Monday, September 21, 2009

J A N J I

Oleh: Valery Kopong*

“Di sebuah paroki di Wina, Austria, terjadi sebuah peristiwa yang membahagiakan tetapi mengundang keanehan. Satu pasangan suami-isteri meresmikan pernikahannya secara gerejani tepat pada saat mereka merayakan HUT ke 25 pernikahan mereka secara sipil. Putra tunggal mereka berusia 23 tahun. Peristiwa ini menunjukkan bahwa bagi sementara orang membuat sebuah keputusan untuk mengikatkan diri secara abadi pada sesuatu, dengan seseorang tidaklah mudah.”
Model pernikahan di atas menunjukkan sebuah penyelaman secara mendalam akan sebuah kedalaman hati bagi pasangan masing-masing. Dalam rentang waktu 25 tahun hidup di bawah naungan perkawinan sipil, tentu mereka melakukan sebuah refleksi panjang dan mendalam tentang nilai-nilai perkawinan apa yang mau dipersembahkan mereka untuk Tuhan. Bahwa janji untuk hidup semati, setia dalam untung dan malang, merupakan sebuah penggalan hidup yang telah mereka lakoni, sebelum janji itu diikrarkan di altar suci. Bagi mereka, pengalaman suka-duka dalam hidup menjadi landasan baku dan menjadi alasan untuk bergembira dan sebuah kado terindah yang dipersembahkan untuk Tuhan dalam ikrar perkawinan sakramental. Terhadap pasangan yang mengikrarkan janji pada 25 tahun usia perkawinan sipil, memberikan sebuah nokta pertanyaan, apa artinya sebuah janji?
Mengikrar sebuah janji yang membawa sebuah konsekuensi, mengantar kita yang telah dan sedang dalam proses berkeluarga untuk memahami secara bernas akan nilai dan esensi janji itu. Janji tidak hanya menjadi sebuah permainan yang mengasyikan karena hal ini akan mengundang bahaya bahwa penghayatan orang akan janji menjadi kabur makna dan pada akhirnya janji yang merupakan daya ikat tetapi ternyata membawa daya pisah. Dalam drama tragedinya Hamlet, Pangerang Denmark bertanya: Apa artinya sebuah janji? Apa artinya sebuah janji yang pernah diucapkan oleh ibunya kepada ayahnya untuk tidak akan menikah lagi kalau ayah, sang raja itu meninggal? Pertanyaan mendasar ini mengatakan kepada publik bahwa mahalnya sebuah janji dan perlu adanya cara dalam mempertahankannya. Janji berperan sebagai roh yang sanggup menggerak seluruh kesadaran bagi pasangan yang mengikrar janji untuk memahami eksistensi makna dari apa yang diucapkan di sepanjang perjalanan hidup. Apakah nilai sebuah janji terutama perkawinan akan berakhir tatkala salah satu pasangan itu meninggal dunia? Peristiwa meninggalnya salah satu pasangan suami-isteri tidak menjadi alasan dalam pembatalan sebuah esensi janji tersebut. Max Scheller, etikawan Jerman pernah mengatakan bahwa ketika kita mengatakan cinta kepada orang lain, sama halnya dengan mengatakan cinta itu tak akan pernah mati. Di sini, Scheller seakan memburai pemahaman kita akan janji yang sekian banyak ternoda oleh pola tingkah laku yang secara tidak langsung memberikan nokta hitam pada apa yang dijanjikan. Ia (Scheller) dengan gagasan sederhana di atas, menawarkan rasa sanggup kita untuk coba memahami nilai rasa sebuah janji.
Seorang sahabat saya pernah bercerita bahwa suatu ketika isterinya menyadari diri sebagai orang yang tak berarti lagi di hadapan suami dan anaknya karena telah melakukan perselingkuhan. Dia mengatakan, “Pak, aku tidak berarti lagi, aku bagai sampah. Aku tidak layak lagi disebut sebagai isteri.” Dengan santun, suaminya yang dikenal sabar mengatakan bahwa, tidak apa-apa, ibu masih berharga di mata saya. Sampah bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos. Ibu akan didaur ulang untuk menjadi manusia yang baik dan berharga di mata semua orang. Aku terkesima mendengar apa yang dikatakan oleh sahabatku terhadap isterinya. Bahwa karena cinta dan janji suci, apa pun bentuk kesalahan yang dilakukan isterinya dimaafkan secara terbuka sambil menata kehidupan ke depan secara lebih baik. Mungkinkah kita sanggup menempatkan diri sebagai seorang pendaur ulang terhadap kehidupan salah satu pasangan yang barangkali pola tingkah lakunya tidak sesuai jalur yang benar?
Dalam konteks perkawinan katolik yang sifatnya monogam, setidaknya diberi pemahaman secara baru yang dilakukan secara terus-menerus agar para pengucap janji menyadari diri dalam mempertanggung-jawabkan janji itu secara baik. Persoalan-persoalan tentang perkawinan katolik semakin marak terjadi saat ini. Ketika salah satu pasangan melakukan sedikit kesalahan maka hal tersebut membawa dampak yang tidak baik bahkan berujung pada perpisahan (kalau tidak disebut sebagai perceraian). Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mendatangkan kelanggengan dalam berumah tangga, pertama, perlu adanya pemahaman secara baik tentang nilai dan esensi sebuah perkawinan katolik. Pemahaman ini harus di tata secara beruntun sehingga setiap pasangan tetap menyadari hal tersebut. Kedua, berani menerima pasangannya apabila pasangan tersebut melakukan kesalahan dan ada keberanian dalam menolak sebuah perceraian.
Dalam wilayah YBHK, ada beberapa kasus yang dapat dikatakan sebagai perceraian terselubung, di mana pasangan tersebut hidup terpisah. Bahkan ada yang berani menikah lagi tetapi dilegalkan di luar gereja katolik. Persoalan ini merupakan keprihatinan bersama yang mungkin juga perlu disikapi oleh pihak yayasan. YBHK bukan lembaga religius tetapi dapat memberikan kontribusi terutama daya dorong agar pasangan-pasangan yang tercerai dapat dihimpun kembali. Saya juga mendengar bahwa dalam PUY yang baru direvisi, salah satu point juga berbicara tentang permasalahan perkawinan ini. Hal ini dapat dilihat sebagai bagian dari keterlibatan YBHK dalam menekan angka perceraian yang sedang menghantui pasangan-pasangan yang barangkali masih mencari identitas diri dan keluarga.
Andaikata model perkawinan di Wina, Austria diterapkan di Indonesia, maka apa yang terjadi? Dapatkah orang bertahan di usia 25 tahun dalam perkawinan sipil dan di usia yang sama itu mereka mengikrarkan janji untuk sebuah perkawinan sakramental? Jawabannya adalah mungkin tetapi ingatlah bahwa “apa yang disatukan oleh Allah, tidak dapat diceraikan oleh manusia.” Kemiskinan yang terburuk, demikian Muder Teresa adalah kesepian dan merasa tidak dicintai lagi***

No comments: