Wednesday, September 7, 2011

Mendidik Manusia Berkualitas atau Pembohong?

Oleh: Y.P. Priyanahadi


Masih segar dalam ingatan kita adanya sebuah kasus tragis yang dialami oleh sebuah keluarga di Surabaya, belum lama ini. Mereka diusir masyarakat dari kampungnya karena melapor ke walikota soal penyontekan massal saat mengerjakan soal ujian yang direstui sebuah Sekolah Dasar, tempat anaknya menuntut ilmu. Anak dan orangtua yang jujur tersebut malah mendapat celaka. Ajur/kojur jadi bubur.

Itu hanyalah salah satu dari banyak tragedi yang terjadi di sekolah pada masa akhir ujian kenaikan kelas. Banyak guru pusing karena harus menyerahkan nilai jadi untuk ditulis di rapor yang tidak sesuai dengan kemampuan atau prestasi belajar siswa. Anak yang kurang pandai justru akan diberi nilai sangat bagus supaya kalau dimasukkan dalam rumus penentuan kenaikan/kelulusan bisa membuat siswa itu naik atau lulus. Guru yang berpegang pada objektivitas dan kejujuran, tak mau menambah atau tepatnya mengubah nilai, akan dikatakan tidak solider dan tak punya hati. Semua takut, paham, dan maklum.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, ujian berarti suatu tindakan untuk mendapatkan gambaran kualitas sekolah atau penyelenggara pendidikan itu, juga memberikan gambaran kualitas (pemerintah) daerah yang melingkupi sekolah itu. Bahkan, akhirnya orang akan sampai pada mengetahui kualitas (penyelenggara) negara.

Kita menangkap fakta bahwa ujian itu menakutkan. Siswa takut tidak lulus, orangtua takut anaknya tidak lulus. Sekolah pun takut kalau banyak anak yang tidak lulus dan mendapat nama jelek di mata masyarakat dan pemerintah. Untuk sekolah swasta, takut kalau akhirnya sekolahnya tidak laku, tak ada orang mau menyekolahkan anaknya di situ.

Pemerintah daerah /Dinas Pendidikan takut dianggap tidak becus. Menteri takut dianggap gagal mengangkat pendidikan bangsanya, negara pun takut kalau dikatakan sebagai negara orang bodoh. Begitulah ujian menebar ketakutan struktural secara nasional.

Untuk mengatasi rasa takut itu, banyak dilakukan usaha. Baik usaha positif, namun juga dengan cara negatif. Para calon peserta ujian belajar keras non stop, kalau perlu tak usah istirahat, hilangkan jadwal bermain, berolah raga, rekreasi. Semua waktu diisi dengan satu kegiatan belajar. Mereka juga mengikuti bimbingan belajar, tak hanya di satu tempat, tetapi di banyak tempat; guru les privat pun didatangkan ke rumah. Secara rohani pun dilakukan untuk mengatasi ketakutan. Ziarah ke tempat suci, ke makam leluhur, untuk mohon berkat dan restu. Misa, istiqosah pun digelar di sekolah untuk mohon berkat Tuhan. Orangtua pun mengundang umat seagama setempat untuk dimintai tolong supaya mendoakannya. Usaha rohani itu dilakukan untuk memberi ketenangan batin dan menghilangkan ketakutan.

Apakah dengan usaha positif itu, rasa takut hilang? Tidak juga. Ujian tetap menakutkan. Maka, ada yang menambah usaha lain, sayangnya dengan cara negatif: siswa yang akan menempuh ujian menyiapkan catatan kecil, entah di lipatan kertas entah di ponsel yang dimilikinya, bila ada kesempatan (saat izin ke WC, penjaga lengah atau ngantuk saat menjaga ujian) catatan dibuka. Mereka juga berupaya mendapatkan (bocoran) soal ujian, bahkan berusaha setengah mati untuk mendapatkan (bocoran) jawaban soal yang diperjual-belikan. Sekolah juga berusaha mencari jalan keluar. Ada sekolah yang menyiapkan jawaban dan siswa diminta untuk menyebarkan contekan itu ke siswa lain.

Ada usaha lain, dengan memberi tambahan jam belajar di sekolah, mengabaikan mata pelajaran lain yang tidak dipakai untuk ujian, memberikan nilai tambahan yang signifikan (baca: tak masuk akal) sehingga kalau nilai itu dimasukkan rumus kriteria kelulusan atau kenaikan yang telah ditetapkan siswa lulus atau naik kelas. guru dimintai pengertiannya untuk mengorbankan objektivitasnya, karena nilai yang diberikan bukan nilai sesungguhnya. Guru dihimbau untuk rela melakukan itu semua (ternyata, mau juga) untuk menghilangkan ketakutan kolektif di sekolah itu.

Parahnya lagi, pemerintah pun secara terselubung merestui kebijaksanaan sekolah seperti itu. Maka, sebenarnya kebohongan itu menjadi kebohongan struktural. Demikianlah ujian telah menimbulkan ketakutan struktural dan diobati dengan kebohongan/ketidakjujuran struktural yang bersifat nasional.

Hasil akhir dari semuanya bisa diduga, yakni pendidikan yang menghasilkan generasi pem bohong, koruptor, penipu, dan seterusnya. Relakah kita?

Bagaimana sekolah Katolik? Maukah menjadi pionir mengatasi masalah ini? Ataukah sekolah Katolik juga tetap menjadi pendukung penyebaran pendidikan kebohongan di negeri ini? Tentu saja tidak semua sekolah Katolik ikut berbohong, tetapi baiklah kalau sekolah Katolik sungguh bertanya pada diri sendiri, di mana posisi masing-masing. Setuju dengan kejujuran atau menjadi pro antikejujuran dan menjadi pendukung kebohongan? Ikut andil dalam membangun bangsa atau andil dalam menghancurkan bangsa? Sejauh mana penyelenggaraan sekolah Katolik melaksanakan cita-cita Gereja?

Kini, sekolah akan memasuki tahun ajaran baru. Semangat dan roh apa yang akan menuntun sekolah Katolik? Pertanyaan ini biarlah menjadi pertanyaan terbuka untuk didiskusikan para penyelenggara sekolah dan para pemimpin Gereja. Di tingkat KWI ada Komisi Pendidikan, secara nasional ada MNPK, di keuskupan ada MPK, ada Komisi Pendidikan bahkan sampai tingkat paroki, ada kelompok umat peduli pendidikan. Kita semua pasti menunggu apa kata mereka tentang masalah gawat ini, dan apa langkah mereka ke depan.

Penulis adalah mantan Direktur Redaksi Penerbit Kanisius Yogyakarta

Hukum Tuhan Terus Menantang

Oleh: Vinsen Hayon

Adalah Seasmus O’Grady, pemeran antagonis dalam film Charlie Angel: Full Throttle, mentato tulisan ini, “Only God will jugde me” di punggungnya ketika mendekam di bui. Tulisan ini berkesan kuat sebagai penolakan vonis hukum atas dirinya. Tidak lama mendekam di bui karena kasus pembunuhan yang ia lakukan, O’Grady kemudian bebas berkat “bantuan” seorang pejabat negara. Selanjutnya, O’Grady bekerja pada sang “pemberi bantuan” tersebut untuk kepentingan mafia.

Pada suatu percaturan mafia harta antik bernilai miliaran dolar, O’Grady tewas menggenaskan. Akibat percikan api dari petek gas ke matanya, ia menjadi buta seketika sehingga niat menyulut api tersebut ke wajah sang lawan gagal total. Sembari dalam kebutaan ia berusaha menghindari serangan dari lawan lain, dengan bergerak tak seimbang ke pojok lain dari atap gedung hotel yang tinggi. Di pojok itu ia tergelincir dan jatuh. Ia tewas mengerikan. Kematian O’Grady seperti ini, apakah merupakan jawaban atas tulisan di punggungnya? Atau bukti hukum Tuhan atas dirinya?

Lex Naturalis

Kisah kematian O’Grady berbanding terbalik dengan kematian para saksi iman/martir, nabi/prophet, orang suci/benar pada zaman lalu, misalnya Yohanes Baptista. Kematiannya tragis. Kepalanya dipenggal oleh algojo atas perintah penguasa, Raja Herodes.

Atas kasusnya, tidak ada pro-kontra secara berlebihan. Realita ini jauh sekali dari kasus kematian para “nabi zaman ini” yang karena baptisan terpanggil jadi nabi, atau karena perbuatan baik yang dilandasi nilai kemanusiaan, menjadi korban ketidakadilan suatu sistem hukum (mafia peradilan) yang kurang proporsional dan profesional. Skenario politik peradilan yang “kaliber” sering bahkan selalu menggugurkan dan mengabaikan kasus dan proses hukum mereka di balai pengadilan? Mengapa? Karena mungkin para nabi zaman ini adalah orang kecil, tidak mampu membiayai peradilan dan tidak berpengaruh (bukan penguasa) atau sedang dijerumuskan mafia peradilan, sebagai upaya melecehkan kebenaran dan menampilkan wajah kusut peradilan. Atau karena tidak sinergis antara Lex Naturalis=LN (hukum dunia) dan Lex Aeterna=LA (hukum keabadian/Ilahi).

Albert Nolan OP dalam Jesus Before Christianity (1991), mencatat bahwa pada 63 SM, Palestina menjadi koloni Pemerintahan Roma. Di daerah-daerah koloni diangkat seorang pemimpin. Sebagai calon terkuat, Herodes diangkat menjadi raja orang Yahudi dan Yesus lahir pada masa pemerintahan Herodes, yang dikenal dengan nama Herodes Agung. Atas perintahnya, seluruh anak negeri yang berumur dua tahun ke bawah dibunuh. Keadaan Kota Betlehem dan sekitarnya bermandikan darah dan berhiaskan ratap tangis duka yang dalam. Tidak ada hukum (HAM) yang menyentuhnya sampai pada tahun 4 SM Herodes Agung meninggal. Kerajaannya dibagi menjadi tiga, untuk tiga anaknya. Herodes Arkhelaus (Yudea dan Samaria). Herodes Antipas (Galilea dan Perea), dan Herodes Filipus (wilayah paling utara).

Herodes Arkhelaus, dalam menjalankan sistem peradilannya, menerapkan aturan hukumnya sendiri. Dirinya menjadi sumber hukum sehingga keputusan hukumnya tidak melalui balai pengadilan. Bukti representatif LN Herodes tertulis di Kitab Sinoptik tentang pembunuhan Yohanes.

Dalam kisah ini tidak dilukiskan pemberontakan dan demonstrasi yang terjadi setelah peristiwa kematian Yohanes. Demikian Kitab Sinoptik, “Para pengikut Yohanes mendengar hal itu, mereka datang dan mengambil mayatnya dan membaringkannya dalam kuburan.” Alasan kuat bahwa misi keselamatan umat manusia menjadi fokus. Kisah ini secara manusiawi diketahui sebagai hukum yang keras dan tindakan keji. Lantaran sebuah vonis hukum lahir dari dendam, tunduk pada keinginan sang istri (Herodias bukan istri sah) dan tekanan sumpah agar tidak hilang simpati koleganya (pembesar-pembesar, perwira-perwira, dan orang-orang terkemuka). Skenario keputusan hukumnya berdasar pada tiga hal di atas dan tidak jelas pijak duduk aturannya. Realita logika dikelabui oleh pihak yang bersekutu dengannya, dalam bentuk “hasutan” Herodias, kelincahan menari putrinya, dan sumpah yang diucap dan harus dipenuhi agar tidak kehilangan hormat, kedudukan, dan jabatan.

Vonis yang lahir dari dendam dan tunduk kepada kemauan orang ketiga, secara analog memperjelas bahwa LN ciptaannya tidak sama sekali menampakkan partisipasinya pada LA.

Misi hukum yang ultimo yakni benar, jujur, adil, dan bertanggung jawab sebagai dambaan jiwa manusia yang adalah ciptaan/milik Tuhan tidak mendapat kemuliaan di alam jagat raya, di dunia nyata, demikian St Agustinus (354-430), sang pemikir besar kristiani pada abad-abad pertama. Berhulu dari sini, ke mana arah persis hukum yang harus diberlakukan manusia untuk para “nabi zaman” ini?

Dunia peradilan kita

Terlepas dari interpretasi ilmiah-kritis atas hukum, paham LN mengajarkan, “Orang benar selamat/bebas dari hukuman dan orang salah/jahat mendapat hukuman.” Atau “Membalas yang baik dan menghukum yang jahat”. Atas ajaran ini, manusia hanya diberikan dua pilihan. Sepadan ajaran di atas, LN menerapkan ajaran yang hanya membutuhkan tafsiran lurus dan tidak dapat dipoles lagi menurut kemauan manusia bahwa, “Ne aliquid faciat quisque alteri, quod pati ipse non vult” (jangan berbuat kepada orang lain, apa yang tidak engkau ingin orang berbuat kepadamu). Pada tataran ini wajib hukumnya bahwa lex naturalis wajib rujuk pada lex aeterna.

LN sebagai praksis atau LA adalah bukti kasih yang berlaku bagi manusia dan bukannya pamer hukum rimba, “siapa kuat dia menang”. Tujuan hukumannya juga mulia dan dihormati karena memberi peluang perbaikan sikap-laku yang salah, menyadarkan dan menobatkan agar tidak lagi melakukan salah (termasuk kesalahan yang sama), sehingga dapat selamat/bebas. Sikap-laku harus berubah total agar bebas dari hukuman baik di dunia ini maupun di akhirat. Atas dasar ajaran inilah misi LN bercermin pada LA. Kepekaan hukum mendapat dasarnya di sini sehingga tidak mudah dieksploitasi untuk kepentingan yang tidak benar. Hukum dan keputusannya menyeimbangkan (mendamaikan) dua pihak yang berperkara, yang menerima keputusan sebagai kebenaran dan adil. LN yang mencerminkan LA: melenyapkan/mengabaikan ‘hukum rimba’ dan menjadikan dunia ini memiliki “tuan” sekaligus menghapus implementasi lex naturalis Herodes.

Pada tataran ini lahirlah clairvoyance (pencerahan), gaudium et spes (kegembiraan dan harapan), untuk menyajikan dan mewujudkan kebenaran, keadilan, serta kejujuran di balai pengadilan zaman ini. Tentunya hukum kita pun mendapat purifikasi dan dasar pijak yang kuat, yakni berdasar pada fakta yang jujur dan melahirkan kebenaran dan keadilan sebagai nilai-nilai dasar lex aeterna yang membumi. Dan, apabila berlaku sebaliknya; berorientasi semata “duniawi” (mengutamakan rekayasa, kebohongan, dan duit), maka seperti apa kebenaran yang mau ditegakkan untuk nasib dan perjuangan para “nabi” zaman ini?

Apakah kebenaran yang dimaksud seperti paham dasar lex aeterna, yakni “Persesuaian antara res et intelectus (fakta dan pikiran). Persesuaian antara realita dan pikiran dapat diterima akal sehat dan normal.” Fakta “persesuaian” inilah yang terkadang membuat ruwet sebuah kasus dan menggugurkan sebuah vonis hukum yang seharusnya. So, apabila lex aeterna dihayati secara benar dan baik oleh manusia ciptaan Tuhan yang nota bene beragama-beriman, maka praktik hukum tidak harus dan selalu berseberangan dengan paham lex aeterna. Keputusan hukum yang benar dan adil tidak harus selalu berujung pada menanti dalam kepasrahan bahwa, “hanya Tuhan yang menghukum dengan adil” sebagai bukti sikap humble yang keliru. Keputusan yang hanya terjadi oleh kepasrahan atas kehendak sang penguasa LN dan bukan karena berdiri atas bukti akurat sebagaimana persesuaian antara res et intelectus, maka Sang Empunya lex aeterna terus menantang lex naturalis kita sampai pada kesudahan dunia ini.

Penulis adalah karyawan ST Ilmu Pastoral St Gregorius Keuskupan Agung Kupang

Friday, August 26, 2011

Ata Kiwang Nuha Waibalun


Leron hae tobo miat jaha
tite marin rae, rae ille kolan ata kiwan

Leron tau goe tobo tutu ne kaka arin kame yang pensiun kae jadi guru rae ille kolan
Nae marin goe ni " goe bodot hae kalo goe ajar rae sain bisa kalo rae bisa kae goe opol akal rae bisa hala kae ka"

Goe pikiran tenuae guru nolon atek maen hamun ternyata pake hala sama sekali. Rae jadi guru tapi rae gesik raan ata kiwang jadi ata benisan. Jadi selama tuun pulo ruan ne lema nae naan ata kedike mete bodo dan nae tetap benisan terus...... nae tutu goe hama noron sombo berua tapi sama sekali nae mian tenake.

Jadi rae, rae ille kolan bisa jadi benisan hala sain pali wali karena tenuen kame nolon yang benisa nekun rae takut kalo ata kiwan meten bisa dan bisa lawan rae.

Coba tite tait rae Lewotala, pe taon 1980 goe rae Lewotala kai, kebetulan kaka arin kame mengajar te rae.

Goe peten jaha tede ana murid raen, rae hormat jaha yang naran nae bapa guru,
ana sekola sekola nawa dimaen yang penting bisa bantu pa guru geta tahan. Ei mio e e... loke jahak di...... pukon ane tite taan rae hama ne.....

Ato jaman nolon we,tenue tite rete tuak/arak gelu tahan mean rae Ille kolan.. rae rete tuak/arak tajo tou rae ait tahan mean karon belen tou. Rae opol akal ata kiwan jaha.

Coba kalo pembangunan rae ille kolan diperhatikan oleh Pemda Nagi pasti bagus sekali.. tanah raen subur jaha,hutan raen mae jaha,pe ke di rae aja jaha meranto lau saba.

Goe pikiran rae rae ile kolan benisan hala karena guru guru le balun alan yang raan rae jadi ata kiwang.......

Goe gete mio weken kae he .... "pukon a ne tite majan rae ne ata kiwang....."

Ata Kiwang Nuha Waibalun



Leron hae tobo miat jaha
tite marin rae, rae ille kolan ata kiwan

Leron tau goe tobo tutu ne kaka arin kame yang pensiun kae jadi guru rae ille kolan
Nae marin goe ni " goe bodot hae kalo goe ajar rae sain bisa kalo rae bisa kae goe opol akal rae bisa hala kae ka"

Goe pikiran tenuae guru nolon atek maen hamun ternyata pake hala sama sekali. Rae jadi guru tapi rae gesik raan ata kiwang jadi ata benisan. Jadi selama tuun pulo ruan ne lema nae naan ata kedike mete bodo dan nae tetap benisan terus...... nae tutu goe hama noron sombo berua tapi sama sekali nae mian tenake.

Jadi rae, rae ille kolan bisa jadi benisan hala sain pali wali karena tenuen kame nolon yang benisa nekun rae takut kalo ata kiwan meten bisa dan bisa lawan rae.

Coba tite tait rae Lewotala, pe taon 1980 goe rae Lewotala kai, kebetulan kaka arin kame mengajar te rae.

Goe peten jaha tede ana murid raen, rae hormat jaha yang naran nae bapa guru,
ana sekola sekola nawa dimaen yang penting bisa bantu pa guru geta tahan. Ei mio e e... loke jahak di...... pukon ane tite taan rae hama ne.....

Ato jaman nolon we,tenue tite rete tuak/arak gelu tahan mean rae Ille kolan.. rae rete tuak/arak tajo tou rae ait tahan mean karon belen tou. Rae opol akal ata kiwan jaha.

Coba kalo pembangunan rae ille kolan diperhatikan oleh Pemda Nagi pasti bagus sekali.. tanah raen subur jaha,hutan raen mae jaha,pe ke di rae aja jaha meranto lau saba.

Goe pikiran rae rae ile kolan benisan hala karena guru guru le balun alan yang raan rae jadi ata kiwang.......

Goe gete mio weken kae he .... "pukon a ne tite majan rae ne ata kiwang....."

Ata Kiwang Nuha Waibalun


Sumber: Reu Tukan, http://nuhawaibalun.blogspot.com/

Leron hae tobo miat jaha
tite marin rae, rae ille kolan ata kiwan

Leron tau goe tobo tutu ne kaka arin kame yang pensiun kae jadi guru rae ille kolan
Nae marin goe ni " goe bodot hae kalo goe ajar rae sain bisa kalo rae bisa kae goe opol akal rae bisa hala kae ka"

Goe pikiran tenuae guru nolon atek maen hamun ternyata pake hala sama sekali. Rae jadi guru tapi rae gesik raan ata kiwang jadi ata benisan. Jadi selama tuun pulo ruan ne lema nae naan ata kedike mete bodo dan nae tetap benisan terus...... nae tutu goe hama noron sombo berua tapi sama sekali nae mian tenake.

Jadi rae, rae ille kolan bisa jadi benisan hala sain pali wali karena tenuen kame nolon yang benisa nekun rae takut kalo ata kiwan meten bisa dan bisa lawan rae.

Coba tite tait rae Lewotala, pe taon 1980 goe rae Lewotala kai, kebetulan kaka arin kame mengajar te rae.

Goe peten jaha tede ana murid raen, rae hormat jaha yang naran nae bapa guru,
ana sekola sekola nawa dimaen yang penting bisa bantu pa guru geta tahan. Ei mio e e... loke jahak di...... pukon ane tite taan rae hama ne.....

Ato jaman nolon we,tenue tite rete tuak/arak gelu tahan mean rae Ille kolan.. rae rete tuak/arak tajo tou rae ait tahan mean karon belen tou. Rae opol akal ata kiwan jaha.

Coba kalo pembangunan rae ille kolan diperhatikan oleh Pemda Nagi pasti bagus sekali.. tanah raen subur jaha,hutan raen mae jaha,pe ke di rae aja jaha meranto lau saba.

Goe pikiran rae rae ile kolan benisan hala karena guru guru le balun alan yang raan rae jadi ata kiwang.......

Goe gete mio weken kae he .... "pukon a ne tite majan rae ne ata kiwang....."

Is dawal ana amalake

Wia, go arik Is SMS go. Na nato koda nang lohumen: "Go beng dawal anak amalake. Mo tolong nato doit uhe."

Hehehe... Is, ana tuho wutun nepi, leta doit terus. Na han Jois, Lewotolok alawen, kame lewo dahe. Is jaga lango teti Lewo, gewayan amak pe rae lewo tobo.

Go amak naranen Nikolaus Nuho Hurek, nolo guru teti Mawa, Ile Ape, Lembata. Pensiun, balika nang Bungamuda, lewo daheken. Go inak, Maria Yuliana Manuk, mataya kae 1998. Mama belara te onen, mai te ata molan, metero mang Rumah Sakit WZ Johanes Kupang, ro dokter bisa hala.

Kame metero balik lewo, mataya hulem-holem te Ohe, amak Guru Thomas Terong Hurek langun. Guru Thomas di mataya kae.

Go ana beruin, arik inawae telo: Yus (Vincentia Siri), Ernie (Ernestina Siba), Is (Kristofora Tuto).

Yus teika Kupang, guru te Kupang, nong han anaken. Ernie nong hang Hadakewa lewun. Is jaga lango teti lewo. Nolo Is nepi sekolah te SMAN 1 Kupang, kuliah esi, ro balika lewo nai.

"Go kai wayan Bapa teti lewo. Bapa mehaka hena, lango belen titen amuken," Is marin.

Terima kasih Is, jasa moen go lupang hala!

Is nepi anaken telo. Ana beruin, Maria Yuliana (Yuli), mataya. Matan belara, operasi pi Rumah Sakit dr Soetomo Surabaya. Na, inan, aman, sempat tei nong go pi Surabaya. Rema, leron, kame jagaro te rumah sakit.

Belara naen memang aneh. Dokter maring meri retinoblastoma, mata kucing. Kusing matan. "Penyakit nepi satu di antara seribu," dokter marin.

Tuhan Allah e, puken aku ti mo pile Yuli, ana nuren nepi?

Balik teti lewo, wulan to, Yuli mataya. Mo maiko molo, ina! Resquescat in pace!

Tuhan Allah denga doa kamen. Na gate Yuli, Is nong anaken muri (berewae). Minggu waiken, 19 Maret 2009, anaken tou muri: amalake.
Terima kasih aya-aya.
Posted by Lambertus Hurek

Monday, July 25, 2011

ANTARA PULAU BURU DAN SINGAPURA

Oleh: Valery Kopong*
Siapa yang tidak mengenal pulau Buru, sebuah pulau di mana ribuan orang dibuang dan disiksa, karena dituduh oleh pemerintah Orde Baru sebagai antek partai komunis yang paling dimusuhi oleh rezim tersebut selama kekuasaannya. Di pulau yang ditumbuhi oleh pohon-pohon penghasil minyak kayu putih itu pula, seorang punggawa sastrawan bangsa, Pramoedya Ananta Toer di buang karena ketajaman karya-karya sastranya dianggap dapat merobek kekuasaan Soeharto kala itu. Orang-orang cerdas dan memberikan kritik di zaman itu, menjadi sebuah ancaman bagi dirinya. Pramoedya Ananta Toer (almahrum), seorang novelis yang karena cerita novelnya dan memberikan kritik terhadap pemerintah maka ia diasingkan (dibuang) ke pulau Buru, sebuah pulau terpencil di daerah Maluku. Apa tujuan dari pembuangan orang-orang yang dianggap berpengaruh itu? Yang jelas adalah “menjerat” kebebasan mereka untuk tidak lagi bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Walaupun dipenjara dan dibuang ke pulau Buru, Pram, tetap eksis dan melakukan aktivitasnya sebagai seorang penulis. Secara fisik, ia (Pram) terpenjara tetapi imajinasi dan gagasan-gagasannya tidak pernah terpenjara oleh rezim mana pun. Ia bahkan memperlihatkan diri sebagai orang yang produktif, novelis yang sejati. Masih ingat, “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu?” Ini adalah judul novel yang ditulis oleh Pram dari balik jeruji besi. Imajinasi, gagasan yang tertuang dalam buku menjadi sajian menarik bagi publik dan dikonsumsi oleh setiap anak zaman dari generasi ke generasi. Mereka yang dibuang ke pulau Buru, bukanlah para koruptor yang menggerogoti uang negara, melainkan mereka yang “kaya gagasan” atau mereka adalah tukang kritik yang handal.
Eksistensi mereka tak pernah sepi dari ancaman, bahkan dihambat perkembangannya. Kondisi seperti ini telah dan terus terjadi sebagai bentuk penyapaan dari resiko yang dihadapi. Beberapa tokoh ternama pada masa silam, mengalami kisah pembuangan, bahkan Soekarno, presiden pertama Indonesia pernah dibuang ke Ende-Flores oleh bangsa penjajah sebagai upaya untuk memutuskan mata rantai dalam berkomunikasi. Pengalaman pahit ini tidak menciutkan nyali mereka dalam berjuang dengan caranya masing-masing demi kepentingan bangsa dan negara.


Singapura, Penyelamat para Koruptor
Antara Singapura dan pulau Buru, sedikit memiliki titik kesamaan, yaitu sebagai tempat untuk mengasingkan diri. Di Pulau Buru, para penghuninya terpaksa diasingkan tetapi para koruptor di Singapura, sengaja melarikan diri, mengasingkan diri demi menutup kesalahan yang selama ini dilakukannya. Para koruptor Indonesia, kebanyakan melarikan diri ke Singapura karena dirasa aman dari sentuhan pihak keamanan dan pemerintah terutama Indonesia. Kedua negara ini, Singapura dan Indonesia belum ada perjanjian ekstradisi, karenanya dilihat sebagai peluang emas bagi mereka untuk mencari rasa aman. Tidak hanya itu, para koruptor juga menginvestasi “modal haramnya” di negeri Singapura. Dalam salah edisi di harian KOMPAS, mengulas secara detail tentang investasi yang dilakukan oleh para koruptor Indonesia. Apartemen-apartemen mewah yang ada di Singapura, kebanyaknya dimiliki oleh orang-orang Indonesia, yang nota bene adalah koruptor.
Beberapa bulan terakhir ini, nama-nama para koruptor sempat dilacak ke beberapa negara, seperti Nunun. Dan nama yang paling santer saat ini adalah Nazaruddin, mantan bendahara umum partai demokrat menghiasi seluruh media. Namanya menjadi tersohor seketika dan wajahnya menjadi lebih familiar karena masyarakat lebih sering bersentuhan dengan tontotan para politikus yang lagi bermasalah. Sampai dengan saat ini KPK telah menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka, namun ia tak pernah nongol di negeri ini. Mengapa Nazaruddin menjadi terkenal dan seolah-olah media sepakat untuk menempatkannya sebagai ikon koruptor, secara khusus berkaitan dengan wisma atlet?
Andaikan Nazaruddin bukanlah anggota partai demokrat, pasti lain ceritanya. Mengapa? Setiap persoalan yang terjadi di Indonesia selalu dipolitisir demi kepentingan pribadi atau kelompok dan menjatuhkan lawan politik. Politik menjadi ruang terbuka bagi siapa saja, terutama bagi mereka yang diadili secara publik. Nazaruddin menjadi sosok yang korban persepsi publik, sedangkan yang lain masih dari jangkauan pencercaan. Presiden SBY sudah memerintahkan untuk menangkap Nazaruddin. Perintah penangkapan ini, oleh Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima), Ray Rangkuti, menilainya sangat diskriminatif. “Entah mengapa SBY hanya meminta Nazaruddin yang dijemput paksa, sementara tidak menyebut nama-nama lain dengan kejahatan yang sama yang kini bermukim di luar negeri,” (Republika, Senin, 4 Juli 2011, halaman 3). Menurutnya ada sekitar 15 nama yang telah ditetapkan sebagai pelaku kejahatan korupsi yang kini hidup di luar negeri. Ray menyarankan, lembaga penegak hukum mengejar semua tersangka kasus korupsi yang kini berada di luar negeri.
Menyimak perintah SBY dalam upaya penangkapan Nazaruddin, perlu dikaji dalam terang politik-filosofis. Apa yang disampaikan SBY hanya sebagai trik untuk mengelabui rakyat yang menunggu keputusan presiden dalam menyelesaikan masalah korupsi yang melibatkan para petinggi partai demokrat. Upaya ini hanyalah sia-sia karena ini merupakan skenario yang dapat mengumpan kembali citra partai yang sedang anjlok. Bagaimana mungkin seorang pemasok keuangan untuk ‘denyut nadi” demokrat ditangkap dan dipenjarakan? Bagaimana nasib partai kalau si pemilik uang dibekukan?
Nazaruddin, membeberkan nama-nama yang terlibat korupsi wisma atlet. Apa yang dikatakannya merupakan ungkapan ketakutan sekaligus mencari teman agar sama-sama sebagai pesakitan karena didera oleh mata publik. Sebaiknya, sambil menunggu kedatangan Nazaruddin nama-nama petinggi partai yang terlibat dalam kasus wisma atlet mestinya dimintai keterangan. Hanya yang menjadi problem adalah, ketika nama mereka mencuat, berkali-kali mereka menyatakan diri bersih dan bahkan bersumpah pada Tuhan bahwa ia tidak pernah melakukan tindakan korupsi. Di hadapan Tuhan, para koruptor menyatakan diri bersih, tetapi Tuhan belum waktunya membuka mulut untuk menyatakan kebenaran itu.
Menyatakan sumpah di depan publik yang dilakukan oleh seorang politisi merupakan cara sederhana membebaskan diri dari kejaran media dan publik. Apa yang dilakukan itu juga merupakan sebuah ungkapan ketakutan, karenanya menghadirkan Tuhan sebagai teman, sekaligus pemberi kekuatan dalam menghadapi persoalan. Di lain pihak, terseretnya seorang politisi, biasanya juga ia menyeret nama-nama lain untuk bersanding dengannya. Seperti Nazaruddin yang membeberkan nama sahabat-sahabatnya juga merupakan ungkapan ketakutan dan dalam ketakutan itu, ia meminta orang lain sebagai teman koruptor agar masyarakat tidak lagi memusatkan perhatian padanya.
Di dalam suasana ketakutan, sangat mudah orang lain melihat orang lain sebagai lawan dan sekaligus ancaman bagi dirinya. Seperti Nazaruddin, “bernyanyi” dalam ketakutan dari negeri singa, agar nyanyian itu didengarkan. Tetapi mengapa harus dari Singapura? Dari Singapura, ia dengan leluasa mengingat kembali, siapa-siapa saja yang menerima uang suap. Singapura adalah tempat refleksi bagi para koruptor untuk melihat, seberapa besar perbuatannya berdampak pada masyarakat luas. Singapura, memang seperti Singa, yang selalu mengaum-ngaum mencari mangsa.
“Sejahat-jahatnya singa, tak pernah memakan anaknya sendiri.” Itu ungkapan yang jauh bertolak belakang dengan sikap Nazaruddin. Orang yang pertama-tama dia makan adalah orang-orang dekatnya sendiri, “anak partai” bahkan petinggi partai. Barangkali ia mau membersihkan partai, mulai dari pembenahan internal partai itu sendiri. “Kalau mau membersihkan rumah orang lain, bersihkan dulu rumah sendiri.” Dari Singapura, para koruptor berpura-pura. Seperti skenario yang dilakukan partai Demokrat yakni membentuk tim khusus mengunjungi Nazaruddin di Singapura, ternyata hasilnya nihil. Pulau Buru, pulau yang menyeramkan tetapi anak bangsa tetap mengenang pulau itu dan orang-orang yang cerdas dibuang ke sana. Sementara itu Singapura, negeri berarca Singa namun “berkepak ayam” yang selalu melindungi para koruptor. Singapura, janganlah berpura-pura jadi singa agar mangsamu tidak punya alasan untuk merasa takut.***

Tuesday, July 19, 2011

MEMBANGUN GEREJA ALTERNATIF

Oleh: Valery Kopong*
Eksistensi Gereja tak pernah sepi dari ancaman, bahkan dihambat perkembangannya. Kondisi seperti ini telah dan terus terjadi sebagai bentuk penyapaan Gereja sebagai Gereja martir. Beberapa paroki di Keuskupan Agung Jakarta, cukup banyak mengalami hambatan, baik dalam doa maupun dalam mendirikan rumah ibadat (gereja). Pengalaman ini tidak menciutkan nyali orang-orang katolik dalam berdoa dan membentuk paguyuban iman. Tetapi justeru di dalam pengalaman pahit seperti ini, Gereja selalu memahami diri sebagai Gereja yang selalu menderita. Kristus dan penderitaan-Nya menjadi model dan memberi inspirasi bagi perjuangan hidup dalam menggereja. Dari manakah semangat yang memampukan umat Katolik untuk bertahan? Sampai kapan situasi yang tidak kondusif ini berakhir?
Membaca realita
Ketika bertemu dengan seorang teman yang berasal dari Paroki Sta. Bernadeth Ciledug-Tangerang, ia mengisahkan tentang perjuangan mereka dalam membangun paroki. Begitu lama mereka hidup dalam paroki itu tetapi sampai saat ini, belum memiliki rumah ibadah. Sudah banyak upaya dilakukan untuk mencari tempat mendirikan gereja, sepertinya sia-sia karena warga sekitarnya tidak mendukung. Peristiwa ini menjadikan mereka lebih solid dan kreatif untuk bagaimana menghidupi Gereja itu. Salah satu alternatif yang ditempuh adalah mengadakan misa di setiap wilayah pada hari minggu dan hari-hari raya lain.
Cerita teman ini menunjukkan keprihatinan tetapi di sini lain, terlihat upaya yang dilakukan dalam membangun “Gereja Diaspora,” sebuah Gereja alternatif yang menjawabi kebutuhan umat urban dan menghindari gesekan sosial horizontal. Gereja diaspora seperti yang ditulis oleh Alm.Romo Mangun menjadi sebuah kondisi nyata yang terdesain dalam keterhimpitan masalah. Gereja diaspora di sini dimengerti sebagai Gereja yang menyebar dalam beberapa wilayah, yang tumbuh dari keterdesakan situasi. Pengalaman dalam membangun Gereja-Gereja kecil menjadi sebuah langkah nyata dalam menghadirkan Kristus secara lebih dekat, baik kelompok internal maupun eksternal.
Dengan mengadakan misa di setiap wilayah dan kelompok kecil, menjadi tanda bahwa kerajaan Allah sedang hadir dalam perayaan penuh makna itu. Warta kerajaan Allah dalam bentuk perjamuan itu menjadi sebuah pertanyaan politis bagi Gereja, atau, dalam formulasi Umberco Eco: pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan Gereja apabila dia sungguh mencintai manusia. Gereja mengulangi pewartaan ini setiap kali dia merayakan ekaristi. Ekaristi adalah sakramen, tanda Kerajaan Allah sebagai perjamuan yang tidak mau mengucilkan siapa-siapa. Kalau ekaristi sekaligus dianggap sebagai perwujudan sakramental Gereja, bahwa di sana Gereja mengekspresikan diri sebagai tanda, sebagai sakramen Kerajaan Allah di dunia ini, atau dalam bahasa Konsili Vatikan II sebagai sakramen persatuan manusia dengan Allah dan manusia satu sama lain (bdk.LG 1), maka warta Yesus tentang kerajaan Allah dan perayaan itu sendiri harus selalu menghadirkan sebuah citra diri, di hadapannya Gereja mesti bercermin: apakah dan sejauh mana dia menjadi sakramen yang benar, yang dimengerti dan yang menyentuh dari kerajaan Allah itu. Semestinya menjadi sebuah luka yang menganga dalam setiap perayaan ekaristi, apabila kita menyadari bahwa para peserta perjamuan yang sama itu terbelah dalam kelompok yang kaya yang hidup dalam kelimpahan dan kelompok yang miskin yang tidak memiliki apa-apa.
Ekaristi menjadi sebuah bentuk keberpihakan sekaligus tanda penyelamatan bagi mereka yang sedang berada pada situasi darurat. Mungkinkah dalam perayaan ekaristi, umat yang hadir menyadari sebagai diri sebagai “roti hidup” yang siap dibagi dan dibaurkan diri dalam kerumunan massa yang mayoritasnya adalah non katolik? Dengan membentuk kelompok kecil sebagai serpihan roti yang dipecah-pecah, menandakan bahwa mereka sedang digiring untuk memperkenalkan, siapa itu Yesus yang diimani pada tetangga-tetangga yang belum mengenal. Pelan tapi pasti bahwa suatu ketika saat, kerinduan untuk membangun sebuah paroki menjadi nyata karena didasari oleh kesepahaman akan nilai-nilai kristiani yang tertabur di seputar kelompok-kelompok kecil.
Georges Bernanos, penulis Perancis (1888-1948), dalam romannya “Ketakutan yang terberkati,” menulis demikian: “Yesus Sang Penebus telah dan tetap hidup di antara kita sebagai seorang miskin. Di dalam sejarah selalu muncul saat-saat, di mana Dia memutuskan untuk membuat kita miskin seperti diri-Nya sendiri, agar kita dapat diterima dan manjadi sahabat para fakir miskin, untuk kembali menemukan apa yang dikenal-Nya dahulu di jalan-jalan di Galilea: keramahan orang-orang miskin dan sederhana. Miskin untuk dapat mendekati dan didekati kaum miskin, sehingga tidak dijauhi oleh para fakir miskin sehingga tidak segan-segan disapa dan diundang oleh kaum miskin. Dan miskin sekian, sehingga undangan, sapaan para miskin itu sekaligus menjadi kesempatan bagi mereka untuk merasa diri sebagai pribadi, seseorang yang bernilai.
Beberapa peristiwa yang mencederai umat bahkan menggonjang iman umat, bisa dilihat dalam terang iman sebagai sebuah ketakutan yang terberkati. Tuhan tidak membiarkan umat-Nya jatuh ke dalam “perangkap” para musuh yang setiap saat menggesek kedudukannya agar mereka tidak lagi mengakui Kristus. Pengalaman hidup menggereja tanpa sebuah gedung gereja paroki, sebagai upaya untuk tetap bercermin diri pada sosok Sta. Bernadeth. Selama hidupnya, ia (Sta. Bernadeth) mendapat tantangan berat yang datang dari sesama rekan sepanggilan dan dari pemerintah pasca menerima penampakan Bunda Maria. Kesetiaannya “memangku derita” memperlihatkan kepribadiannya yang selalu berpasrah pada ribaan Sang Bunda. Seperti Bunda Maria yang selalu pasrah pada kehendak Allah, Sta.Bernadeth pun demikian. Tetapi dalam kepasrahan, “ada jalan baru” yang ditunjukkan oleh Allah baginya. Seperti Bunda Maria dan Bernadeth, umat Paroki Sta.Bernadeth pun selalu pasrah. Tuhan pasti akan memberikan jalan untuk membangun rumah-Nya (baca:gedung gereja) dengan dasar keringat dan perjuangan tanpa batas.***
Penulis, Alumnus STFK Ledalero, bekerja sebagai Penyuluh Agama Katolik pada kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang

Thursday, July 14, 2011

Kecurangan Anggaran, Siapa yang Rugi?

Oleh Yohanes Fabiyola Halan SE, Ak (Internal Auditor)

Sejak berlakunya UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerin-tahan Daerah sebagai pengganti dari UU No. 25 Tahun 1999, pemerintah daerah berhak untuk mengelola keuangan yang berasal Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan.

Untuk mengawasi kelelua-saan ini tentunya sudah dirancang meka-nisme perencanaan dan pertanggungja-waban yang memadai sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Sebagai contoh dapat kita lihat pada mekanisme pembuatan anggaran yang melibatkan aspirasi masyarakat.


Laporan pertanggungjawaban yang benar merupakan salah satu komponen dari Sistem Pengendalian Internal. Tujuan-nya untuk mendorong setiap pengguna anggaran agar selalu patuh pada mekanis-me yang benar.

Namun, tidak bisa dipung-kiri bahwa keleluasaan pengelolaan keuangan mempunyai daya tarik tersendiri untuk terjadinya tindak kecurangan. Yang salah bukan laporan pertangungjawaban yang diwajibkan, melainkan niat untuk tidak menghiraukan ketentuan dan me-manipulasi laporan pertangungjawaban. Di satu sisi kita mengharapkan adanya pola kerja yang efisien dan efektif dalam keleluasaan pegelolaan keuangan, namun di lain sisi ada pembocoran karena mental yang tidak mau maju.


Keadaan ini harus menjadi perhatian bersama. Kecurangan terhadap anggaran dapat dilakukan oleh pihak internal pemerintah, pihak luar yang berhubungan dengan pemerintah, dan kolaborasi antara kedua pihak tersebut. Untuk yang disebutkan terakhir akan menjadi lebih sulit untuk dibuktikan karena melibatkan dua pihak yang saling mendapat keuntungan


Secara teoretis penyebab kecurangan dirangkai dalam satu kata, yaitu GONE (Greed, Opportunity, Need, Expose). Greed atau Keserakahan, Opportunity atau Kesempatan, dan Need atau Kebutuhan, merupakan tiga faktor penyebab pertama yang berbanding lurus dengan tindak kecurangan. Artinya semakin tinggi ketiga faktor tersebut, kemungkinan terjadinya kecurangan pun meningkat. Ini berbeda dengan faktor Expose atau Pengungkapan.

Semakin besar tingkat pengungkapan atas tindak kecurangan maka diharapkan keinginan untuk melakukan kecurangan kian berkurang. Untuk faktor yang terakhir ini tampaknya belum efektif dilakukan. Bukan karena tidak dimunculkannya di muka publik tindak kecurangan tersebut, namun karena cepat memudar dan begitu cepat terlupakannya setiap kasus yang terungkap karena ketidaktuntasan pengungkapannya. Dalam hal ini faktor pengungkapan yang dimaksud tidak menghasilkan efek jera.


Faktor Kesempatan sudah mendapat perhatian yang memadai. Buktinya secara gencar dilakukan pendalaman pemahaman mengenai Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang efektif.

Selain itu, sebagai pengawasan terhadap berjalannya SPI, pemerintahan melalui satuan kerja pengawas internalnya, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah memberi perhatian khusus untuk memastikan berjalannya mekanisme tersebut. Tujuannya untuk meminimalisasi kesempatan untuk terjadinya tindak kecurangan.
Berkaitan dengan faktor Kebutuhan juga demikian. Pemberian remunerasi adalah salah satu contohnya.

Tentu tidak semua bagian mendapat fasilitas tersebut. Fasilitas ini lebih difokuskan pada mereka yang karena tugas dan tanggung jawabnya rawan terjadi tindak kecurangan karena bersentuhan langsung dengan aset yang mudah dipindahtangankan tanpa melalui mekanisme yang rumit.
Dalam kerangka berpikir GONE, faktor Keserakahan ditempatkan paling awal. Ini bukan tanpa alasan. Mentalitas ini merupakan awal dari bencana kecurangan. Namun, faktanya justru faktor tersebut kurang mendapat perhatian. Faktor ini sifatnya melekat pada setiap pribadi.

Pencegahan yang paling efektif adalah ketika pelaksanaan seleksi masuk pegawai. Berapa banyak pemerintah daerah yang menggunakan metode psikotes untuk menilai potensi mental serakah dalam seleksi masuk pegawai? Berapa banyak pelatihan yang bertujuan untuk mencegah mentalitas tersebut? Hal ini harus menjadi perhatian serius.


Dalam era Otonomi Daerah, praktik kecurangan tidak dapat dihindari, bahkan kecurangan tampak dalam pelbagai bentuk baru yang tidak mudah terdeteksi. Karena itu, kita perlu menumbuhkan sikap mawas diri terhadap setiap tindakan kecurangan. Sikap mawas diri dapat menghindarkan kita dari pengaruh untuk melakukan permufakatan jahat. Untuk itu, sangat perlu untuk memahami seperti apa tindak kecurangan itu dilakukan.


Tindak kecurangan terhadap anggaran yang banyak menyita perhatian dari pihak pengawas adalah kecurangan yang dilakukan oleh okunum internal pemerintah (pihak pertama) dengan pihak luar (pihak kedua). Sebut saja aktivitas pengadaan barang yang merupakan komponen belanja modal dalam anggaran.

Motif kecurangan bisa saja terjadi pada tahap penyusunan anggaran. Artinya, pada tahap penyusunan anggaran ini sudah ada proposal dari pihak kedua yang digunakan sebagai dasar untuk pengajukan dalam mata anggaran belanja modal tersebut. Tentu saja tidak ada yang gratis.

Ada semacam balas jasa yang harus ditanggung oleh pihak kedua atas dipakainya proposal tersebut dalam pengajuan anggaran. Namun bisnis tetap bisnis dan tidak ada yang mau rugi. Sejumlah biaya balas jasa tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan pihak kedua, namun ditambahkan sebagai harga jual yang biasa disebut praktik mark up (penggelembungan) harga.


Selanjutnya dalam tahap pelaksanaan pengadan tersebut, pihak kedua akan berusaha seefisien mungkin untuk menekan biaya yang dikeluarkan dengan maksimal harga sebesar harga pokoknya sehingga laba yang diharapkan dapat terealisasi secara utuh. Ilustrasi singkatnya sebagai berikut: Proyek pengadaan barang dengan harga pasar Rp 100 juta. Pihak kedua mengharapkan tambahan laba sebesar Rp 20 juta.

Total harga barang tersebut menjadi Rp 120 juta. Oknum pihak pertama meminta jatah Rp 30 juta. Pihak kedua tidak memperlakukan Rp 30 juta tersebut sebagai biaya sehingga labanya berkurang sebesar jumlah tersebut, namun menambahkannya menjadi harga jual. Harga jual barang tersebut meningkat menjadi Rp 150 juta. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa besarnya uang yang dikeluarkan dari anggaran sebesar Rp 150 juta hanya untuk menikmati produk yang harganya Rp 100 juta.


Dalam praktik peristiwa semacam ini bisa dimodifikasi sedemikian rupa namun tujuannya tetap sama, yaitu pada keuntu-ngan kedua belah pihak. Jika demikian keadannya, maka hal ini tidak akan muncul ke permukaan selama kedua belah pihak merasa tidak dirugikan.

Namun, tidak berarti tidak dapat dibuktikan tindak kecurangan ini. Pembuktian atas kecurangan semacam ini membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus yang biasanya dimiliki oleh lembaga pemeriksa dan pengawasan baik eksternal, yaitu BPK, maupun internal pemerintah, yaitu BPKP dan satuan kerja lainnya seperti Inspektorat.

Masyarakat tentunya menaruh harapan besar atas kinerja lembaga dan satuan kerja tersebut untuk dapat mengungkap tindak kecurangan.
Jika dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan, inspektorat baik pada tingkat propinsi atau kabupaten mempunyai scope pemeriksaan yang lebih sempit. Selain itu, dengan keberadaan auditor pada lingkungan propinsi atau kabupaten, mereka seharusnya lebih memahami karakteristik auditee-nya.

Selanjutnya mereka dapat mengembangkan risiko yang dapat muncul dari setiap aktivitas apalagi yang berkaitan dengan komponen belanja modal. Hal ini dapat menjadi prioritas pengawasan yang dimuat dalam Program Kerja Pengawasan Tahunannya (PKPT). Dengan demikian, persoalan kecurangan (seperti ilustrasi tadi) dan pelbagai modifikasi lainnya seharusnya segera dapat terdeteksi.


Menjadi penting untuk kita bahwa dengan adanya fungsi pengawasan dari lembaga atau satuan kerja pengawas, segala kejanggalan yang ada di masyarakat bisa dilaporkan. Tentunya tidak semua laporan tersebut dapat ditanggapi secara langsung karena adanya prioritas dari lembaga tersebut yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Bagi kita yang ada di daerah perlu sekali untuk mendorong peranan pihak inspek-torat agar lebih proaktif bukan hanya un-tuk melakukan monitoring yang bersifat rutin, tetapi juga melakukan audit investi-gasi untuk mengungkap praktik kecurang-an.

Jika dihubungkan dengan kerangka berpikir GONE, audit investigasi tersebut bisa menjadi salah satu elemen dari faktor Expose yang dapat dimaksimalkan hingga menghasilkan efek jera. *

Wednesday, July 13, 2011

Menang Tanpa Harus Merendahkan (Bersama SONATA Membangun Flotim)

Oleh Thomas Todo Golo Tokan (Aktivis Hak Anak dan Perempuan serta Fasilitator “Sekolah” Jurnalistik BUMI JAYA Course Center )

HANYA oleh satu sebab yakni tidak ada selembar kertas, pembangunan rakyat Flores Timur (Flotim) ‘mati suri’ fisik pun psikis tersayat selama 15 bulan 21 hari (15/3/2010 - 6/7/2011). Selembar kertas itu yakni surat dukungan, yang tidak disertakan salah satu pasangan dalam kelengkapan administrasi proses seleksi bakal calon pasangan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Flotim.

Sekadar info, dari 244 Pilkada kota/kabupaten se-Indonesia selama 2010, 243 Pilkada berjalan mulus, karena surat dukungan itu di mata partai pendukung bakal calon pasangan adalah surat wajib yang harus disertakan, sehingga tidak menuai kasus seperti Flotim. Hanya satu yang tidak! Itu di Flotim. Ini sejarah.


Efek domino sejarah itu amat memilukan bagi siapapun yang mencintai Flotim. Betapa tidak! Mayoritas rakyat Flotim mungkin tidak menyadarinya. Tetapi tidak tertutup kemungkinan kisruh Flotim dikondisikan guna mencoreng citra Gubernur Frans Lebu Raya sekaligus untuk membela rakyat Flotim menghadapi suksesi politik NTT tahun 2013?

Artinya kemenangan politik ada pada pihak lawan politik tingkat propinsi. Prediksi demikian agak rasional. Minimal sampai 7 Juli 2011, rakyat Flotim gundah sampai usai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Mondial dan FF-IA (Pos Kupang, 8/7/2011).

Rakyat Gotong Royong

Keputusan MK ini melegahkan setiap pecinta damai. Rakyat Flotim pecinta damai hendaklah melakukan aneka tindak fisik pun perubahan psikis agar ke depan pembangunan Flotim berubah maju mengejar ketertinggalan dari kabupaten/kota lain se-NTT. Sudah waktunya, rakyat Flotim mengembalikan harga diri dan tidak merasa rendah diri seperti tidak ada seorang pun anak tanah Flotim duduk di kursi DPRD NTT sekarang (2009-2014) walau masih ada wakilnya dari anak Lamaholot: Lembata-Alor.


Hanya, dari sisi politik tingkat Propinsi NTT, wajah rakyat Flotim masih diselamatkan oleh seorang anak Lamaholot yakni Frans Lebu Raya. Jika Gubernur NTT periode ini pun bukan anak Lamaholot, maka sampai tahun 2014, tidak ada anak Flotim terlihat di panggung politik NTT. Syukurlah!


Padahal, sudah dua putera Flotim dipercayakan menjadi Gubernur NTT yang didahului oleh terhormat Dokter Hendrikus Fernandez. Demikianpun pada periode tahun tertentu, ketua partai politik tingkat provinsi justru terbanyak dari Flotim. Ada Simon Hayon (PPDI). Ada Kris Boro Tokan (Ketua PAN). Ada Yahidin Umar (Ketua PPP). Ada Frans Lebu Raya (PDIP). Ada Arif Rahman (Ketua PBB).

Apalagi sejarah pendidikan di NTT menjelaskan, berhulu dari Larantuka-lah mengalir para guru ke arah barat Flores yang kemudian menghasilkan anak didik mereka yang melalang buana ke seantero NTT.
Menyadari peran politis anak Lewo Tana tersebut, maka usai keputusan MK ini rakyat Flotim hendaklah meyakinkan diri bahwa rakyat Flotim memiliki kematangan berpolitik.

Untuk itu, rakyat Flotim berlapang dada menegaskan, ‘Kami adalah penegak domkratis tulen. Kami menerima pemimpin terpilih dan siap bersuka ria bergotong royong membangunan Lewo Tana guna lebih maju dari sekarang. Kami juga harus maju,.. maju dan terus maju bergotong royong bersama Bupati Yosni.’ Suara kenabian dari mimbar gereja, masjid, pura amat dibutuhkan untuk menjernihcerahkan keadaan ini.

SONATA Merendah

Dorongan agar rakyat Flotim bergan-dengan tangan seperti budaya tandak (lili, dolo-dolo, nama’) yang adalah simbol persatuan dan kesatuan serta eratnya semangat bergotong royong, maka rakyat Flotim hendaklah rendah hati. Baik rakyat maupun elit politik, kalangan aparat pemerintah yang kalah atau menang hendaklah kembali ke citra orang beriman Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha bahwa rendah hati, saling memaafkan, saling mengampuni jika sudah sempat tergores rasa dendam, benci dan iri malah tidak tegur sapa satu sama lain.


Biarlah hari lalu pergi bersama derasnya arus selat Gonzalo entah menuju Laut Flores ataupun ke Laut Sawu. Campakanlah luka hati itu di puncak gersang Lewo Tobi ataupun Boleng.

Tetapi dari sekarang marilah semua rakyat Flotim bersatu kata dan tindak menabur kesejukan dan kedamaian seindah hijau dan dinginnya Mandiri.
Proses sejuk, damai, gotong royong ini pasti diteladankan pasangan SONATA. Pada titik titian baru inilah, terhormat Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Yoseph Lagadoni Herin (Yosni) dan Valentinus Tukan (Valens) merangkul seluruh rakyat dan semua kalangan yang selama proses Pilkada disebut ‘lawan politik’ baik murni politisi pun kalangan aparat pemerintah yang abu-abu ataupun hitam di atas putih.


Empat pilar kecerdasan manusia SONATA (fisik, intelektual, emosional dan spiritual) hendaklah diramu sedemikian sehingga pada akhir periode pengabdian tergores pena keberhasilan sekaligus terkenang seumur sejarah peradaban Pemda Flotim. Hebat, SONATA menang tanpa harus merendahkan kawan pun lawan.

Ikan dan Jagung Ganti Nasi

Dalam proses menuju keberhasilan pengabdian SONATA ini, beberapa titik teresensial pembangunan Flotim patut diwujudkan bersama. Tanpa mengabaikan infrastruktur air, listrik dan jalan, tetapi beberapa aspek utama bidang kesejahteraan (ekonomi, kesehatan, pendidikan) patut disandingkan dalam skala nilai prioritas termasuk dalam paparan visi misi, program kerja SONATA. Bidang ekonomi teristimewa melanggenkan budaya tani ditekankan penghijauan kembali padang savana dengan penekanan pada perubahan radikal dari pola bakar ke ‘tidak bakar’ baik rumput di kebun maupun savana yang tersisa.


Selain itu, hasil perkebunan (kopi, coklat, kemiri, kelapa dll) agar diantarpu-laukan dari pelabuhan Flotim. Ini penting demi peningkatan retribusi PAD Flotim. Selama ini, hasil komoditi terbanyak diantarpulaukan dari Maumere. Sikka dapat retribusinya. Buatlah terobosan ke Makasar lebih dekat dengan Flotim.


Terkait dengan itu, urgen satu unit ferry nol kilometer didatangkan dari Jepang misalnya untuk rutin merangkai Waibalun, Pamangkayo, Terong Boleng terus ke Lewoleba, Balauring, Baranusa, Kalabahi sehingga roda empat dari Maumere atau Larantuka ke berbagai daratan Lamaholot pun aman saja. Ekonomi Lamaholot pasti lebih gesit melesat ke depan bagai anak panah.
Bidang kesehatan, perbanyak pendidikan dokter asal darah Flotim dan kembali melayani rakyat Flotim.

Carilah sponsornya dari berbagai kedutaan terutama pihak Jepang yang memiliki pabrik ikan dan mutiara di Flotim. Khusus untuk peningkatan kualitas pendidikan anak umumnya, naluri penulis dan jiwa jurnalis Bupati Yosni hendaklah terlihat nyata di sekolah-sekolah oleh Mading profesional jurnalistik disertai aneka lombanya didukung Tabloid Guru dan budaya baca. Saatnya, semua anak Flotim minimal tamat tingkat SMA. Tidak ada anak usia 18 tahun ke bawah dibiarkan putus sekolah. Hapuskan pekerja anak.


Ajaklah ribuan pemuda menjadi nelayan tangguh penangkap sekaligus penjual ikan segar murah meriah ke seluruh Flores dan Timor lewat Atapupu agar rakyat NTT bermenu favorit ikan. Aliran ikan berlimpah sedikitnya 2,5 juta ton dalam 24 jam dari selat Gonzalo sampai Watowoko hingga Alor hendaklah dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga mengantar anak Flotim brilian sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat Flotim.


Terakhir tetapi justru terutama dan pertama yakni SONATA meyakinkan anak-anak Flotim agar perbanyak makan ikan berteman jagung, ubi kayu, sayuran alami dari pupuk kandang ternak bukan kondang nasi (beras dari luar Flotim yang turut menambah kemiskinan akut). Remaja puteri dimotivasi berbudaya menenun dan titi jagung.


Harapan ini hanya dapat terwujud jika ada dana melimpah. Agar dana melimpah, maka rajin-rajinlah Bupati Yosni ke Jakarta melobi investor dan departemen terkait. Urusan administrasi diserahkan kepada Wakil Bupati. Karena di mata aparat Pusat, seorang kepala daerah tingkat kabupaten/kota tidak beda jauh dengan seorang petugas penyuluh lapangan bukan ‘raja kecil’ yang minta disembah dan hanya menghabiskan DAK dan DAU.

Aparat Pusat angkat topi lalu menggelontorkan lebih banyak dana ke daerah yang rajin menyerap DAK dan DAU berkualitas prima sampai pada September. Tabe SONATA! Selamat Mengabdi Lewo Tana. *

Urgensi Kritik Sastra NTT

Oleh Viktorius P. Feka (Alumnus FKIP Undana, Peminat Sastra)

TRADISI kritik sastra yang berkembang di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya masih tergolong muda. Tradisi kritik sastra ini belum begitu berkembang dengan baik oleh karena tiga (3) faktor, yakni: pertama, usia sastra kita yang masih tergolong belia sehingga muncul rasa reluktansi (sense of reluctance) untuk mengeritik dan berceloteh tentang sastra.

Kedua, minimnya minat dan atensi terhadap sastra itu sendiri sehingga mengakibatkan mandulnya reproduksi kritik sastra. Ketiga, belum adanya koran sastra atau koran yang menyediakan rubrik/kolom sastra untuk kritik sastra.

Sejarah Kritik Sastra di Indonesia

Sebelum kita berkelana menyisir tradisi kritik sastra di NTT (bumi Flobamora), saya ingin mengajak kita sekalian untuk sekilas menengok perkembangan kritik sastra dahulu kala. Dalam buku Kritik Sastra karya Drs. Atar Semi (1989:64-65) dikemukakan bahwa kritik sastra Indonesia baru dikenal setelah budayawan dan sastrawan mengenyam pendidikan Barat. Sebelum itu, penilaian atas karya sastra hanyalah dalam hubungan dengan kepercayaan, agama, dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan pada umumnya, bahwa sastra tidak sepenuhnya ditautkan dengan dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakekatnya walaupun dilepaskan dari norma keagamaan.

Seiring dengan kesadaran itu, orang mulai memikirkan tentang hakekat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai sastra. Hal ini menimbulkan minat pula dalam membaca dan mempelajari tentang permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara-negara lain.

Pada saat itu, dunia kritik sastra mulai muncul di Indonesia. Semuanya itu bermula pada awal abad kedua puluh.
Terinspirasi oleh sejarah sastra ini, maka mulai diciptakanlah tradisi kritik sastra di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya penulisan buku kritik sastra dan tak kalah media cetak pun menyediakan kolom sastra untuk memuat karya sastra dan kritik sastra.


Misalnya, buku Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw, seorang mahaguru yang menaruh perhatian terhadap kesusteraan Indonesia. Tulisan-tulisan kritik sastra juga ditulis oleh para pujangga baru Indonesia, seperti J.E Tatengkeng, di bawah judul Penyelidikan dan Pengakuan serta karangan-karangan Sutan Takdir Alisjahbana, Armin Pane. H. B. Jassin pun muncul dengan buku kritik dan esei di bawah judul Kesusteraan Indo-nesia Modern dalam kritik dan esei pada tahun 1954. Setelah itu, muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh lebih muda yang sebagian besar mu-rid-murid H.B. Jassin, antara lain Boen S. Oemaryati, J. U. Nasution, M.S. Hutagalung.


Dari kalangan sastrawan atau pengarang pun bermunculan karya-karya kritik sastra antara lain Gunawan Muhamad, Arif Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi.


Majalah sastra dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat, Budaya, Basis, Budaya Jaya, Horison, sedangkan surat kabar seperti Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, dan Suara Karya.


Meskipun kritik sastra masih tertatih-tatih berjalan menuruti perkembangan zaman, kritik sastra Indonesia tetap berkembang dan bertumbuh begitu baik. Kritik sastra tetap dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu hasil karya sastra. Hal ini dapat kita saksikan pada media cetak yang tersebar di pulau Jawa dan sekitarnya, kolom sastra selalu disediakan untuk memublikasikan segala karya berbau sastra.
Lantas bagaimana dengan konteks kritik sastra di NTT? Pertanyaan ini merupakan langkah awal bagi penulis dan kita semua untuk menyisir kritik sastra di NTT.


Menyisir Kritik Sastra NTT


Dalam konteks NTT, rupanya kritik sastra belum mentradisi sebagaimana yang ada di tanah Jawa. Sejauh pengamatan penulis, tradisi kritik sastra NTT belum dibangun dan diciptakan dengan baik untuk memberikan apresiasi terhadap suatu karya sastra. Padahal boleh dikatakan NTT memiliki sastrawan/i yang tak kalah bersaing juga dengan para sastrawan/i di daerah lain. Atau mungkin saja penulis keliru karena belum membaca media cetak lainnya, selain Harian Pos Kupang (PK). Namun di balik tak berkembangnya tradisi kritik sastra ini, PK telah mulai membuka ruang kritik sastra.


Kita patut berbangga dan mengapresiasi inisiatif PK yang ugahari berikhtiar berdonasi dalam pengembangan karya sastra di NTT. Sebagai salah satu media besar di NTT, media ini selalu menyuplai rubrik imajinasi untuk memublikasikan karya-karya sastra semisal puisi dan cerpen. Tak hanya beristirahat di sini, PK pun mengepakkan sayap kreatif-inovatifnya menuju dunia kritik sastra. Tentunya ini merupakan suatu kebanggaan kita bersama teristimewa yang concern terhadap dunia sunyi (sastra) Flobamora.


Dalam catatan penulis, PK telah memulai dan melakukan kritik sastra. Kritik sastra ini didalangi pak Julianus Akoit (wartawan PK) pada edisi Minggu, 10 April 2011 (kritik cerpen KKS karya Taty Gantir), 8 Mei 2011 (kritik puisi terhadap 3 penyair pemula; Mario F. Lawi, Viktorius P. Feka dan Dion Tunty), dan 29 Mei 2011 (kritik cerpen SKDR karya Mario F. Lawi). Masyarakat NTT patut berbangga dengan munculnya kritikus mumpuni, yang mesti masih belia, telah memulai apresiasi sastra dalam rubrik imajinasi PK. Dengan keterbatasan yang dimiliki beliau mencurahkan atensinya terhadap fertilitas karya sastra di NTT. Salah satu hal yang dilakukannya adalah kritik sastra.


Bagi sebagian orang, kemunculan kritik sastra di PK mungkin saja dipandang sebagai cambuk pematian dan pelemahan terhadap bakat dan minat karya sastra. Atau adakalanya kritik sastra itu dapat memengaruhi aspek psikologis dan sosiologis seorang sastrawan/i pemula yang hasil karya sastranya dikritik. Namun bagi saya, kritik sastra ini urgen diperlukan dengan dilandasi dua alasan, yakni: pertama, kritik sastra adalah pupuk (literary fertilizer).

Kritik sastra bak pupuk yang mutlak diperlukan untuk memupuk dan menumbuhkembangkan benih-benih sastra yang ditaburkan di dalam taman/ladang sastra. Presensi kritik sastra ini akan selalu menambah fertilitas pertumbuhan karya sastra di NTT. Kedua, kritik sastra adalah oase. Kritik sastra bak oase yang mutlak dibutuhkan untuk memberikan kesegaran kepada mereka yang dehidrasi di tengah padang sastra. Kritik sastra ini pula dilakukan untuk memacu minat dan bakat seorang calon sastrawan/i untuk menjadikan karyanya sempurna.


Oleh sebab itu, kritik sastra sangat diperlukan demi terciptanya reproduksi sastrawan/i NTT. Mengapa tidak? Masyarakat NTT memiliki potensi yang luar biasa dalam dunia sastra. Bakat menulis sastra baik berupa puisi, cerpen, cerber maupun novel, dsb merupakan suatu berkah yang mesti dikembangkan.

Dalam pengembangan karya sastra, tentu-nya kritik sastra pun berperan dalam ikh-tiar penyempurnaan sebuah karya sastra. Sebab di dalam suatu kritik sastra kita dapat menemukan kelebihan dan kekura-ngan yang mesti dipertahankan/diting-katkan dan diperbaiki/direvisi. Untuk itu, kita semua berharap agar PK sebagai peretas kritik sastra di NTT tetap terus melakukan kritik sastra. Kritik sastra mesti dijadikan sebagai sebuah tradisi demi fertilitas dan perfeksi karya sastra di NTT.

Tambahan pula, semoga PK pun berkenan menyediakan rubrik/kolom kritik sastra bagi pihak luar (non-PK) yang ingin melakukan kritik sastra. Sebab harumnya nama Flobamora menjadi tanggung jawab dan kebanggaan kita semua.*
Editor : Bildad Lelan »» Penulis : Viktorius P. Feka »» Sumber : POS KUPANG CETAK
Dibaca 86 kali »» Dikomentari 3 kali »» Share on Facebook »» Share on Twitter
<< Awal < Sebelumnya | 1 dari 1 Halaman Komentar | Selanjutnya > Akhir >>

saya setuju dngan pandangan bung Berno dan salut 2 jempol untuk saudaraku Viktor yang sudah berbuat lebih untuk masyarakat NTT dengan menulis sebuah artkel cukup bagus. tapi bisakah kita generasi muda berpikir 'lebih'?. berpikir lebih yang saya maksud adalah mengajak masyarakat NTT untuk mencintai sastra. dengan mencintai dunia sastra, kita dan mereka akan sampai pada tahap kritik sastra dimaksud.
Komentar Oleh: Unu Ruben | Rabu, 13 Juli 2011 | 10:56 WITA

Bagus idenya. tapi, baik kalau mengawalinya dengan ulasan: Kritik sastra mempelajari sastra secara khusus (Wellek, 1977: 38), langsung dan konkret, yakni bagaimana meresepsi sebuah karya sastra: menimbang, menilai, meresensi, mengomentari, dll. Coba dihubungkan dulu dengan Sejarah sastra, teori sastra sehingga menjadi satuan ilmu sastra yang kemudian menjadi acuan orang untuk membangun sebuah 'kritik sastra NTT' Salam.

Menang Tanpa Harus Merendahkan (Bersama SONATA Membangun Flotim)

Oleh Thomas Todo Golo Tokan (Aktivis Hak Anak dan Perempuan serta Fasilitator “Sekolah” Jurnalistik BUMI JAYA Course Center )

HANYA oleh satu sebab yakni tidak ada selembar kertas, pembangunan rakyat Flores Timur (Flotim) ‘mati suri’ fisik pun psikis tersayat selama 15 bulan 21 hari (15/3/2010 - 6/7/2011). Selembar kertas itu yakni surat dukungan, yang tidak disertakan salah satu pasangan dalam kelengkapan administrasi proses seleksi bakal calon pasangan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Flotim.

Sekadar info, dari 244 Pilkada kota/kabupaten se-Indonesia selama 2010, 243 Pilkada berjalan mulus, karena surat dukungan itu di mata partai pendukung bakal calon pasangan adalah surat wajib yang harus disertakan, sehingga tidak menuai kasus seperti Flotim. Hanya satu yang tidak! Itu di Flotim. Ini sejarah.


Efek domino sejarah itu amat memilukan bagi siapapun yang mencintai Flotim. Betapa tidak! Mayoritas rakyat Flotim mungkin tidak menyadarinya. Tetapi tidak tertutup kemungkinan kisruh Flotim dikondisikan guna mencoreng citra Gubernur Frans Lebu Raya sekaligus untuk membela rakyat Flotim menghadapi suksesi politik NTT tahun 2013?

Artinya kemenangan politik ada pada pihak lawan politik tingkat propinsi. Prediksi demikian agak rasional. Minimal sampai 7 Juli 2011, rakyat Flotim gundah sampai usai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Mondial dan FF-IA (Pos Kupang, 8/7/2011).

Rakyat Gotong Royong

Keputusan MK ini melegahkan setiap pecinta damai. Rakyat Flotim pecinta damai hendaklah melakukan aneka tindak fisik pun perubahan psikis agar ke depan pembangunan Flotim berubah maju mengejar ketertinggalan dari kabupaten/kota lain se-NTT. Sudah waktunya, rakyat Flotim mengembalikan harga diri dan tidak merasa rendah diri seperti tidak ada seorang pun anak tanah Flotim duduk di kursi DPRD NTT sekarang (2009-2014) walau masih ada wakilnya dari anak Lamaholot: Lembata-Alor.


Hanya, dari sisi politik tingkat Propinsi NTT, wajah rakyat Flotim masih diselamatkan oleh seorang anak Lamaholot yakni Frans Lebu Raya. Jika Gubernur NTT periode ini pun bukan anak Lamaholot, maka sampai tahun 2014, tidak ada anak Flotim terlihat di panggung politik NTT. Syukurlah!


Padahal, sudah dua putera Flotim dipercayakan menjadi Gubernur NTT yang didahului oleh terhormat Dokter Hendrikus Fernandez. Demikianpun pada periode tahun tertentu, ketua partai politik tingkat provinsi justru terbanyak dari Flotim. Ada Simon Hayon (PPDI). Ada Kris Boro Tokan (Ketua PAN). Ada Yahidin Umar (Ketua PPP). Ada Frans Lebu Raya (PDIP). Ada Arif Rahman (Ketua PBB).

Apalagi sejarah pendidikan di NTT menjelaskan, berhulu dari Larantuka-lah mengalir para guru ke arah barat Flores yang kemudian menghasilkan anak didik mereka yang melalang buana ke seantero NTT.
Menyadari peran politis anak Lewo Tana tersebut, maka usai keputusan MK ini rakyat Flotim hendaklah meyakinkan diri bahwa rakyat Flotim memiliki kematangan berpolitik.

Untuk itu, rakyat Flotim berlapang dada menegaskan, ‘Kami adalah penegak domkratis tulen. Kami menerima pemimpin terpilih dan siap bersuka ria bergotong royong membangunan Lewo Tana guna lebih maju dari sekarang. Kami juga harus maju,.. maju dan terus maju bergotong royong bersama Bupati Yosni.’ Suara kenabian dari mimbar gereja, masjid, pura amat dibutuhkan untuk menjernihcerahkan keadaan ini.

SONATA Merendah

Dorongan agar rakyat Flotim bergan-dengan tangan seperti budaya tandak (lili, dolo-dolo, nama’) yang adalah simbol persatuan dan kesatuan serta eratnya semangat bergotong royong, maka rakyat Flotim hendaklah rendah hati. Baik rakyat maupun elit politik, kalangan aparat pemerintah yang kalah atau menang hendaklah kembali ke citra orang beriman Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha bahwa rendah hati, saling memaafkan, saling mengampuni jika sudah sempat tergores rasa dendam, benci dan iri malah tidak tegur sapa satu sama lain.


Biarlah hari lalu pergi bersama derasnya arus selat Gonzalo entah menuju Laut Flores ataupun ke Laut Sawu. Campakanlah luka hati itu di puncak gersang Lewo Tobi ataupun Boleng.

Tetapi dari sekarang marilah semua rakyat Flotim bersatu kata dan tindak menabur kesejukan dan kedamaian seindah hijau dan dinginnya Mandiri.
Proses sejuk, damai, gotong royong ini pasti diteladankan pasangan SONATA. Pada titik titian baru inilah, terhormat Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Yoseph Lagadoni Herin (Yosni) dan Valentinus Tukan (Valens) merangkul seluruh rakyat dan semua kalangan yang selama proses Pilkada disebut ‘lawan politik’ baik murni politisi pun kalangan aparat pemerintah yang abu-abu ataupun hitam di atas putih.


Empat pilar kecerdasan manusia SONATA (fisik, intelektual, emosional dan spiritual) hendaklah diramu sedemikian sehingga pada akhir periode pengabdian tergores pena keberhasilan sekaligus terkenang seumur sejarah peradaban Pemda Flotim. Hebat, SONATA menang tanpa harus merendahkan kawan pun lawan.

Ikan dan Jagung Ganti Nasi

Dalam proses menuju keberhasilan pengabdian SONATA ini, beberapa titik teresensial pembangunan Flotim patut diwujudkan bersama. Tanpa mengabaikan infrastruktur air, listrik dan jalan, tetapi beberapa aspek utama bidang kesejahteraan (ekonomi, kesehatan, pendidikan) patut disandingkan dalam skala nilai prioritas termasuk dalam paparan visi misi, program kerja SONATA. Bidang ekonomi teristimewa melanggenkan budaya tani ditekankan penghijauan kembali padang savana dengan penekanan pada perubahan radikal dari pola bakar ke ‘tidak bakar’ baik rumput di kebun maupun savana yang tersisa.


Selain itu, hasil perkebunan (kopi, coklat, kemiri, kelapa dll) agar diantarpu-laukan dari pelabuhan Flotim. Ini penting demi peningkatan retribusi PAD Flotim. Selama ini, hasil komoditi terbanyak diantarpulaukan dari Maumere. Sikka dapat retribusinya. Buatlah terobosan ke Makasar lebih dekat dengan Flotim.


Terkait dengan itu, urgen satu unit ferry nol kilometer didatangkan dari Jepang misalnya untuk rutin merangkai Waibalun, Pamangkayo, Terong Boleng terus ke Lewoleba, Balauring, Baranusa, Kalabahi sehingga roda empat dari Maumere atau Larantuka ke berbagai daratan Lamaholot pun aman saja. Ekonomi Lamaholot pasti lebih gesit melesat ke depan bagai anak panah.
Bidang kesehatan, perbanyak pendidikan dokter asal darah Flotim dan kembali melayani rakyat Flotim.

Carilah sponsornya dari berbagai kedutaan terutama pihak Jepang yang memiliki pabrik ikan dan mutiara di Flotim. Khusus untuk peningkatan kualitas pendidikan anak umumnya, naluri penulis dan jiwa jurnalis Bupati Yosni hendaklah terlihat nyata di sekolah-sekolah oleh Mading profesional jurnalistik disertai aneka lombanya didukung Tabloid Guru dan budaya baca. Saatnya, semua anak Flotim minimal tamat tingkat SMA. Tidak ada anak usia 18 tahun ke bawah dibiarkan putus sekolah. Hapuskan pekerja anak.


Ajaklah ribuan pemuda menjadi nelayan tangguh penangkap sekaligus penjual ikan segar murah meriah ke seluruh Flores dan Timor lewat Atapupu agar rakyat NTT bermenu favorit ikan. Aliran ikan berlimpah sedikitnya 2,5 juta ton dalam 24 jam dari selat Gonzalo sampai Watowoko hingga Alor hendaklah dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga mengantar anak Flotim brilian sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat Flotim.


Terakhir tetapi justru terutama dan pertama yakni SONATA meyakinkan anak-anak Flotim agar perbanyak makan ikan berteman jagung, ubi kayu, sayuran alami dari pupuk kandang ternak bukan kondang nasi (beras dari luar Flotim yang turut menambah kemiskinan akut). Remaja puteri dimotivasi berbudaya menenun dan titi jagung.


Harapan ini hanya dapat terwujud jika ada dana melimpah. Agar dana melimpah, maka rajin-rajinlah Bupati Yosni ke Jakarta melobi investor dan departemen terkait. Urusan administrasi diserahkan kepada Wakil Bupati. Karena di mata aparat Pusat, seorang kepala daerah tingkat kabupaten/kota tidak beda jauh dengan seorang petugas penyuluh lapangan bukan ‘raja kecil’ yang minta disembah dan hanya menghabiskan DAK dan DAU.

Aparat Pusat angkat topi lalu menggelontorkan lebih banyak dana ke daerah yang rajin menyerap DAK dan DAU berkualitas prima sampai pada September. Tabe SONATA! Selamat Mengabdi Lewo Tana. *

Urgensi Kritik Sastra NTT

Oleh Viktorius P. Feka (Alumnus FKIP Undana, Peminat Sastra)

TRADISI kritik sastra yang berkembang di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya masih tergolong muda. Tradisi kritik sastra ini belum begitu berkembang dengan baik oleh karena tiga (3) faktor, yakni: pertama, usia sastra kita yang masih tergolong belia sehingga muncul rasa reluktansi (sense of reluctance) untuk mengeritik dan berceloteh tentang sastra.

Kedua, minimnya minat dan atensi terhadap sastra itu sendiri sehingga mengakibatkan mandulnya reproduksi kritik sastra. Ketiga, belum adanya koran sastra atau koran yang menyediakan rubrik/kolom sastra untuk kritik sastra.

Sejarah Kritik Sastra di Indonesia

Sebelum kita berkelana menyisir tradisi kritik sastra di NTT (bumi Flobamora), saya ingin mengajak kita sekalian untuk sekilas menengok perkembangan kritik sastra dahulu kala. Dalam buku Kritik Sastra karya Drs. Atar Semi (1989:64-65) dikemukakan bahwa kritik sastra Indonesia baru dikenal setelah budayawan dan sastrawan mengenyam pendidikan Barat. Sebelum itu, penilaian atas karya sastra hanyalah dalam hubungan dengan kepercayaan, agama, dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan pada umumnya, bahwa sastra tidak sepenuhnya ditautkan dengan dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakekatnya walaupun dilepaskan dari norma keagamaan.

Seiring dengan kesadaran itu, orang mulai memikirkan tentang hakekat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai sastra. Hal ini menimbulkan minat pula dalam membaca dan mempelajari tentang permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara-negara lain.

Pada saat itu, dunia kritik sastra mulai muncul di Indonesia. Semuanya itu bermula pada awal abad kedua puluh.
Terinspirasi oleh sejarah sastra ini, maka mulai diciptakanlah tradisi kritik sastra di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya penulisan buku kritik sastra dan tak kalah media cetak pun menyediakan kolom sastra untuk memuat karya sastra dan kritik sastra.


Misalnya, buku Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw, seorang mahaguru yang menaruh perhatian terhadap kesusteraan Indonesia. Tulisan-tulisan kritik sastra juga ditulis oleh para pujangga baru Indonesia, seperti J.E Tatengkeng, di bawah judul Penyelidikan dan Pengakuan serta karangan-karangan Sutan Takdir Alisjahbana, Armin Pane. H. B. Jassin pun muncul dengan buku kritik dan esei di bawah judul Kesusteraan Indo-nesia Modern dalam kritik dan esei pada tahun 1954. Setelah itu, muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh lebih muda yang sebagian besar mu-rid-murid H.B. Jassin, antara lain Boen S. Oemaryati, J. U. Nasution, M.S. Hutagalung.


Dari kalangan sastrawan atau pengarang pun bermunculan karya-karya kritik sastra antara lain Gunawan Muhamad, Arif Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi.


Majalah sastra dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat, Budaya, Basis, Budaya Jaya, Horison, sedangkan surat kabar seperti Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, dan Suara Karya.


Meskipun kritik sastra masih tertatih-tatih berjalan menuruti perkembangan zaman, kritik sastra Indonesia tetap berkembang dan bertumbuh begitu baik. Kritik sastra tetap dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu hasil karya sastra. Hal ini dapat kita saksikan pada media cetak yang tersebar di pulau Jawa dan sekitarnya, kolom sastra selalu disediakan untuk memublikasikan segala karya berbau sastra.
Lantas bagaimana dengan konteks kritik sastra di NTT? Pertanyaan ini merupakan langkah awal bagi penulis dan kita semua untuk menyisir kritik sastra di NTT.


Menyisir Kritik Sastra NTT


Dalam konteks NTT, rupanya kritik sastra belum mentradisi sebagaimana yang ada di tanah Jawa. Sejauh pengamatan penulis, tradisi kritik sastra NTT belum dibangun dan diciptakan dengan baik untuk memberikan apresiasi terhadap suatu karya sastra. Padahal boleh dikatakan NTT memiliki sastrawan/i yang tak kalah bersaing juga dengan para sastrawan/i di daerah lain. Atau mungkin saja penulis keliru karena belum membaca media cetak lainnya, selain Harian Pos Kupang (PK). Namun di balik tak berkembangnya tradisi kritik sastra ini, PK telah mulai membuka ruang kritik sastra.


Kita patut berbangga dan mengapresiasi inisiatif PK yang ugahari berikhtiar berdonasi dalam pengembangan karya sastra di NTT. Sebagai salah satu media besar di NTT, media ini selalu menyuplai rubrik imajinasi untuk memublikasikan karya-karya sastra semisal puisi dan cerpen. Tak hanya beristirahat di sini, PK pun mengepakkan sayap kreatif-inovatifnya menuju dunia kritik sastra. Tentunya ini merupakan suatu kebanggaan kita bersama teristimewa yang concern terhadap dunia sunyi (sastra) Flobamora.


Dalam catatan penulis, PK telah memulai dan melakukan kritik sastra. Kritik sastra ini didalangi pak Julianus Akoit (wartawan PK) pada edisi Minggu, 10 April 2011 (kritik cerpen KKS karya Taty Gantir), 8 Mei 2011 (kritik puisi terhadap 3 penyair pemula; Mario F. Lawi, Viktorius P. Feka dan Dion Tunty), dan 29 Mei 2011 (kritik cerpen SKDR karya Mario F. Lawi). Masyarakat NTT patut berbangga dengan munculnya kritikus mumpuni, yang mesti masih belia, telah memulai apresiasi sastra dalam rubrik imajinasi PK. Dengan keterbatasan yang dimiliki beliau mencurahkan atensinya terhadap fertilitas karya sastra di NTT. Salah satu hal yang dilakukannya adalah kritik sastra.


Bagi sebagian orang, kemunculan kritik sastra di PK mungkin saja dipandang sebagai cambuk pematian dan pelemahan terhadap bakat dan minat karya sastra. Atau adakalanya kritik sastra itu dapat memengaruhi aspek psikologis dan sosiologis seorang sastrawan/i pemula yang hasil karya sastranya dikritik. Namun bagi saya, kritik sastra ini urgen diperlukan dengan dilandasi dua alasan, yakni: pertama, kritik sastra adalah pupuk (literary fertilizer).

Kritik sastra bak pupuk yang mutlak diperlukan untuk memupuk dan menumbuhkembangkan benih-benih sastra yang ditaburkan di dalam taman/ladang sastra. Presensi kritik sastra ini akan selalu menambah fertilitas pertumbuhan karya sastra di NTT. Kedua, kritik sastra adalah oase. Kritik sastra bak oase yang mutlak dibutuhkan untuk memberikan kesegaran kepada mereka yang dehidrasi di tengah padang sastra. Kritik sastra ini pula dilakukan untuk memacu minat dan bakat seorang calon sastrawan/i untuk menjadikan karyanya sempurna.


Oleh sebab itu, kritik sastra sangat diperlukan demi terciptanya reproduksi sastrawan/i NTT. Mengapa tidak? Masyarakat NTT memiliki potensi yang luar biasa dalam dunia sastra. Bakat menulis sastra baik berupa puisi, cerpen, cerber maupun novel, dsb merupakan suatu berkah yang mesti dikembangkan.

Dalam pengembangan karya sastra, tentu-nya kritik sastra pun berperan dalam ikh-tiar penyempurnaan sebuah karya sastra. Sebab di dalam suatu kritik sastra kita dapat menemukan kelebihan dan kekura-ngan yang mesti dipertahankan/diting-katkan dan diperbaiki/direvisi. Untuk itu, kita semua berharap agar PK sebagai peretas kritik sastra di NTT tetap terus melakukan kritik sastra. Kritik sastra mesti dijadikan sebagai sebuah tradisi demi fertilitas dan perfeksi karya sastra di NTT.

Tambahan pula, semoga PK pun berkenan menyediakan rubrik/kolom kritik sastra bagi pihak luar (non-PK) yang ingin melakukan kritik sastra. Sebab harumnya nama Flobamora menjadi tanggung jawab dan kebanggaan kita semua.*