Monday, April 30, 2012

Menghadapi Politik Amnesia

Setiap hari Kamis, sekelompok kecil warga berpakaian hitam berdiri di depan istana negara. Dengan payung hitam di tangan, mereka menghabiskan sisa senja dengan menghadap "rumah negara" itu sembari menunggu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono keluar istana menuju Cikeas. Presiden dari balik kaca mobil barangkali sudah bosan melihat keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivis ini berada di situ, apalagi jumlah mereka bertambah terus. Mereka mengingatkan tanggung jawab moral dan kemanusiaan negara ini yang telah menghilangkan banyak nyawa anak bangsa, korban pelanggaran HAM. Kelompok kecil ini setia berjuang melawan politik amnesia negara yang membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM mengambang dalam arus birokrasi dan politik. Sebut saja tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001. Komnas HAM merekomendasikan ini sebagai pelanggaran HAM berat, tapi mandek di tangan kekuasan Kejaksaan Agung. Mereka setia berdiri untuk menagih janji-janji politik yang diucapkan Presiden dalam banyak kesempatan, tapi hingga detik ini tidak pernah terselesaikan satu kasus pun. Kelompok "Kamisan" ini pun sudah bertemu dan berdialog dengan Presiden Yudhoyono di istana negara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, tapi hingga kini hanya janji yang mengisi harapan. Negara tampak tak berdaya di hadapan impunitas pelaku palanggaran HAM. Malah negara menjadi benteng perlindungan "aman" bagi para pelanggar HAM berat yang hingga saat ini leluasa di ruang publik. Negara terus saja mempraktikkan politik amnesia dengan membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu tertimbun waktu dan tertindih kasus-kasus lain yang terus saja diproduksi. Para keluarga korban dibuat putus asa dan tetap dalam nestapa. Rakyat dibuat sedemikian agar lupa dan para aktivis dialihkan perhatiannya dengan menciptakan berbagai isu baru. Dari sisi instrumen hukum, negara sebetulnya telah membuat sebuah pilihan politik signifikan. Pada tahun 2000, Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Pasca kedua produk politik ini, praktis tidak ada satu presiden pun yang menghadirkan kebijakan politik menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati memang tidak memiliki masa kekuasaan yang lama. Presiden Yudhoyono yang dipercaya rakyat selama dua periode ini sebetulnya memiliki cukup banyak waktu untuk menciptakan sejarah kebenaran dan keadilan bagi rakyat. Tapi, pada sisa masa kekuasaannya nyaris tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian kasus-kasus HAM itu. HAM hanya menjadi komoditas politik yang indah dalam pidato. Isu ini cuma sebatas alat barter politik ketika berhadapan dengan lawan. Komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus ini memang sudah banyak terucap, tetapi hingga detik ini publik dan keluarga korban belum melihat sebuah eksekusi yang menghadirkan kebenaran dan keadilan. Para peneliti dan aktivis HAM sudah mengirim banyak dokumen pelanggaran HAM masa lalu ke istana negara, namun hanya berakhir pada pengarsipan gagasan, tanpa aksi politik yang nyata. Berharga Proses pembiaran dan mekanisme politik amnesia inilah yang sedang dihadapi kelompok kecil Kamisan itu. Saat artikel ini ditulis, kelompok ini sudah 252 kali berdiri di depan istana negara. Mereka akan terus berdiri hingga tidak ada orang lagi. Di tengah kebisingan dan kemacetan arus lalu lintas di depan istana negara yang selalu dijaga ketat aparat militer, keluarga korban dan aktivis menghadirkan berteriak dalam kediaman di hadapan tembok kekuasaan yang membisu. Mereka mengingatkan harga nilai kemanusiaan, tapi begitu mudah ditiadakan aparatus. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasan penuh untuk memanggil kembali manusia ke dalam pangkuan-Nya. Bahkan, Tuhan dalam agama-agama mengajarkan, manusia tidak boleh merampas hak hidup sesamanya. Kelompok Kamisan ini setia mengingatkan negara bahwa betapa pun kecil dan sederhana, hak hidup setiap orang di republik ini harus dijaga, dirawat, dan dibela. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjamin hak hidup bagi setiap warga negara. Tetapi, ketika hak hidup warga dicabut dengan tragis oleh negara yang direpresentasi aparat militer, negara kehilangan kekuatan untuk memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM tersebut. Para pelaku tetap bebas dan terus saja berjuang memasuki lorong-lorong birokrasi dan politik. Bagaimana menghadapi politik amnesia? Pertama, aksi Kamisan mesti terus dilakukan untuk mengingatkan negara akan tanggung jawab moral kemanusiaannya. Aksi ini merupakan model perlawanan publik yang dalam ziarah waktu akan membangun solidaritas perjuangan dalam menegakkan HAM. Kekuasaan negara sekuat apa pun tidak akan mampu menghadapi kesadaran moral yang terus disuarakan. Kedua, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemauan politik dan komitmen untuk membela HAM warganya yang terlanggar. Pemimpin sejati tegas terhadap bawahan. Dia peduli dan empati dengan kemanusiaan. Jika ada pelanggaran bawahan, ia tegas dalam koridor hukum sebagai wujud empati pada martabat hidup publik. Perpaduan keduanya akan menumbuhkan kewibawaan alamiah di hati rakyat. Negara sudah terlalu lama disesaki kata-kata yang tak pernah terimplentasi dalam tindakan politik dan hukum. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dituntaskan tidak hanya terus menuai perlawanan, tetapi juga akan membangun kesadaran palsu di kalangan aparatus negara bahwa tindakan melanggar HAM adalah sesuatu yang niscaya dan dilindungi negara. Legitimasi palsu jika dibiarkan akan terus menjadi ancaman serius kemanusiaan. Inilah rantai panjang kekerasan yang mesti diurai negara melalui aksi konkret penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Argumen inilah yang mesti terbaca di balik aksi Kamisan keluarga korban dan aktivis HAM di depan istana negara. Sebuah perlawanan terhadap mekanisme politik amnesia negara yang hanya mampu "mengarsipkan" kasus-kasus pelanggaran HAM, tanpa penuntasan. Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Tuesday, April 17, 2012

UN yang ‘Menyedihkan’

Ritual zikir dan istighosah yang cukup ramai dilaksanakan menjelang UN cukup menarik untuk disimak. Terlihat, tidak sedikit anak yang menangis saat pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata-kata menggugah. Apalagi bila disertai ritus membasuh kaki orang tua, maka suara tangis menjadi tidak terbendung. Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan doa, diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi UN. Ia juga merupakan sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka disadarkan, segala persiapan tidak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan. Tetapi, apakah kesedihan itu sekedar konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih? Sumber Kesedihan Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa saja hadir sebagai bentuk compassion. Orang bersedih karena tidak tegah melihat penderitaan orang lain. Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan oleh rasa prihatin atas teman lain yang karena alasan internal atau eksternal, tidak cukup siap menghadapi UN. Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati. Orang merasa sendih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum siap merasa iri pada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya yang lain. Lebih jauh, kesedihan bisa berubah menjadi sebuah kegelisahan mendalam lantaran secara pribadi, seseorang merasa sudah tidak berdaya lagi untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib. Ia meratap karena semua peluang tertutup baginya. Variasi 5 paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan sedih. Ada hal yang lebih memprihatinkan. Kegelisahan dan ketakberdayaan bisa memengaruhi kondisi fisik seseorang. Kesedihan yang kuat bisa begitu membebani sehingga merambah ke ranah fisik. Aneka tindakan yang mencederai tubuh bisa menjadi pelampiasannya. Otonomi Sekolah Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang nota bene penuh gejolak, rasa sedih perlu dibangkitkan. Ia menjadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan darinya diharapkan terjadinya perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lainnya akan berkurang secara drastis, paling kurang menjelang UN. Namun, apakah sesederhana itukah arti kesedihan? Mengutip Victor Frankl, kesedihan itu bisa dimaknai lebih jauh sebagai sebuah ekspresi frustrasi dan depresi eksistensial malah sebuah ekspresi pesimisme radikal. Jenis kesedihan seperti ini tentu saja tidak hadir secara kebetulan melainkan akibat dari sebuah kesalahan eksistensial pula. UN misalnya, secara yuridis sudah dibatalkan Mahkama Agung (MA). Memang, tuntutan itu dilayangkan lebih dari enam tahun yang lalu dan dalam perjalanan telah terjadi perubahan yang signifikan. Tetapi pembatalan itu (minmal untuk sementara waktu) perlu ditaati. Di sini kita pun paham, aanmaning atau teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kementrian Pendidikan (10/4) bisa saja membuat siswa gelisa dan sedih. Mereka ‘ditakdirkan’ mengikuti UN yang nota bene sudah dibatalkan. Ada hal lain yang lebih fundamental. Secara pedagogis-edukatif, ujian, bersama dua komponen lainnya yakni pemahaman konseptual dan penerapan metodologi pengajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah proses pendidikan. Sekolah bertanggungjawab memungkinkan agar para pengajarnya memiliki pemahaman konseptual yang tepat dan punya metode pengajaran kreatif yang memampukan siswa memahami materi secara tepat. Pada akhirnya, sekolah juga yang menguji, demi mengetahui kadar penyerapan materi yang sudah diajarkan. Tentu kita pun harus realistis. Agar setiap sekolah tidak menjadi pulau sendiri di tengah lautan pendidikan, maka Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mesti lebih diberi otonomi dan diberdayakan. Di sana para guru pada kawasan atau gugus tertentu sepakat mempertajam pemahaman konsep, mensharingkan metode pembelajaran dan pada akhirnya dapat menyusun bersama ujian yang bisa diterapkan di kawasannya. Sudah pasti, kerja seperti ini meletihkan. Pemerintah pusat perlu beralih dari UN yang dilaksanakan secara ‘pukul rata’, tetapi harus bergerilya dari daerah ke daerah untuk memantau apakah semua standar pendidikan sudah dipenuhi sebagai jaminan pasti akan menuai hasil pada ujian yang nota bene diselenggarakan sendiri oleh sekolah. Peran seperti ini juga tentu saja jauh untuk disebut proyek yang menelan biaya tak sedikit seperti yang bisa didapat dari pelaksanaan UN. Tetapi yang pasti, ia akan bersih dari aneka kong-kalikong hal mana sudah menjadi rahasia umum dalam UN. Di sini, instansi vertikal tidak lagi melakukan manipulasi berjamaah untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa karena di sanalah kredibilitas murahan tercipta. Bila kekeliruan ini dipahami, maka ujian yang dilaksanakan pada setiap sekolah atau gugus akan menjadi memen menggembirakan dan bukan menyedihkan sebagaimana dihadapi mulai hari ini 2,5 juta siswa SMA. Robert Bala. Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Guru Bahasa Spanyol pada Lembaga Bahasa Trisakti.

Tuesday, April 10, 2012

Kapitalisme di Balik Revitalisasi

"Kapitalisme adalah musuh rakyat." Demikian bunyi salah satu spanduk di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Teks ini membahasakan protes para pedagang kerajinan bambu dan rotan yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pedagang Stasiun Layang Jabodetabek untuk melawan rencana penggusuran para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Manajemen KAI berargumen, kehadiran pedagang bambu dan rotan membuat kumuh dan semerawut. Rencananya, akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang sedap dipandang. Eufemisme yang dipakai KAI adalah revitalisasi. Namun, di mata para pedagang kecil, istilah revitalisasi hanya "akal-akalan" KAI untuk menggusur mereka. KAI hanya mementingkan pemodal besar, pemilik minimarket dan restoran dengan merek terkenal. Buktinya, saat ini telah berdiri satu minimarket milik KAI di Stasiun Cikini dengan menghilangkan ruang mencari sesuap nasi para pedagang kecil yang telah lama berjualan kudapan, minuman, koran, rokok dan sebagainya. Spanduk tadi sebagai visualisasi dugaan para pedagang bahwa di balik kebijakan "akal-akalan" revitalisasi, tersembunyi hasrat besar kapitalisme yang hendak menggusur usaha rakyat. Sektor ini sebenarnya justru harus dibantu karena mereka hidup dari kreativitas sendiri, tanpa mengandalkan pemerintah. "Akal-akalan" KAI dimulai pada 13 Juli 2011 dengan menaikkan harga sewa kios dari 1,25 juta rupiah per meter setahun menjadi 20,5 juta rupiah. Sementara itu, para pedagang meminta harga sewa naik hanya menjadi 15 juta rupiah per tahun per meter. Perundingan buntu, hingga KAI melayangkan surat pengosongan kepada para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia pada Oktober 2011. Hingga kini, baru pedagang di Stasiun Djuanda yang digusur. Sedangkan para pedagang di Stasiun Cikini dan Gondangdia masih melawan. Secara sederhana, kapitalisme adalah paham atau ideologi ekonomi yang berkiblat kepada orang-orang kaya yang memiliki kekuasaan besar dalam bidang ekonomi (perusahaan besar, keuangan, perbankan). Kedahsyatan paham kapitalisme bisa menguasai sektor-sektor kehidupan publik seperti politik, birokrasi, dan budaya. Banyak kalangan berpendapat, kapitalisme itu serakah, buas, rakus, dan menjadi sumber kebangkrutan ekonomi global. Pemilik kapital memeras kaum buruh. Kapitalisme mewujud dalam bentuk mesin penggusur roda ekonomi serta usaha-usaha kecil. Sampai detik ini, dia menjadi salah satu pencipta jurang kemiskinan di seluruh dunia. Kekuasaan kapital (modal, uang) bisa menyusup ke dalam lorong-lorong birokrasi, politik, legislatif, dan memengaruhi proses perumusan kebijakan publik agar eksistensinya tetap kokoh. Eksistensi pedagang sebagai warga yang wajib dilindungi negara, termasuk diberi ruang untuk hidup dan berusaha, diabaikan. Manajemen KAI sebagai representasi negara seharusnya melidungi karena mereka tengah berusaha untuk mandiri. Para pedagang rotan tidak pernah minta gratis menggunakan kolong stasiun. Malah mereka sepakat menaikkan harga sewa menjadi 15 juta rupiah. Angka itu sangat besar dibanding penghasilan mereka yang mengandalkan momentum hari raya keagamaan, ulang tahun, hari raya nasional, dan sebagainya. Bahkan dari sisi penciptaan lapangan kerja, mereka menampung begitu banyak pekerja lokal yang sesungguhnya minim keahlian sebagaimana dituntut perusahaan-perusahaan dengan beking kapitalis. Para pedagang geram karena KAI seolah menjadi "kaki tangan" para kapitalis untuk menguasai ruang publik, sekaligus membunuh kreativitas dan usaha kerajinan rakyat. Padahal negara (baca: manajemen KAI) mestinya lebih mengapresiasi kreativitas pedagang kecil ini dan meningkatkan profesionalitasnya. Di balik kata sakti "revitalisasi", KAI berniat menggusur hak hidup rakyat. Ada beberapa modus yang bisa disimpulkan dari tarik-menarik kasus pengosongan stasiun tersebut. Apalagi dalam era orde baru ada sistem binaan. Polanya, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membina pedagang, perajin, dan usaha kecil menengah. BUMN itu bangga dapat memiliki binaan, apalagi sukses. Nah, seharusnya, KAI dapat meniru, bukan sebaliknya. Misalnya, KAI menaikkan tarif sewa lapak dan kios menjadi 20,5 juta rupiah. Nilai itu terasa sangat mencekik leher para pedagang kecil. Setiap hari para pedagang tidak selalu mendapat pemasukan yang layak. Belum lagi mereka harus menggaji para karyawan. Nilai sebesar itu dipandang sebagai bagian dari upaya negara membunuh usaha rakyat. Kemudian, KAI berargumen, di bawah kolong stasiun itu akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang enak dipandang. Inilah argumentasi yang kapitalistis, meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa peduli pada pedagang kecil. Kebijakan ini disusupi keserakahan kapitalis dengan memanfaatkan celah-celah birokrasi yang lebih pro terhadap modal ketimbang rakyat. Fakta ini sangat ironis ketika negara mengampanyekan ekonomi kerakyatan, tapi pada saat yang sama pasar-pasar tradisional, lapak-lapak ekonomi rakyat kecil, disingkirkandengan modus "akal-akalan" revitalisasi. Harusnya ada solusi yang beradab. Negara mesti jujur dan tulus merevitalisasi eksistensi para pedagang secara manusiawi. Dialog adalah jalan terbaik untuk membangun komunikasi. Revitalisasi tidak identik dengan penggusuran. Para pedagang mesti diajak berpartisipasi dalam menciptakan ruang publik yang manusiawi. Boleh juga meniru kerja Wali Kota Solo Joko Widodo yang berhasil membina pedagang kaki lima. Mereka menjadi mitra, bukan lawan. Tidak elok meminggirkan rakyat kecil dengan argumen revitalisasi. Cintailah rakyat kecil dengan berbagai kreativitas dan usahanya. Negara ini didirikan untuk mengapresiasi dan mendorong pertumbuhan inisiatif kemandirian rakyat. Ruang publik akan kehilangan roh kemanusiaannya ketika negara lebih memihak kaum kapitalis dan menggusur rakyatnya sendiri. Jika ini yang terjadi, negara sedang membangun permusuhan abadi dengan rakyat. Penulis Steph Tupeng Witin, SVD, rohaniwan

Ekaristi: Gerakan untuk Berbagi

Oleh Steph Tupeng Witin Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Prapaskah 2012 mengajak seluruh umat untuk “Bersatu dalam Ekaristi, lalu diutus untuk berbagi” dengan sesama. Ajakan ini merupakan kelanjutan dari Surat Gembaka Prapaska 2011: Mari Berbagi (HIDUP No 15 Tahun ke-65. 10 April 2011.hlm 40). Hal yang istimewa dalam Surat Gembala Prapaska tahun 2012 adalah umat diajak untuk menjadikan Ekaristi sebagai basis gerakan untuk berbagi. Artinya, gerakan berbagi melalui berbagai aksi sosial karitatif kemanusiaan yang menjadi intensi sekaligus imperatif masa prapaska merupakan gerakan energi Kristiani yang bersumber pada Kristus yang memecah-mecahkan diri-Nya dalam Ekaristi. Ketika Kristus membagi-bagi diri-Nya dalam misteri Ekaristi, seluruh umat dengan latar belakang dan status apa pun, bersatu sebagai satu keluarga besar yang menimba kekuatan dari kelimpahan rahmat Ekaristi. Melalui Ekaristi, diri kita yang terpecah-pecah karena dosa diutuhkan kembali dan kita membuka diri untuk menerima Sabda-Nya yang membangun dan mempersatukan kita untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan. Melalui communio dengan Kristus, keterpecahan diri kita diutuhkan kembali: yang bermusuhan didamaikan; yang tercerai-berai dikumpulkan; yang terpisah dihimpun kembali. Inilah saat berahmat ketika communio dengan Kristus itu menggerakkan kita untuk menjadi saksi kasih-Nya melalui gerakan berbagi diri (pikiran, ide, gagasan, bakat dan talenta) dan hidup (pekerjaan, profesi dan pelayanan sosial karitatif kemanusiaan). Komunitas Alternatif Tanah pembuangan dalam narasi Perjanjian Lama menjadi inspirasi biblis yang mengalirkan kekuatan harapan di tengah gelombang penderitaan. Israel terlempar keluar ari tanah air dan menderita dalam represi militeristik Babilonia. Sebagian besar umat Israel yang telah menikmati “kue” posisi politik, sosial dan ekonomi justru kehilangan jati diri. Tuhan tidak lagi menjadi pegangan hidup. Mereka berargumen bahwa Tuhan terasa sangat jauh justru ketika mereka mengharapkan pertolongan-Nya. Tetapi sekelompok kecil umat Israel tetap setia berharap pada Allah. Mereka ulet menata dan membangun hidupnya meski itu harus dirajut di atas puing-puing kehancuran. Penderitaan selama rentang waktu pembuangan menjadi saat purifikasi (pemurnian) iman kepada Allah. Ibarat emas yang diuji kemurniannya dalam tanur api, demikian iman kelompok kecil ini menggapai kemurniannya yang otentik justru dalam tantangan dan salib. Di tengah migrasi religius sebagian besar umat Israel yang berpaling dari Tuhan, “sisa Israel” tetap kokoh dan teguh dalam iman. Kasih Allah yang dialami di tengah puing-puing penderitaan, meski kecil sekali pun dirasakan sebagai partisipasi aktif Allah dalam hidup. Tuhan begitu intim menyapah mereka meski sapaan itu kadang hadir melalui peristiwa-peristiwa hidup yang biasa dan sederhana. Waktu yang berlalu begitu cepat di tengah pengalaman hidup beriman adalah mukjizat yang menghadirkan wajah Allah yang abadi. Uskup Suharyo dalam Surat Gembala Prapaska 2012 menyebut kelompok ini sebagai “komunitas alternatif.” Kata “alternatif” mengacu pada pengertian “pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi ke-4, Gramedia, 2008:44). Boleh jadi, “komunitas alternatif” Israel menjadi inspirasi bagi umat Katolik di Keuskupan Jakarta khususnya dan umat Katolik Indonesia umumnya untuk tidak lagi berkutat sebatas “berapa orang” yang dibabtis setiap minggu (jumlah) tetapi bagaimana kita mesti hidup sebagai orang Katolik yang seperti Kristus dalam Ekaristi: berhati sederhana, tulus memecah-mecahkan diri dan terbuka membagi hidup-Nya kepada semua orang tanpa sekat-sekat diskriminasi suku, agama, rasa dan golongan (SARA). Posisi umat Katolik sebagai kelompok minoritas di Republik ini mestinya menjadi kekuatan alternatif yang bersumber pada Ekaristi Kristus, lalu dengan rahmat kekuatan itu menjadikan hidupnya sebagai sebuah “Ekaristi yang hidup”: saat di mana melalui pikiran, gagasan, profesi dan pekerjaan-pekerjaan, kita berbagi hidup dengan semua orang, bahkan segenap ciptaan. Di tengah agresivitas kelompok-kelompok agama dan kepercayaan lain yang bernafsu mengejar penganut dari takaran statistik (jumlah), di tengah migrasi sekelompok besar umat Katolik yang telah menikmati “kue” ekonomi, sosial dan politik negeri ini, lalu berpaling kepada “berhala-hala lain” (misalnya, meninggalkan Gereja), umat Katolik yang minoritas ini mesti menjadi “komunitas alternatif” yang seperti “sisa Israel” teguh dalam iman kepada Allah dan tulus berbagi dengan sesama. Hidup yang dilandasi jiwa Ekaristi menggerakkan umat Katolik untuk menjadi “Injil yang hidup” dalam konteks Indonesia yang plural: menjadi saksi konkret menerima dan berkomunikasi secara jujur dengan semua orang dari latar belakang apa pun dan menjadi “Ekaristi yang hidup”: setia berbagi apa yang ada pada kita seperti Kristus yang tulus memecah-mecahkan diri-Nya lalu memilih jalan salib untuk menyelamatkan semua umat manusia. “Komunitas alternatif” adalah ajakan bagi seluruh umat Katolik untuk menjadi saksi Ekaristi yang nyata di Republik ini melalui bakat, talenta dan profesi-profesi di bidang sosai, ekonomi dan politik. Umat Katolik yabg minoritas diajak untuk menjadi seperti garam: yang “mengenakkan” ranah kehidupan publik melalui pikiran, gagasan dan solusi alternatif-kreatif yang mencerahkan di tengah gelombang kebohongan dan penipuan miskin rasa malu yang memendungkan wajah peradaban bangsa ini. Secara khusus, ajak bagi umat Katolik yang mendapatkan kepercayaan publik untuk mengabdi dan melayani Republik ini dalam ranah sosial, politik dan ekonomi, kiranya menjadi cahaya Ekaristi: menjadi saksi hidup yang sederhana dan jujur sehingga rela membagi diri dengan tulus, minim kalkulasi ekonomi politik yang egois (Bdk Mat. 5:13-16). Yohanes Pembabtis mengingatkan: Cukupkanlah dirimu dengan gajimu (Yoh 3:14). Kita semua, dengan latar belakang dan profesi apa pun, diajak untuk menjadi saksi hidup dengan melawan arus ketidaktulusan, kebohongan dan korupsi yang mengalir deras menggenangi hampir semua lini kehidupan bangsa ini. Penulis adalah Jurnalis, Alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero, Flores

Jalan Salib sebagai Cinta Radikal Perekat Bangsa

Jumat (6/4) , umat Kristen di seluruh dunia mengenang sengsara dan kematian Yesus Kristus. Dunia diajak merenungkan jalan salib (Via Crucis) sengsara Kristus sebagai inspirasi membangun kehidupan yang dilandasi kasih dan solidaritas. Via Crucis adalah via Dolorosa (jalan penderitaan) yang menggambarkan momen-momen penderitaan Yesus yang pasrah total. Ia ditangkap bagai penjahat. Pilatus menghukum-Nya secara tidak adil melalui sebuah pengadilan yang manipulatif. Ia disiksa, disesah, diludahi, diolokolok, dan disalib. Ia memanggulnya hingga Kalvari. Dia dipaku pada salib. Dia dibiarkan mengerang kehausan. Lambungnya ditembusi tombak serdadu Yahudi hingga wafat. Itulah pengorbanan paling agung untuk membuka mata dunia yang penuh dosa agar bertobat guna membarui dan menguduskan kehidupan. Mendiang Rendra, dalam Balada Penyaliban, membahasakan jalan salib Kristus sebagai korban Allah paling indah untuk manusia. Yesus adalah "domba paling putih yang dibantai pada altar paling agung". Gambaran misteri di balik derita Kristus itulah yang menjadi argumen untuk menyebut momen itu sebagai "Jumat Agung" karena Kristus mengungkapkan cinta-Nya secara radikal melalui jalan penderitaan dan salib. Hari raya keagamaan selalu bermakna universal. Dalam konteks Republik Indonesia, momen wafat Yesus merupakan ajakan untuk membangun bangsa ini di bawah kibaran bendera kasih dan solidaritas, merupakan zat perekat yang menyatukan segenap komponen sebagai satu bangsa. Kasih dan solidaritas menghilangkan klaim-klaim diskriminatif atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan yang membuat bangsa terpenjara dalam sekat-sekat primordial yang sempit. Kasih dan solidaritas adalah kekuatan rohani yang meruntuhkan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan kekuasaan birokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mencerai-beraikan. Fokus kepemimpinan adalah keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Pemimpin sejati selalu berkorban sehabis-habisnya, bila perlu "menyalibkan diri" demi rakyat. Pemimpin seperti itu ibarat domba yang diantar ke tempat pembantaian untuk dikorbankan sebagai sarana untuk "menguduskan" ranah kehidupan dan aktivitas birokrasi, politik, sosial, dan ekonomi sebagai jalan untuk melayani publik. Pemimpin ideal seperti itu tidak didapat dengan mudah. Waktu dan realitas adalah ruang pengujian dan pematangan sosok pemimpin. Republik ini memiliki Soekarno, Hatta, Syahrir, Mangunwijaya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh humanis lainnya yang menggagas Indonesia yang plural ini menjadi sebuah rumah bersama yang indah dan menakjubkan. Para pemimpin birokrasi, politik, ekonomi, dan sosial diharapkan dapat mempersembahkan diri untuk kemaslahatan rakyat. Mari kita berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Kita ringankan beban sesama yang terpinggirkan karena kehilangan akses dalam ranah birokrasi, politik, dan ekonomi. Inilah momen bersatu dalam keberagaman, saling berbagi. Kita bersama-sama memanggul salib republik ini menuju "Golgota" berupa masa depan. Hidup memang akan selalu diwarnai dengan salib: kemiskinan, penderitaan, disingkirkan, dan ketidakadilan. Tapi, kasih dan solidaritas menyatukan kita sebagai saudara. Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Monday, March 12, 2012

APA YANG TERJADI DENGAN DIRIKU?

(Sumber inspirasi Markus, 6:53-56) “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan” Saudara/I pendengar di mana pun Anda berada. Hari ini kita diajak untuk merenungkan kisah penyembuhan bagi mereka yang sakit, mereka yang tak berdaya. Sehari sebelum peristiwa penyembuhan di Genezaret, Yesus sudah memperlihatkan suatu keajaiban yaitu berjalan di atas air, menyusuri orang banyak yang naik perahu yang sedang diterpa angin sakal. Apa yang dilakukan Yesus dihadapan publik, memperlihatkan sesuatu di luar batas kelaziman, di luar jangkauan ratio manusia dan hal itu menjadi tanda heran bagi manusia yang melihatnya. Mengapa Yesus, dalam pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah dan keselamatan manusia, selalu memperlihatkan mukjizat atau keajaiban-keajaiban dihadapan publik? Kehadiran Yesus di tengah-tengah kelompok yang dijanjikan juru selamat oleh Allah, namun kelompok yang bersangkutan yakni umat Israel masih menolak kehadiran sang mesias itu sendiri. Mereka belum percaya pada Yesus yang merupakan utusan Allah untuk menyelamatkan manusia dan membuka simpul-simpul dosa. Karena itu tanda heran atau mukjizat yang dilakukan Yesus, selain merupakan bagian penting dalam pewartaan tentang datangnya kerajaan Allah, tetapi juga mau menggiring kesadaran manusia yang masih tumpul hatinya dan menolak kehadiran sang juru selamat, perlahan percaya pada-Nya. Apa yang dilakukan Yesus terutama menyembuhkan orang-orang sakit juga mengungkapkan wibawa keallahan-Nya di hadapan dunia. Tetapi fenomena sosial yang memperlihatkan lemahnya kepercayaan dunia kepada dirinya, tidak semata-mata dibantu dengan tindakan menyembuhkan sebagai upaya membangun pamor kemesiasan tetapi apa yang dilakukan Yesus merupakan gerakan Allah dalam solidaritasnya dengan mereka yang terpinggirkan. Yesus selalu menempatkan “kepekaan sosial” sebagai cara paling mudah dalam membangun relasi dengan manusia lain. Karena melalui kepekaan sosial, terbangunlah rasa toleransi dan tindakan produktif yang menyelamatkan manusia yang mengalami “tuna di dalam kehidupannya.” Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Penginjil Markus secara dramatis membahasakan keberpihakan Yesus dan kejelian orang-orang sakit yang selalu membuka diri bagi kehadiran Sang juruselamat. Orang-orang sakit tidak lagi menunggu kabar, kapan Yesus lewat di sekitar rumahnya tetapi justeru mereka yang sakit juga diletakkan di pasar, sebuah ruang terbuka, tempat transaksi para penjual dan pembeli. Penginjil Markus mau membuka wawasan, membuka cara baru dalam melihat peristiwa ini sebagai sebuah peristiwa terbuka dimana kehadiran Yesus menjadi milik bersama dan tindakannya melampaui semua orang, siapa saja yang membutuhkan bantuan. Pasar, sebuah ruang publik yang bising, tempat orang-orang melakukan transaksi, Allah mau hadir bersama putera-Nya untuk memulihkan harapan yang sirna, mengembalikan yang cacat ke keadaan semula. Di sinilah tempat traksaksi iman antara mereka yang terluka dan sang juru selamat. Orang-orang sakit membuka diri, membiarkan keselamatan itu menjalar dalam dirinya dan hanya satu harapan tunggal yang melekat dalam dirinya yaitu ingin agar kesembuhan bisa terlaksana. Baginya, hidup sehat merupakan modal utama dan kerinduan terbesar dalam dirinya. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Kehadiran Yesus dan tindakan nyata Yesus selalu mengutamakan keselamatan manusia. Keberpihakkan kepada mereka yang tersisih menjadi prioritas perhatian yang diberikan oleh Yesus. Ketika Yesus melakukan sesuatu kepada orang lain maka pada saat yang sama ia mengorbankan kepentingan, memangkas egoisme sendiri untuk bisa berjumpa dengan orang lain. Di pasar, seperti yang dilukiskan oleh penginjil Markus, Yesus telah menjumpai begitu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Ia membaurkan diri bahkan menenggelamkan diri dalam gegap-gempitanya pasar agar Ia bisa menyatu dengan manusia. Dan dalam keterlibatan yang intens itu, Yesus menghadirkan cinta tanpa batas, melampaui batas-batas cinta diri. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam dunia pendidikan, nilai pengorbanan terhadap sesama juga menjadi prioritas. Anak-anak didik yang umumnya masih mencari jati diri dan ilmu pengetahuan, perlu mendapat perhatian lebih dari para pendidik. Dengan memberikan perhatian lebih kepada mereka maka ada jalan terbuka menuju ruang peradaban baru yang lebih berdaya dan produktif. (Valery Kopong)

“Aku dalam "Menggapai Aku atau Kapankah Waktuku Sampai?”

Bacaan Markus 8:11-13 Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam YEsus kristus. Mengapa angkatan ini meminta tanda? Inilah satu pertanyaan retoris yang diajukan oleh Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang farisi. Permintaan orang-orang farisi ini akan tanda dari Yesus memperlihatkan tingkat kualitas kepercayaan terhadap Dia yang semakin lemah dan karena kehadiran Yesus sendiri mengganggu kemapanan hidup mereka. Yesus tidak secara serta-merta memperlihatkan tanda baru, bahkan menolak untuk memberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Tanda Yunus menjadi tanda peringatan Tuhan kepada Niniwe dan Yunus sendiri tidak melakoni tugas sebagai nabi yang menyerukan sebuah peradaban hidup yang baru. Yunus melarikan diri dari Tuhan dan mendapatkan kutukan dariNya. Ia dibuang ke laut dan ditelan ikan. Ia hidup selama 3 hari, tiga malam dalam perut ikan. Apa yang terjadi di zaman nabi Yunus sudah menjadi peringatan yang menyejarah dan kisah yang menyapa setiap generasi yang hidup. Tanda pertama yang diperlihatkan Allah kepada manusia melalui Yunus menjadi sebuah ikatan antara masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini terikat oleh tanda dari sang penguasa waktu. Yesus tidak memperlihatkan tanda baru selain tanda nabi Yunus karena Ia memahami kedalaman makna dari tanda tersebut yang juga mengena dengan dirinya sendiri. Yesus menghargai tanda dan membiarkan tanda itu bermakna dalam siklus zaman tetapi tak satu pun yang menyadari makna tanda dari nabi Yunus itu. Namun Yesus yang diberi peran yang kian berat itu menyadari bahwa Dia akan segera hancur di bawah tekanan perutusan yang menyelamatkan itu. Yesus tampil di hadapan orang-orang farisi dalam ketelanjangan cogito, ergo sum, saya berpikir maka saya ada, merasa perlu menyembunyikan diri lagi dibalik berbagai tekanan untuk memperlihatkan tanda baru dari-Nya. Desakan permintaan tanda ini seolah-olah tanda Yunus telah usang dan diganti dengan tanda dari Yesus sendiri. Kategori waktu dan ruang, kategori sebab-akibat dan substansi adalah kerangka-kerangka yang tetap yang ada dalam benak pemikiran manusia, yang tidak bergantung pada penentuan bebas manusia dan sebab itu berada di luar tanggung jawab manusia. Menunjukkan keterbatasan pikiran manusia berarti juga menyatakan keterbatasan tanggung jawabnya. Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Apakah di dalam hidup, sebagai pengikut Kristus, kita pun menyangsikan tanda dari Yunus dan meminta tanda baru dari Yesus? Yesus telah memaknai tanda tersebut dan bahkan mengalami sendiri. Kalau Yunus ditelan ikan dan hidup di dalam perut ikan selama 3 hari, 3 malam maka Yesus pun telah menggenapi tanda itu. Ia telah ditelan maut dan hidup di dalam perut bumi selama 3 hari. Inilah tanda yang telah diperlihatkan Yesus kepada dunia, tanda kematian dan kebangkitan-Nya dari alam maut. Tanda inilah yang menjadi ikatan iman kita kepada Yesus sebagai sumber keselamatan kita. Orang-orang farisi mewakili angkatannya, masih ragu dan meminta tanda baru dari Yesus. Apa yang dilakukan oleh orang-orang farisi seringkali juga kita lakukan untuk mengungkapkan lemahnya kepercayaan kita kepada seseorang. Terkadang kita ragu kepada guru-guru dan mempertanyakan nilai yang mewakili kemampuan kita. Merasa ragu itu adalah sesuatu yang wajar di dalam hidup ini. Tetapi menjadi tidak wajar jika di dalam hidup kita dipenuhi dengan keragu-raguan. Apabila hidup kita diliputi oleh rasa ragu yang berkepanjangan maka akan menjadi sulit untuk menentukan hidup yang lebih optimis. Mudah-mudahan kita tidak merasa ragu lagi terhadap Yesus karena dialah yang menjadi pelita yang menerangi masa depan kita. (Valery Kopong)

DHASYATNYA KATA-KATA YESUS (2)

Apa yang dilakukan Yesus mendapat banyak reaksi terutama orang-orang Yahudi yang tahu tentang hukum Taurat. Seorang guru, tidak perlu duduk, apalagi makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya. Yesus sendiri, kehadiran-Nya di tengah manusia membawa perubahan sekaligus mengundang reaksi berlebihan dari orang-orang yang mapan dengan tata aturan sosial religius. Para pemungut cukai adalah gambaran mereka yang menjadi tukang pemeras masyarakat terutama kalangan petani dan nelayan. Penagihan pajak yang tinggi menjadikan kelompok-kelompok pinggiran menjadi terdepak secara ekonomis dan memelaratkan hidup mereka. Keberadaan Yesus yang seharusnya menjadi kerinduan besar kelompok petani dan nelayan untuk menentang para pemungut pajak, namun justeru Yesus membaur dengan Matius, seorang pemungut cukai. Mengapa Yesus bergaul dengan pemungut cukai? Tidak adakah orang lain yang lebih layak diperhatikan oleh Yesus? Apa yang dilakukan Yesus menjadi pertentangan bersama bahkan dengan peristiwa di mana Yesus bergaul dengan Matius, menjadi pilihan mereka untuk menjerat-Nya. Apa kata Yesus, seorang yang sehat tidak memerlukan tabib. Hanya orang sakitlah yang memerlukan tabib. Yesus memperlihatkan secara implisit tujuan kedatangan-Nya untuk mengembalikan kondisi hidup mereka yang dipandang dengan sebelah mata. Tidak hanya Matius, Zakheus pun demikian. Mereka sama-sama sebagai pemungut cukai selalu membuka diri bagi kehadiran Yesus. Menyadari pentingnya kehadiran Yesus, Zakheus pun rela memanjat pohon agar melihat, seperti apakah Yesus itu. Baginya, Yesus tidak hanya lewat begitu saja di hadapannya tetapi justeru ia memaknai “safari rohani” Yesus dalam mencari mereka yang terbuang. Kehadiran Yesus mengubah hidup mereka dan menjadikan hidup mereka lebih bermakna. Matius sebagai pemungut cukai, dijadikan oleh Yesus sebagai murid-Nya. Inilah bukti kemuridan Yesus yang menempatkan para murid-Nya dengan nuansa kesederhanaan. Mereka-mereka inilah yang membuka diri, membiarkan rahmat mengalir dari dalam dirinya agar tertumbuhkan benih-benih kebaikan. “Ikutlah Aku. Matius pun bangkit dan mengikut Dia.” Bangkit dan mengikuti Dia tidak hanya dimengerti sebagai gerak tubuh secara normatif, tetapi lebih dari itu mereka bermakna, mereka sudah bangkit dari keterpurukan, dari ketakberdayaan untuk menggapai rahmat keselamatan.***(Valery Kopong)

DHASYATNYA KATA-KATA YESUS (1)

Di pinggir danau yang sedang disusuri Yesus, sorot mata-Nya tertuju pada dua orang bersaudara. Simon yang disebut Petrus dan Andreas saudaranya. Tidak hanya dua orang ini tetapi Yesus masih lagi memanggil dua orang bersaudara, Yakobus anak Zebedeus dan Yohanes saudaranya. Yesus, walaupun sesaat menelusuri danau dan melihat aktivitas mereka, segera Ia memanggil murid-murid pertama ini. Apa reaksi dari para murid yang dipanggil itu? Proses pemilihan murid-murid pertama tidak memberikan sebuah kriteria yang ketat. Tetapi yang pasti adalah Yesus mengetahui kesungguhan mereka untuk mau melepaskan segala-galanya, melepaskan ikatan yang membelenggu mereka dalam mengikuti Yesus. Menarik bahwa pekerjaan dari murid-murid perdana yang dipanggil Yesus adalah penjala ikan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan yang bertarung dengan tantangan alam. Deburan ombak yang terus menghantam perahu, menjadikan mereka harus mencari keseimbangan agar perahu yang mereka tumpangi tidak terbalik dan tenggelam. Pekerjaan sebagai nelayan menjadi modal dasar mereka untuk mengikuti Yesus. Dengan “jala” yang menjadi milik mereka yang paling berharga, memicu mereka untuk terus menjala manusia dengan modal keberanian. “Mari, ikutlah AKu dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” Mereka pun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.” Kata-kata Yesus ini mengubah situasi karena menarik mereka dari tengah-tengah keakraban dengan ayah mereka yang bersama dengan mereka. Mereka meninggalkan ayah mereka sendirian di tepi danau. Hati ayah mereka tidak mengalami sebuah pemberontakan karena dia tahu bahwa Yesus lebih membutuhkan mereka untuk kepentingan pewartaan karena itu ia (ayah) mereka berani melepaskan anak mereka demi suatu tujuan yang luhur. Mereka terus mencari dan menggali jati diri serta semangat pelayanan yang dilakukan oleh murid-murid pertama. Kesederhanaan mereka untuk menerima tawaran menjadi kunci pembaharu hidup mereka. (Valery Kopong)

Wednesday, December 14, 2011

ANAK KALIMAT

SEORANG pastor, sebut saja Miguel, mempunyai minat yang besar terhadap dunia jurnalistik. Suatu keunikan dapat terlihat lewat tulisannya yakni kalimat yang digunakan dalam tulisan, selalu menggunakan anak kalimat yang sekian banyak. Seorang pembaca merasa heran dan mempertanyakan, mengapa Pastor Miguel selalu menggunakan anak kalimat dalam jumlah yang banyak? Sekian lama si pembaca itu bertanya, dan pada akhirnya ia menemukan jawaban, yaitu bahwa mungkin pastor itu tidak mempunyai anak sehingga selalu menciptakan anak kalimat yang banyak dalam tulisan-tulisannya.*** (Valery Kopong)