Monday, October 14, 2013

Keuskupan Tanjungkarang resmi memiliki uskup baru



Keuskupan Tanjungkarang resmi memiliki uskup baru thumbnail

10/10/2013
Mgr Yohanes Harun Yuwono

Gereja Katolik Keuskupan Tanjungkarang, Lampung, hari ini (10/10) secara resmi dipimpin uskup baru dengan ditahbiskannya Pastor Yohanes Harun Yuwono.
Setelah lebih dari  setahun keuskupan itu mengalami kekosongan,  pasca  pensiunnya Mgr Andreas Henrisusanto SCJ pada 6 Juli 2012.
Pada 19 Juli 2013, Paus Fransiskus mengangkat Pastor  Yuwono sebagai Uskup Tanjungkarang, yang terletak di ujung selatan Pulau Sumatra ini.
Acara penahbisan uskup akan diadakan di Wisma Albertus, Pahoman, oleh Mgr Aloysius Sudarso SCJ,  uskup agung Palembang, yang juga akan dihadiri para uskup dari seluruh tanah air.
Uskup Yuwono  lahir di Pringsewu, Lampung, pada 4 Juli 1964 dan ditahbiskan menjadi imam pada 8 Desember 1992 untuk keuskupan Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Saat diangkat menjadi uskup, ia menjadi Rektor Seminari Tinggi St. Petrus Pematangsiantar dan menjadi dosen di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi (STFT) St. Yohanes Pematangsiantar, Sumatra Utara.
Ia pernah berkarya sebagai pastor paroki di Paroki St. Perawan Maria Pengantara Segala Rahmat Sungailiat, Bangka, Keuskupan Pangkalpinang.

Romo Magnis: Toleransi harus mulai diajarkan


Romo Magnis: Toleransi harus mulai diajarkan thumbnail

09/10/2013
Romo Franz Magnis Suseno SJ

Ditemukannya sejumlah laporan dimana intoleransi dan fanatisme terhadap agama diajarkan di sekolah, dinilai guru besar filsafat dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Romo Franz Magnis-Suseno SJ sebagai kondisi dimana pemerintah wajib memulai pendidikan dengan keutamaan ke arah toleransi.
Menurut Rohaniawan Katolik ini, hal itu perlu dimulai agar fenomena yang membahayakan ini tidak menyebar yang dapat menyebabkan generasi muda kehilangan pandangan mengenai indahnya kebersamaan dalam keberagaman.

Friday, October 4, 2013

Para pencari suaka berada dalam ketidakpastian pasca kebijakan baru Australia


Para pencari suaka berada dalam ketidakpastian pasca kebijakan baru Australia thumbnail


02/10/2013
Muhammand Hanif, yang meninggalkan Myanmar dan kini tinggal di Indonesia.

Saat Al Falakh melarikan diri dari Irak pada 2011, ia tidak menyangka, dua tahun kemudian ia terjebak di Indonesia dan rencana mencari suaka di Australia tiba-tiba direnggut darinya.
Pria berusia 47 tahun ini bersama isteri dan empat anaknya menjadikan Cisarua di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai perhentian sementara dalam upaya mereka mencari hidup yang lebih baik.
“Saya berharap kami bisa pergi ke Australia. Tetapi jika tidak bisa, tidak masalah. Kami tidak bisa memaksa Australia untuk menerima kami,” katanya kepada ucanews.com ketika ditemui di wisma, penginapan mereka, Kamis (26/9).
Di bawah pengaruh Tony Abbott, Perdana Menteri baru, Australia menggelontorkan dana miliar dolar untuk Operasi Pengamanan Perbatasan, yang bertujuan menghentikan gelombang perahu para pencari suaka ke Australia dari wilayah perairan Indonesia.
Hal ini membuat puluhan ribu pencari suaka di Indonesia terpaksa memikirkan kembali masa depan mereka.
Militer yang bertugas memimpin rencana perlindungan perbatasan ini – sebagai respon terhadap peningkatan jumlah pendatang ilegal dengan perahu – termasuk upaya untuk menangkap kapal – bermaksud mengembalikan pencari suaka ke Indonesia.
Australia berharap untuk mengirim pasukan tambahan ke Indonesia demi mencari kelompok penyelundupan manusia, sebuah rencana yang membuat Indonesia marah.
Abbott datang ke Jakarta pada Senin (30/9) dan melakukan pembicaraan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono demi mengembangkan kebijakan bersama mengatasi apa yang ia anggap sebagai ancaman keamanan utama bagi Australia.

Imam Yesuit di Suriah berjuang di tengah peperangan, kelaparan dan ketakutan



Imam Yesuit di Suriah berjuang di tengah peperangan, kelaparan dan ketakutan thumbnail

 

 

 

 

  

Imam Belanda Pastor Frans Van der Lugt SJ telah memberikan kesaksian pengalamannya yang dramatis di Bustan al-Diwan, Homs, Suriah, yang telah dikendalikan oleh para pemberontak sejak Juni 2012, tetapi dikepung oleh pasukan pemerintah Suriah.
“Selama 15 bulan terakhir kami telah bertahan dengan persediaan darurat yang kami miliki di ruang bawah tanah dan di rumah-rumah yang ditinggalkan tetangga. Semua kami akan mengalami kehabisan persediaan. Dan kami tidak tahu berapa lama lagi pengepungan ini akan berakhir.”
Vatikan Insider menulis tentang Pastor Van der Lugt dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada awal Agustus. Provinsial Yesuit Timur Tengah, Pastor Victor Assouad SJ menyatakan keprihatinan atas nasib imam Belanda itu dan Pastor Paolo Dall’Oglio SJ, imam Italia, yang diculik sekitar dua bulan lalu di Suriah bagian utara.
Pada Juni 2012, saat Homs  jatuh, ada sekitar  satu juta penduduk, namun kini tinggal 200.000 orang, dan Pastor Van der Lugt memutuskan untuk tetap tinggal bersama orang-orang tersebut yang tidak dapat melarikan diri dari Bustan al-Diwan.
Imam itu telah tinggal bersama para korban tak berdosa akibat konflik yang dilakukan kubu pemberontak selama 15 bulan. Suara tembakan artileri Assad bergema di atas mereka tanpa pandang bulu, terlepas dari apakah target adalah orang Kristen atau Muslim.
Bustan al- Diwan masih terputus dari dunia luar, demikian Pastor Ziad Hilal SJ menyampaikan pada pertemuan di Jenewa belum lama ini. Pastor Hilal adalah imam Yesuit lain yang tinggal di bagian Homs yang dikendalikan oleh pasukan pemerintah Suriah.
“Sekitar 900 meter jarak antara Pastor Frans dan saya, tapi jarak ini tidak bisa menghentikan kami dari berkomunikasi satu sama lain atau saling mendukung,” katanya.
Bersama Pastor Hilal berasal dari Eropa, Pastor Van der Lugt mengisahkan kesaksiannya, yang telah dipublikasikan di situs LSM Katolik Perancis, L’Oeuvre d’Orient. Kesaksiannya menggambarkan situasi dramatis yang dihadapi oleh komunitas Kristen minoritas sekitar 80 orang yang sedang mengalami kemiskinan yang ekstrim akibat perang.
“Kami akan mengalami kekurangan makanan karena pasokan belum datang selama 15 bulan,” kata Yesuit Belanda itu.
“Kami berterima kasih kepada Tuhan atas tepung yang kami menerima (satu kilo per orang setiap minggu). Tapi, kami tahu kami tidak bisa terus hidup dengan keadaan ini dalam waktu lama. Kami merasa sangat prihatin dengan musim dingin. Kami semua mengalami kedinginan, kurangnya air, gas dan minyak. Kami menggunakan kayu bakar. Rumah-rumah kami sebagai tempat berlindung dari kedinginan, kini semua pintu dan jendela rusak. Dan tidak mungkin untuk pergi keluar dari lingkungan kami. Kami benar-benar dikepung”.
Meskipun menghadapi semua kesulitan ini, Pastor Van der Lugt berbicara tentang kehidupan masyarakat: “Pertemuan mingguan kami setiap hari Minggu berlangsung dalam semangat kasih, keterbukaan dan saling mendukung. Kami merasa bersatu sebagai sebuah komunitas dan membantu satu sama lain dalam keadaan yang sulit ini membuat kami menjadi lebih kuat.”
Sumber: Dutch Jesuit in Syria battles war, hunger and fear

Elizabeth Widjaja, peduli pendidikan anak-anak miskin


Elizabeth Widjaja, peduli pendidikan anak-anak miskin thumbnail

03/10/2013



Sikap belarasa dan rendah hati adalah kata-kata yang bisa disandangkan kepada Elizabeth Widjaya, seorang ibu rumah tangga yang mendirikan Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak (KBTK) Pelangi di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Pada usia 18 tahun, Elizabeth merasa terpanggil menjadi pekerja sosial dan tahun 2003 ia mengorbankan sebagian rumahnya, mengubahnya menjadi kelas untuk anak-anak kurang mampu. Kini  KBTK Pelangi menyediakan para guru dengan latar belakang pendidikan guru, memiliki kualifikasi, berpengalaman mengajar anak-anak usia dini dan TK, meskipun ia mengalami kendala keuangan.
Berikut ini petikan wawancaranya dengan The Jakarta Globe:

Ceritakan kepada kami tentang KBTK Pelangi?
TK Pelangi didirikan pada Juni  2003 dan sesuai dengan kurikulum nasional. Kami merekrut para guru yang tahu tentang kurikulum dan materi untuk mengajarkan kepada anak-anak.
Kami adalah sekolah sosial sehingga guru kami dibayar murah dibandingkan dengan sekolah formal, tetapi para guru ini sangat berdedikasi.
Apa yang menginspirasi Anda memulai KBTK Pelangi? Apa tujuan Anda?
Saya benar-benar tidak pernah berencana untuk mendirikan KBTK ini. Saya lebih cenderung mendirikan panti asuhan. Namun, membangun sebuah panti asuhan membutuhkan rumah, sangat sulit dan mahal.
Setelah melihat anak-anak yang tidak mampu membayar pendidikan yang layak, saya bertanya kepada diri sendiri, ‘Mengapa saya tidak mulai dari sana?”
Saya merasa kasihan dengan anak-anak yang tidak bisa bersekolah.
Keluarga kaya bisa menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah yang mereka inginkan, tetapi keluarga berpenghasilan rendah harus berjuang dan bahkan untuk makan saja sulit.
Jika anak-anak tidak mendapatkan pendidikan, mereka tetap miskin. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk memutus siklus kemiskinan.
Anak-anak tidak bersalah, juga orang tua. Itu adalah situasi yang mereka hadapi. Jika kita tidak memberi mereka kesempatan, mereka tak akan mendapatkan kesempatan untuk menikmati pendidikan berkualitas bahwa setiap anak berhak untuk menerima pendidikan semacam itu.
Bagaimana reaksi awal keluarga dan anak-anak Anda tentang KBTK Pelangi?
Sebelum mendirikan KBTK Pelangi, suami saya memahami keterlibatan saya dalam karya sosial ini dan ia tidak berkeberatan dengan pekerjaan itu.
Namun, ia enggan untuk mengorbankan ruang di rumah untuk membuat kelas prasekolah. Semua orang berpendapat, sebuah rumah dimaksudkan untuk rumah keluarga, hal yang privasi.
Kami memulai pendidikan prasekolah gratis dengan fasilitas yang berkualitas dan guru yang mengajar juga bagus.
Kini kami meminta para murid membayar dan hal itu tergantung kemampuan keluarga untuk membayar. Sejumlah keluarga tidak membayar sama sekali sedangkan ada beberapa membayar maksimal Rp 200.000  per tahun.
Apa tantangan yang Anda hadapi selama mengelola KBTK Pelangi?
Kami tidak menghadapi banyak tantangan pada awalnya, tetapi seiring dengan perjalanan waktu kami mulai menghadapi masalah keuangan. Semuanya mahal: harga perlengkapan sekolah naik setiap tahun dan gaji tidak turun juga.
Ada saat-saat ketika saya bertanya pada diri sendiri, ‘Bagaimana jika kami tidak memiliki cukup dana untuk menutupi biaya? Apakah kami akan menutup?’
Jika kami menutup sekolah itu, anak-anak tidak akan bisa pergi ke sekolah.
Bagaimana cara Anda memperoleh bantuan keuangan?
Ada banyak cara yang kami lakukan untuk mendapatkan dana, tapi jumlahnya tidak banyak. Sekitar 90 persen berasal dari saya dan 10 persen dari para donatur. Kami juga memiliki orang-orang yang menyumbang alat-alat sekolah dan juga susu. Namun karena harga naik seperti yang disebutkan sebelumnya, beberapa donatur telah berhenti memberikan bantuan.
Mengelola sekolah seperti itu ada banyak tantangan. Apa saran yang akan Anda berikan kepada orang-orang yang akan mengikuti jejak Anda?
Mencari para guru berkualitas yang memahami kurikulum tidak gampang karena mereka perlu memiliki profesionalisme untuk menjalankan tugas mereka. Hal yang juga penting adalah menemukan guru yang memiliki motivasi untuk membantu, bukan hanya untuk mendapatkan uang.
Memberikan para murid dengan fasilitas berkualitas dan memberikan mereka kesempatan untuk membaca!
Terakhir, jika Anda memiliki masalah uang, jangan menyerah!

Tuesday, August 13, 2013

SIAPAKAH AKU DALAM GEREJA?




Oleh: Valery Kopong*
               
                Persaudaraan Siswa-siswi Negeri Katolik atau lebih dikenal dengan nama “Persink,” merupakan kelompok siswa-siswi yang berasal dari sekolah-sekolah negeri yang selama ini dihimpun untuk diajarkan mengenai pelajaran Agama Katolik. Hampir semua paroki memiliki paguyuban ini dan paguyuban ini lahir dari sebuah keprihatinan bersama yakni bahwa anak-anak Katolik yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah negeri, sepertinya “dianaktirikan” oleh pihak sekolah. Mereka tidak mendapat pelajaran Agama Katolik karena guru-guru Agama Katolik tidak disediakan oleh pihak sekolah negeri. 
                Paguyuban yang dibentuk atas dasar keprihatinan ini digarap secara baik oleh para pengajar. Para pengajar tidak hanya mengajarkan pelajaran Agama Katolik tetapi juga pengembangan kepribadian siswa-siswi melalui  kegiatan-kegiatan rohani. Kelompok paguyuban siswa-siswi Katolik yang berada di Gereja Paroki Santo Gregorius yang sudah berusia 7 tahun ini, mengadakan  “rekoleksi pantai” pada tanggal 9 Juni 2013 di pantai Pasir Putih-Anyer-Banten. Pada sesion pertama yang dibawakan oleh Ibu Rika Nusmese, menyoroti tema:  “Siapakah Aku Dalam Keluarga?” Para peserta yang berjumlah lima puluhan orang diajak untuk melihat diri dan peranannya dalam keluarga. Sementara itu dalam sesion kedua yang dibawakan oleh Valery Kopong, menyoroti tema: “Siapakah Aku dalam Gereja dan Siapakah Aku Bagi Sesama”
Setiap orang yang menamakan diri sebagai anggota Gereja, mestinya selalu bertanya diri. “Siapakah aku dalam Gereja?” Dengan bertanya diri sebagai anggota Gereja maka lambat-laun seorang anggota Gereja memahami pentingnya mengambi peran dalam hidup menggereja. Gereja adalah umat Allah yang sedang berziarah di dunia. Gereja yang dimaksudkan di sini adalah  umat Allah, dan untuk menghidupi Gereja, umat sendiri yang menghidupi. Cara paling sederhana adalah mengambil bagian dalam setiap tugas yang diberikan oleh Gereja. Apa yang menjadi sumbangan saya untuk Gereja?
Dibaptis Untuk Gereja
            Ketika orang dibaptis dalam Gereja Katolik maka ia diterima secara resmi sebagai anggota Gereja. Dengan pembaptisan yang sudah diterima, seorang Katolik punya tugas dan tanggung jawab dalam mewartakan Kristus dan ajaran-Nya. Dibaptis berarti kita mengenakan Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Kristus hidup  dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis maka tugas kita adalah menampilkan wajah Kristus dalam keseharian melalui pelayanan yang kita berikan kepada orang lain, baik dalam lingkup Gereja maupun di luar Gereja.
            Melihat peran strategis yang dimainkan oleh seorang anggota Gereja maka dalam konteks tertentu, “sakramen permandian,” dilihat sebagai sakramen imamat awami. Artinya bahwa seorang imam ketika menerima sakramen imamat, pelayanan terhadap umat menjadi prioritas utama. Demikian juga sebagai seorang awam, ketika dibaptis mestinya “semangat melayani” dan mewartakan Kristus sudah menetap dalam diri setiap orang yang sudah dibaptis. Tetapi menjadi problemnya adalah, seberapa jauh orang yang dibaptis itu memahami fungsi dan perannya sebagai orang yang sudah dibaptis?
            Konsep Gereja sebelum Konsili Vatikan II, bentuk Gereja yang nampak adalah Gereja hirarki, artinya keberlangsungan Gereja lebih didominasi oleh peran serta kaum Klerus dan biarawan / wati. Konsep Gereja seperti ini berjalan cukup lama. Namun selama dalam perjalanan Gereja dengan mengedepankan Gereja hirarki, terkesan bahwa model Gereja yang dihidupi seperti ini kurang menyentuh dan tidak melibatkan umat dalam kaitan dengan pelayanan. Umat sendiri tidak punya peranan dalam membangun dan menghidupi Gereja. Umat yang hidup dalam lingkup Gereja seolah-olah sebagai penonton yang pasif dalam pelbagai pelayanan dan pewartaan tentang Kristus.
            Istilah kaum awam, muncul bersamaan dengan munculnya model Gereja hirarki. Istilah kaum awam ini terkesan negatif yakni umat yang tidak tahu apa-apa dalam kaitan dengan kehidupan menggereja. Dengan pemaknaan yang negatif ini maka secara tidak langsung mengesampingkan peran dan terkesan bahwa sebagai umat, anggota Gereja tidak bisa berbuat sesuatu dalam kaitan dengan pelayanan terhadap Gereja. Yang tahu tentang Gereja adalah orang-orang yang tertahbis ataupun juga mereka yang hidup dalam kaul-kaul kebiaraan.
            Dalam refleksi perjalanan Gereja ini, pada akhirnya disadari bahwa umatlah yang memainkan peran penting. Hidup-matinya sebuah Gereja berada dalam tangan umat, sedangkan imam tampil sebagai penggeraknya. Dari refleksi ini, kemudian melahirkan sebuah konsep Gereja yang baru yaitu Gereja umat Allah. Dengan konsep seperti ini maka umat memainkan peranan penting dalam kehidupan menggereja.

Sebagai Anggota Gereja, Apa yang Saya Lakukan?
            Ketika ditanya, apa yang bisa dilakukan sebagai anggota Gereja? Jawabannya sederhana, yaitu memberikan kontribusi kepada Gereja sesuai dengan kemampuan. Talenta yang telah kita terima dari Tuhan sejak lahir, menjadi bekal berharga bagi setiap anggota Gereja untuk memberikan kontribusinya kepada Gereja. Gereja menjadi hidup karena peran serta umat yang menyumbangkan talenta ataupun kemampuan yang dimilikinya.  Sejalan dengan ini, lahirlah konsep “Gereja Umat Allah” yang mengedepankan keterlibatan umat sebagai basis utama dalam menghidupi Gereja.
            Sebagai anak dan anggota Gereja, sebenarnya dalam melakukan tugas, tidak terlalu jauh berbeda. Ketika dalam keluarga, masing-masing anggota keluarga memberikan perannya dalam menghidupi keluarga. Sebagai orang tua, memainkan peranan sebagai orang tua dan sebaliknya sebagai anak, memberikan perannya sebagai seorang anak. Pola dalam memainkan peran di rumah, tidak terlalu jauh berbeda dalam memainkan peran di Gereja.  Anak-anak bisa mengambil peran sebagai putera altar ataupun putri sakristi. Apa yang dilakukan ini terkesan sederhana namun peran yang dimainkan oleh para putra altar dan pusakris adalah sesuatu yang luar biasa. Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak terlibat dalam salah satu kegiatan di Gereja? Apakah mereka yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja secara langsung dapat dikatakan sebagai orang yang tidak memberikan kontribusi untuk Gereja?
            Bagi mereka yang tidak memberikan sumbangan secara langsung untuk Gereja seperti menjadi putra altar ataupun putri sakristi, bisa memberikan kontribusinya dengan bersikap sopan dan diam dalam mengikuti perayaan Ekaristi dan kegiatan-kegiatan doa yang lain.  Sumbangan yang berharga adalah memberikan rasa nyaman dan aman bagi orang-orang yang kita temui. Dengan memperlihatkan diri secara baik dalam lingkungan Gereja terutama dalam suasana hening, maka kita sedang menyebarkan kebaikan-kebaikan. Dengan mendatangkan suasana yang baik bagi orang lain maka secara tidak langsung, kita sedang menanamkan benih-benih kebaikan.      
Siapakah Aku Bagi Sesamaku?
            Manusia hidup bukan sendirian saja. Manusia hidup dengan orang lain. Karena manusia tidak hidup untuk dirinya sendiri inilah maka manusia dijuluki sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia berani keluar dari dirinya dan menjumpai “aku-nya yang lain.” Dalam perjumpaan itu, ada interaksi yang kondusif yang memperlihatkan bagaimana sikap saling menghargai dan tolong-menolong antara satu dengan yang lain. Apabila sikap tolong menolong dengan mengedepankan cinta kasih maka sebaiknya ada keberanian dari masing-masing orang untuk mengorbankan diri demi orang yang dilayani.
            Kisah orang Samaria yang baik hati, memperlihatkan bagaimana sikap peduli terhadap orang lain. Untuk memperlihatkan sikap baik kepada orang lain, orang Samaria mesti keluar dari dirinya, mengurungkan sikap-sikap primordial agar ia dengan leluasa berjumpa dengan orang lain. Karena tanpa mengurungkan sikap-sikap primordial, seseorang masih terkekang oleh pandangan yang sempit dan pada akhirnya orang enggan untuk melakukan sesuatu bagi orang lain.
            Membangun sikap peduli kepada orang lain merupakan suatu keharusan bagi kita yang menamakan diri sebagai pengikut Kristus. Kristus telah memberikan diri-Nya untuk sebuah pengorbanan yang utuh kepada manusia. Apa yang kita lakukan untuk orang lain selalu bercermin pada Kristus yang telah mengorbankan diri bagi orang lain. Kristus telah menyatakan ketaatan-Nya kepada Bapa dengan taat sampai mati di kayu salib. Ini merupakan sumber inspirasi bagi kita untuk bertindak, baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain.
            Dalam lingkup paling sederhana, seperti di sekolah, setiap kita pasti telah berbuat sesuatu kepada orang lain. Misalnya ketika melihat teman yang tidak mempunyai alat tulis maka kita yang kelebihan alat tulis, berani menawarkan apa yang kita punyai kepada mereka yang kekurangan alat tulis. Inilah contoh sederhana dalam mengambil bagian dari pengorbanan Kristus. Pengalaman sederhana dalam melakukan tindakan “memberi” kepada orang lain, menjadikan kita untuk terus terlibat dalam kisah pengorbanan Kristus.***
                








DOA ORANG YANG TERLUKA




Judul Buku    : Doa Yang Menyembuhkan
Penulis            : Jean Maalouf
Penerjemah    : Wilhelmus David
Penerbit          : Orbit Media, Tangerang, 2013
ISBN               : 978-602-17548-8-7

Doa memainkan peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Doa bekerja untuk menyembuhkan,  mengubah dan membuat mungkin untuk setiap hal yang dianggap mustahil. Allah menyembuhkan orang yang butuh disembuhkan. “Doa tidak mengubah Allah tetapi mengubah orang yang berdoa, “ kata Soren Kiekegaard. Karenanya, untuk mencapai titik puncak pengubahan diri maka dalam doa perlu dicarikan jalan yang tepat untuk bagaimana membangun relasi intim dengan Allah. Dalam doa, sepertinya pendoa sedang berada di beranda Allah, membiarkan dirinya untuk hanyut dan larut dalam ribaan Allah.
            Dalam doa-doa Katolik, begitu banyak mistikus merintis jalan panjang untuk mencari jati diri Allah melalui cara-cara baru dalam berdoa. Model doa seperti apakah yang kita perlihatkan di hadapan Allah sebagai cara dalam meraih kekhusyukan dan mengalami kehadiran-Nya? Apakah doa yang tenang penuh meditatif yang kita gandrungi? Doa Benediktin, yang pertama kali diperkenalkan oleh Santo Benediktus, menyentuh kesadaran manusia.   Tipe doa ini menyentuh semua tipe kepribadian: lectio menyentuh pikiran kita, meditatio menyentuh akal kita, oratio menyentuh perasaan kita dan contemplatio menyentuh naluri kita.     
Selain doa Benediktin, dikenal juga doa Agustinus yang lebih  menggunakan kekuatan Sabda Allah sebagai bagian dari kehidupan mereka sehari-hari dan mengajarkan kepada para murid agar menggunakan cara doa ini untuk mengenal kehendak Allah bagi mereka. Sementara itu, doa Fransiskan mengarahkan semua orang untuk percaya penuh kepada Allah, terbuka kepada bimbingan Roh Kudus dan memuliakan Allah dalam keindahan-keindahan alam.
Masih banyak lagi cara-cara berdoa dan bermeditasi yang ditawarkan oleh para mistikus. Tetapi yang terpenting di sini adalah bagaimana setiap kita memilih cara-cara yang tepat dalam berdoa. Sebelum menerapkan cara-cara berdoa, mestinya si pendoa harus tahu dan mengenal karakter pribadi. Karena dengan mengenal karakter pribadi maka seseorang akan memilih metode atau cara yang tepat dalam berdoa. Semua cara yang ditawarkan hanyalah jalan untuk mengalami kedekatan dengan Allah. Dalam berdoa, ibarat kita “bermain kartu terbuka dengan lawan main.” Karena sebelum kita menyampaikan sesuatu, Allah lebih dulu tahu tentang maksud dan tujuan kita berdoa. Ketika orang berdoa dalam kondisi sakit, sebenarnya si pendoa  membawa luka dan beban hidup untuk ditunjukkan pada Allah. Dengan suatu harapan penuh bahwa Allah akan menyembuhkan luka-luka itu.***(Valery Kopong)   

Saturday, August 10, 2013

PEMBINAAN KAUM MUDA BANTEN



Kaum muda adalah tulang punggung Gereja dan negara. Di pundak merekalah, masa depan Gereja dan negara dipertaruhkan. Masa depan Gereja dan negara menjadi lebih baik bila generasi muda, calon-calon pemilik masa depan dipersiapkan secara baik. Menyadari pentingnya peranan kaum muda di masa yang akan datang maka  tanggal 7 dan 8 Juni 2013, Bimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten menyelenggarakan pembinaan terhadap mereka. Kegiatan yang berlangsung di “The Banten Hotel,” Anyer-Banten,  mengusung tema: “Melalui Pembinaan Pemuda Katolik, Kita Tingkatkan Peran dan Tanggung Jawab  Pemuda dalam Gereja Katolik.” Acara ini dibuka secara resmi oleh Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, Bapak Haji  Iding. Dalam acara pembukaan itu beliau berpesan agar kaum muda terus memperdalam keimanan dan sebagai  warga negara perlu menghidupkan empat pilar kebangsaan dan mewujudkannya dalam kehidupan bermasyarakat.
            Hadir sebagai pembicara adalah Bapak Osner Purba, S.Fil.M.Si dan Bapak Yohanes Masgur, S.Fil. Di hadapan peserta yang lebih dari tiga puluhan orang, Osner Purba menekankan pentingnya mengakrabi Kitab Suci. Kitab Suci tidak hanya dibaca dan direnungkan saja tetapi juga sebagai media rohani untuk lebih jauh mengenal Tuhan. “Tidak membaca Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus,” tegas Osner yang mengutip kata-kata Santo Hieronimus.  Kitab Suci itu kaya makna dan memberikan pesan-pesan berharga sekaligus menjadi pedoman dalam hidup.
            Sementara itu, Bapak Yohanes Masgur mengajak kaum muda yang semuanya adalah mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta yang ada di Serang dan Cilegon, untuk melihat cara-cara yang dilakukan Yesus sebagai pastoral yang baik dalam mengenal dan memahami kehidupan sekitarnya. “Duc in Altum, “ bertolaklah lebih ke dalam,  merupakan ajakan yang baik  untuk memahami lingkungan dan orang lain. Menurut Yohanes Masgur, ajakan untuk bertolak  lebih ke dalam dipahami sebagai sebuah perutusan untuk ada bersama dan memperkenalkan Kristus kepada orang lain dan menjala mereka yang ingin mengikuti Kristus.  Acara yang berlangsung selama dua hari itu ditutup oleh Pembimas Katolik, Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, Bapak Stanislaus Lewotoby.***(Valery Kopong)
           


Saturday, July 27, 2013

TERORISME: DULU, KINI DAN HARI ESOK



“Dulu kita mendengar bom bunuh diri hanya terjadi di daerah Afganistan dan  Irak tetapi sekarang bom bunuh diri ada di dekat dengan kita, bahkan ada di tetangga kita,” demikian dikatakan oleh Dr.Rumadi Ahmad dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum Pemuda Lintas Agama Kota Tangerang Selatan. Diskusi publik yang berlangsung pada Kamis, 23 Mei 2013 di Restoran Telaga Seafood Bumi Serpong Damai,  dihadiri sekitar ratusan orang yang mewakili pelbagai unsur  / elemen masyarakat, terutama tokoh agama Kristen, Katolik, Budha, dan Islam.  Diskusi publik  ini dibuka oleh kabag kesbangpolimas Kota Tangerang Selatan, H.Budi Dedi Hirawan yang mewakili Ibu Wali Kota Tangerang Selatan yang tidak berkesempatan hadir. Pada kesempatan itu, Dedi Hirawan menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat agar tetap menjaga lingkungannya agar bebas dari gangguan terorisme dan sekaligus menginginkan agar Tangerang Selatan tetap kondusif.  
                Secara organisatoris, terorisme sudah dilumpuhkan tetapi tidak berarti mati secara total. Ada gerakan terorisme yang muncul secara sporadis. Dengan berkaca pada kenyataan  ini maka mendorong Abdul Rojak, MA sebagai moderator, yang  menekankan bahwa terorisme menjadi musuh bersama. Dalam memberantas terorisme ini perlu meningkatkan partisipasi masyarakat yang melihat dan mengawasi orang-orang yang berada di sekitarnya. Ketika masyarakat semakin cuek dengan situasi ini maka pada saat yang sama, teroris muncul lagi, sepertinya membangunkan masyarakat dari sikap apatisnya. 
                Diskusi publik ini menghadirkan dua pembicara, yakni Dr. Rumadi Ahmad dari Wahid Institut dan Zora A. Sukabdi, M.Psi, dosen psikologi Universitas Indonesia. Dalam pemaparan makalahnya, Rumadi Ahmad mengatakan bahwa “terorisme menjadi musuh bersama tetapi terkadang, kita tidak mengerti, siapa itu musuh kita.” Apa yang dikatakan ini berkaitan dengan gerakan pemberantasan terorisme yang  terkadang  menemui jalan buntu karena para teroris yang bergerak secara sempalan dan ini menjadi sulit terdeteksi.  Lebih jauh Rumadi mempertanyakan, “mengapa orang mati karena bom bunuh diri diperdebatkan secara berlebihan, sedangkan orang yang mati ditabrak ditanggapi secara dingin?” Padahal esensinya sama, yakni sama-sama mati, hanya cara atau proses kematiannya beda.
                Sedangkan Zora A. Sukabdi, selain sebagai dosen psikologi di Universitas Indonesia, ia juga dikenal sebagai pegiat yang terjun langsung mendampingi kelompok-kelompok teroris yang tertangkap dan masih dipenjarakan. Dalam proses pendampingan, ia mengatakan bahwa para teroris yang dipenjara ketika dimintai pendapat mengenai apa yang dilakukan, mereka menceritakan dengan penuh semangat dan seolah-olah apa yang dilakukannya sebagai tugas yang diberikan Tuhan kepada mereka. Mereka menceritakan tindakan sadis yang dilakukan tetapi mereka tidak melihatnya sebagai tindakan yang salah. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh Zora A. Sukabdi menjadi bagian penting dalam proses penyadaran kembali tentang apa yang dilakukan dan meluruskan pemahaman yang salah yang terbangun dalam dirinya. Di akhir diskusi publik itu, Zora A. Sukabdi mengajak para peserta untuk melihat “musuh” bersama ada dalam diri kita masing-masing. Kita memusuhi egoisme kita, dan memusuhi paham-paham yang membenarkan sebuah tindakan sadis atas nama agama tertentu.***(Valery Kopong, http://viretabahasa.blogspot.com)