Monday, July 2, 2012

MENJADI RASUL AWAM YANG HANDAL

Seksi Kerasulan Awam (Kerawam) Gereja Stasi Santo Gregorius mengadakan seminar. Seminar yang menghadirkan 2 pembicara dari Keuskupan Agung Jakarta ini berlangsung pada Minggu, 15 April 2012. Karena ketiadaan tempat maka seminar ini dilangsungkan dalam Gereja Stasi Santo Gregorius. Dalam sambutan singkat di awal acara tersebut, Bapak Soter selaku ketua penyelenggara mengharapkan agar dalam seminar itu dapat menambah wawasan kita untuk lebih tahu tentang apa itu kerasulan awam dan bagaimana membangun awam ke depan secara lebih baik. Seminar ini mengusung tema: “Memahami Kerasulan Awam dan Perannya dari sisi Spiritualitas Katolik.” Sebagai anggota Gereja yang sudah dibaptis, maka setiap orang punya kewajiban untuk memperkenalkan Kristus kepada siapa saja. Menjadi pewarta Sabda tidak hanya dimonopoli oleh kaum klerus tetapi lebih dari itu sangat diharapkan agar keterlibatan awam yang handal sangat dibutuhkan saat ini. Menyadari betapa pentingnya peranan awam ini maka seksi kerasulan awam secara gencar mempersiapkan awam-awam yang tangguh untuk terlibat dalam seluruh lini kehidupan. Dalam paparan materi tentang bagaimana merasul, Ibu Maria Anastasia Ratna Aryani mengingatkan para peserta mengenai rahmat baptisan yang telah diterima. “Kita punya rahmat baptisan yang sama, dan sebagai orang yang sudah dibaptis maka setiap orang diutus untuk menjadi rasul awam yang handal. Pada masa keemasan Gereja, iman memainkan peranan yang penting. Awam harus dilibatkan untuk menyucikan dunia. Setelah konsili Vatikan II, keterlibatan awam mulai terasa. Kita mensyukuri rahmat baptisan tetapi lebih dari itu adalah diutus untuk menjadi rasul menurut profesi kita masing-masing,” tegas Ibu Ratna, wakil bendahara Partai Hanura ini. Pada kesempatan seminar itu ditampilkan sosok Mgr. Soegiyapranoto, SJ yang telah mengajarkan bangsa ini untuk bagaimana terlibat secara penuh, baik sebagai anggota Gereja maupun sebagai warga negara. Keterlibatan kaum awam di sini sangat dibutuhkan tanggung jawab terutama dalam mewujudkan “bonum communae.” Yang menjadi spirit yang bisa menggerakan keterlibatan awam adalah Ajaran Sosial Gereja. Sasaran pemberdayaan awam: kerawam dari masing-masing paroki, para aktivis sosial-politik kemasyarakatan, lingkungan RT/RW, kaum muda dan ormas-ormas katolik. Pada sesi kedua, menghadirkan Bapak Ignatius Indarto Bimantoro. Menurutnya, ada dua peran kaum awam yakni, peran awam dalam Gereja dan peran awam dalam masyarakat. Di awal pembicaraannya, ia mengingatkan bahwa seksi kerasulan awam melihat perannya dalam konteks yang lebih luas. Dalam keterlibatan, setiap kita memainkan peran terutama dalam pengembangan bakat dan talenta sebagai bentuk pelayanan sekaligus merasul. Bapak Bimantoro, dalam memaparkan gagasannya yang singkat, lebih banyak mengajak para peserta yang merupakan utusan dari lingkungan-lingkungan untuk bertanya dan berdiskusi bersama.***(Valery Kopong)

T T S

Rinai pagi menetes perlahan membasahi raut wajah pertiwi. Titik-titik hujan jatuh perlahan, seolah mengiringi langkahku menyusuri panti Wreda Marfati. Panti yang sunyi seakan mengajak para penghuni untuk larut dalam permenungan. Di antara sekian banyak orang jompo, saya sempat temui Opa Paulus (bukan nama sebenarnya) yang lagi asyik mengisi hari-hari hidup dengan teka-teki silang. Saya coba menghampiri dan bertanya seputar minat baca. “Opa punya minat baca yang tinggi ya?” tanyaku. “Iya, saya punya kesukaan membaca dan mengisi TTS (Teka Teki Silang), “ jawab opa. “Mengapa opa, tidak suka membaca Kitab Suci?” tanyaku lebih jauh. “Saya tidak suka baca Kitab Suci,” jawabnya santai. Lebih jauh ia mengatakan bahwa pernah diajarkan membaca kitab suci tetapi baginya, hanyalah omongan hampa saja. Kita hanya diberi hiburan-hiburan sabda tetapi tidak ada realisasinya. Mendengar jawaban opa itu, saya tersipu malu. Kitab Suci rupaya kurang mendapat tempat di hatinya selama mengayuh hidup. Lebih jauh dapat saya katakan bahwa opa ini selalu berpikir matematis, mengkalkulasikan sesuatu berdasarkan fakta dan strategi-strategi nyata dalam menggapai cita-cita. Ia tidak suka berhadapan dengan sesuatu yang bernilai sejarah, apalagi kitab suci terutama Perjanjian Lama yang berisikan pengalaman iman umat Israel dan sejarah perjalanan hidup masa lampau. Opa tidak suka digiring kesadaranya untuk mengenang peristiwa masa lampau karena masa lampau baginya adalah sesuatu yang terlewatkan dan tanpa perlu dikenang lagi. Mengenang kembali berarti menyita perhatian dan energi yang lebih untuk mulai membangun sekaligus membaharui masa lampau itu dalam kekinian. Opa itu kelihatan cerdas dan kritis. Ia tidak mau menguras energi. Baginya, hidup hanya dijalani bagai air mengalir yang tanpa pernah berpikir untuk kembali. Ia sudah tua, sudah renta. Karenanya lebih baik memaknai hidup dengan menebak teka-teki silang untuk mengusir tingkat kejenuhan di tengah usia yang tua sambil menunggu panggilan terakhir dari Allah. Mengisi teka-teki adalah cara paling sederhana untuk memaknai relasi dalam hidup. Di dalam TTS, ada pertanyaan mendatar dan menurun. Barangkali pertanyaan mendatar menunjukkan relasi yang akrab antarsesama manusia. Sedangkan pertanyaan menurun menunjukkan bahwa jalan terakhir berpulang pada ibu pertiwi. Kehidupan yang baik sangat bergantung pada relasi yang terbangun selama hidup itu. Membangun relasi karenanya, menjadi momentum terakhir yang menentukan nasib hidup manusia kelak. Seperti bermain teka-teki, ada yang dijawab pasti dan ada yang tidak, demikian juga kehidupan itu sendiri. Barangkali kita pernah menanam kebaikan tetapi lupa di mana kita berbuat baik. Di panti jompo itu, ada yang masuk ke rumah jompo karena kemauan sendiri tetapi ada juga yang dipaksa ke rumah jompo karena alasan kesibukan keluarga. Banyak yang mengalami keterasingan diri, namun bisa menemukan teman-teman sebaya sebagai teman dalam bergaul di pucuk usia mereka yang hampir rampung. Di rumah jompo itu, sepertinya saya melihat ‘terminal terakhir,’ tempat orang menyiapkan diri di usia senja untuk menerima panggilan abadi nanti. Hidup itu adalah sebuah teka-teki namun kematian yang akan menjemput opa dan teman-temannya adalah sebuah kepastian, bahkan lebih pasti dari ilmu pasti.***(Valery Kopong)

MENYEBARKAN TITIK-TITIK KEBAIKAN

Bertempat di depan halaman Gereja Stasi Santo Gregorius, berlangsung temu wicara dengan mengusung tema; “Peran Umat Katolik di Kabupaten Tangerang.” Temu wicara ini menghadirkan dua nara sumber yaitu Drs. Stanislaus Lewotoby (Pembimas Katolik Provinsi Banten) dan Zaky Iskandar, anggota DPR RI dari Partai Golkar. “Sebagai orang Katolik, apa yang menjadi peran kita? Pertanyaan ini dengan sendirinya menjadi darah daging kita. Apa yang sudah ditanamkan oleh Mgr. Soegiyapranoto, SJ, itulah jati diri umat Katolik Indonesia,” demikian Romo Herman dalam kata sambutannya mengawali temu wicara itu. Apa yang dikatakan Romo Herman memperlihatkan lemahnya peran umat Katolik di dalam kehidupan sehari-hari terutama dengan kelompok masyarakat lain. Lebih jauh di dalam sambutan itu, Romo Herman masih melontarkan pertanyaan kepada para peserta temu wicara yang umumnya merupakan utusan dari lingkungan dan wilayah di Gereja Stasi Santo Gregorius. “Siapa yang terlibat sebagai ketua RT, RW atau pengurus lain dalam hidup bermasyarakat?” Di antara umat yang hadir, ada beberapa umat yang terlibat sebagai ketua RT, RW atau pengurus lain dalam lingkup rukun tetangga. Dengan sedikit keterlibatan orang-orang Katolik dalam lingkungan masyarakat, maka tidak heran kalau orang-orang Katolik kurang dikenal di masyarakat. Atas dasar keprihatinan ini maka seksi Kerasulan Awam Gereja Stasi Santo Gregorius mulai gencar mengadakan pertemuan sekaligus mendorong keterlibatan umat, tidak hanya dalam lingkup Gereja tetapi lebih dari itu diharapkan untuk terlibat dalam kelompok-kelompok di luar Gereja. Di akhir kata sambutannya, Romo Herman berpesan bahwa dalam kehidupan kita, “kita tidak bisa memisahkan diri sebagai warga negara Indonesia dan sebagai anggota Gereja.” Hal senada juga diharapkan oleh ketua penyelenggara, Bapak Soter. Menurutnya, “Kita selalu mengambil peran sebagai anggota Gereja dan warga negara.” Lebih jauh ia menegaskan bahwa dalam diktum Soegiyapranoto “menjadi 100% Katolik dan 100% Indonesia,” rasanya belum lengkap kalau kita belum menyebut diri sebagai 100% orang Tangerang, khususnya Kabupaten Tangerang. Memang, menjadi warga negara yang baik, rupanya dimulai dalam lingkup yang lebih kecil, tempat kita tinggal, yaitu wilayah Tangerang. Menyadari pentingnya keterlibatan umat Katolik dalam wilayah Kabupaten Tangerang dan Banten secara keseluruhan maka sie karasulan awam menghadirkan dua nara sumber yang bisa memberi masukan sekaligus “kritik” mengenai peran dan sumbangsih umat Katolik dalam masyarakat. Pada sesi pertama dengan pembicara Bapak Zaky Iskandar, anggota DPR RI. Dalam pemaparan awal, Zaky menggambarkan peta “wilayah Kabupaten Tangerang yang begitu luas. Dengan kondisi seperti itu maka dibutuhkan pelayanan maksimal kepada masyarakat.” Perkembangan Kabupatan Tangerang yang cepat ini juga dibarengi dengan perkembangan umat Katolik yang menyebar di wilayah-wilayah Kabupaten Tangerang. Maka dalam pelayanan pun umat Katolik juga mendapat sentuhan pelayanan dari pemerintah. “Apa yang bisa saya lakukan, saya bisa bantu dalam kaitan dengan pelayanan,” demikian Zaky di selah-selah pemaparan pandangan dalam temu wicara. Ia (Bapak Zaky) sudah menunjukkan komitmen pelayanan terhadap publik. Dalam kaitan dengan perijinan pendirian rumah-rumah ibadah terutama Gereja Stasi Santo Gregorius, Bapak Zaky yang juga merupakan putra Bapak Ismet, Bupati Kabupaten Tangerang memberikan pelayanan terhadap perijinan tersebut. Figur-figur seperti Bapak Zaky adalah figur yang bisa diandalkan sebagai pemimpin karena memiliki nilai-nilai toleran dan keberpihakkan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Waktu yang disediakan panita cukup banyak tetapi karena ada kesibukan lain maka Bapak Zaky tidak terlalu banyak berbicara. Beliau memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya. Cukup banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para peserta yang merupakan utusan lingkungan dan wilayah, bahkan ada yang merupakan utusan dari Paroki Santa Helena serta Paroki Santa Odilia. Pertanyaan-pertanyaan itu seputar pendidikan, pengelolaan sampah dan permasalahan sosial yang lain. Dengan bijaksana, semua pertanyaan itu dijawab oleh beliau. Masih banyak lagi yang ingin bertanya bahkan sudah mengacungkan tangan tetapi karena keterbatasan waktu maka sesi pertama dengan pembicara Bapak Zaky ditutup. Pada sesi kedua, menghadirkan Bapak Stanislaus Lewotoby, Pembimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten. Di awal pembicaraan, beliau mengatakan bahwa dalam Gereja Katolik, hampir semua suku ada di dalamnya. Ini merupakan sebuah potensi sekaligus kekuatan yang bisa dikembangkan dalam membangun Gereja itu sendiri. “Tetapi sejauh mana orang-orang Katolik tampil di hadapan umum dan menghadirkan ciri kekatolikan?” Inilah pertanyaan sederhana dari Pembimas Katolik tetapi sekaligus menggugah kita untuk berefleksi di dalam menjalankan peran kita masing-masing. Lebih jauh dalam pembicaraannya, Pembimas Katolik mengedepankan beberapa tokoh nasional Katolik yang cukup disegani dan bisa dijadikan sebagai model dalam berkiprah, seperti: Mgr. Soegiya, Romo Mangun, Kasimo, Van Lith dan Frans Seda. Tokoh-tokoh nasional ini menunjukkan perannya sebagai warga negara dan warga Katolik yang baik. Mereka mengabdi dan memberikan pelayanan kepada publik dengan mengedepankan ciri-ciri kekatolikan. “Adakah dari kita akan seperti mereka?” Di tengah hirup-pikuk kehidupan negara ini, figur-figur ini menjadi sumber inspirasi dalam memperjuangkan kepentingan umum dan sekaligus membangkitkan moralitas bangsa yang kian terpuruk. Sebagai orang Katolik, tentunya diharapan untuk selalu berbuat baik. “Setiap saat, umat Katolik membuat satu titik kebaikan. Titik-titik kebaikan itu akan meluas,” demikian pesan Pembimas Katolik dipenghujung temu wicara itu. Kebaikan-kebaikan yang dilakukan oleh setiap orang Katolik menjadi sebuah tanda untuk mewartakan kerajaan Allah, kerajaan yang berpihak pada kebenaran. Dapatkah kita berlaku baik dan menyebarkan kebaikan itu kepada orang-orang lain?***(Valery Kopong)

Monday, April 30, 2012

Menghadapi Politik Amnesia

Setiap hari Kamis, sekelompok kecil warga berpakaian hitam berdiri di depan istana negara. Dengan payung hitam di tangan, mereka menghabiskan sisa senja dengan menghadap "rumah negara" itu sembari menunggu saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono keluar istana menuju Cikeas. Presiden dari balik kaca mobil barangkali sudah bosan melihat keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan aktivis ini berada di situ, apalagi jumlah mereka bertambah terus. Mereka mengingatkan tanggung jawab moral dan kemanusiaan negara ini yang telah menghilangkan banyak nyawa anak bangsa, korban pelanggaran HAM. Kelompok kecil ini setia berjuang melawan politik amnesia negara yang membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM mengambang dalam arus birokrasi dan politik. Sebut saja tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, pembunuhan terhadap aktivis HAM, Munir, peristiwa Wamena 4 April 2003, dan kasus Wasior 2001. Komnas HAM merekomendasikan ini sebagai pelanggaran HAM berat, tapi mandek di tangan kekuasan Kejaksaan Agung. Mereka setia berdiri untuk menagih janji-janji politik yang diucapkan Presiden dalam banyak kesempatan, tapi hingga detik ini tidak pernah terselesaikan satu kasus pun. Kelompok "Kamisan" ini pun sudah bertemu dan berdialog dengan Presiden Yudhoyono di istana negara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu, tapi hingga kini hanya janji yang mengisi harapan. Negara tampak tak berdaya di hadapan impunitas pelaku palanggaran HAM. Malah negara menjadi benteng perlindungan "aman" bagi para pelanggar HAM berat yang hingga saat ini leluasa di ruang publik. Negara terus saja mempraktikkan politik amnesia dengan membiarkan kasus-kasus pelanggaran HAM itu tertimbun waktu dan tertindih kasus-kasus lain yang terus saja diproduksi. Para keluarga korban dibuat putus asa dan tetap dalam nestapa. Rakyat dibuat sedemikian agar lupa dan para aktivis dialihkan perhatiannya dengan menciptakan berbagai isu baru. Dari sisi instrumen hukum, negara sebetulnya telah membuat sebuah pilihan politik signifikan. Pada tahun 2000, Presiden BJ Habibie membentuk UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Pasca kedua produk politik ini, praktis tidak ada satu presiden pun yang menghadirkan kebijakan politik menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Padahal, seluruh mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sudah jelas diatur dalam UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati memang tidak memiliki masa kekuasaan yang lama. Presiden Yudhoyono yang dipercaya rakyat selama dua periode ini sebetulnya memiliki cukup banyak waktu untuk menciptakan sejarah kebenaran dan keadilan bagi rakyat. Tapi, pada sisa masa kekuasaannya nyaris tidak menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian kasus-kasus HAM itu. HAM hanya menjadi komoditas politik yang indah dalam pidato. Isu ini cuma sebatas alat barter politik ketika berhadapan dengan lawan. Komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus ini memang sudah banyak terucap, tetapi hingga detik ini publik dan keluarga korban belum melihat sebuah eksekusi yang menghadirkan kebenaran dan keadilan. Para peneliti dan aktivis HAM sudah mengirim banyak dokumen pelanggaran HAM masa lalu ke istana negara, namun hanya berakhir pada pengarsipan gagasan, tanpa aksi politik yang nyata. Berharga Proses pembiaran dan mekanisme politik amnesia inilah yang sedang dihadapi kelompok kecil Kamisan itu. Saat artikel ini ditulis, kelompok ini sudah 252 kali berdiri di depan istana negara. Mereka akan terus berdiri hingga tidak ada orang lagi. Di tengah kebisingan dan kemacetan arus lalu lintas di depan istana negara yang selalu dijaga ketat aparat militer, keluarga korban dan aktivis menghadirkan berteriak dalam kediaman di hadapan tembok kekuasaan yang membisu. Mereka mengingatkan harga nilai kemanusiaan, tapi begitu mudah ditiadakan aparatus. Hanya Tuhan yang memiliki kekuasan penuh untuk memanggil kembali manusia ke dalam pangkuan-Nya. Bahkan, Tuhan dalam agama-agama mengajarkan, manusia tidak boleh merampas hak hidup sesamanya. Kelompok Kamisan ini setia mengingatkan negara bahwa betapa pun kecil dan sederhana, hak hidup setiap orang di republik ini harus dijaga, dirawat, dan dibela. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 menjamin hak hidup bagi setiap warga negara. Tetapi, ketika hak hidup warga dicabut dengan tragis oleh negara yang direpresentasi aparat militer, negara kehilangan kekuatan untuk memutus impunitas pelaku pelanggaran HAM tersebut. Para pelaku tetap bebas dan terus saja berjuang memasuki lorong-lorong birokrasi dan politik. Bagaimana menghadapi politik amnesia? Pertama, aksi Kamisan mesti terus dilakukan untuk mengingatkan negara akan tanggung jawab moral kemanusiaannya. Aksi ini merupakan model perlawanan publik yang dalam ziarah waktu akan membangun solidaritas perjuangan dalam menegakkan HAM. Kekuasaan negara sekuat apa pun tidak akan mampu menghadapi kesadaran moral yang terus disuarakan. Kedua, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemauan politik dan komitmen untuk membela HAM warganya yang terlanggar. Pemimpin sejati tegas terhadap bawahan. Dia peduli dan empati dengan kemanusiaan. Jika ada pelanggaran bawahan, ia tegas dalam koridor hukum sebagai wujud empati pada martabat hidup publik. Perpaduan keduanya akan menumbuhkan kewibawaan alamiah di hati rakyat. Negara sudah terlalu lama disesaki kata-kata yang tak pernah terimplentasi dalam tindakan politik dan hukum. Berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dituntaskan tidak hanya terus menuai perlawanan, tetapi juga akan membangun kesadaran palsu di kalangan aparatus negara bahwa tindakan melanggar HAM adalah sesuatu yang niscaya dan dilindungi negara. Legitimasi palsu jika dibiarkan akan terus menjadi ancaman serius kemanusiaan. Inilah rantai panjang kekerasan yang mesti diurai negara melalui aksi konkret penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Argumen inilah yang mesti terbaca di balik aksi Kamisan keluarga korban dan aktivis HAM di depan istana negara. Sebuah perlawanan terhadap mekanisme politik amnesia negara yang hanya mampu "mengarsipkan" kasus-kasus pelanggaran HAM, tanpa penuntasan. Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Tuesday, April 17, 2012

UN yang ‘Menyedihkan’

Ritual zikir dan istighosah yang cukup ramai dilaksanakan menjelang UN cukup menarik untuk disimak. Terlihat, tidak sedikit anak yang menangis saat pemimpin doa menyentuh mereka dengan kata-kata menggugah. Apalagi bila disertai ritus membasuh kaki orang tua, maka suara tangis menjadi tidak terbendung. Ritual seperti ini tentu saja positif. Dengan doa, diharapkan siswa memiliki ketenangan dan kesiapan batin untuk menghadapi UN. Ia juga merupakan sebuah momen yang menguatkan siswa. Mereka disadarkan, segala persiapan tidak akan sia-sia. Tuhan tidak akan tutup mata terhadap pengorbanan yang sudah dilaksanakan. Tetapi, apakah kesedihan itu sekedar konsekuensi dari doa yang mendalam atau punya arti lain? Ada apa dengan UN sehingga pelaksanaannya membuat siswa kita sedih? Sumber Kesedihan Kesedihan, demikian Santo Thomas dalam Suma Teologica I-II, bisa muncul karena empat hal. Ia bisa saja hadir sebagai bentuk compassion. Orang bersedih karena tidak tegah melihat penderitaan orang lain. Dalam konteks UN, tangisan siswa bisa disebabkan oleh rasa prihatin atas teman lain yang karena alasan internal atau eksternal, tidak cukup siap menghadapi UN. Kesedihan juga bisa muncul akibat iri hati. Orang merasa sendih melihat kebaikan yang dibuat orang lain. Siswa yang belum siap merasa iri pada teman lain yang sudah lebih siap. Ia pun menangis karena telah menyia-nyiakan waktu untuk belajar. Rasa jengkel pun bisa muncul dari anak yang berasal dari kalangan bawah yang tidak punya keberuntungan seperti temannya yang lain. Lebih jauh, kesedihan bisa berubah menjadi sebuah kegelisahan mendalam lantaran secara pribadi, seseorang merasa sudah tidak berdaya lagi untuk keluar dari kungkungan masalah. Ia hanya pasrah pada nasib. Ia meratap karena semua peluang tertutup baginya. Variasi 5 paket soal dalam satu ruang justru membuatnya kian panik dan sedih. Ada hal yang lebih memprihatinkan. Kegelisahan dan ketakberdayaan bisa memengaruhi kondisi fisik seseorang. Kesedihan yang kuat bisa begitu membebani sehingga merambah ke ranah fisik. Aneka tindakan yang mencederai tubuh bisa menjadi pelampiasannya. Otonomi Sekolah Sepintas, kesedihan siswa itu dianggap sesuatu yang normal. Pada masa remaja yang nota bene penuh gejolak, rasa sedih perlu dibangkitkan. Ia menjadi satu bentuk evaluasi diri demi menyentuh batin dan darinya diharapkan terjadinya perubahan berarti. Petinggi negeri ini pun akan bersyukur karena berkat zikir, keributan di jalan, tawuran, dan aneka kenakalan lainnya akan berkurang secara drastis, paling kurang menjelang UN. Namun, apakah sesederhana itukah arti kesedihan? Mengutip Victor Frankl, kesedihan itu bisa dimaknai lebih jauh sebagai sebuah ekspresi frustrasi dan depresi eksistensial malah sebuah ekspresi pesimisme radikal. Jenis kesedihan seperti ini tentu saja tidak hadir secara kebetulan melainkan akibat dari sebuah kesalahan eksistensial pula. UN misalnya, secara yuridis sudah dibatalkan Mahkama Agung (MA). Memang, tuntutan itu dilayangkan lebih dari enam tahun yang lalu dan dalam perjalanan telah terjadi perubahan yang signifikan. Tetapi pembatalan itu (minmal untuk sementara waktu) perlu ditaati. Di sini kita pun paham, aanmaning atau teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Kementrian Pendidikan (10/4) bisa saja membuat siswa gelisa dan sedih. Mereka ‘ditakdirkan’ mengikuti UN yang nota bene sudah dibatalkan. Ada hal lain yang lebih fundamental. Secara pedagogis-edukatif, ujian, bersama dua komponen lainnya yakni pemahaman konseptual dan penerapan metodologi pengajaran merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah proses pendidikan. Sekolah bertanggungjawab memungkinkan agar para pengajarnya memiliki pemahaman konseptual yang tepat dan punya metode pengajaran kreatif yang memampukan siswa memahami materi secara tepat. Pada akhirnya, sekolah juga yang menguji, demi mengetahui kadar penyerapan materi yang sudah diajarkan. Tentu kita pun harus realistis. Agar setiap sekolah tidak menjadi pulau sendiri di tengah lautan pendidikan, maka Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) mesti lebih diberi otonomi dan diberdayakan. Di sana para guru pada kawasan atau gugus tertentu sepakat mempertajam pemahaman konsep, mensharingkan metode pembelajaran dan pada akhirnya dapat menyusun bersama ujian yang bisa diterapkan di kawasannya. Sudah pasti, kerja seperti ini meletihkan. Pemerintah pusat perlu beralih dari UN yang dilaksanakan secara ‘pukul rata’, tetapi harus bergerilya dari daerah ke daerah untuk memantau apakah semua standar pendidikan sudah dipenuhi sebagai jaminan pasti akan menuai hasil pada ujian yang nota bene diselenggarakan sendiri oleh sekolah. Peran seperti ini juga tentu saja jauh untuk disebut proyek yang menelan biaya tak sedikit seperti yang bisa didapat dari pelaksanaan UN. Tetapi yang pasti, ia akan bersih dari aneka kong-kalikong hal mana sudah menjadi rahasia umum dalam UN. Di sini, instansi vertikal tidak lagi melakukan manipulasi berjamaah untuk meluluskan sebanyak mungkin siswa karena di sanalah kredibilitas murahan tercipta. Bila kekeliruan ini dipahami, maka ujian yang dilaksanakan pada setiap sekolah atau gugus akan menjadi memen menggembirakan dan bukan menyedihkan sebagaimana dihadapi mulai hari ini 2,5 juta siswa SMA. Robert Bala. Alumnus Universidad Pontificia de Salamanca Spanyol. Guru Bahasa Spanyol pada Lembaga Bahasa Trisakti.

Tuesday, April 10, 2012

Kapitalisme di Balik Revitalisasi

"Kapitalisme adalah musuh rakyat." Demikian bunyi salah satu spanduk di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Teks ini membahasakan protes para pedagang kerajinan bambu dan rotan yang tergabung dalam Aliansi Serikat Pedagang Stasiun Layang Jabodetabek untuk melawan rencana penggusuran para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI). Manajemen KAI berargumen, kehadiran pedagang bambu dan rotan membuat kumuh dan semerawut. Rencananya, akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang sedap dipandang. Eufemisme yang dipakai KAI adalah revitalisasi. Namun, di mata para pedagang kecil, istilah revitalisasi hanya "akal-akalan" KAI untuk menggusur mereka. KAI hanya mementingkan pemodal besar, pemilik minimarket dan restoran dengan merek terkenal. Buktinya, saat ini telah berdiri satu minimarket milik KAI di Stasiun Cikini dengan menghilangkan ruang mencari sesuap nasi para pedagang kecil yang telah lama berjualan kudapan, minuman, koran, rokok dan sebagainya. Spanduk tadi sebagai visualisasi dugaan para pedagang bahwa di balik kebijakan "akal-akalan" revitalisasi, tersembunyi hasrat besar kapitalisme yang hendak menggusur usaha rakyat. Sektor ini sebenarnya justru harus dibantu karena mereka hidup dari kreativitas sendiri, tanpa mengandalkan pemerintah. "Akal-akalan" KAI dimulai pada 13 Juli 2011 dengan menaikkan harga sewa kios dari 1,25 juta rupiah per meter setahun menjadi 20,5 juta rupiah. Sementara itu, para pedagang meminta harga sewa naik hanya menjadi 15 juta rupiah per tahun per meter. Perundingan buntu, hingga KAI melayangkan surat pengosongan kepada para pedagang di Stasiun Cikini, Djuanda, dan Gondangdia pada Oktober 2011. Hingga kini, baru pedagang di Stasiun Djuanda yang digusur. Sedangkan para pedagang di Stasiun Cikini dan Gondangdia masih melawan. Secara sederhana, kapitalisme adalah paham atau ideologi ekonomi yang berkiblat kepada orang-orang kaya yang memiliki kekuasaan besar dalam bidang ekonomi (perusahaan besar, keuangan, perbankan). Kedahsyatan paham kapitalisme bisa menguasai sektor-sektor kehidupan publik seperti politik, birokrasi, dan budaya. Banyak kalangan berpendapat, kapitalisme itu serakah, buas, rakus, dan menjadi sumber kebangkrutan ekonomi global. Pemilik kapital memeras kaum buruh. Kapitalisme mewujud dalam bentuk mesin penggusur roda ekonomi serta usaha-usaha kecil. Sampai detik ini, dia menjadi salah satu pencipta jurang kemiskinan di seluruh dunia. Kekuasaan kapital (modal, uang) bisa menyusup ke dalam lorong-lorong birokrasi, politik, legislatif, dan memengaruhi proses perumusan kebijakan publik agar eksistensinya tetap kokoh. Eksistensi pedagang sebagai warga yang wajib dilindungi negara, termasuk diberi ruang untuk hidup dan berusaha, diabaikan. Manajemen KAI sebagai representasi negara seharusnya melidungi karena mereka tengah berusaha untuk mandiri. Para pedagang rotan tidak pernah minta gratis menggunakan kolong stasiun. Malah mereka sepakat menaikkan harga sewa menjadi 15 juta rupiah. Angka itu sangat besar dibanding penghasilan mereka yang mengandalkan momentum hari raya keagamaan, ulang tahun, hari raya nasional, dan sebagainya. Bahkan dari sisi penciptaan lapangan kerja, mereka menampung begitu banyak pekerja lokal yang sesungguhnya minim keahlian sebagaimana dituntut perusahaan-perusahaan dengan beking kapitalis. Para pedagang geram karena KAI seolah menjadi "kaki tangan" para kapitalis untuk menguasai ruang publik, sekaligus membunuh kreativitas dan usaha kerajinan rakyat. Padahal negara (baca: manajemen KAI) mestinya lebih mengapresiasi kreativitas pedagang kecil ini dan meningkatkan profesionalitasnya. Di balik kata sakti "revitalisasi", KAI berniat menggusur hak hidup rakyat. Ada beberapa modus yang bisa disimpulkan dari tarik-menarik kasus pengosongan stasiun tersebut. Apalagi dalam era orde baru ada sistem binaan. Polanya, sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) membina pedagang, perajin, dan usaha kecil menengah. BUMN itu bangga dapat memiliki binaan, apalagi sukses. Nah, seharusnya, KAI dapat meniru, bukan sebaliknya. Misalnya, KAI menaikkan tarif sewa lapak dan kios menjadi 20,5 juta rupiah. Nilai itu terasa sangat mencekik leher para pedagang kecil. Setiap hari para pedagang tidak selalu mendapat pemasukan yang layak. Belum lagi mereka harus menggaji para karyawan. Nilai sebesar itu dipandang sebagai bagian dari upaya negara membunuh usaha rakyat. Kemudian, KAI berargumen, di bawah kolong stasiun itu akan dibangun gerai-gerai pertokoan dan kafe-kafe yang enak dipandang. Inilah argumentasi yang kapitalistis, meraup keuntungan sebesar-besarnya, tanpa peduli pada pedagang kecil. Kebijakan ini disusupi keserakahan kapitalis dengan memanfaatkan celah-celah birokrasi yang lebih pro terhadap modal ketimbang rakyat. Fakta ini sangat ironis ketika negara mengampanyekan ekonomi kerakyatan, tapi pada saat yang sama pasar-pasar tradisional, lapak-lapak ekonomi rakyat kecil, disingkirkandengan modus "akal-akalan" revitalisasi. Harusnya ada solusi yang beradab. Negara mesti jujur dan tulus merevitalisasi eksistensi para pedagang secara manusiawi. Dialog adalah jalan terbaik untuk membangun komunikasi. Revitalisasi tidak identik dengan penggusuran. Para pedagang mesti diajak berpartisipasi dalam menciptakan ruang publik yang manusiawi. Boleh juga meniru kerja Wali Kota Solo Joko Widodo yang berhasil membina pedagang kaki lima. Mereka menjadi mitra, bukan lawan. Tidak elok meminggirkan rakyat kecil dengan argumen revitalisasi. Cintailah rakyat kecil dengan berbagai kreativitas dan usahanya. Negara ini didirikan untuk mengapresiasi dan mendorong pertumbuhan inisiatif kemandirian rakyat. Ruang publik akan kehilangan roh kemanusiaannya ketika negara lebih memihak kaum kapitalis dan menggusur rakyatnya sendiri. Jika ini yang terjadi, negara sedang membangun permusuhan abadi dengan rakyat. Penulis Steph Tupeng Witin, SVD, rohaniwan

Ekaristi: Gerakan untuk Berbagi

Oleh Steph Tupeng Witin Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo dalam Surat Gembala Prapaskah 2012 mengajak seluruh umat untuk “Bersatu dalam Ekaristi, lalu diutus untuk berbagi” dengan sesama. Ajakan ini merupakan kelanjutan dari Surat Gembaka Prapaska 2011: Mari Berbagi (HIDUP No 15 Tahun ke-65. 10 April 2011.hlm 40). Hal yang istimewa dalam Surat Gembala Prapaska tahun 2012 adalah umat diajak untuk menjadikan Ekaristi sebagai basis gerakan untuk berbagi. Artinya, gerakan berbagi melalui berbagai aksi sosial karitatif kemanusiaan yang menjadi intensi sekaligus imperatif masa prapaska merupakan gerakan energi Kristiani yang bersumber pada Kristus yang memecah-mecahkan diri-Nya dalam Ekaristi. Ketika Kristus membagi-bagi diri-Nya dalam misteri Ekaristi, seluruh umat dengan latar belakang dan status apa pun, bersatu sebagai satu keluarga besar yang menimba kekuatan dari kelimpahan rahmat Ekaristi. Melalui Ekaristi, diri kita yang terpecah-pecah karena dosa diutuhkan kembali dan kita membuka diri untuk menerima Sabda-Nya yang membangun dan mempersatukan kita untuk berpartisipasi dalam karya penyelamatan. Melalui communio dengan Kristus, keterpecahan diri kita diutuhkan kembali: yang bermusuhan didamaikan; yang tercerai-berai dikumpulkan; yang terpisah dihimpun kembali. Inilah saat berahmat ketika communio dengan Kristus itu menggerakkan kita untuk menjadi saksi kasih-Nya melalui gerakan berbagi diri (pikiran, ide, gagasan, bakat dan talenta) dan hidup (pekerjaan, profesi dan pelayanan sosial karitatif kemanusiaan). Komunitas Alternatif Tanah pembuangan dalam narasi Perjanjian Lama menjadi inspirasi biblis yang mengalirkan kekuatan harapan di tengah gelombang penderitaan. Israel terlempar keluar ari tanah air dan menderita dalam represi militeristik Babilonia. Sebagian besar umat Israel yang telah menikmati “kue” posisi politik, sosial dan ekonomi justru kehilangan jati diri. Tuhan tidak lagi menjadi pegangan hidup. Mereka berargumen bahwa Tuhan terasa sangat jauh justru ketika mereka mengharapkan pertolongan-Nya. Tetapi sekelompok kecil umat Israel tetap setia berharap pada Allah. Mereka ulet menata dan membangun hidupnya meski itu harus dirajut di atas puing-puing kehancuran. Penderitaan selama rentang waktu pembuangan menjadi saat purifikasi (pemurnian) iman kepada Allah. Ibarat emas yang diuji kemurniannya dalam tanur api, demikian iman kelompok kecil ini menggapai kemurniannya yang otentik justru dalam tantangan dan salib. Di tengah migrasi religius sebagian besar umat Israel yang berpaling dari Tuhan, “sisa Israel” tetap kokoh dan teguh dalam iman. Kasih Allah yang dialami di tengah puing-puing penderitaan, meski kecil sekali pun dirasakan sebagai partisipasi aktif Allah dalam hidup. Tuhan begitu intim menyapah mereka meski sapaan itu kadang hadir melalui peristiwa-peristiwa hidup yang biasa dan sederhana. Waktu yang berlalu begitu cepat di tengah pengalaman hidup beriman adalah mukjizat yang menghadirkan wajah Allah yang abadi. Uskup Suharyo dalam Surat Gembala Prapaska 2012 menyebut kelompok ini sebagai “komunitas alternatif.” Kata “alternatif” mengacu pada pengertian “pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan” (Kamus Besar Bahasa Indonesia-Edisi ke-4, Gramedia, 2008:44). Boleh jadi, “komunitas alternatif” Israel menjadi inspirasi bagi umat Katolik di Keuskupan Jakarta khususnya dan umat Katolik Indonesia umumnya untuk tidak lagi berkutat sebatas “berapa orang” yang dibabtis setiap minggu (jumlah) tetapi bagaimana kita mesti hidup sebagai orang Katolik yang seperti Kristus dalam Ekaristi: berhati sederhana, tulus memecah-mecahkan diri dan terbuka membagi hidup-Nya kepada semua orang tanpa sekat-sekat diskriminasi suku, agama, rasa dan golongan (SARA). Posisi umat Katolik sebagai kelompok minoritas di Republik ini mestinya menjadi kekuatan alternatif yang bersumber pada Ekaristi Kristus, lalu dengan rahmat kekuatan itu menjadikan hidupnya sebagai sebuah “Ekaristi yang hidup”: saat di mana melalui pikiran, gagasan, profesi dan pekerjaan-pekerjaan, kita berbagi hidup dengan semua orang, bahkan segenap ciptaan. Di tengah agresivitas kelompok-kelompok agama dan kepercayaan lain yang bernafsu mengejar penganut dari takaran statistik (jumlah), di tengah migrasi sekelompok besar umat Katolik yang telah menikmati “kue” ekonomi, sosial dan politik negeri ini, lalu berpaling kepada “berhala-hala lain” (misalnya, meninggalkan Gereja), umat Katolik yang minoritas ini mesti menjadi “komunitas alternatif” yang seperti “sisa Israel” teguh dalam iman kepada Allah dan tulus berbagi dengan sesama. Hidup yang dilandasi jiwa Ekaristi menggerakkan umat Katolik untuk menjadi “Injil yang hidup” dalam konteks Indonesia yang plural: menjadi saksi konkret menerima dan berkomunikasi secara jujur dengan semua orang dari latar belakang apa pun dan menjadi “Ekaristi yang hidup”: setia berbagi apa yang ada pada kita seperti Kristus yang tulus memecah-mecahkan diri-Nya lalu memilih jalan salib untuk menyelamatkan semua umat manusia. “Komunitas alternatif” adalah ajakan bagi seluruh umat Katolik untuk menjadi saksi Ekaristi yang nyata di Republik ini melalui bakat, talenta dan profesi-profesi di bidang sosai, ekonomi dan politik. Umat Katolik yabg minoritas diajak untuk menjadi seperti garam: yang “mengenakkan” ranah kehidupan publik melalui pikiran, gagasan dan solusi alternatif-kreatif yang mencerahkan di tengah gelombang kebohongan dan penipuan miskin rasa malu yang memendungkan wajah peradaban bangsa ini. Secara khusus, ajak bagi umat Katolik yang mendapatkan kepercayaan publik untuk mengabdi dan melayani Republik ini dalam ranah sosial, politik dan ekonomi, kiranya menjadi cahaya Ekaristi: menjadi saksi hidup yang sederhana dan jujur sehingga rela membagi diri dengan tulus, minim kalkulasi ekonomi politik yang egois (Bdk Mat. 5:13-16). Yohanes Pembabtis mengingatkan: Cukupkanlah dirimu dengan gajimu (Yoh 3:14). Kita semua, dengan latar belakang dan profesi apa pun, diajak untuk menjadi saksi hidup dengan melawan arus ketidaktulusan, kebohongan dan korupsi yang mengalir deras menggenangi hampir semua lini kehidupan bangsa ini. Penulis adalah Jurnalis, Alumnus Magister Teologi Kontekstual STFK Ledalero, Flores

Jalan Salib sebagai Cinta Radikal Perekat Bangsa

Jumat (6/4) , umat Kristen di seluruh dunia mengenang sengsara dan kematian Yesus Kristus. Dunia diajak merenungkan jalan salib (Via Crucis) sengsara Kristus sebagai inspirasi membangun kehidupan yang dilandasi kasih dan solidaritas. Via Crucis adalah via Dolorosa (jalan penderitaan) yang menggambarkan momen-momen penderitaan Yesus yang pasrah total. Ia ditangkap bagai penjahat. Pilatus menghukum-Nya secara tidak adil melalui sebuah pengadilan yang manipulatif. Ia disiksa, disesah, diludahi, diolokolok, dan disalib. Ia memanggulnya hingga Kalvari. Dia dipaku pada salib. Dia dibiarkan mengerang kehausan. Lambungnya ditembusi tombak serdadu Yahudi hingga wafat. Itulah pengorbanan paling agung untuk membuka mata dunia yang penuh dosa agar bertobat guna membarui dan menguduskan kehidupan. Mendiang Rendra, dalam Balada Penyaliban, membahasakan jalan salib Kristus sebagai korban Allah paling indah untuk manusia. Yesus adalah "domba paling putih yang dibantai pada altar paling agung". Gambaran misteri di balik derita Kristus itulah yang menjadi argumen untuk menyebut momen itu sebagai "Jumat Agung" karena Kristus mengungkapkan cinta-Nya secara radikal melalui jalan penderitaan dan salib. Hari raya keagamaan selalu bermakna universal. Dalam konteks Republik Indonesia, momen wafat Yesus merupakan ajakan untuk membangun bangsa ini di bawah kibaran bendera kasih dan solidaritas, merupakan zat perekat yang menyatukan segenap komponen sebagai satu bangsa. Kasih dan solidaritas menghilangkan klaim-klaim diskriminatif atas nama suku, agama, ras, dan antargolongan yang membuat bangsa terpenjara dalam sekat-sekat primordial yang sempit. Kasih dan solidaritas adalah kekuatan rohani yang meruntuhkan tembok-tembok kesombongan dan keangkuhan kekuasaan birokrasi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mencerai-beraikan. Fokus kepemimpinan adalah keselamatan dan kebahagiaan rakyat. Pemimpin sejati selalu berkorban sehabis-habisnya, bila perlu "menyalibkan diri" demi rakyat. Pemimpin seperti itu ibarat domba yang diantar ke tempat pembantaian untuk dikorbankan sebagai sarana untuk "menguduskan" ranah kehidupan dan aktivitas birokrasi, politik, sosial, dan ekonomi sebagai jalan untuk melayani publik. Pemimpin ideal seperti itu tidak didapat dengan mudah. Waktu dan realitas adalah ruang pengujian dan pematangan sosok pemimpin. Republik ini memiliki Soekarno, Hatta, Syahrir, Mangunwijaya, Gus Dur, dan tokoh-tokoh humanis lainnya yang menggagas Indonesia yang plural ini menjadi sebuah rumah bersama yang indah dan menakjubkan. Para pemimpin birokrasi, politik, ekonomi, dan sosial diharapkan dapat mempersembahkan diri untuk kemaslahatan rakyat. Mari kita berpartisipasi dalam membangun bangsa ini. Kita ringankan beban sesama yang terpinggirkan karena kehilangan akses dalam ranah birokrasi, politik, dan ekonomi. Inilah momen bersatu dalam keberagaman, saling berbagi. Kita bersama-sama memanggul salib republik ini menuju "Golgota" berupa masa depan. Hidup memang akan selalu diwarnai dengan salib: kemiskinan, penderitaan, disingkirkan, dan ketidakadilan. Tapi, kasih dan solidaritas menyatukan kita sebagai saudara. Oleh: Steph Tupeng Witin, SVD Penulis adalah rohaniwan

Monday, March 12, 2012

APA YANG TERJADI DENGAN DIRIKU?

(Sumber inspirasi Markus, 6:53-56) “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan” Saudara/I pendengar di mana pun Anda berada. Hari ini kita diajak untuk merenungkan kisah penyembuhan bagi mereka yang sakit, mereka yang tak berdaya. Sehari sebelum peristiwa penyembuhan di Genezaret, Yesus sudah memperlihatkan suatu keajaiban yaitu berjalan di atas air, menyusuri orang banyak yang naik perahu yang sedang diterpa angin sakal. Apa yang dilakukan Yesus dihadapan publik, memperlihatkan sesuatu di luar batas kelaziman, di luar jangkauan ratio manusia dan hal itu menjadi tanda heran bagi manusia yang melihatnya. Mengapa Yesus, dalam pewartaan-Nya tentang kerajaan Allah dan keselamatan manusia, selalu memperlihatkan mukjizat atau keajaiban-keajaiban dihadapan publik? Kehadiran Yesus di tengah-tengah kelompok yang dijanjikan juru selamat oleh Allah, namun kelompok yang bersangkutan yakni umat Israel masih menolak kehadiran sang mesias itu sendiri. Mereka belum percaya pada Yesus yang merupakan utusan Allah untuk menyelamatkan manusia dan membuka simpul-simpul dosa. Karena itu tanda heran atau mukjizat yang dilakukan Yesus, selain merupakan bagian penting dalam pewartaan tentang datangnya kerajaan Allah, tetapi juga mau menggiring kesadaran manusia yang masih tumpul hatinya dan menolak kehadiran sang juru selamat, perlahan percaya pada-Nya. Apa yang dilakukan Yesus terutama menyembuhkan orang-orang sakit juga mengungkapkan wibawa keallahan-Nya di hadapan dunia. Tetapi fenomena sosial yang memperlihatkan lemahnya kepercayaan dunia kepada dirinya, tidak semata-mata dibantu dengan tindakan menyembuhkan sebagai upaya membangun pamor kemesiasan tetapi apa yang dilakukan Yesus merupakan gerakan Allah dalam solidaritasnya dengan mereka yang terpinggirkan. Yesus selalu menempatkan “kepekaan sosial” sebagai cara paling mudah dalam membangun relasi dengan manusia lain. Karena melalui kepekaan sosial, terbangunlah rasa toleransi dan tindakan produktif yang menyelamatkan manusia yang mengalami “tuna di dalam kehidupannya.” Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Penginjil Markus secara dramatis membahasakan keberpihakan Yesus dan kejelian orang-orang sakit yang selalu membuka diri bagi kehadiran Sang juruselamat. Orang-orang sakit tidak lagi menunggu kabar, kapan Yesus lewat di sekitar rumahnya tetapi justeru mereka yang sakit juga diletakkan di pasar, sebuah ruang terbuka, tempat transaksi para penjual dan pembeli. Penginjil Markus mau membuka wawasan, membuka cara baru dalam melihat peristiwa ini sebagai sebuah peristiwa terbuka dimana kehadiran Yesus menjadi milik bersama dan tindakannya melampaui semua orang, siapa saja yang membutuhkan bantuan. Pasar, sebuah ruang publik yang bising, tempat orang-orang melakukan transaksi, Allah mau hadir bersama putera-Nya untuk memulihkan harapan yang sirna, mengembalikan yang cacat ke keadaan semula. Di sinilah tempat traksaksi iman antara mereka yang terluka dan sang juru selamat. Orang-orang sakit membuka diri, membiarkan keselamatan itu menjalar dalam dirinya dan hanya satu harapan tunggal yang melekat dalam dirinya yaitu ingin agar kesembuhan bisa terlaksana. Baginya, hidup sehat merupakan modal utama dan kerinduan terbesar dalam dirinya. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Kehadiran Yesus dan tindakan nyata Yesus selalu mengutamakan keselamatan manusia. Keberpihakkan kepada mereka yang tersisih menjadi prioritas perhatian yang diberikan oleh Yesus. Ketika Yesus melakukan sesuatu kepada orang lain maka pada saat yang sama ia mengorbankan kepentingan, memangkas egoisme sendiri untuk bisa berjumpa dengan orang lain. Di pasar, seperti yang dilukiskan oleh penginjil Markus, Yesus telah menjumpai begitu banyak orang dengan karakter yang berbeda-beda. Ia membaurkan diri bahkan menenggelamkan diri dalam gegap-gempitanya pasar agar Ia bisa menyatu dengan manusia. Dan dalam keterlibatan yang intens itu, Yesus menghadirkan cinta tanpa batas, melampaui batas-batas cinta diri. Saudara/I yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Dalam dunia pendidikan, nilai pengorbanan terhadap sesama juga menjadi prioritas. Anak-anak didik yang umumnya masih mencari jati diri dan ilmu pengetahuan, perlu mendapat perhatian lebih dari para pendidik. Dengan memberikan perhatian lebih kepada mereka maka ada jalan terbuka menuju ruang peradaban baru yang lebih berdaya dan produktif. (Valery Kopong)

“Aku dalam "Menggapai Aku atau Kapankah Waktuku Sampai?”

Bacaan Markus 8:11-13 Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam YEsus kristus. Mengapa angkatan ini meminta tanda? Inilah satu pertanyaan retoris yang diajukan oleh Yesus ketika berhadapan dengan orang-orang farisi. Permintaan orang-orang farisi ini akan tanda dari Yesus memperlihatkan tingkat kualitas kepercayaan terhadap Dia yang semakin lemah dan karena kehadiran Yesus sendiri mengganggu kemapanan hidup mereka. Yesus tidak secara serta-merta memperlihatkan tanda baru, bahkan menolak untuk memberikan tanda selain tanda nabi Yunus. Tanda Yunus menjadi tanda peringatan Tuhan kepada Niniwe dan Yunus sendiri tidak melakoni tugas sebagai nabi yang menyerukan sebuah peradaban hidup yang baru. Yunus melarikan diri dari Tuhan dan mendapatkan kutukan dariNya. Ia dibuang ke laut dan ditelan ikan. Ia hidup selama 3 hari, tiga malam dalam perut ikan. Apa yang terjadi di zaman nabi Yunus sudah menjadi peringatan yang menyejarah dan kisah yang menyapa setiap generasi yang hidup. Tanda pertama yang diperlihatkan Allah kepada manusia melalui Yunus menjadi sebuah ikatan antara masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini terikat oleh tanda dari sang penguasa waktu. Yesus tidak memperlihatkan tanda baru selain tanda nabi Yunus karena Ia memahami kedalaman makna dari tanda tersebut yang juga mengena dengan dirinya sendiri. Yesus menghargai tanda dan membiarkan tanda itu bermakna dalam siklus zaman tetapi tak satu pun yang menyadari makna tanda dari nabi Yunus itu. Namun Yesus yang diberi peran yang kian berat itu menyadari bahwa Dia akan segera hancur di bawah tekanan perutusan yang menyelamatkan itu. Yesus tampil di hadapan orang-orang farisi dalam ketelanjangan cogito, ergo sum, saya berpikir maka saya ada, merasa perlu menyembunyikan diri lagi dibalik berbagai tekanan untuk memperlihatkan tanda baru dari-Nya. Desakan permintaan tanda ini seolah-olah tanda Yunus telah usang dan diganti dengan tanda dari Yesus sendiri. Kategori waktu dan ruang, kategori sebab-akibat dan substansi adalah kerangka-kerangka yang tetap yang ada dalam benak pemikiran manusia, yang tidak bergantung pada penentuan bebas manusia dan sebab itu berada di luar tanggung jawab manusia. Menunjukkan keterbatasan pikiran manusia berarti juga menyatakan keterbatasan tanggung jawabnya. Saudara/I pendengar yang terkasih di dalam Yesus Kristus. Apakah di dalam hidup, sebagai pengikut Kristus, kita pun menyangsikan tanda dari Yunus dan meminta tanda baru dari Yesus? Yesus telah memaknai tanda tersebut dan bahkan mengalami sendiri. Kalau Yunus ditelan ikan dan hidup di dalam perut ikan selama 3 hari, 3 malam maka Yesus pun telah menggenapi tanda itu. Ia telah ditelan maut dan hidup di dalam perut bumi selama 3 hari. Inilah tanda yang telah diperlihatkan Yesus kepada dunia, tanda kematian dan kebangkitan-Nya dari alam maut. Tanda inilah yang menjadi ikatan iman kita kepada Yesus sebagai sumber keselamatan kita. Orang-orang farisi mewakili angkatannya, masih ragu dan meminta tanda baru dari Yesus. Apa yang dilakukan oleh orang-orang farisi seringkali juga kita lakukan untuk mengungkapkan lemahnya kepercayaan kita kepada seseorang. Terkadang kita ragu kepada guru-guru dan mempertanyakan nilai yang mewakili kemampuan kita. Merasa ragu itu adalah sesuatu yang wajar di dalam hidup ini. Tetapi menjadi tidak wajar jika di dalam hidup kita dipenuhi dengan keragu-raguan. Apabila hidup kita diliputi oleh rasa ragu yang berkepanjangan maka akan menjadi sulit untuk menentukan hidup yang lebih optimis. Mudah-mudahan kita tidak merasa ragu lagi terhadap Yesus karena dialah yang menjadi pelita yang menerangi masa depan kita. (Valery Kopong)