan dalam berumah tangga, pertama, perlu adanya pemahaman secara baik tentang nilai dan esensi sebuah perkawinan katolik. Pemahaman ini harus di tata secara beruntun sehingga setiap pasangan tetap menyadari hal tersebut. Kedua, berani menerima pasangannya apabila pasangan tersebut melakukan kesalahan dan ada keberanian dalam menolak sebuah perceraian.
Dalam wilayah YBHK, ada beberapa kasus yang dapat dikatakan sebagai perceraian terselubung, di mana pasangan tersebut hidup terpisah. Bahkan ada yang berani menikah lagi tetapi dilegalkan di luar gereja katolik. Persoalan ini merupakan keprihatinan bersama yang mungkin juga perlu disikapi oleh pihak yayasan. YBHK bukan lembaga religius tetapi dapat memberikan kontribusi terutama daya dorong agar pasangan-pasangan yang tercerai dapat dihimpun kembali. Saya juga mendengar bahwa dalam PUY yang baru direvisi, salah satu point juga berbicara tentang permasalahan perkawinan ini. Hal ini dapat dilihat sebagai bagian dari keterlibatan YBHK dalam menekan angka perceraian yang sedang menghantui pasangan-pasangan yang barangkali masih mencari identitas diri dan keluarga.
Andaikata model perkawinan di Wina, Austria diterapkan di Indonesia, maka apa yang terjadi? Dapatkah orang bertahan di usia 25 tahun dalam perkawinan sipil dan di usia yang sama itu mereka mengikrarkan janji untuk sebuah perkawinan sakramental? Jawabannya adalah mungkin tetapi ingatlah bahwa “apa yang disatukan oleh Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia.” Kemiskinan yang terburuk, demikian Muder Teresa adalah kesepian dan merasa tidak dicintai lagi***
ASA BOCAH KARDUS
Oleh: Lucee Octavia
Seorang anak berlari keluar kelas dengan gembiranya menuju lapangan, diikuti dengan teman-temannya yang lain. Mereka melompat kegirangan, saling tertawa, saling bersalaman, hingga ada juga yang saling berpelukan. Mereka semua larut dalam kegembiraannya setelah mendapat pengumuman bahwa mereka semua dinyatakan LULUS.
Dito, salah satu dari mereka, begitu terharunya. Bagaimana tidak? Dito yang berasal dari keluarga yang teramat sederhana, dibesarkan dalam ruang lingkup perkampungan pemulung, dengan kehidupan yang “keras” dimana ia sempat putus asa karena keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus terhenti karena keadaan ekonomi keluarganya yang tidak memungkinkan. Kini ia telah berhasil lulus SMK, dengan hasil yang cukup memuaskan. Di usianya yang kini telah menginjak 20 tahun, bisa dibilang telat untuk lulus dari jenjang sekolah menengah lanjutan atas, namun Dito, yang awalnya sempat putus asa, kini dapat tersenyum bahagia, berkat “SEKOLAH GRATIS”.
Selepas pulang sekolah, masih dengan suasana hati yang gembira karena telah lulus sekolah, ditengah jalan ketika hendak mnuju ke rumahnya, ia diingatkan pada sebuah kisah kelam masa lalunya. Pada saat itu, di perempatan jalan, ia melihat sesosok anak kecil yang sedang mengorek-ngorek tempat sampah, seperti sedang mencari barang bekas yang sekiranya masih dapat berguna & bisa dijual kembali atau di loak-an. Sejenak ia termenung, terpaku dalam lamunannya setelah menatap sosok anak kecil tersebut. Kejadian itu kontan membawanya pada keadaan 5 tahun yang lalu. Saat itu, setelah tamat SMP, keinginannya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi harus terhenti. Hal ini dikarenakan oleh permasalahan ekonomi yang dihadapi keluarganya. Orang tuanya tidak sanggup lagi membiayai sekolah Dito. Bahkan adiknya, Dian, terpaksa harus putus sekolah 1 bulan sebelum mengikuti ujian akhir sekolah untuk SD, pada saat itu Dian duduk di kelas 6 SD. Orang tuanya tak mampu membiayai ujian adiknya, maka dengan terpaksa, Dian tidak mengikuti ujian akhir SD & tidak melanjutkan sekolahnya lagi. Ditto & Dian pun akhirnya membantu kedua orangtuanya mencari nafkah. Dito menjadi pemulung yang berkeliling dari komplek perumahan hingga kampong ke kampong, sedangkan Dian membantu Dito memilah barang-barang hasil dari Dito memulung seperti kardus, botol aqua, gelas aqua dan sebagainya, untuk kemudian dijual ke tukang loak. Dari cara seperti itulah mereka mendapatkan uang untuk biaya kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

Suatu ketika, pada saat memulung di tempat di komplek perumahan, ditto bertemu dengan seorang perempuan yang bernama Irene. Irene ini adalah seorang mahasiswi jurusan psikologi di salah satu universitas ternama di Indonesia. Irene juga seorang aktifis sosial, yang tergabung dalam lembaga sosial yang peduli terhadap pentingnya sebuah pendidikan bagi anak-anak generasi penerus bangsa. Irene pun tak sungkan ataupun malu menyapa Dito. Dito pun membalasnya dengan hangat. Mereka saling berbincang. Tak terasa sudah jam 12.00 siang. Irene pun menawarkan Dito untuk makan siang bersama di rumahnya yang kebetulan tak jauh dari tempat mereka berjumpa. Dito yang awalnya malu & merasa minder, akhirnya menerima tawaran Irene untuk makan siang bersama. Tak lama berselang, sesampainya di rumah Irene, mereka langsung menuju ke ruang makan, kebetulan pembantu Irene telah menyiapkan makan siang untuk keluarga Irene seperti biasa. Lalu mereka pun makan bersama. Setelah makan, masih di ruang makan, mereka kembali berbincang-bincang, mulai dari keadaan Dito & adiknya yang tidak melanjutkan sekolah lagi hingga keadaan lingkungan tempat tinggal Dito. Dito juga bercerita bahwa di daerah tempat tinggalnya, ada beberapa teman-temannya yang juga tidak dapat melanjutkan sekolahnya, namun mereka pada dasarnya sangat ingin sekali menimba ilmu. Di daerah tempat tinggalnya juga terdapat preman yang terkadang suka meminta sebagian dari uang hasil jerih payah anak-anak, baik itu dari hasil mengamen, meng-iba, hingga hasil dari penjualan barang bekas hasil memulung. Bila mereka tidak memberikan setoran kepada preman-preman tersebut, mereka akan terus diganggu oleh preman tersebut.
Betapa kerasnya kehidupan yang dijalani oleh anak-anak tersebut. Tak terasa, cukup lama mereka berbincang, dari seluruh pembicaraan mereka berdua, Irene melihat adanya keinginan dan kerinduan dari anak-anak seperti Dito & Dia untuk menuntut ilmu demi meraih secercah harapan di masa depan untuk menjadi lebih baik lagi dalam segala hal.
Waktu menunjukkan pukul 15.00, Dito menyadari bahwa dirinya telah terlalu lama meninggalkan Dian yang telah menunggu hasil memulungnya untuk dipilah-pilah. Dito pun berpamitan pada Irene. Tak tega melihat Dito pulang sendirian, Irene pun menawarkan diri untuk mengantar Dito sampai ke tempat tujuannya.

Sesampainya di daerah rumah Dito yang berada di pemukiman pemulung, Dito pun disambut oleh adiknya, Irene pun dikenalkan Dito kepada Dian. Di tempat itu, terdapat beberapa anak yang sedang mengumpulkan barang-barang bekas hasil dari mereka memulung, lalu ada juga yang sedang duduk-duduk berkelompok dengan peralatan bermusiknya nampak sedang menghitung uang hasil dari mengamennya. Pemandangan seperti itu sudah biasa terjadi dalam keseharian mereka. Hari sudah larut sore menjelang petang, setelah melihat-lihat keadaan sekitarnya dan bertegur sapa dengan masyarakat sekitar, Irene pun berpamitan kepada Dito & keluarganya, dan juga dengan anak-anak sekitarnya.
Sesampainya di rumah, Irene menelpon Iwan. Iwan merupakan teman Irene, mereka sama-sama berkecimpung dalam sebuah lembaga sosial yang peduli terhadap pentingnya pendidikan. Irene menceritakan secara garis besar tentang apa yang baru saja dilihatnya. Kemudian Irene mengajak Iwan untuk bertemu di rumahnya untuk membicarakan hal tersebut lebih lanjut, Iwan pun bersedia menyanggupinya. Keesokan harinya, Iwan berkunjung ke rumah Irene. Lalu mereka pun saling berbincang mengenai hal-hal apa saja yang sekiranya dapat memberikan manfaat bagi anak-anak pemulung & anak-anak jalanan tersebut. Setelah sekian lama berbincang, akhirnya mereka pun sepakat untuk memberikan bantuan kepada anak-anak tersebut dalam bentuk pendidikan. Kebetulan Irene dan Iwan juga sudah berpengalaman dalam hal seperti ini, walaupun pada awalnya mereka sempat meragukan dengan keberadaan mereka di tempat itu nantinya, apakah masyarakat sekitarnya menerima mereka atau tidak. Namun kecintaan serta kepedulian Irene & Iwan terhadap pendidikan anak bangsa, membuat mereka tetap maju terus pantang mundur dalam menjalankan hal tersebut.
Esok harinya, Irene mengajak Iwan untuk mengunjungi lokasi pemukiman pemulung, tempat dimana Dito, Dian, dan anak-anak lainnya tinggal. Kemudian setibanya mereka disana, Iren dan Iwan mendapati Dito, Dian dan beberapa anak lainnya sedang melakukan aktifitas seperti biasannya, memilah barang bekas, mengunpulkan kardus-kardus bekas, hingga mengumpulkan hasil jerih payah mereka dari mengamen. Irene dan Iwan saling berkenalan kepada anak-anak itu, mereka saling bertegur sapa. Setelah saling berbincang, Irene dan Iwan melanjutkannya dengan melihat-lihat keadaan lingkungan sekitar dengan ditemani oleh Dito. Dito mengajak Irene dan Iwan untuk bertamu ke rumah pak RT setempat. Kedatangan Irene dan Iwan ke lokasi tersebut, disambut dengan baik oleh pak RT. Setelah berbincang-bincang cukup lama, dan mengutarakan maksud dan tujuannya ke tempat tersebut, mereka pun berpamitan pulang. Dari hasil pertemuan itu, nampaknya menemui hambatan walaupun pada awalnya kedatangan mereka disambut dengan baik. Namun, sepertinya Irene dan Iwan berniat melanjutkan niatnya utnuk membantu Dito dan kawan-kawannya.
Hari berganti hari, Irene dan Iwan kembali menyambangi anak-anak tersebut, mereka kembali bertemu dengan Dito dan Dian. Secara bertahap Irene dan Iwan memberikan sedikit pengajaran ketrampilan kepada Dito dan Dian tersebut. Dengan berbekal ijin dari seorang pak Haji yang bersedia meminjamkan tempat untuk sarana belajar anak-anak tersebut. Seiring berjalannya waktu, kedatangan Irene dan Iwan yang bertujuan ingin memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada anak-anak di daerah tersebut, ternyata mendapatkan sedikit pertentangan dari beberapa pihak, terutama dari preman-preman sekitar. Hal ini disebabkan karena preman-preman sekitar tidak suka dengan hal-hal yang dapat membuat anak-anak tersebut menjadi pintar, karena secara tak langsung mereka takut nantinya dengan semakin pintarnya anak-anak di daerah tersebut, anak-anak mengurangi jatah setoran bahkan tidak memberikan sama sekali jatah setoran kepada preman-preman tersebut. Namun Irene dan Iwan tetap melanjutkan kegiatannya bersama anak-anak seperti biasanya. Seperti biasa, hari-hari bocah-bocah kardus tersebut diisi dengan kegiatan seperti memulung dan mengamen, ada juga yang bersekolah, namun selepas pulang sekolah, mereka kembali melanjutkan kegiatan sehari-hari mereka dalam membantui orangtua mereka mencari nafkah. Bagi yang tidak bersekolah, seperti Dito & Dian, mereka belajar bersama-sama dengan Irene dan Iwan di pendopo, bocah-bocah tersebut menamakan kumpulan mereka ini dengan sebutan SIGA (SINAR INSPIRASI GENERASI ANAK MUDA). Namun bila ketika saat belajar bersama ada yang ijin untuk bekerja membantu orangtuanya tidak apa-apa.
Seiring berjalannya waktu, dengan kehadiran Irene & Iwan di tempat itu, sedikit demi sedikit memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan pendidikan Dito dan kawan-kawannya. Bagi mereka yang mengamen di lampu merah, yang tadinya kesenggangan mereka menunggu lampu merah nyala diisi dengan bersenda gurau, bercanada tawa, merokok, atau duduk-duduk di pinggir jalan, kini mereka mengisi waktu luang mereka menunggu lampu merah nyala dengan membaca buku yang mereka bawa, mulai dari membaca komik, hingga membaca buku-buku yang ada kaitannya dengan pendidikan. Banyak perubahan positif yang terjadi dalam keseharian anak-anak tersebut.
Pada suatu ketika, saat Irene dan Iwan sedang mengajari SIGA pelajaran bahasa Inggris, datang 2 orang preman daerah tersebut yang mana anak-anak SIGA suka memberikan setoran kepada mereka. Preman-preman tersebut tidak senang anak-anak ini menjadi pintar. Preman tersebut juga marah karena sudah 3 hari anak-anak tidak memberikan setoran kepada mereka. Preman-preman tersebut mengancam akan mengacaukan kegiatan mereka bila mereka terus melanjutkan kegiatan mereka tersebut.
Hari-hari pun berlalu, seiring dengan terus berjalannya kegiatan SIGA bersama Irene & Iwan, semakin sering pulalah mereka mendapatkan ancaman-ancaman dari preman-preman tersebut. Hingga sampai akhirnya Irene dan Iwan berniat menyudahi kegiatan mereka bersama anak-anak SIGA di daerah tersebut. Namun Dito & Dian yang merasakan banyak manfaat yang ia dan teman-temannya dapat dari kegiatan tersebut, tidak tinggal diam, mereka meminta kepada Kak Irene dan kak Iwan untuk mengurungkan niatnya untuk menyudahi kegiatan tersebut. Namun Irene & Iwan tetap ingin menyudahi kegiatan tersebut, karena Irene & Iwan tidak ingin anak-anak tersebut mendapatkan masalah yang lebih besar lagi apabila kegiatan mereka dilanjutkan. Dito, Dian, dan anak-anak SIGA yang lainnya pun tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk menahannya. Dito cukup terpukul dengan kejadian ini, harapannya untuk dapat terus belajar, kini harus pupus. Dian dan kawan-kawannya yang turut merasakan kesedihan Dito, mencoba menghiburnya.
Semenjak kepergian kak Irene & kak Iwan dari tempat itu, kini tak ada lagi yang menemani & mengajari anak-anak SIGA untuk belajar & berbagi pengetahuan. Keseharian mereka kini kembali lagi pada saat-saat dimana belum ada Irene dan Iwan, kini semua kembali lagi seperti semula. Keputus-asa-an, kegelisahan, kegundahan, kini mulai kembali menghinggapi diri Dito. Asanya untuk meraih sebuah masa depan yang cerah, kini harus terhenti lagi karena situasi dan kondisi yang lagi-lagi memaksanya untuk mengurungkan niatnya untuk mendapatkan sebuah ilmu pengetahuan. Kini ia tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat untuk mewujudkan kembali mimpi dan cita-citanya yang tertunda.
Tetapi Dito beruntung karena memiliki seorang adik yang mampu memberinya semangat. Walaupun berada di dalam keputus-asaannya, Dian yang masih berusia 12 tahun, tetap tegar dalam menghadapi semua cobaan hidup yang ia alami. Justru Dian yang mencoba memberikan semangat kepada kakaknya, Dito, untuk tidak patah semangat dalam mengejar cita-citanya. Nampaknya Dito kesal mendengar perkataan demi perkataan adiknya, Dito merasa bahwa Tuhan tidak adil terhadap orang-orang seperti dirinya. Hari-hari Dito kini hanya terisi dengan kehampaan dan keputusasaannya. Hidupnya tak menentu, Dito mulai menjadi seorang perokok. Bahkan diam-diam, dirinya kini sudah mulai mengenal minuman keras, karena ia sekarang menjadi dekat dengan preman-preman di tempat tinggalnya. Setiap malam, waktunya hanya ia habiskan untuk berkumpul bersama dengan preman-preman tersebut, merokok dan bermabuk-mabukan. Perkataan-perkataan dan nasehat orangtuanya kini tak lagi ia dengar. Yang ia butuhkan saat ini adalah orang-orang yang dapat membantunya melupakan sejenak segala kepahitan hidup yang sedang ia alami.
Suatu ketika, di malam minggu, waktu menunjukkan pukul 23.30, Dito belum juga kembali ke rumah, Dian serta orangtuanya sangat khawatir dengan keadaan Dito. Mereka takut sesuatu yang lebih buruk menimpa Dito. Kemudian orangtuanya dan adiknya, sepakat untuk mencari Dito. Ketiganya berpencar mencari Dito di kesunyian malam. Mulai dari jalan setapak yang tak bertuan, hingga lorong-lorong sempit telah mereka sambangi, namun tak jua menemukan hasilnya. Hingga pada akhirnya, Dian tiba pada sebuah gang sempit, disana ia mendengar suara aduh dari beberapa orang. Dian mencoba untuk berjalan lebih mendekat lagi pada tempat dimana suara itu berasal. Betapa terkejutnya Dian ketika melihat kakaknya, Dito, bersama dengan para preman melakukan pesta minuman keras dan bermabuk-mabukan. Nampaknya Dito menemukan dunia yang baru bersama para preman-preman tersebut. Betapa sedihnya hati Dian mendapati kakaknya sedang dalam pengaruh rokok dan alkohol. Dian mengajak kakaknya untuk pulang, namun Dito tetap bersikeras untuk bertahan di tempat itu. Bermacam cara dan bujuk rayu Dian juga tak membuahkan hasil. Sampai akhirnya, salah seorang preman yang ada disitu memarahi Dian dan mengusirnya dari tempat itu. Tapi Dian tetap tak mau pergi, sambil menangis, ia terus mengajak kakaknya untuk pulang ke rumah. Namun usahanya sia-sia, ia malah mendapatkan perlakuan kasar dari preman-preman tersebut, hingga akhirnya Dian pulang ke rumah dengan kondisi yang teraniaya.
Keesokan paginya, Dito pulang ke rumah mendapati adiknya duduk di kursi dengan luka di lutunya serta wajah yang tampak lebam seperti bekas pukulan, sambil memegangi tangannya yang sakit akibat terkilir, terjatuh karena perlakuan kasar dari para preman-preman tersebut. Kini aktifitas Dian dalam keseharian menjadi terganggu akibat hal tersebut, untuk sementara waktu ia tak dapat membantu orangtuanya. Kedua orantuanya sangat sedih melihat keadaan Dito & Dian sekarang. Dito hanya terdiam melihat hal itu. Ia menghampiri adiknya tercinta memeluknya sambil menangis. Betapa emosi & terharunya Dito. Ia tidak terima melihat adiknya menderita seperti itu..
Dengan emosi, ia bergegas pergi untuk menghampiri para preman tersebut, untuk meminta pertanggungjawaban perbuatan mereka terhadap adiknya. Namun, perasaan emosinya, kesal, kekecewaannya terhadap para preman itu nampaknya harus ia simpan dulu dalam-dalam karena para preman tersebut telah lebih dulu ditangkap polisi ketika Dito pulang ke rumahnya. Beruntung dia bisa pulang lebih dulu ke rumahnya, kalau tidak, mungkin dia juga sudah ikut ditangkap polisi. Dito pun pulang ke rumahnya lagi. Sepanjang jalan pulang menuju rumahnya, ia menyesali sikapnya selama ini, ternyata adiknya benar. Ia tidak boleh terus-menerus putus asa dan patah semangat. Sesampainya di rumah, Dito merangkul adiknya. Dito pun akhirnya memetuskan untuk mengikuti anjuran adiknya, untuk mencari Kak Irene dan mengajaknya kembali lagi untuk mengajari dan membimbing anak-anak SIGA belajar lagi.
Keesokan harinya, Dito berpamitan pada kedua orangtuanya untuk mencari irene dan Iwan. Setelah sampai di rumah Irene, Dito pun menyampaikan maksud kedatangannya. Setelah sekian lama berbincang, akhirnya Irene pun yang semula ragu untuk mengajar dan membantu Dito dan kawan-kawannya, menyetujui untuk kembali mengajar anak-anak SIGA. Irene pun akhirnya menghubungi Iwan, dan setelah melalui perbincangan yang alot, Iwan pun bersedia menemani Irene untuk mengajar kembali.
Dua hari kemudian Irene dan Iwan datang mengunjungi perkampungan pemulung. Mereka berdua mendapati beberapa “bocah kardus” sedang melakukan aktifitasnya sehari-hari. Mereka berdua juga mendapati Dito dan adiknya yang sedang memilih-milah barang bekas. Kedatangan mereka berdua ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari “bocah-bocah kardus”.
Hari demi hari, kegiatan anak-anak SIGA pun semakin bertambah banyak. Mulai dari belajar bahasa asing seperti bahasa Inggris sampai belajar bagaimana membuat sebuah karya seni. Dito dan Dian merupakan contoh dari beberapa “bocah kardus” yang paling menonjol prestasinya di hampir setiap pelajaran. Sampai akhirnya pada suatu saat Irene dan Iwan yang memahami keadaan Dito dan Dian, mencoba memberikan sebuah rekomendasi kepada Dito dan Dian untuk melanjutkan sekolah lagi.
Setelah melalui beberapa proses yang panjang, termasuk ujian penyaringan masuk sekolah, akhirnya Dito, Dian & beberapa bocah kardus lainnya yang memiliki prestasi bagus, mendapat kesempatan untuk melanjutkan kembali sekolahnya. Sebab hasil-hasil test mereka tidak kalah bagusnya dengan anak-anak lainnya yang berasal dari keluarga menengah ke atas. Para orangtua dari “bocah-bocah kardus” pun merasa senang dengan keadaan anak-anaknya sekarang.. Terlebih orangtua dari Dito dan Dian.
Hari demi hari pun berlalu, tak terasa 3 tahun pun lewatlah sudah. Selama di sekolah, Dito dan Dian cukup berprestasi. Bahkan mereka terbilang anak yang pintar, karena di sekolahnya masing-masing mereka selalu mendapat peringkat 3 besar. Bahkan karena prestasinya tersebut, mereka mendapatkan BEA SISWA dari sekolahnya masing-masing selama mereka bersekolah di tempat itu. Hingga sampai akhirnya Dito dan Dian pun lulus dengan nilai-nailai yang sangat memuaskan. Dian mendapatkan BEA SISWA masuk sekolah SMP dan Dito mendapatkan BEA SISWA untuk melanjutkan pencarian ilmunya ke jenjang yang lebih tinggi. Disamping itu, karena Dito memiliki bakat di bidang otomotif, ia mendapat tawaran bekerja dari salah satu temannya yang orangtuanya memiliki usaha bengkel. Dito pun menerima tawaran tersebut, paling tidak, sambil mengisi waktu luangnya saat kuliah off ia dapat membantu orangtuanya mencari nafkah.

Sunday, August 30, 2009

“MENCURIGAI KEBENARAN”

Oleh: Valery Kopong*

Ketika ledakan Bom bunuh diri membombardir sebuah kehidupan yang mapan, ada segumpal emosi mengental di langit kebencian, sebuah tanda protes atas peristiwa keji itu. Ada gumpalan daging manusia berhambur, ada jerit tangis bagi mereka yang “tertunda kematiannya” dan hanya menderita luka parah. Situasi yang parah ini tidak juga mengundang empati dari kelompok teroris, yang ada dalam diri mereka adalah pesta pora dalam euforia keji. Mengapa dalam kondisi seperti itu para teroris masih mengulum senyum? Apakah senyum yang terumbar adalah senyum yang menyapa ramah atau senyum sinis?
Siapa yang paling dicari oleh pihak kepolisian selama ini? Jawabannya adalah kelompok teroris. Mereka telah terlibat dalam sebuah “jaringan maut” internasional dan menempah mereka menjadi pribadi yang militan, siap membunuh diri dan orang lain. Apa yang mendasari nyali hidup mereka sehingga pada akhirnya memutuskan diri untuk melakukan aksi radikal? Persoalan mendasar terletak pada pemformatan diri mereka dengan ideologi militan yang sedikit dibalut dengan nuansa religius. Janji sorga menjadi tujuan terakhir sangat menghipnotis kehidupannya. Mereka adalah “pengantin” yang siap menempati pelaminan sorga bila berhasil membunuh diri dan orang lain. Pelaminan, the romantic room, menjadi tempat perhelatan akbar setelah melalui perjuangan hidup yang menegangkan. Bagi mereka, perjuangan menuju kematian, barangkali tersulut oleh tasawufnya Martin Heidegger, “zein zum tode, hidup manusia mengarah pada suatu kematian.
Tetapi kehidupan manusia yang mengarah pada suatu kematian seperti yang digagaskan oleh Heidegger, adalah kehidupan yang dijalani secara alamiah, termasuk kematian menjadi tanggung jawab yang Ilahi. Manusia, dalam pemikiran yang jernih, selalu menempatkan Allah sebagai penyelenggara hidup ini. Itu berarti bahwa baik kehidupan maupun kematian selalu berada dalam genggaman-Nya. Apakah kematian yang dipaksa juga merupakan intervensi Allah sendiri? Bagi kelompok teroris, apa yang salah terutama tindakan bunuh diri diyakini sebagai sesuatu yang benar dan mereka yakin bahwa Allah akan menjemput dia yang bunuh diri untuk masuk dalam pelaminan sorgawi.
Arah berpikir yang menegasi kehidupan normatif yang diagungkan oleh kelompok militan ini perlu adanya upaya untuk mengembalikan ke kondisi semula. Ideologi yang dianut oleh kaum teroris harus didekonstruksi supaya ada kemungkinan terjadinya penataan kembali ideologi baru yang lebih humanis, yang lebih menyentuh dasar kemanusiaan manusia. Di sini, dalam upaya dekonstruksi ideologi militan dan konstruksi ideologi humanis, perlu melibatkan kaum agamawan yang moderat dan tahu tentang nilai-nilai keagamaan secara mendalam. Agama dilihat sebagai instrumen penting dalam mengembalikan kehidupan manusia ke arah yang baik. Terapi kehidupan melalui denyut agama sangat penting untuk mengembalikan sebuah arah kehidupan yang telah hilang.
Peranan pemerintah selama proses perburuan kaum teroris, hanyalah upaya dalam melenyapkan aksi terorisme dan tindakan kekerasan. Tentang kekerasan, Dom Helder Camara pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya spiral kekerasan terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat pertama, ketidakadilan atau biasa disebut kekerasan struktural. Pada tingkat ini kemungkinan-kemungkinan manusiawi ditekan secara institusional, kecuali bagi mereka yang berkuasa, baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Tingkat kedua, pemberontakan. Ketidakadilan yang diciptakan minoritas elite menyebabkan munculnya orang atau kelompok yang merasa tidak puas. Dengan kekerasan atau kekuatan senjata mereka berjuang menegakkan dunia yang lebih adil. Tingkat ketiga, represi. Demi stabilitas umum, pihak otoritas menggunakan kekuatan militer untuk menekan atau membasmi pemberontakan. Tekanan ini dilakukan baik secara fisik maupun mental.
Uraian tingkatan kekerasan di atas membantu kita untuk lebih jauh memahami napak tilas perjalanan hidup kelompok teroris. Seluruh aksi yang diperlihatkan tidak muncul secara spontan tetapi ada situasi yang tidak manusiawi mendorong mereka untuk melakukan sebuah pemberontakan. Sasaran dari aksi ini lebih condong ke Amerika dan negara-negara barat yang dinilai selalu menggenggam negara-negara dunia ketiga dengan kebijakan ekonomi. Tidak hanya ini tetapi para pemimpin dari negara lain yang pro akan kebijakan barat maka akan menjadi sasaran aksi para teroris.
Menghadapi kenyataan ini maka perlu adanya upaya dalam memulihkan situasi ini terutama dalam memandang dunia barat, tidak sebagai rival yang perlu dihanguskan tetapi sebagai sasaran kita dalam mencontohi keberhasilan mereka. Tetapi tetap menjadi persoalan di sini, bersediakah kelompok islam militan untuk membuka diri dan ada bersama yang lain terutama masyarakat barat?
Kaum teroris sepertinya sedang “menjinakkan kematian.” Mereka lebih memuliakan dan mempercepat kematian daripada menyembah dan menghargai kehidupan. Ini menunjukkan sebuah generasi salah arah dan hal ini akan berpengaruh kuat terhadap generasi muda Indonesia. Di tengah gelora romantik Agustusan untuk memperingati hari kemerdekaan, kaum teroris tentu tidak memikirkan bagaimana mengisi kemerdekaan ini secara bertanggung jawab. Mereka tidak sanggup atau tidak disanggupkan untuk melihat masa depan sebagai sebuah kemungkinan yang perlu ditata dalam memaknai kehidupan ini. Wujud kesadaran Indonesia dalam gebiyar kemerdekaan menjadi lain di mata para teroris. Kehidupan bagi dia tidak lagi berupa gugus-gugus penuh makna yang perlu dipertahankan. Yang selalu muncul dalam “file-file” kesadaran mereka adalah rancangan maut dan bayangan kegembiraan akan pelaminan sorga setelah kematiannya secara tragis.
Paham tentang “pengantin” sorga menjadi sebuah daya pikat yang dari waktu ke waktu menyebar ke kehidupan generasi muda Indonesia. Proses penyebaran “virus ideologi” yang dianut oleh kelompok teroris begitu mudah merasuk ke dalam sum-sum kehidupan mereka. Paham yang mematikan ini menjadi sebuah kebenaran untuk sebagian besar kelompok. Tetapi kebenaran ini perlu dicurigai karena menyesatkan sebuah generasi yang sedang terlibat dengan kehidupan. Sasaran terakhir dalam “permainan maut” para teroris adalah “gol kematian.” Semua bergerak dalam rintihan kesakitan dan para teroris tersenyum sipu dalam ragam ekspresi. Bom adalah sebuah keberpihakan pada kelompok kecil dan menjadi momok menakutkan bagi mereka yang menghargai sebuah kehidupan. Dalam penyerangan itu, bom lalu bermetamorfosa menjadi perhatian publik. Bom pada akhirnya menjadi bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal dan kota besar dalam nada ketakutan. Tetapi dalam ketakutan itu, mestinya kita selalu mencurigai kebenaran, walaupun kebenaran itu telah menjadi sebuah ideologi baku.***

Monday, August 24, 2009

IDEOLOGI RASA

Oleh: Valery Kopong*

BEDA, nama sahabat saya dari Flores (Adonara). Kami bertemu untuk pertama kalinya di Jakarta. Suatu sore, di bawah gemerlapnya sorotan sinar lampu kota, dengan langkah pasti ia berjalan menelusuri lorong-lorong kota untuk mencari makanan khas Flores. Dalam proses pencarian panjang, ia berjumpa dengan Warteg (warung tegal), Warsun (Warung Sunda), Warung Padang. Lama ia mencari tetapi pada akhirnya ia lelah dan bertanya kepada saya. Di mana letak warung Flores atau NTT yang menghidangkan cita rasa masakan NTT? Aku tersipu dan tersenyum malu karena selama sekian tahun berada di perantauan, tak satu pun orang NTT yang berada di perantauan memperkenalkan jenis-jenis makanan khas kepada publik. Ia pada akhirnya membeli sebungkus nasi yang dilengkapi dengan lauk-pauk di warung tegal. Kita terlalu ego, kataku dalam hati. Kita (orang NTT) selalu memendam rasa yang berbeda dan tak pernah disatukan oleh cita rasa makanan khas NTT.
Pencarian seorang Beda menunjukkan suatu perjuangan untuk mempertahankan aspek rasa lokal yang secara perlahan bisa diperkenalkan ke wilayah publik. Cita rasa yang tertampil lewat masakan khas daerah, terkesan sederhana tetapi lebih dari itu mereka memperkenalkan nama-nama daerah dan masyarakat pembeli dapat menilai, model kepribadian dari sang pemilik warung yang mewakili sebuah etnis secara kolektif. Upaya dalam mencari makanan yang dilakukan Beda, merupakan bentuk terobosan untuk mengenal wilayah-wilayah yang direpresentasikan melalui warung-warung tersebut. Bagi Beda, sebuah cita rasa diberi beban makna oleh pelbagai kekuatan rasa kedaerahan dan dalam cita rasa makanan tersimpan sebuah tanggung jawab dalam mempertahankan nilai khas yang merupakan warisan sejarah.
Tidak memiliki warung dan makanan khas daerah tidak membuat Beda berkecil hati. Ia malah dengan leluasa mencari dalam nilai rasa lain dan berjumpa dengan ciri khas masakan lain. Andaikata, ada warung Adonara, Manggarai, Maumere atau pun Timor, maka ia tak lagi memiliki kesempatan untuk mencari dan berjumpa dengan yang lain. Karena tidak memiliki warung di daerah perantauan maka ia dengan leluasa untuk berani keluar dari dirinya dan menyatu dengan orang-orang lain. Warung adalah ruang publik yang menyuguhkan pelbagai rasa bahkan para politisi mencoba untuk meramu suasana menjadi perdebatan politik sambil menikmati cita rasa daerah.
Memahami cita rasa makanan secara mendalam khas daerah dan bila dikaitkan dengan problematika yang menyerang dan mengganggu kedaulatan negara maka cita rasa kedaerahan perlu sedikit ditinggalkan sambil mecicipi makanan sesuai cita rasa nasionalitas. SBY barangkali memahami cita rasa ini. Ia dan para tim sukses mencoba meramu cita rasa nasional dan memperkenalkan diri melalui iklan milik indomie yang telah disunglap. Banyak perdebatan yang muncul bahwa presiden mencari sesuatu yang instan, yang serba praktis dalam memperkenalkan diri kembali ke hadapan publik. Dengan berlindung dibalik iklan indomie yang disunglap itu, sebenarnya ia (SBY) berpura-pura untuk bersikap adil terhadap semua daerah. Dalam catatan saya, SBY dalam kapasitasnya sebagai presiden, ia baru dua kali ke wilayah NTT. Sebuah kunjungan yang sangat jauh dari nilai empati politik seorang pemimpin. Pertama kali ia mengunjungi Manggarai yang waktu itu terkena bencana. Kunjungan itu pun terkesan ada pemaksaan karena setelah dikritik. Dan kunjungan yang kedua adalah berkampanye di Kupang, itu pun dilakukan untuk mendulang suara. Masih adakah cita rasa seorang pemimpin yang menaruh perhatian pada NTT yang sudah telanjur “dibaptis” sebagai wilayah paling miskin dan terkorup? Berpijak pada cita rasa daerah, SBY bertolak ke cita rasa komersial yang ada dalam indomie. Ia (SBY) tentu tahu bahwa lewat cita rasa kedaerahan tidak menunjukkan solidaritas sebagai bangsa yang utuh. Ia berani merangkum masyarakat lewat “lilitan mie” kepedulian dan menyodok kesadaran masyarakat.
Kehidupan para capres dalam episode politik, memperlihatkan wajah yang penuh pura-pura, jauh dari cita rasa makanan yang tidak dimanipulasi. Atau meminjam bahasa iklan, “soal rasa, lidah tak bisa berbohong.” Momentum pemilu menghantar para capres untuk melakukan sebuah ziarah ke dalam wilayah masyarakat kecil sambil membawa slogan keberpihakkan pada mereka. Politik yang ditampilkan lebih berwajah “warteg,” di mana keberpihakkan berpura-pura melingkar di tengah kehidupan “wong cilik.”
Demokrasi yang hidup memang selalu mengalir dari rakyat tetapi apa artinya demokrasi yang hidup kalau hanya dihidupkan menjelang pilres? Kampanye politik hanyalah sebuah dagelan yang menggelikan tanpa memberi arti bagi kehidupan publik. Visi dan misi yang diusung adalah sesuatu yang biasa tetapi menjadi luar biasa bila sang pemimpin tidak sanggup menerjemahkan visi dan misinya ke dalam kehidupan praksis. Ia (visi-misi) hanyalah jargon politik yang bombastis dan menguap seketika bersama hembusan angin politik kekuasaan.
Tawaran Mega-Prabowo akan perubahan dan membangun ekonomi kerakyatan seakan merobek langit harapan orang-orang kecil. “Dari Bantar Gebang menuju istana,” dari dunia nista menuju tanah terjanji adalah komitmen sentral yang menggerakkan kesadaran orang-orang kecil yang terpinggirkan. Andaikata Mega-Prabowo terpilih, dapatkah mereka mengubah kehidupan para penghuni Bantar Gebang untuk menjadi lebih baik? Andaikata terwujud maka sampah-sampah terus menumpuk karena tidak ada lagi orang miskin yang sebelumnya mengkonsumsi sampah untuk dijadikan sebagai sumber ekonomi.
Kalla tak mau kalah. Berbekal semboyan “lebih cepat lebih baik” dapat memberikan suntikan bagi para pengusaha untuk berpihak padanya. Ia menggerakkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan otak sendiri, menggunakan ilmu sendiri dalam membangun kehidupannya. Sejauh mana negara memberi ruang kebebasan kepada masyarakat dan memberikan suntikan dana? Apakah BLT dapat dijadikan sebagai dana awal dalam membangun kehidupan ekonomi?
Para capres pandai membaca peluang dan meramu situasi politik yang selalu berpihak pada rakyat. SBY dalam iklannya terlihat cemas mengemis suara rakyat, sampai-sampai harus keluar masuk di warung-warung sederhana untuk menjumpai orang-orang kecil. Megawati-Prabowo selalu menjumpai masyarakat di pasar-pasar tradisional sebagai cara pintas dalam mengukuhkan keberpihakkan ekonomi rakyat. Sedangkan Kalla lebih sering menjumpai para Kiay dan Santri yang merupakan basis yang cukup berpengaruh dalam komunitas muslim.
Sebagai calon pemimpin, mestinya berani berbeda namun berani menerima perbedaan sebagai bagian integral dalam mewujudkan cita rasa masyarakat majemuk. SBY tidak hanya berkunjung saja pada warteg dan mencicipi makanan khas Jawa tetapi lebih dari itu berani mencari makanan khas daerah lain yang walaupun tidak terjual di warung-warung publik. Kalla tidak hanya mengunjungi pesantren saja tetapi sesekali bisa mengunjungi biara yang mewakili komunitas agama lain. Dan Mega tidak hanya berpihak pada kekuasaan saja tetapi lebih dari itu harus berpihak pada rakyat sehingga tidak dicap sebagai megawatilomania. Mungkinkah mereka bertarung dan menerima keberbedaan yang lain seperti Beda yang berani menyicip makanan khas lain karena tidak memiliki warung sendiri? Mengolah rasa tidak lebih dari mengolah sebuah ideologi yang selalu menjiwai nafas kehidupan seseorang.***