Friday, November 15, 2019

Tuhan Tidak Adil


Suatu sore yang sedikit mendung, tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa terus memberontak  bahkan menyalahkan Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka bertumbuh di tengah-tengah keluarga  dan “terpaksa layu” di tengah harapan.
     Sore harinya setelah maghrib, para pelayat, termasuk saya mengantarkan Clarisa ke tempat pemakaman terakhir, sebelumnya disholatkan di masjid Al-Gurobah. Semua pelayat sepertinya diam tertawan oleh sebuah batas hidup di mana Tuhan yang memiliki rencana di atas garis kehidupan manusia. Di liang lahat, ayah Clarisa mengantarkan jenazah ke dalam liang kubur yang sempit dan meng-Adzani sendiri dengan dibalut kesedihan yang mendalam.
Peristiwa kematian Clarisa yang menurut dugaan seorang bidan, bahwa setelah Clarisa jatuh dan menangis, langsung dikasih susu oleh pembantunya sehingga dalam kondisi seperti itu, Clarisa mengalami “keselek.” Setelah dikasih minum susu oleh pembantunya,  Clarisa tidur beberapa jam lamanya. Saat hari mulai siang dan dibangunkan untuk makan pada siang hari, ternyata kondisinya sudah mulai kaku dan segera dibawa ke Bidan Samsi yang berada dekat dengan rumahnya. Setelah dipastikan oleh bidan, nyawa Clarisa tidak tertolong lagi.
Peristiwa ini membuat heboh para tetangga dan sasaran kemarahan ibu-ibu adalah si pembantu yang kurang bertanggung jawab sampai pada akhirnya mengorbankan nyawa anak yang masih berusia satu tahun. Ada seorang ibu, yang datang kemudian, meleraikan pemberontakan ibu-ibu terhadap pembantu itu. “Jangan menyalahkan dia (pembantu) karena urusan tentang kehidupan dan kematian hanya Allah yang tahu. Kita harus belajar untuk iklas dalam menghadapi peristiwa ini.” Peringatan ini menjadi moment refleksi terdalam atas peristiwa kematian yang dialami oleh Clarisa bahwa Tuhan memanggil orang untuk mengakhiri hidup manusia di dunia ini tidak mengenal berapa usia yang layak untuk direnggut oleh maut.
Kematian Clarisa mengingatkan penulis akan “Zein Zum Tode” dari Martin Heidegger. Bahwa hidup ini berjalan dan mengarah pada kematian. Karena itu setiap jejak kaki perjalanan kita, memberikan bekas kebaikan pada sahabat dan orang-orang yang kita jumpai. Jika kebaikan yang telah ditebarkan itu diterima oleh orang lain maka pada saat yang sama kita diterima dan ketika maut menjemput kita, orang-orang yang pernah merasakan sentuhan kebaikan kita, mereka ingat akan apa yang kita lakukan itu. Namun kematian Clarisa yang masih bayi, juga mengingatkan kita akan kebaikan dan kelucuan yang telah diperlihatkan terhadap orang tuanya dan tetangga-tetangga sekitar.
Walau jenazahnya sudah terkubur oleh tanah, tetapi kenangan akan kematian membuka ruang pergumulan bagi kita sebagai pesiarah bahwa hidup kita pasti menemukan titik akhir, cuma yang kita belum tahu adalah kapan saat kematian itu datang.***(Valery Kopong)

0 komentar: