Di traffic lightdengan
lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus
membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap
membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran
jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah
hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan
terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti
meminta?Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka,
entah kapan.

Hampir
setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama.
Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti
hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan
sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir
dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit
penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang
kusta di Tangerang dan Lembata (Flores) yang terhimpun pada Rumah Sakit
Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan
itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka
yang sudah menjadi eks kusta.
Tentang
kehidupan orang kusta yang saya jumpai, teringat saya akan peranan yang
sangat besar seorang Gisela Borowka. Ketika itu, 28 Agustus 1963, ia
menginjakkan kakinya untuk pertama kali di pulau Lomblen (Lembata).
Kehadiran perempuan berkebangsaan Jerman ini membawa satu misi
kemanusiaan yang sangat luhur yaitu mau melawan kusta dan
memproklamirkan bahwa penyakit kusta bisa diobati serta bukan merupakan
kutukan Tuhan. Kedatangan Gisela Borowka seakan membawa spirit baru dan
orang-orang kusta boleh lega untuk menatap masa depan walau dengan sisa
anggota tubuhnyayang masih melekat.
Hal pertama
yang dilakukan oleh Gisela adalah memberikan pemahaman
danpenerangansecara jernih kepada masyarakat bahwa penyakit lepra
bukanlah penyakit kutukan dan bisa diobati.Bersama temannya, Isabella
Diaz Gonzales, mereka berjalan kaki menyusuri satu desa ke desa lain,
hanya untuk mengembalikan pandangan masyarakat ke arah yang baik yaitu
menerima kembali para penderita kusta untuk masuk ke dalam kehidupan
masyarakat secara normal. Mereka tak mengenal lelah. Perjuangan mereka
terus menderu dan membahana di bumi ikan paus itu. Pada mulanya mereka
menampung para penderita di gubuk sederhana. Di sinilah mereka mulai
mengenal, berinteraksi dengan para kusta.
Melihat
perjuangan mereka yang gigih dan tangguh, membuat kita untuk bertanya.
Apa yang mereka cari? Masih berhargakah orang-orang kusta sehingga
mereka berani melangkahkan kaki dari benua Eropa yang sangat jauh, hanya
untuk datang mengurus orang-orang kusta?Spirit manakah yang mereka
peroleh sebagai pegangan yang berharga dalam hidup?Sebenarnya
keterlibatan Gisela dalam misi sosial ini diinspirasi oleh sosok Pastor
Damian de Veuster, SSCC. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar di
Jerman Timur, Gisela Borowka sudah membaca dan mengenal cerita tentang
kehidupan Pastor Damian. Ia (Pastor Damian) dikenal sebagai pahlawan
Molokai karena keterlibatannya dengan kaum kusta, bahkan ia pada
akhirnya terkena kusta dan mati di Molokai. Selama 16 tahun, ia hidup di
pulau terkucil ini dan memberikan perhatian penuh kepada mereka dan
mengakhiri hidupnya secara tragis.
“Hati kecil
mengatakan bahwa saya harus mengikuti jejak Pastor Damian,”kata Gisela
Borowka. Oleh dorongan hati yang telah dipenuhi dengan kehidupan
pahlawan Molokai, ia (Gisela Borowka) memberanikan diri untuk keluar
dari negerinya dan mencari daerah terpencil, Lembata-Flores Timur.
Kehadirannya di pulau ini seakan mewujudkancita-cita masa kecil yaitu
ingin mengikuti jejak Pastor Damian. Kondisi Lembata memang tidak
separah Molokai tapi status orang kusta sama-sama terkucil. Damian, sang
imam, tidak hanya menjadi pelayan altar yang setia saat merayakan
ekaristi, sebuah persembahan yang hidup. Ia (Damian) barangkali lebih
memahami ekaristi sebagai bentuk keterlibatan dan membagi diri, membagi
perhatian untuk mereka yang tersingkir.
Memahami
ekaristi sebagai sumber kehidupan, telah mengantarkan seorang Damian
untuk membenamkan langkahnya di Molokai. Molokai baginya adalah bukit
tengkorak, tempat ia disalibkandengan lepra sebagai salib yang membebani
dirinya. Keberaniannya untuk menjadikan diri sebagai bagian dari korban
untuk mendampingi mereka yang tersingkir karena penyakit, adalah bukti
persembahan yang luhur. Ibarat lilin yang menghanguskan diri untuk
memberi terang pada orang-orang di sekitarnya, demikian juga dengan
pengorbanan seorang Damian. Ia membuka dirinya dan berani berkorban
untuk orang lain. Kematiannya di tengah-tengah mereka yang tersingkir,
semakin memberi makna hidup bagi mereka yang terkena kusta.
0 komentar:
Post a Comment