Monday, February 4, 2013

BAHASA PENYADARAN



“Carilah dengan kerinduan untuk menemukannya, temukanlah dengan kerinduan untuk mencari terus-menerus.”

Kebutaan mereka yang menyiksa selama puluhan tahun, semakin menyadarkan mereka bahwa kondisi mata yang buta bisa tersembuhkan oleh sang Mesias. Kasihanilah kami, hai anak Daud.  Inilah seruan kerinduan dua orang buta sekaligus meminta belas kasih dari Yesus. Seruan yang sama menjadi bahasa penyadaran akan Yesus bahwa dunia orang buta adalah dunia penyiksaan karena tidak mengalami secara langsung kehidupan nyata.
                Tetapi yang tetap menjadi pertanyaan di sini, mengapa mereka yang buta, memiliki kesadaran lebih baik? Dari mana mere ka tahu bahwa Yesus, Sang Mesias lewat di hadapan mereka? Perjalanan Yesus merupakan ‘safari penyelamatan’ yang mencari siapa saja yang tak berdaya dan lumpuh secara fisik untuk dirangkul kembali dalam lingkaran keselamatan. Yesus yang lewat, bagi sang buta, tidak dilewatkan begitu saja namun Yesus yang lewat memiliki makna yang mendalam akan peristiwa pengangkatan kembali martabat manusia yang telah terpuruk karena ketimpah kondisi kebutaan.
                Dalam menyusuri perjalanan, Yesus banyak kali berjumpah dengan mereka-mereka yang tak berdaya, tersisih dari panggung kehidupan. Ia tidak menutup mata terhadap mereka yang tengah mengalami kesulitan. Apa yang dilakukan Yesus merupakan tindakan keselamatan dan bahasa penyadaran pada mereka yang tersisih bahwa kerajaan Allah dan keselamatan telah dan sedang terjadi dalam diri mereka. Bagi mereka, kerajaan Allah adalah tempat untuk memelekkan mata mereka,  dan menyadarkan untuk menyaksikan peristiwa hidup yang sedang terjadi di sekitar mereka.
                Di mata orang-orang buta, Sang Mesias tidak berada jauh dari harapan dan penantian yang berkepanjangan tetapi Yesus, Sang Mesias itu sudah hadir di tengah-tengah mereka. Iman mereka yang buta, jauh melampaui iman orang-orang yang saleh yang kelihatan dekat dengan Allah. Dalam iman, mereka telah membuka diri terhadap Dia yang lewat, dia yang sedang menyusuri lorong-lorong waktu dan keluar masuk kota dan desa. Keselamatan hakiki sebenarnya sedang terjadi dan terus ditawarkan oleh Yesus kepada manusia. Hanya saja manusia masih buta, imannya belum menembus batin kesadaran untuk melihat Dia yang lewat, dia menyapa setiap orang, baik dalam kesendirian, maupun dalam kebersamaan.*** (Valery Kopong)

Saturday, February 2, 2013

EPIKLESE KONSEKRATORIS


Secara liturgis, epiklese berarti seruan doa permohonan kepada Allah agar mengutus Roh Kudus untuk menguduskan seseorang atau barang / hal tertentu. Seluruh Doa Syukur Agung bersifat epiklesis, yakni suatu doa syukur yang sekaligus permohonan agar Allah menghadirkan karya penyelamatan-Nya melalui Kristus dalam Roh Kudus pada Gereja.
                Namun, ada bagian Doa Syukur Agung yang secara eksplisit dan terfokus menyebut seruan permohonan turunnya Roh Kudus itu. Kita mengenal dua macam epiklese dalam Doa Syukur Agung (DSA).
                Pertama ialah epiklese konsekratoris yang memohon turunnya Roh Kudus untuk menyucikan bahan persembahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.
                Kedua ialah epiklese komuni yang memohon agar Roh Kudus itu mempersatukan umat beriman itu sebagai satu tubuh, satu communion, sebagaimana ditandakan dengan penerimaan komuni.
                Tentang kedua epiklese itu, PUMR menyatakan: “Dalam doa-doa khusus ini Gereja memohon kuasa Roh Kudus dan berdoa supaya bahan persembahan yang disampaikan oleh umat dikuduskan menjadi tubuh dan darah Kristus; juga supaya kurban murni ini menjadi sumber keselamatan bagi mereka yang akan menyambut-Nya dalam komuni” (PUMR no. 79c).
                Pada doa syukur Agung (DSA), epiklese konsekratoris diletakkan sebelum kisah institusi dan epiklese komuni ditempatkan sesudah kisah institusi. Semangat Liturgi Konsili Vatikan II menempatkan seluruh DSA sebagai satu kesatuan doa yang bersifat anamnesis dan epiklesis. Kini dipahami bahwa peristiwa perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh dan darah Kristus berlangsung dalam keseluruhan Doa syukur Agung itu sendiri.

DOA ANAMNESIS


                      Bagian sesudah kisah dan kata-kata institusi serta aklamasi anamnesis adalah doa anamnesis. Doa anamnesis adalah ungkapan iman akan Allah yang hadir dengan segala karya penyelamatan-Nya melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Dengan mengenangkan karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Kristus  yang secara historis terjadi 2000 tahun yang lalu, yaitu kurban salib Kristus, umat sekarang ini mengalami sendiri tindakan penyelamatan Allah melalui Kristus tersebut berkat atau dalam Roh Kudus. Namun,  karya penyelamatan Allah yang dialami oleh umat beriman itu merupakan tindakan Allah melalui Kristus yang terus berlangsung menuju kepenuhannya pada akhir zaman. Dengan demikian, pengenangan yang kita lakukan memungkinkan kita  berpartisipasi dalam karya penyelamatan Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus itu secara serentak dan sekaligus menurut ketiga dimensi waktu: masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
                      Mengenai doa anamnesis ini, PUMR menyatakan: “Dalam bagian ini Gereja memenuhi amanat Kristus Tuhan yang disampaikan melalui para rasul. ‘Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku!’ Maka Gereja mengenangkan Kristus, terutama sengsaranya yang menyelamatkan, kebangkitan-Nya yang mulia dan kenaikan-Nya ke surga” (PUMR no.79.e). Dari kutipan ini terungkap dengan jelas  alasan mengapa kita mengadakan doa anamnesis. Di satu pihak seluruh DSA yang secara khusus dan eksplisit menyebutkan tindakan pengenangan yang dilakukan Gereja atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Kristus sebagaimana memuncak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus itu. Dengan doa anamnesis ini, umat beriman mengalami sendiri secara hic et nunc (di sini dan kini) karya penebusan itu yang puncaknya berlangsung dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus dan kita ikut ambil bagian dalam kemuliaan-Nya (yang diungkapkan dalam kenaikan Yesus Kristus ke surga) dan sekaligus menantikan kepenuhan dan penyelesaian akhir dari karya penebusan Kristus itu pada akhir zaman, saat Dia datang kembali dengan mulia.***
                     







DOA PERSEMBAHAN


Pada semua DSA, doa anamnesis sangat erat dihubungkan dengan doa persembahan atau doa kurban. Dengan anamnesis, dihadirkan misteri kurban di salib Kristus sendiri yang menyelamatkan itu pada saat ini dan di sini, yakni dalam konteks jemaat yang merayakan ekaristi.
                Dalam prakata Pedoman Umum Misale Romawi : “Keyakinan mengenai  kehadiran kurban salib dalam perayaan Ekaristi dijabarkan secara cermat dan tepat dalam doa-doa syukur agung. Sebab bila dalam doa syukur agung imam melakukan pengenangan (anamnesis), ia menghadap Allah, juga atas nama seluruh umat, bersyukur kepada-Nya dan mempersembahkan kurban yang hidup dan suci, yang merupakan persembahan Gereja sebagai kurban sejati, yakni putera-Nya sendiri, yang berkat kematian-Nya telah mendamaikan kita dengan Allah. Imam pun berdoa agar tubuh dan darah Kristus menjadi kurban yang berkenan pada Allah dan membawa keselamatan bagi seluruh dunia."dirumuskan dalam satu kalimat. Misalnya dalam DSA II dirumuskan: “Sambil mengenangkan wafat dan kebangkitan, kami mempersembahkan kepada-Mu, ya Bapa, roti kehidupan dan piala keselamatan.” Sementara dalam DSA III, doa persembahan itu dirumuskan sendiri, namun langsung sesudah doa anamnese: “Sambil  mengharapkan kedatangan-Nya kembali, dengan penuh syukur kami mempersembahkan kepada-Mu kurban yang hidup dan kudus ini. Kami mohon, pandanglah persembahan Gereja-Mu ini dan indahkanlah kurban yang telah mendamaikan kami dengan Dikau ini.” 
                Pada bagian doa persembahan ini, PUMR merumuskan: “Dalam perayaan-kenangan ini, Gereja, terutama Gereja yang sekarang sedang berkumpul, mempersembahkan kurban murni kepada Allah Bapa dalam Roh Kudus. Maksud Gereja ialah supaya dalam mempersembahkan kurban murni ini umat beriman belajar juga mempersembahkan diri sendiri. Maka melalui Kristus, Sang Pengantara, dari hari ke hari umat beriman akan semakin sempurna bersatu dengan Allah dan dengan sesama umat, hingga akhirnya Allah menjadi segala-galanya dalam semua.” (PUMR 79.h.)

Friday, February 1, 2013

TANDA SALIB



                Tanda salib adalah tata gerak khas katolik setiap kali mengawali doa atau ibadat; juga ketika jemaat katolik mengawali Perayaan Ekaristi. Sambil berdiri, imam bersama seluruh umat yang hadir memulai perayaan Ekaristi dengan membuat tanda salib dengan bersuara lantang: “Dalam/Demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Umat juga membuat tanda salib dan menjawab: “Amin.” Baik dilafalkan maupun dilagukan, jawaban ‘Amin’ ini harus mantap.
                Jadi, pada dasarnya tanda salib dalam perayaan Ekaristi bersifat dialogal. Pemimpin tidak boleh memborong sampai dengan “Amin.” Karena kalau demikian, ia menggusur hak umat untuk mengamini dan dapat ditafsirkan bahwa ia tidak menghendaki peranserta umat untuk ikut berpartisipasi.
                Maka, tata gerak tanda salib harus dilaksanakan dengan khidmat dan cermat, tidak serampangan atau sambil lalu saja. Kita memulai tanda salib dengan menyentuhkan tangan pada dahi, lalu pada dada, lalu pada bahu kiri dan akhirnya pada bahu kanan.
                Tanda salib ini menyatakan dua pengakuan iman sekaligus. Pertama, tanda salib mengungkapkan tanda keselamatan kita, yakni salib Kristus. Kekuatan dan kemegahan orang kristiani terletak pada “Salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6: 14). Para Bapa Gereja mengatakan bahwa keselamatan kita hanya berasal dari salib Kristus. Kedua, tanda salib dengan penyebutan Allah Tritunggal menunjuk inti misteri iman kita sebagaimana diakui dan dinyatakan pada saat pembaptisan kita. melalui pembaptisan, kita dipersatukan dengan persekutuan Allah Tritunggal, sesuai dengan sabda Tuhan sendiri pada waktu memberi perintah para murid: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Mat 28: 19). Dengan demikian, tanda salib dengan menyebut nama Allah Tritunggal secara liturgis sebenarnya menghubungkan kita dengan sakramen baptis.