Tuesday, April 10, 2012

Kapitalisme di Balik Revitalisasi

"Kapitalisme adalah musuh rakyat." Demikian bunyi salah satu spanduk di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Teks ini membahasakan protes para pedagang kerajinan bambu dan rotan yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pedagang Stasiun Layang Jabodetabek untuk melawan rencana penggusuran para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Manajemen KAI berargumen, kehadiran pedagang bambu dan rotan membuat kumuh dan semerawut. Rencananya, akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang sedap dipandang. Eufemisme yang dipakai KAI adalah revitalisasi. Namun, di mata para pedagang kecil, istilah revitalisasi hanya "akal-akalan" KAI untuk menggusur mereka. KAI hanya mementingkan pemodal besar, pemilik minimarket dan restoran dengan merek terkenal. Buktinya, saat ini telah berdiri satu minimarket milik KAI di Stasiun Cikini dengan menghilangkan ruang mencari sesuap nasi para pedagang kecil yang telah lama berjualan kudapan, minuman, koran, rokok dan sebagainya. Spanduk tadi sebagai visualisasi dugaan para pedagang bahwa di balik kebijakan "akal-akalan" revitalisasi, tersembunyi hasrat besar kapitalisme yang hendak menggusur usaha rakyat. Sektor ini sebenarnya justru harus dibantu karena mereka hidup dari kreativitas sendiri, tanpa mengandalkan pemerintah. "Akal-akalan" KAI dimulai pada 13 Juli 2011 dengan menaikkan harga sewa kios dari 1,25 juta rupiah per meter setahun menjadi 20,5 juta rupiah. Sementara itu, para pedagang meminta harga sewa naik hanya menjadi 15 juta rupiah per tahun per meter. Perundingan buntu, hingga KAI melayangkan surat pengosongan kepada para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia pada Oktober 2011. Hingga kini, baru pedagang di Stasiun Djuanda yang digusur. Sedangkan para pedagang di Stasiun Cikini dan Gondangdia masih melawan. Secara sederhana, kapitalisme adalah paham atau ideologi ekonomi yang berkiblat kepada orang-orang kaya yang memiliki kekuasaan besar dalam bidang ekonomi (perusahaan besar, keuangan, perbankan). Kedahsyatan paham kapitalisme bisa menguasai sektor-sektor kehidupan publik seperti politik, birokrasi, dan budaya. Banyak kalangan berpendapat, kapitalisme itu serakah, buas, rakus, dan menjadi sumber kebangkrutan ekonomi global. Pemilik kapital memeras kaum buruh. Kapitalisme mewujud dalam bentuk mesin penggusur roda ekonomi serta usaha-usaha kecil. Sampai detik ini, dia menjadi salah satu pencipta jurang kemiskinan di seluruh dunia. Kekuasaan kapital (modal, uang) bisa menyusup ke dalam lorong-lorong birokrasi, politik, legislatif, dan memengaruhi proses perumusan kebijakan publik agar eksistensinya tetap kokoh. Eksistensi pedagang sebagai warga yang wajib dilindungi negara, termasuk diberi ruang untuk hidup dan berusaha, diabaikan. Manajemen KAI sebagai representasi negara seharusnya melidungi karena mereka tengah berusaha untuk mandiri. Para pedagang rotan tidak pernah minta gratis menggunakan kolong stasiun. Malah mereka sepakat menaikkan harga sewa menjadi 15 juta rupiah. Angka itu sangat besar dibanding penghasilan mereka yang mengandalkan momentum hari raya keagamaan, ulang tahun, hari raya nasional, dan sebagainya. Bahkan dari sisi penciptaan lapangan kerja, mereka menampung begitu banyak pekerja lokal yang sesungguhnya minim keahlian sebagaimana dituntut perusahaan-perusahaan dengan beking kapitalis. Para pedagang geram karena KAI seolah menjadi "kaki tangan" para kapitalis untuk menguasai ruang publik, sekaligus membunuh kreativitas dan usaha kerajinan rakyat. Padahal negara (baca: manajemen KAI) mestinya lebih mengapresiasi kreativitas pedagang kecil ini dan meningkatkan profesionalitasnya. Di balik kata sakti "revitalisasi", KAI berniat menggusur hak hidup rakyat. Ada beberapa modus yang bisa disimpulkan dari tarik-menarik kasus pengosongan stasiun tersebut. Apalagi dalam era orde baru ada sistem binaan. Polanya, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membina pedagang, perajin, dan usaha kecil menengah. BUMN itu bangga dapat memiliki binaan, apalagi sukses. Nah, seharusnya, KAI dapat meniru, bukan sebaliknya. Misalnya, KAI menaikkan tarif sewa lapak dan kios menjadi 20,5 juta rupiah. Nilai itu terasa sangat mencekik leher para pedagang kecil. Setiap hari para pedagang tidak selalu mendapat pemasukan yang layak. Belum lagi mereka harus menggaji para karyawan. Nilai sebesar itu dipandang sebagai bagian dari upaya negara membunuh usaha rakyat. Kemudian, KAI berargumen, di bawah kolong stasiun itu akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang enak dipandang. Inilah argumentasi yang kapitalistis, meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa peduli pada pedagang kecil. Kebijakan ini disusupi keserakahan kapitalis dengan memanfaatkan celah-celah birokrasi yang lebih pro terhadap modal ketimbang rakyat. Fakta ini sangat ironis ketika negara mengampanyekan ekonomi kerakyatan, tapi pada saat yang sama pasar-pasar tradisional, lapak-lapak ekonomi rakyat kecil, disingkirkandengan modus "akal-akalan" revitalisasi. Harusnya ada solusi yang beradab. Negara mesti jujur dan tulus merevitalisasi eksistensi para pedagang secara manusiawi. Dialog adalah jalan terbaik untuk membangun komunikasi. Revitalisasi tidak identik dengan penggusuran. Para pedagang mesti diajak berpartisipasi dalam menciptakan ruang publik yang manusiawi. Boleh juga meniru kerja Wali Kota Solo Joko Widodo yang berhasil membina pedagang kaki lima. Mereka menjadi mitra, bukan lawan. Tidak elok meminggirkan rakyat kecil dengan argumen revitalisasi. Cintailah rakyat kecil dengan berbagai kreativitas dan usahanya. Negara ini didirikan untuk mengapresiasi dan mendorong pertumbuhan inisiatif kemandirian rakyat. Ruang publik akan kehilangan roh kemanusiaannya ketika negara lebih memihak kaum kapitalis dan menggusur rakyatnya sendiri. Jika ini yang terjadi, negara sedang membangun permusuhan abadi dengan rakyat. Penulis Steph Tupeng Witin, SVD, rohaniwan

No comments: