Monday, April 30, 2012

Menghadapi Politik Amnesia

Setiap hari Kamis, sekelompok kecil warga berpakaian hitam berdiri di depan istana negara. Dengan payung hitam di tangan, mereka menghabiskan sisa senja dengan menghadap "rumah negara" itu sembari menunggu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono keluar istana menuju Cikeas. Presiden dari balik kaca mobil barangkali sudah bosan melihat keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivis ini berada di situ, apalagi jumlah mereka bertambah terus. Mereka mengingatkan tanggung jawab moral dan kemanusiaan negara ini yang telah menghilangkan banyak nyawa anak bangsa, korban pelanggaran HAM. Kelompok kecil ini setia berjuang melawan politik amnesia negara yang membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM mengambang dalam arus birokrasi dan politik. Sebut saja tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001. Komnas HAM merekomendasikan ini sebagai pelanggaran HAM berat, tapi mandek di tangan kekuasan Kejaksaan Agung. Mereka setia berdiri untuk menagih janji-janji politik yang diucapkan Presiden dalam banyak kesempatan, tapi hingga detik ini tidak pernah terselesaikan satu kasus pun. Kelompok "Kamisan" ini pun sudah bertemu dan berdialog dengan Presiden Yudhoyono di istana negara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, tapi hingga kini hanya janji yang mengisi harapan. Negara tampak tak berdaya di hadapan impunitas pelaku palanggaran HAM. Malah negara menjadi benteng perlindungan "aman" bagi para pelanggar HAM berat yang hingga saat ini leluasa di ruang publik. Negara terus saja mempraktikkan politik amnesia dengan membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu tertimbun waktu dan tertindih kasus-kasus lain yang terus saja diproduksi. Para keluarga korban dibuat putus asa dan tetap dalam nestapa. Rakyat dibuat sedemikian agar lupa dan para aktivis dialihkan perhatiannya dengan menciptakan berbagai isu baru. Dari sisi instrumen hukum, negara sebetulnya telah membuat sebuah pilihan politik signifikan. Pada tahun 2000, Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Pasca kedua produk politik ini, praktis tidak ada satu presiden pun yang menghadirkan kebijakan politik menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati memang tidak memiliki masa kekuasaan yang lama. Presiden Yudhoyono yang dipercaya rakyat selama dua periode ini sebetulnya memiliki cukup banyak waktu untuk menciptakan sejarah kebenaran dan keadilan bagi rakyat. Tapi, pada sisa masa kekuasaannya nyaris tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian kasus-kasus HAM itu. HAM hanya menjadi komoditas politik yang indah dalam pidato. Isu ini cuma sebatas alat barter politik ketika berhadapan dengan lawan. Komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus ini memang sudah banyak terucap, tetapi hingga detik ini publik dan keluarga korban belum melihat sebuah eksekusi yang menghadirkan kebenaran dan keadilan. Para peneliti dan aktivis HAM sudah mengirim banyak dokumen pelanggaran HAM masa lalu ke istana negara, namun hanya berakhir pada pengarsipan gagasan, tanpa aksi politik yang nyata. Berharga Proses pembiaran dan mekanisme politik amnesia inilah yang sedang dihadapi kelompok kecil Kamisan itu. Saat artikel ini ditulis, kelompok ini sudah 252 kali berdiri di depan istana negara. Mereka akan terus berdiri hingga tidak ada orang lagi. Di tengah kebisingan dan kemacetan arus lalu lintas di depan istana negara yang selalu dijaga ketat aparat militer, keluarga korban dan aktivis menghadirkan berteriak dalam kediaman di hadapan tembok kekuasaan yang membisu. Mereka mengingatkan harga nilai kemanusiaan, tapi begitu mudah ditiadakan aparatus. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasan penuh untuk memanggil kembali manusia ke dalam pangkuan-Nya. Bahkan, Tuhan dalam agama-agama mengajarkan, manusia tidak boleh merampas hak hidup sesamanya. Kelompok Kamisan ini setia mengingatkan negara bahwa betapa pun kecil dan sederhana, hak hidup setiap orang di republik ini harus dijaga, dirawat, dan dibela. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjamin hak hidup bagi setiap warga negara. Tetapi, ketika hak hidup warga dicabut dengan tragis oleh negara yang direpresentasi aparat militer, negara kehilangan kekuatan untuk memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM tersebut. Para pelaku tetap bebas dan terus saja berjuang memasuki lorong-lorong birokrasi dan politik. Bagaimana menghadapi politik amnesia? Pertama, aksi Kamisan mesti terus dilakukan untuk mengingatkan negara akan tanggung jawab moral kemanusiaannya. Aksi ini merupakan model perlawanan publik yang dalam ziarah waktu akan membangun solidaritas perjuangan dalam menegakkan HAM. Kekuasaan negara sekuat apa pun tidak akan mampu menghadapi kesadaran moral yang terus disuarakan. Kedua, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemauan politik dan komitmen untuk membela HAM warganya yang terlanggar. Pemimpin sejati tegas terhadap bawahan. Dia peduli dan empati dengan kemanusiaan. Jika ada pelanggaran bawahan, ia tegas dalam koridor hukum sebagai wujud empati pada martabat hidup publik. Perpaduan keduanya akan menumbuhkan kewibawaan alamiah di hati rakyat. Negara sudah terlalu lama disesaki kata-kata yang tak pernah terimplentasi dalam tindakan politik dan hukum. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dituntaskan tidak hanya terus menuai perlawanan, tetapi juga akan membangun kesadaran palsu di kalangan aparatus negara bahwa tindakan melanggar HAM adalah sesuatu yang niscaya dan dilindungi negara. Legitimasi palsu jika dibiarkan akan terus menjadi ancaman serius kemanusiaan. Inilah rantai panjang kekerasan yang mesti diurai negara melalui aksi konkret penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Argumen inilah yang mesti terbaca di balik aksi Kamisan keluarga korban dan aktivis HAM di depan istana negara. Sebuah perlawanan terhadap mekanisme politik amnesia negara yang hanya mampu "mengarsipkan" kasus-kasus pelanggaran HAM, tanpa penuntasan. Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

No comments: