![]() |
Sumber foto: www.sabdaspace.org |
Hari ini Senin, 17
Juni 2019. Seperti biasa ketika jam makan siang, saya berkesempatan untuk makan
di salah satu warung padang yang terletak di Tigaraksa, dekat dengan pusat
pemerintahan. Setelah makan, saya masih duduk melihat pesan-pesan yang masuk ke
WAku sambil menikmati secangkir kopi yang menjadi langgananku. Memang,
menyeruput segelas kopi sepertinya berada dalam aroma kenikmatan hidup. Rasa lelah
sepertinya terbayar oleh pekatnya hitam kopi dan bangunan imajinasi mulai
muncul secara bernas ketika bersentuhan dengan aroma kopi.
Tak ada yang istimewa
dari perbuatanku ini. Saya hanya mengeluarkan uang Rp 15.000 untuk membeli
langsung makanan yang ada di warung padang itu. Setelah memesan makanan itu,
saya lalu pamit meninggalkan warung padang itu. Rasanya legah memberikan
sesuatu kepada mereka (terutama si nenek itu) yang sedang merasa lapar. Rasa lapar
yang dialami oleh setiap orang adalah sesuatu yang manusiawi tetapi menjadi
persoalan sekarang adalah bagaimana cara untuk memenuhi rasa lapar itu? Seorang
nenek punya rasa lapar namun dia tidak bisa memenuhi kebutuhan lapar itu karena ketakberdayaan dan dipengaruhi oleh usianya
yang sudah tua.
Memang, tindakan
kecil yang saya lakukan hari ini adalah tindakan keberpihakkan kepada mereka
yang miskin dan lapar. Atas peristiwa hari ini, memunculkan pertanyaan bagi
saya. Di mana anggota keluarga si nenek itu? Mengapa pertanyaan ini muncul? Karena
ketika seseorang menjalani masa tuanya maka yang berhak mengurus orang tua
adalah keluarganya sendiri. Di sini, peran anggota keluarga terutama yang masih
berusia produktif untuk berperan dalam memelihara mereka yang miskin dan
terlantar. Saya merasa bahwa peristiwa hari ini adalah peristiwa biasa namun
luar biasa bagi saya karena dengan berjumpa dengan nenek itu maka saya bisa
berbuat baik. Tanpa berjumpa dengan nenek itu maka hari ini belum tentu saya
bisa berbuat baik.***Valery Kopong
0 komentar:
Post a Comment