Suatu sore yang sedikit mendung,
tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita
duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus
meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di
luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang
saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong
karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa
terus memberontak bahkan menyalahkan
Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka
bertumbuh di tengah-tengah keluarga dan
“terpaksa layu” di tengah harapan.
Peristiwa kematian Clarisa yang
menurut dugaan seorang bidan, bahwa setelah Clarisa jatuh dan menangis,
langsung dikasih susu oleh pembantunya sehingga dalam kondisi seperti itu,
Clarisa mengalami “keselek.” Setelah dikasih minum susu oleh pembantunya, Clarisa tidur beberapa jam lamanya. Saat hari
mulai siang dan dibangunkan untuk makan pada siang hari, ternyata kondisinya
sudah mulai kaku dan segera dibawa ke Bidan Samsi yang berada dekat dengan
rumahnya. Setelah dipastikan oleh bidan, nyawa Clarisa tidak tertolong lagi.
Peristiwa ini membuat heboh para
tetangga dan sasaran kemarahan ibu-ibu adalah si pembantu yang kurang
bertanggung jawab sampai pada akhirnya mengorbankan nyawa anak yang masih
berusia satu tahun. Ada seorang ibu, yang datang kemudian, meleraikan
pemberontakan ibu-ibu terhadap pembantu itu. “Jangan menyalahkan dia (pembantu)
karena urusan tentang kehidupan dan kematian hanya Allah yang tahu. Kita harus
belajar untuk iklas dalam menghadapi peristiwa ini.” Peringatan ini menjadi
moment refleksi terdalam atas peristiwa kematian yang dialami oleh Clarisa
bahwa Tuhan memanggil orang untuk mengakhiri hidup manusia di dunia ini tidak
mengenal berapa usia yang layak untuk direnggut oleh maut.
Kematian Clarisa mengingatkan
penulis akan “Zein Zum Tode” dari Martin Heidegger. Bahwa hidup ini berjalan
dan mengarah pada kematian. Karena itu setiap jejak kaki perjalanan kita,
memberikan bekas kebaikan pada sahabat dan orang-orang yang kita jumpai. Jika
kebaikan yang telah ditebarkan itu diterima oleh orang lain maka pada saat yang
sama kita diterima dan ketika maut menjemput kita, orang-orang yang pernah
merasakan sentuhan kebaikan kita, mereka ingat akan apa yang kita lakukan itu.
Namun kematian Clarisa yang masih bayi, juga mengingatkan kita akan kebaikan
dan kelucuan yang telah diperlihatkan terhadap orang tuanya dan
tetangga-tetangga sekitar.
Walau jenazahnya sudah terkubur oleh
tanah, tetapi kenangan akan kematian membuka ruang pergumulan bagi kita sebagai
pesiarah bahwa hidup kita pasti menemukan titik akhir, cuma yang kita belum
tahu adalah kapan saat kematian itu datang.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment