Friday, June 14, 2019

Menyimpan Foto: Memendam Rasa


Sekitar tahun 2003, saya mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa” walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”

Filosofi kehidupan Bapa Hardi Utomo ibarat air yang selalu mengalir untuk mencari tempat yang datar dan memberikan kehidupan di tepian kali yang dialiri sungai itu. Tak ada tumbuhan yang tidak hidup di tepian kali yang sedang teraliri air sungai, demikian juga kehidupan Bapa Hardi Utomo telah memberikan warna kehidupan tersendiri bagi orang-orang sekitar. Saya bangga dengan ceritamu ketika bekerja dan berusaha untuk memasukan beberapa orang Jatimulyo untuk masuk dalam dunia kerjamu. Sebuah cara sederhana untuk “mengorangkan” orang lain yang ada disekitarmu. Apa yang dilakukanmu seakan menerjemahkan pemikiran Martin Heidegger, seorang filsuf eksistensialis, bahwa “Aku Ada untuk Aku-ku yang lain.” “Aku-ku” di sini dimengerti sebagai orang lain yang bisa berpengaruh karena “Ada-ku.” Ada, sebagai sebuah eksistensi manusia, tidak meng-ADA dalam sejarah tetapi ADAnya manusia sebagai pelaku sejarah yang hidup. Sejarah untuk sejarah adalah sesuatu yang absurd tetapi manusia yang mengada dalam sejarah bisa meninggalkan sebuah pengalaman produktif tentang masa lampau.

Aspek kehidupan lain yang perlu dicontoh adalah cara hidup doa dari Bapa Hardi Utomo.  Membaca kitab suci dan mendaraskan doa-doa Rosario memberi warna tersendiri dalam kehidupanmu. Saya merasa kagum karena ketika mengalami “migrasi iman,” engkau menghidupinya dengan sangat baik.  Dalam Injil, banyak hal yang telah engkau pelajari terutama tentang janji  keselamatan dan hidup abadi yang ditawarkan oleh Yesus sebagai Sang Juru Selamat. Janji tentang keselamatan dan hidup abadi ini memberikan kekuatan imanmu.  Bapak tidak pernah ragu dalam menjalani hari-hari mengisi masa tua.
Seluruh hidup ini ibarat untaian Rosario yang selalu mewarnai kehidupan. Ada peristiwa gembira, ada peristiwa sedih, ada peristiwa mulia dan ada peristiwa terang. Peristiwa-peristiwa yang ada dalam doa Rosario menjadi potret pengalaman kehidupan yang harus dialami oleh setiap manusia. Dan engkau tahu bahwa Bunda Maria selalu hadir untuk mendengarkan seluruh keluhanmu dan merangkulmu dengan “mantel biru” Sang Bunda. Engkau yakin bahwa makna terdalam dari birunya mantel Sang Bunda, ibarat birunya laut yang menghampar luas dan siap menampung segala yang baik dan buruk, namun pada permukaan laut terlihat aroma keindahan yang selalu menebar ke segala penjuru.
          Begitu dalam kedekatanmu dengan Bunda Maria maka tepat pada tanggal 7 Mei 2019 di saat umat Katolik sejagat mendaraskan doa-doa Rosario bertepatan dengan Bulan Maria, engkau menghembuskan nafas terakhirmu. Tak ada yang tahu persis ketika bapak menghela nafas panjang untuk terakhir kalinya, cuma kami yakin bahwa dikamarmu tergantung sebuah “Rosario besar” menjadi saksi bisu kepergianmu. Memang, kepergianmu mengagetkan kami semua karena baru tiga minggu sebelumnya, bapak berkeliling mengunjungi anak dan cucu-cucumu di Purwakarta dan Tangerang. Kunjunganmu merupakan  kunjungan terakhir. Kini kami mengenang kepergianmu pada 40 hari yang lalu cuma menatap foto dan memendam rasa rindu. Titip salam untuk Ibu Maria Saminem. May you rest in eternal life. (Valery Kopong)
Tangerang, 14 Juni 2019





No comments: