Sekitar tahun 2003, saya
mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan
yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan
anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini
sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa
Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk
menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup
ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun
kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak
dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata
yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang
bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa”
walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung
yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa
dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi
bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu
untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena
kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan
Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan
bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan
dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa
kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”
Aspek kehidupan lain yang perlu dicontoh
adalah cara hidup doa dari Bapa Hardi Utomo. Membaca kitab suci dan mendaraskan doa-doa Rosario
memberi warna tersendiri dalam kehidupanmu. Saya merasa kagum karena ketika
mengalami “migrasi iman,” engkau menghidupinya dengan sangat baik. Dalam Injil, banyak hal yang telah engkau
pelajari terutama tentang janji keselamatan
dan hidup abadi yang ditawarkan oleh Yesus sebagai Sang Juru Selamat. Janji tentang
keselamatan dan hidup abadi ini memberikan kekuatan imanmu. Bapak tidak pernah ragu dalam menjalani hari-hari
mengisi masa tua.
Seluruh hidup ini ibarat
untaian Rosario yang selalu mewarnai kehidupan. Ada peristiwa gembira, ada
peristiwa sedih, ada peristiwa mulia dan ada peristiwa terang. Peristiwa-peristiwa
yang ada dalam doa Rosario menjadi potret pengalaman kehidupan yang harus
dialami oleh setiap manusia. Dan engkau tahu bahwa Bunda Maria selalu hadir
untuk mendengarkan seluruh keluhanmu dan merangkulmu dengan “mantel biru” Sang
Bunda. Engkau yakin bahwa makna terdalam dari birunya mantel Sang Bunda, ibarat
birunya laut yang menghampar luas dan siap menampung segala yang baik dan
buruk, namun pada permukaan laut terlihat aroma keindahan yang selalu menebar
ke segala penjuru.
Begitu
dalam kedekatanmu dengan Bunda Maria maka tepat pada tanggal 7 Mei 2019 di saat
umat Katolik sejagat mendaraskan doa-doa Rosario bertepatan dengan Bulan Maria,
engkau menghembuskan nafas terakhirmu. Tak ada yang tahu persis ketika bapak
menghela nafas panjang untuk terakhir kalinya, cuma kami yakin bahwa dikamarmu
tergantung sebuah “Rosario besar” menjadi saksi bisu kepergianmu. Memang,
kepergianmu mengagetkan kami semua karena baru tiga minggu sebelumnya, bapak
berkeliling mengunjungi anak dan cucu-cucumu di Purwakarta dan Tangerang. Kunjunganmu
merupakan kunjungan terakhir. Kini kami
mengenang kepergianmu pada 40 hari yang lalu cuma menatap foto dan memendam
rasa rindu. Titip salam untuk Ibu Maria Saminem. May you rest in eternal life. (Valery
Kopong)
Tangerang, 14 Juni 2019
0 komentar:
Post a Comment