Tuesday, June 25, 2019

Sang Penari Itu Telah Pergi


“Gong bawa nape alan golo-golo. Alan golo tiro leim maan hedun gole  kuan tukan.”  Bunyi gong gendang bertalu-talu dan sang penari menghentakkan kaki berirama. Ia sedang menarikan tarian hedung, sebuah tarian perang yang  memperlihatkan nilai-nilai kepahlawanan. Saya coba mengidentikkan tarian perang, tarian “hedung” ini dengan karakter dasar “Opu Gole” yang selalu memperlihatkan karakter yang garang. Namun kegarangannya lebih diperlihatkan pada tarian, seolah “Opu Gole” memainkan peran penting sebagai “deket lewo tanah.”
Hari ini tak ada irama tarian yang diperlihatkan pada sanggar “nara Baran, ” sebuah sanggar kebudayaan yang dimiliki oleh Desa Kwaelaga-Lamawato. Kelihatan sederhana sanggar ini tetapi melalui sanggar “Nara Baran” ini nilai-nilai budaya coba dipertahankan dan diwariskan pada generasi yang sedang terlibat.  Hari ini juga tidak ada bunyi gong-gendang yang mengiringi kepergianmu. Semasa hidupmu, Opu Gole telah memperlihatkan irama hidup melalui tarian hedung namun kepergianmu cuma dalam sunyi. “Petun sita matan, bolen kutan bunga, “ kini berduka lesu sembari meratap kepergianmu. Kepergianmu untuk berjumpa dengan sang asal kehidupan, namun bagi sanggar “Nara Baran” kehilangan seorang “perawat budaya dan penerus” baik tarian hedung maupun sole-oha.  
Ketika dirawat di RSUD Larantuka, sempat saya bertanya pada kaka saya yang mengunjungimu  bahwa Opu Gole sedang sakit dan salah satu pemicu sakit adalah keterlibatannya yang mendalam akan sole-oha dan hedung. Memang, ketika terlibat dan berada untuk melestarikan sola-oha, sadar atau tidak bahwa energimu terkuras semalam suntuk. Semakin malam diadakannya sole-oha maka hampir semua pemain sole harus bergadang dari sore hingga terbitnya mentari pagi.
Ada nilai-nilai budaya yang engkau perlihatkan pada kami bahwa kebudayaan daerah itu begitu penting dan perlu untuk dilestarikan. Ketika ragamu semakin rapuh karena dimakan usia, namun semangatmu tetap membara untuk memperkenalkan budaya-budaya lokal kepada generasi muda. Ketika “Opu Gole” tampil menarikan tarian hedung, orang pada kagum melihatmu. Ada parang dan tombak sebagai senjata utama khas lelaki Adonara. Ada perisai (dopi) yang selalu menjadi pengaman ketika berada di medan laga.
Namun hari ini kami semua surut dalam decak kagummu. Orang-orang dikampung larut dalam keheningan sambil meratapi kepergianmu. Sementara kami yang berada di tempat yang jauh, cuma melihatmu melalui media sosial. Sang penari itu telah pergi. Ia telah meletakkan dopi, kenube dan gala di dinding sanggar “Nara Baran.” Tak ada syair-syair sastera dalam balutan sole-oha yang mengantar kepergianmu. Tanpamu sole-oha terasa hambar dan tanpamu, tarian hedung menjadi sepi walau ditabuh dengan genderang. Opu Gole, ata gawi gala. Molo tobo pae teti lango taran bala***(Tangerang, 25 Juni 2019. Valery Kopong)

No comments: