Thursday, July 18, 2019

Genggam Hening

Kugenggam keheningan dalam balutan dingin
Bukit-bukit berdiri tegak menatapmu penuh harap
Aku hanya diam menyapamu dibalik bukit dan keheningan
Aku akan kembali menjumpamu dalam gelak tawa ria

Tangerang, 18 Juli 2019


Wednesday, July 17, 2019

MIMPI-MIMPI LIAR


Malam kini larut dalam hening
Anak-anak lahir dari rahim masa lampau
Merantau mengail rezeki
Hingga ke  benua tak bertepi

Pada titik akhir sebuah perhentian
Ketika hati ini bergolak rindu
Aku menimbah inspirasimu

Ketika masih tegar
Engkau mengembara di padang
Dengan gagah engkau memanggul tombak
Memburuh hewan-hewan liar

Di tanganmu yang dingin
Engkau ajarkan aku
Tentang cara unik menakluk mimpi
Merengkuh binatang liar

Aku pun belajar tentang cara menjinakkan mimpi-mimpi  liar
Jadi cita penuh makna


Tangerang, 17 Juli 2019



Tuesday, June 25, 2019

Sang Penari Itu Telah Pergi


“Gong bawa nape alan golo-golo. Alan golo tiro leim maan hedun gole  kuan tukan.”  Bunyi gong gendang bertalu-talu dan sang penari menghentakkan kaki berirama. Ia sedang menarikan tarian hedung, sebuah tarian perang yang  memperlihatkan nilai-nilai kepahlawanan. Saya coba mengidentikkan tarian perang, tarian “hedung” ini dengan karakter dasar “Opu Gole” yang selalu memperlihatkan karakter yang garang. Namun kegarangannya lebih diperlihatkan pada tarian, seolah “Opu Gole” memainkan peran penting sebagai “deket lewo tanah.”

Wednesday, June 19, 2019

Jan Ethes


Jan Ethes, cucu Presiden RI, Joko Widodo selalu menarik perhatian publik. Kehadiran Jan Ethes di tengah panasnya suhu politik nasional seolah membawa kesejukan tersendiri. Dengan gayanya yang polos dan atraktif, ia mampu mencuri perhatian publik dan sekaligus menurunkan tensi politik nasional, sebelum dan sesudah pemilu. Beberapa hari yang lalu, ketika digelar sidang perdana sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi dan publik seakan tergiring dengan analisis para advokat yang membela masing-masing paslon, pada saat yang sama, Jan Ethes sedang berada di Bali bersama Jokowi. Sempat terekam oleh kamera saat Jan Ethes bersama Jokowi berjalan menyusuri pematang sawah yang terlihat hijau dan indah.
Dari pematang sawah yang satu ke pematang sawah yang lain, Jan Ethes bersama Jokowi sepertinya mengelilingi sambil menikmati keindahan alamnya. Yah, pematang sawah. Jika dilihat dalam konteks keindonesiaan maka tiap pematang yang satu ke pematang yang lain membahasakan kebhinekaan Indonesia. Sebuah pematang yang hanya dibatasi oleh gundukan tanah dan menginformasikan kepemilikan yang berbeda, namun mereka bekerja pada hamparan tanah yang sama untuk menghidupi keluarga. Hamparan padi yang menghijau selalu mengingatkan kita akan petani yang selalu rajin untuk merawat dan pada akhirnya bisa memetik hasil yang berlimpah.  

Monday, June 17, 2019

Nenek Yang Lapar

Sumber foto: www.sabdaspace.org

Hari ini Senin, 17 Juni 2019. Seperti biasa ketika jam makan siang, saya berkesempatan untuk makan di salah satu warung padang yang terletak di Tigaraksa, dekat dengan pusat pemerintahan. Setelah makan, saya masih duduk melihat pesan-pesan yang masuk ke WAku sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi langgananku. Memang, menyeruput segelas kopi sepertinya berada dalam aroma kenikmatan hidup. Rasa lelah sepertinya terbayar oleh pekatnya hitam kopi dan bangunan imajinasi mulai muncul secara bernas ketika bersentuhan dengan aroma kopi.

Friday, June 14, 2019

Menyimpan Foto: Memendam Rasa


Sekitar tahun 2003, saya mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa” walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”