Suatu sore yang sedikit mendung,
tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita
duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus
meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di
luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang
saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong
karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa
terus memberontak bahkan menyalahkan
Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka
bertumbuh di tengah-tengah keluarga dan
“terpaksa layu” di tengah harapan.
Friday, November 15, 2019
Thursday, November 14, 2019
Tanah Air Mata
(Sebuah telaah puisi kontemporer
dari sudut sosiologi
Sastra)
Oleh: Valery Kopong*
Sutardji
Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus
mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri
khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan
sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya.
Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun
jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang
berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang
Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata
bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan
sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui
puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan
pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi
kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan
diri melalui puisi?
Wednesday, November 13, 2019
Sastra dan Seksualitas, Keindahan yang Tercemar
MEMBACA beberapa karya sastra berupa novel, para
sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatusituasi riil yang
sering dialami oleh manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni
seksualitas yang sering menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain
merupakan bentuk revolusi dari sastrawan yang menggunakan pintu
kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi masyarakat tentang
penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai seksualitas
sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini muncul
suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus
memilih jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni
kolong langit ini? Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam
pelbagai pers yang umumnya menyertakan data dan dilengkapi foto-foto
yang akurat yang berbicara tentang seksualitas?
Ahmad
Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu
kondisi dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang
diwakili oleh Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil
sebagai penghadir figur lama, yakni peronggeng ulung yang telah
meninggal harus menuruti aturan sebelum dikukuhkan sebagai peronggeng
baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan telah dijalani dengan baik
dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara pembukaan
keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa,
terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam
sayembara bergengsi itu.
Dalam konteks
kesastraan, seorang novelis terasah kesadaran untuk membentangkan
seluruh refleksi yang bernada sastrawi untuk berpihak pada kenyataan
yang ada. Perempuan dalam sosok seorang Srintil, menampilkan sikap penuh
lugu dan menuruti acara ritual yang diselenggarakan. Dapat dipahami
yaitu bahwa tokoh Srintil yang ditampilkan adalah seorang gadis bocah
yang apabila dilihat dari kebutuhan biologis, ia belum meminati untuk
dipenuhi kebutuhan itu. Tetapi mengapa, dengan latar kesusastraan yang
suram dan seram ini, Srintil dicebloskan ke dalam “malam sayembara
keperawanan” yang menuruti orang yang dikorbankan tidak tahu sama sekali
tentang seksualitas.
Seksualitas dalam catatan
seorang sastrawan tidak dilihat sebagai aib publik, melainkan
menunjukkan sebuah keterbukaan masyarakat untuk secara jernih melihat
aib ini sebagai sebuah kebutuhan ritual yang diterima sebagai tuntutan
yang mesti dijalani. Di sini, Ahmad Tohari dengan kekuatan daya susastra
seakan menggiring kesadaran para peminat sastra untuk memahami secara
detail tentang makna acara ritual pengukuhan seorang peronggeng baru
yang dilihat sebagai suatu keharusan yang mendakwa.
Tuesday, November 12, 2019
Jejak Kaki
Ketika melakukan pembinaan
di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola
perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya. Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi
itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi
siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan
Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di
sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya
dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i
merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua
terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai
bagian dari keluarga besar Insan Teratai.
Monday, November 11, 2019
Barnabas (Anak Penghiburan)
Sebanyak 460 ketua-ketua lingkungan dari
paroki yang ada di Dekenat Tangerang I mengikuti rekoleksi bersama Mgr.
Ignatius Kardinal Suharyo, bertempat di gedung pastoral, Paroki Curug, Gereja
Santa Helena. Di hadapan para ketua lingkungan, Kardinal mengucapkan terima
kasih atas kehadiran dan terutama para ketua lingkungan telah mengambil bagian
dalam pelayanan umat di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Bapak/ibu sudah
berkorban waktu dan menjalankan tugas perutusan ini. “Sampaikan juga salam
untuk para mitera kerja di lingkunganmu dan juga keluargamu.”
Monday, October 28, 2019
Mencontohi Paulus
Minggu, 27 Oktober 2019 merupakan hari
yang istimewa bagi Paroki Kutabumi, Gereja Santo Gregorius Agung, Tangerang. Paroki
Kutabumi mendapatkan kunjungan dari Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo untuk
menerimakan sakramen krima bagi 282 calon krisma yang sudah dipersiapkan secara
baik oleh para katekis. Walaupun kedatangan Bapak Kardinal ke paroki tepat
pukul 07.00 tetapi anak-anak calon krisma dan para pendamping sudah siap di
gereja mulai pukul 06.00.
Setibanya di area paroki dan saat turun
dari mobil, Bapak Kardinal disambut dengan tarian penjemputan yang dibawakan
oleh kelompok Ikatan Keluarga Sumatera Utara (IKSU) yang ada di Gereja Santo
Gregorius Agung. Setelah tarian khas Batak Karo dan Toba disuguhkan, Mgr.
Ignatius Kardinal Suharyo dikalungi dengan ulos oleh Bapak Jaipin Simarmata dan
Ibu Frida Sinaga. Seusai pengalungan dengan ulos, Bapak Kardinal diperkenankan
untuk berdoa di depan gua Maria yang terletak tidak jauh dari tempat
penjemputan.
Gereja Perlu Bermimpi
Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan
“Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak
orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh
persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban
atas tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni “Mari
Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan
yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak
lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka
“dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu.
Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.
Wednesday, October 23, 2019
Kepulan Asap
Di traffic lightdengan
lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus
membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap
membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran
jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah
hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan
terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti
meminta?Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka,
entah kapan.
Tak
pernah sepi ruas jalan utama memasuki gerbang ibu kota itu. Ibu kota
kian keras menantang kehidupan mereka. Baginya, sejahat-jahatnya ibu
tiri, jauh lebih jahat dari ibu kota. Ibu kota yang tidak memberi rasa
aman, tidak memberikanperlindungan yang manusiawi. Di tangan mereka
hanya tergenggam harapan kosong. Yang ada adalah jeritan luka yang terus
menganga menanti harap untuk dipenuhi.
Hampir
setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama.
Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti
hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan
sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir
dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit
penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang
kusta di Tangerang dan Lembata (Flores) yang terhimpun pada Rumah Sakit
Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan
itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka
yang sudah menjadi eks kusta.
Saturday, September 14, 2019
FILOSOFI BOLA KAKI DAN IDEOLOGI GOL
Oleh: Valery Kopong
“Setiap
detik adalah final bagi kehidupan,” demikian Penyair Frans Kafka. Ketika setiap
orang melihat lini kehidupan adalah final maka masing-masing orang
mempersiapkan diri secara matang dalam proses pertarungan hidup. Frans Kafka
memposisikan diri sebagai bek kanan untuk mempertahankan gawang dari bobolan
lawan yang mungkin juga menembus kelambu yang terlilit rapih melalui tendangan
pisang (babana kick). Tetapi untuk meraih titik kulminasi (final) perlu adanya
kegesitan. “Mereka yang lambat tak ikut bermain, demikian kata Plato, si filsuf
dari Yunani, negara pendekar demokrasi pertama. Plato, dalam susunan the dream
team ala Kolumnis Thomas Grassberger, ia mendapat kehormatan sebagai kapten
kesebelasan. Ia terpilih karena menyukai tempo yang tinggi, sekaligus idealis
dan desainer dalam menata pola permainan yang artistik. Dalam pola penataan
permainan, barangkali ia tersulut oleh pendamping Kafka di sektor kiri yakni
Arno Schmidt. Arno Schmidt dikenal sebagai pendekar apokaliptik yang terus
menuntut manusia untuk tergesa-gesa. Bagi Schmidt, setiap hari Sabtu adalah
musim kompetisi di mana setiap manusia harus bertanding dan bertanding. Dan di
arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan,
selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona
tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola
permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini:
“Maukah Anda menang atau kalah?”
Wednesday, September 11, 2019
Tawa Sang Guru
Setiap orang yang masuk ke biara tua
itu, pertama-tama yang diperhatikan adalah lukisan wajah Yesus yang sedang
tertawa. Memandang lukisan itu secara mendalam terus melahirkan
pertanyaan-pertanyaan seputar lukisan itu. Mengapa Yesus tertawa? Apa yang
membuat Yesus tertawa? Adakah teks kitab suci yang mengisahkan Yesus sedang
tertawa? Inilah pertanyaan-pertanyaan sederhana yang lahir dari kedalaman batin
para tamu di biara itu. Lukisan yang terpampang di dinding biara tua itu
sepertinya menawarkan nalar refleksi untuk mempertanyakan lukisan yang tidak
umum itu. Memang, Yesus sendiri seperti
yang tertulis dalam kitab suci Perjanjian Baru, kita tidak pernah menemukan
teks yang berbicara tentang Yesus yang tertawa saat berhadapan dengan murid-murid-Nya
maupun kelompok-kelompok yang membenci kehadiran-Nya. Tertawa seperti yang
terlukis itu mengisahkan kemanusiaan seorang Yesus yang tidak dihadirkan oleh
penulis kitab suci. Yesus terkesan sangat serius menghadapi situasi di tengah
karya pewartaan-Nya. Karena itu yang lebih ditonjolkan adalah kehidupan doa dan
ajaran-ajaran-Nya.
Subscribe to:
Posts (Atom)