
Ketika dirawat di
RSUD Larantuka, sempat saya bertanya pada kaka saya yang mengunjungimu bahwa Opu Gole sedang sakit dan salah satu pemicu
sakit adalah keterlibatannya yang mendalam akan sole-oha dan hedung. Memang, ketika
terlibat dan berada untuk melestarikan sola-oha, sadar atau tidak bahwa energimu
terkuras semalam suntuk. Semakin malam diadakannya sole-oha maka hampir semua
pemain sole harus bergadang dari sore hingga terbitnya mentari pagi.
Ada nilai-nilai
budaya yang engkau perlihatkan pada kami bahwa kebudayaan daerah itu begitu
penting dan perlu untuk dilestarikan. Ketika ragamu semakin rapuh karena
dimakan usia, namun semangatmu tetap membara untuk memperkenalkan budaya-budaya
lokal kepada generasi muda. Ketika “Opu Gole” tampil menarikan tarian hedung,
orang pada kagum melihatmu. Ada parang dan tombak sebagai senjata utama khas
lelaki Adonara. Ada perisai (dopi) yang selalu menjadi pengaman ketika berada
di medan laga.
Namun hari ini kami
semua surut dalam decak kagummu. Orang-orang dikampung larut dalam keheningan
sambil meratapi kepergianmu. Sementara kami yang berada di tempat yang jauh, cuma
melihatmu melalui media sosial. Sang penari itu telah pergi. Ia telah
meletakkan dopi, kenube dan gala di dinding sanggar “Nara Baran.” Tak ada
syair-syair sastera dalam balutan sole-oha yang mengantar kepergianmu. Tanpamu
sole-oha terasa hambar dan tanpamu, tarian hedung menjadi sepi walau ditabuh
dengan genderang. Opu Gole, ata gawi gala. Molo tobo pae teti lango taran bala***(Tangerang, 25 Juni 2019. Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment