Friday, October 4, 2013

Para pencari suaka berada dalam ketidakpastian pasca kebijakan baru Australia


Para pencari suaka berada dalam ketidakpastian pasca kebijakan baru Australia thumbnail


02/10/2013
Muhammand Hanif, yang meninggalkan Myanmar dan kini tinggal di Indonesia.

Saat Al Falakh melarikan diri dari Irak pada 2011, ia tidak menyangka, dua tahun kemudian ia terjebak di Indonesia dan rencana mencari suaka di Australia tiba-tiba direnggut darinya.
Pria berusia 47 tahun ini bersama isteri dan empat anaknya menjadikan Cisarua di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai perhentian sementara dalam upaya mereka mencari hidup yang lebih baik.
“Saya berharap kami bisa pergi ke Australia. Tetapi jika tidak bisa, tidak masalah. Kami tidak bisa memaksa Australia untuk menerima kami,” katanya kepada ucanews.com ketika ditemui di wisma, penginapan mereka, Kamis (26/9).
Di bawah pengaruh Tony Abbott, Perdana Menteri baru, Australia menggelontorkan dana miliar dolar untuk Operasi Pengamanan Perbatasan, yang bertujuan menghentikan gelombang perahu para pencari suaka ke Australia dari wilayah perairan Indonesia.
Hal ini membuat puluhan ribu pencari suaka di Indonesia terpaksa memikirkan kembali masa depan mereka.
Militer yang bertugas memimpin rencana perlindungan perbatasan ini – sebagai respon terhadap peningkatan jumlah pendatang ilegal dengan perahu – termasuk upaya untuk menangkap kapal – bermaksud mengembalikan pencari suaka ke Indonesia.
Australia berharap untuk mengirim pasukan tambahan ke Indonesia demi mencari kelompok penyelundupan manusia, sebuah rencana yang membuat Indonesia marah.
Abbott datang ke Jakarta pada Senin (30/9) dan melakukan pembicaraan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono demi mengembangkan kebijakan bersama mengatasi apa yang ia anggap sebagai ancaman keamanan utama bagi Australia.

Banyak orang telah meninggal dalam perjalanan berbahaya dengan perahu ke Pulau Christmas, Australia. Kecelakaan terbaru terjadi pada Jumat (27/9) pekan lalu, ketika sebuah kapal yang membawa sekitar 120 pencari suaka dari Libanon, Yordania dan Yaman tenggelam di Laut Jawa. Dua puluh delapan orang ditemukan masih hidup. Setidaknya 36 orang tewas dan lainnya diyakini masih hilang.
Al Falakh, seperti halnya pencari suaka lain asal Irak, melarikan diri karena konflik di negara tersebut yang makin memburuk setelah AS mulai menarik pasukan keamanan tahun 2011.
Kini ia hidup dari sumbangan bulanan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), dan menatap kosong ketika ditanya berapa lama mereka akan tetap di Indonesia
“Saya ingin pergi ke Australia secara legal,” katanya. “Saya menginginkan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak saya. Saya ingin mereka mendapat pendidikan.”
Dengan bantuan IOM, keluarganya dan beberapa teman lainnya akan meninggalkan wisma di Cisarua dan berangkat menuju Medan, Sumatera Utara. Mereka masih terus menanti informasi dari Lembaga Penanganan Pengungsi PBB (UNHCR) perihal negara mana yang akan menjadi tujuan mereka.
Medan, juga merupakan titik masuk pertama ke Indonesia untuk Muhammad Hanif, seorang Muslim Rohingya yang meninggalkan Myanmar barat pada usia tiga tahun dan menghabiskan 35 tahun tinggal di sebuah rumah kecil di Malaysia.
Pada Januari tahun ini, ia dan 17 anggota keluarga. termasuk ibunya yang berusia 63 tahun, naik perahu ke Indonesia.
“Kami berencana pergi ke Australia secara ilegal,” katanya. Mereka pun membayar seorang agen sebesar 42 ribu ringgit Malaysia (US $ 13.000) agar bisa ke Australia. “Kami hanya berharap bisa memiliki masa depan yang lebih baik.”
Namun, agen tersebut menipu mereka. Dari Medan mereka dibawa ke Bogor dan disiksa. Kemudian, seorang tukang sapu yang iba dengan kondisi mereka membawa mereka ke Jakarta, dan sekarang tinggal di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
“Kami mendengar informasi tentang  kebijakan [Abbott] itu dari staf di sini. Jika kami tidak bisa pergi ke Australia, kami bersedia untuk pergi ke negara lain selama kami bisa hidup damai,” kata Hanif .
Menyusul pembicaraan dengan SBY pada Senin, Abbott mengatakan: “Kami akan bersatu untuk mengatasi masalah ini.” Sementara Presiden Yudhoyono, dalam sebuah pernyataan juga menekankan perlunya kerjasama bilateral atas isu ini. Tapi, kesan bahwa Indonesia marah pada Australia yang memaksakan kebijakan baru tetap ada.
“Masalah internal di Australia tidak harus menjadi alasan untuk memaksa negara lain mengakomodasi para pencari suaka yang ingin pergi ke Australia,” kata Dinna Wisnu, seorang analis politik internasional Universitas Paramadina Jakarta.
“Tujuan mereka adalah Australia, bukan Indonesia”, tambahnya.
Meski demikian, ia juga melihat rencana Abbott sebagai kritik terselubung terhadap ketidakmampuan Indonesia mengamankan wilayah perbatasan.
Pada akhirnya, bagaimanapun, negara yang akan memberikan mereka suaka bukanlah masalah yang paling mendesak bagi ribuan orang yang terjebak dalam ketidakpastian di Indonesia. Banyak dari antara mereka melarikan diri dari perang dan penganiayaan di tanah air mereka, dan karena itu tidak ada keinginan untuk kembali.
“Yang paling penting adalah bahwa kami tidak akan dikirim kembali ke Myanmar,” kata Hanif.
Ryan Dagur, Cisarua
Sumber: Asylum seekers left to rue Australia’s closing door

No comments: