Tuesday, April 17, 2012

UN yang ‘Menyedihkan’

Ritual zikir dan istighosah yang cukup ramai dilaksanakan menjelang UN cukup menarik untuk disimak. Terlihat, tidak sedikit anak yang menangis saat pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata-kata menggugah. Apalagi bila disertai ritus membasuh kaki orang tua, maka suara tangis menjadi tidak terbendung. Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan doa, diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi UN. Ia juga merupakan sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka disadarkan, segala persiapan tidak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan. Tetapi, apakah kesedihan itu sekedar konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih? Sumber Kesedihan Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa saja hadir sebagai bentuk compassion. Orang bersedih karena tidak tegah melihat penderitaan orang lain. Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan oleh rasa prihatin atas teman lain yang karena alasan internal atau eksternal, tidak cukup siap menghadapi UN. Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati. Orang merasa sendih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum siap merasa iri pada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya yang lain. Lebih jauh, kesedihan bisa berubah menjadi sebuah kegelisahan mendalam lantaran secara pribadi, seseorang merasa sudah tidak berdaya lagi untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib. Ia meratap karena semua peluang tertutup baginya. Variasi 5 paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan sedih. Ada hal yang lebih memprihatinkan. Kegelisahan dan ketakberdayaan bisa memengaruhi kondisi fisik seseorang. Kesedihan yang kuat bisa begitu membebani sehingga merambah ke ranah fisik. Aneka tindakan yang mencederai tubuh bisa menjadi pelampiasannya. Otonomi Sekolah Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang nota bene penuh gejolak, rasa sedih perlu dibangkitkan. Ia menjadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan darinya diharapkan terjadinya perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lainnya akan berkurang secara drastis, paling kurang menjelang UN. Namun, apakah sesederhana itukah arti kesedihan? Mengutip Victor Frankl, kesedihan itu bisa dimaknai lebih jauh sebagai sebuah ekspresi frustrasi dan depresi eksistensial malah sebuah ekspresi pesimisme radikal. Jenis kesedihan seperti ini tentu saja tidak hadir secara kebetulan melainkan akibat dari sebuah kesalahan eksistensial pula. UN misalnya, secara yuridis sudah dibatalkan Mahkama Agung (MA). Memang, tuntutan itu dilayangkan lebih dari enam tahun yang lalu dan dalam perjalanan telah terjadi perubahan yang signifikan. Tetapi pembatalan itu (minmal untuk sementara waktu) perlu ditaati. Di sini kita pun paham, aanmaning atau teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kementrian Pendidikan (10/4) bisa saja membuat siswa gelisa dan sedih. Mereka ‘ditakdirkan’ mengikuti UN yang nota bene sudah dibatalkan. Ada hal lain yang lebih fundamental. Secara pedagogis-edukatif, ujian, bersama dua komponen lainnya yakni pemahaman konseptual dan penerapan metodologi pengajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah proses pendidikan. Sekolah bertanggungjawab memungkinkan agar para pengajarnya memiliki pemahaman konseptual yang tepat dan punya metode pengajaran kreatif yang memampukan siswa memahami materi secara tepat. Pada akhirnya, sekolah juga yang menguji, demi mengetahui kadar penyerapan materi yang sudah diajarkan. Tentu kita pun harus realistis. Agar setiap sekolah tidak menjadi pulau sendiri di tengah lautan pendidikan, maka Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mesti lebih diberi otonomi dan diberdayakan. Di sana para guru pada kawasan atau gugus tertentu sepakat mempertajam pemahaman konsep, mensharingkan metode pembelajaran dan pada akhirnya dapat menyusun bersama ujian yang bisa diterapkan di kawasannya. Sudah pasti, kerja seperti ini meletihkan. Pemerintah pusat perlu beralih dari UN yang dilaksanakan secara ‘pukul rata’, tetapi harus bergerilya dari daerah ke daerah untuk memantau apakah semua standar pendidikan sudah dipenuhi sebagai jaminan pasti akan menuai hasil pada ujian yang nota bene diselenggarakan sendiri oleh sekolah. Peran seperti ini juga tentu saja jauh untuk disebut proyek yang menelan biaya tak sedikit seperti yang bisa didapat dari pelaksanaan UN. Tetapi yang pasti, ia akan bersih dari aneka kong-kalikong hal mana sudah menjadi rahasia umum dalam UN. Di sini, instansi vertikal tidak lagi melakukan manipulasi berjamaah untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa karena di sanalah kredibilitas murahan tercipta. Bila kekeliruan ini dipahami, maka ujian yang dilaksanakan pada setiap sekolah atau gugus akan menjadi memen menggembirakan dan bukan menyedihkan sebagaimana dihadapi mulai hari ini 2,5 juta siswa SMA. Robert Bala. Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Guru Bahasa Spanyol pada Lembaga Bahasa Trisakti.

No comments: