Oleh: Valery Kopong*
Ketika ledakan Bom bunuh diri membombardir sebuah kehidupan yang mapan, ada segumpal emosi mengental di langit kebencian, sebuah tanda protes atas peristiwa keji itu. Ada gumpalan daging manusia berhambur, ada jerit tangis bagi mereka yang “tertunda kematiannya” dan hanya menderita luka parah. Situasi yang parah ini tidak juga mengundang empati dari kelompok teroris, yang ada dalam diri mereka adalah pesta pora dalam euforia keji. Mengapa dalam kondisi seperti itu para teroris masih mengulum senyum? Apakah senyum yang terumbar adalah senyum yang menyapa ramah atau senyum sinis?
Siapa yang paling dicari oleh pihak kepolisian selama ini? Jawabannya adalah kelompok teroris. Mereka telah terlibat dalam sebuah “jaringan maut” internasional dan menempah mereka menjadi pribadi yang militan, siap membunuh diri dan orang lain. Apa yang mendasari nyali hidup mereka sehingga pada akhirnya memutuskan diri untuk melakukan aksi radikal? Persoalan mendasar terletak pada pemformatan diri mereka dengan ideologi militan yang sedikit dibalut dengan nuansa religius. Janji sorga menjadi tujuan terakhir sangat menghipnotis kehidupannya. Mereka adalah “pengantin” yang siap menempati pelaminan sorga bila berhasil membunuh diri dan orang lain. Pelaminan, the romantic room, menjadi tempat perhelatan akbar setelah melalui perjuangan hidup yang menegangkan. Bagi mereka, perjuangan menuju kematian, barangkali tersulut oleh tasawufnya Martin Heidegger, “zein zum tode, hidup manusia mengarah pada suatu kematian.
Tetapi kehidupan manusia yang mengarah pada suatu kematian seperti yang digagaskan oleh Heidegger, adalah kehidupan yang dijalani secara alamiah, termasuk kematian menjadi tanggung jawab yang Ilahi. Manusia, dalam pemikiran yang jernih, selalu menempatkan Allah sebagai penyelenggara hidup ini. Itu berarti bahwa baik kehidupan maupun kematian selalu berada dalam genggaman-Nya. Apakah kematian yang dipaksa juga merupakan intervensi Allah sendiri? Bagi kelompok teroris, apa yang salah terutama tindakan bunuh diri diyakini sebagai sesuatu yang benar dan mereka yakin bahwa Allah akan menjemput dia yang bunuh diri untuk masuk dalam pelaminan sorgawi.
Arah berpikir yang menegasi kehidupan normatif yang diagungkan oleh kelompok militan ini perlu adanya upaya untuk mengembalikan ke kondisi semula. Ideologi yang dianut oleh kaum teroris harus didekonstruksi supaya ada kemungkinan terjadinya penataan kembali ideologi baru yang lebih humanis, yang lebih menyentuh dasar kemanusiaan manusia. Di sini, dalam upaya dekonstruksi ideologi militan dan konstruksi ideologi humanis, perlu melibatkan kaum agamawan yang moderat dan tahu tentang nilai-nilai keagamaan secara mendalam. Agama dilihat sebagai instrumen penting dalam mengembalikan kehidupan manusia ke arah yang baik. Terapi kehidupan melalui denyut agama sangat penting untuk mengembalikan sebuah arah kehidupan yang telah hilang.
Peranan pemerintah selama proses perburuan kaum teroris, hanyalah upaya dalam melenyapkan aksi terorisme dan tindakan kekerasan. Tentang kekerasan, Dom Helder Camara pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya spiral kekerasan terdiri atas tiga tingkatan. Tingkat pertama, ketidakadilan atau biasa disebut kekerasan struktural. Pada tingkat ini kemungkinan-kemungkinan manusiawi ditekan secara institusional, kecuali bagi mereka yang berkuasa, baik secara politik, sosial maupun ekonomi. Tingkat kedua, pemberontakan. Ketidakadilan yang diciptakan minoritas elite menyebabkan munculnya orang atau kelompok yang merasa tidak puas. Dengan kekerasan atau kekuatan senjata mereka berjuang menegakkan dunia yang lebih adil. Tingkat ketiga, represi. Demi stabilitas umum, pihak otoritas menggunakan kekuatan militer untuk menekan atau membasmi pemberontakan. Tekanan ini dilakukan baik secara fisik maupun mental.
Uraian tingkatan kekerasan di atas membantu kita untuk lebih jauh memahami napak tilas perjalanan hidup kelompok teroris. Seluruh aksi yang diperlihatkan tidak muncul secara spontan tetapi ada situasi yang tidak manusiawi mendorong mereka untuk melakukan sebuah pemberontakan. Sasaran dari aksi ini lebih condong ke Amerika dan negara-negara barat yang dinilai selalu menggenggam negara-negara dunia ketiga dengan kebijakan ekonomi. Tidak hanya ini tetapi para pemimpin dari negara lain yang pro akan kebijakan barat maka akan menjadi sasaran aksi para teroris.
Menghadapi kenyataan ini maka perlu adanya upaya dalam memulihkan situasi ini terutama dalam memandang dunia barat, tidak sebagai rival yang perlu dihanguskan tetapi sebagai sasaran kita dalam mencontohi keberhasilan mereka. Tetapi tetap menjadi persoalan di sini, bersediakah kelompok islam militan untuk membuka diri dan ada bersama yang lain terutama masyarakat barat?
Kaum teroris sepertinya sedang “menjinakkan kematian.” Mereka lebih memuliakan dan mempercepat kematian daripada menyembah dan menghargai kehidupan. Ini menunjukkan sebuah generasi salah arah dan hal ini akan berpengaruh kuat terhadap generasi muda Indonesia. Di tengah gelora romantik Agustusan untuk memperingati hari kemerdekaan, kaum teroris tentu tidak memikirkan bagaimana mengisi kemerdekaan ini secara bertanggung jawab. Mereka tidak sanggup atau tidak disanggupkan untuk melihat masa depan sebagai sebuah kemungkinan yang perlu ditata dalam memaknai kehidupan ini. Wujud kesadaran Indonesia dalam gebiyar kemerdekaan menjadi lain di mata para teroris. Kehidupan bagi dia tidak lagi berupa gugus-gugus penuh makna yang perlu dipertahankan. Yang selalu muncul dalam “file-file” kesadaran mereka adalah rancangan maut dan bayangan kegembiraan akan pelaminan sorga setelah kematiannya secara tragis.
Paham tentang “pengantin” sorga menjadi sebuah daya pikat yang dari waktu ke waktu menyebar ke kehidupan generasi muda Indonesia. Proses penyebaran “virus ideologi” yang dianut oleh kelompok teroris begitu mudah merasuk ke dalam sum-sum kehidupan mereka. Paham yang mematikan ini menjadi sebuah kebenaran untuk sebagian besar kelompok. Tetapi kebenaran ini perlu dicurigai karena menyesatkan sebuah generasi yang sedang terlibat dengan kehidupan. Sasaran terakhir dalam “permainan maut” para teroris adalah “gol kematian.” Semua bergerak dalam rintihan kesakitan dan para teroris tersenyum sipu dalam ragam ekspresi. Bom adalah sebuah keberpihakan pada kelompok kecil dan menjadi momok menakutkan bagi mereka yang menghargai sebuah kehidupan. Dalam penyerangan itu, bom lalu bermetamorfosa menjadi perhatian publik. Bom pada akhirnya menjadi bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal dan kota besar dalam nada ketakutan. Tetapi dalam ketakutan itu, mestinya kita selalu mencurigai kebenaran, walaupun kebenaran itu telah menjadi sebuah ideologi baku.***
Popular Posts
-
UJIAN SEMESTER – SD KHARISMA BANGSA – PONDOK CABE – TANGERANG SELATAN PELAJARAN AGAMA KATOLIK KELAS: V Pilihlah salah satu jawa...
-
Judul : Pengampunan Yang Menyembuhkan Penulis : Jean Maalouf Penerjemah : Wilhelmus David ...
-
Misa inkulturasi Flobamorata (20/10/2013) Bulan Oktober, di kalangan Gereja Katolik dikenal sebagai bulan rosario. Pada bulan ...
-
ANAK DOMBA Mengapa Yesus mengatakan diri sebagai Anak Domba Allah dan bukannya yang lain? Apabila melihat tingkah laku anak dom...
-
Eksistensi Gereja tak pernah sepi dari ancaman, bahkan dihambat perkembangannya. Kondisi seperti ini telah dan terus terjadi sebagai bentu...
Recent Posts
Categories
Unordered List
Pages
Blog Archive
Powered by Blogger.
Comments
Popular Posts
Total Pageviews
Blog Archive
www.adonaranews.com
www.adonaranews.com
Find Us On Facebook
Ad Home
Featured Video
Featured Video
Random Posts
Recent Posts
Header Ads
Labels
About Me
Foto Keluarga
Foto profilku
Labels Cloud
Labels
Follow Us
Pages - Menu
Popular Posts
-
Courtesy Museion Museum / ...
-
Menjadi juri pada lomba debat di SMA Tarsisius Vireta merupakan sebuah kehormatan. Memposisikan diri sebagai seorang juri dalam lomba deba...
-
TARIAN “HEDUNG”: CERMIN KEBUASAN MANUSIA ( Sebuah Analisis Sosio-kultural) Oleh: Valery ...
-
MUDIK (catatan di akhir mudik) Oleh: Valery Kopong* Sabtu, 27 September 2008 kami mengadakan perjalanan (mudik) ke kota Gudeg, Yogyakarta. K...
-
KISI-KISI SOAL ULANGAN TENGAH SEMESTER 1 SEKOLAH DASAR TAHUN 2018 /2019 KELAS / SEMESTER: III/I MATA PELAJARAN: AGAMA KATOLIK DAN B...
-
Kunjungan Raja Salman membawa dampak positif terhadap kerajaan Saudi Arabia dan Indonesia. Kunjungan ini juga termasuk sebuah kunjungan is...
-
Lonceng Kematian Sekolah Swasta Rabu, 24 September 2008 00:20 WIB S BELEN Tahun...
-
Oleh Chris Boro Tokan Adalah seorang F.A.E. van Wouden yang melukiskan Trinitas Kepemimpinan Purba di Indonesia Bagian Timur, me...
-
Setelah memberikan materi tentang “siapakah saudaraku” pada anak-anak Persink Gregorius, pikiranku tertuju pada keluarga dan tetangga yang...
-
TPG IMAGES Dansa tango. ...
0 komentar:
Post a Comment