Saturday, November 16, 2019

PESAN-PESAN BERMAKNA DARI BALIK JERUJI BESI


Setiap hari Selasa, saya dan dua teman penyuluh Agama Islam mengadakan kunjungan ke Polsek Pamulang-Kota Tangerang Selatan-Banten. Sasaran kunjungan kami adalah kelompok tahanan sementara  yang  mendekam di sel tahanan yang berukur kecil itu. Sekitar duapuluhan orang yang setiap minggu di tahan di Polsek Pamulang dengan kasus yang begitu beragam. Ada yang ditangkap karena narkoba, pencurian  motor,  perkelahian dan beberapa kasus lain. Selama berkunjung ke tahanan, saya dan dua teman penyuluh muslim memberikan bimbingan rohani kepada para tahanan. Memang, disadari bahwa bimbingan yang dilakukan itu tidak memberikan perubahan yang maksimal, tetapi yang terpenting adalah mereka (para tahanan) merasa dikunjungi dan disapa oleh kami.  Seberapa jauh para tahanan menyadari diri dan mengadakan sebuah perubahan dari balik jeruji besi? 
salah seorang penghuni tahanan di Polsek Pamulang
Bimbingan dari Balik Jeruji Besi
                Pola pembinaan yang kami laksanakan terhadap para tahanan di Polsek Pamulang dan mungkin juga di polsek-polsek lain, sedikit berbeda dengan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selain karena tempatnya yang tidak terlalu luas, tetapi secara psikologis, para tahanan sementara di polsek tidak diperbolehkan keluar dari ruang jeruji yang pengap. Kondisi kejiwaan mereka masih labil dan memberontaki situasi. Para tahanan tidak menerima diri sebagai tahanan yang terpenjara, tidak bebas bergerak.  Memang harus dipahami bahwa manusia sebagai makhluk yang bebas tetapi karena kesalahannya maka ia ditangkap dan dipenjara.
Penulis bersama Haji Ahmadi saat memberikan bimbingan
               

Friday, November 15, 2019

Tuhan Tidak Adil


Suatu sore yang sedikit mendung, tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa terus memberontak  bahkan menyalahkan Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka bertumbuh di tengah-tengah keluarga  dan “terpaksa layu” di tengah harapan.

Thursday, November 14, 2019

Tanah Air Mata


 (Sebuah telaah puisi kontemporer
dari sudut sosiologi Sastra)

Oleh: Valery Kopong*

Sutardji Calzoum Bachri dikenal sebagai penyair kontemporer yang menggagas sekaligus mengedepankan pola penulisan baru pada puisi. Ketika membaca puisi-puisinya,ciri khas terasa kental. Dia lebih banyak mempermainkan kata yang baginya merupakan sebuah kekuatan, dan menjadi daya dobrak bagi seluruh bangunan puisinya. Bangunan puisi-puisi lama yang terkesan kaku, baik dari tata aturan maupun jumlah barisnya, kehadiran Sutardji membawa angin perubahan bagi mereka yang berani “merobek” pola-pola yang dogmatis-puitis. Perjuangan dan upaya seorang Bachri mendobrak kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata dan tata bahasa dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia dan sekaligus menawarkan konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi. Terhadap perjuangan yang penuh dengan daya dobrak ini, memunculkan pertanyaan untuk direnungkan bersama. Apakah Sutardji sebagai pahlawan puisi kontemporer dan nabi bagi mereka yang mengenyam kebebasan dalam mengekspresikan diri melalui puisi?  

Wednesday, November 13, 2019

Sastra dan Seksualitas, Keindahan yang Tercemar

MEMBACA beberapa karya sastra berupa novel, para sastrawan terkadang secara vulgar menampilkan suatusituasi riil yang sering dialami oleh manusia. Tulisan yang mengangkat masalah biasa yakni seksualitas yang sering menimbulkan suasana luar biasa ini tidak lain merupakan bentuk revolusi dari sastrawan yang menggunakan pintu kesusastraan sebagai jalur penyadaran bagi masyarakat tentang penghargaan terhadap perempuan dan terutama menghargai seksualitas sebagai yang terberi dari Sang Pencipta. Menelusuri penulisan ini muncul suatu pertanyaan nakal untuk direnungkan. Mengapa para sastrawan harus memilih jalur kesusastraan sebagai media penggugah nurani penghuni kolong langit ini? Masih kurangkah tulisan-tulisan yang termuat dalam pelbagai pers yang umumnya menyertakan data dan dilengkapi foto-foto yang akurat yang berbicara tentang seksualitas? 

Ahmad Tohari dalam Ronggeng Dukuh Paruk misalnya, telah menggambarkan suatu kondisi dilematis yang menjadi pilihan pahit seorang perempuan yang diwakili oleh Srintil, tokoh utama dalam penceritaan itu. Srintil sebagai penghadir figur lama, yakni peronggeng ulung yang telah meninggal harus menuruti aturan sebelum dikukuhkan sebagai peronggeng baru. Beberapa aturan dalam ritus pengukuhan telah dijalani dengan baik dan terakhir tuntutan yang dipenuhi adalah sayembara pembukaan keperawanan. Sebuah acara bernuansa vulgar begitu memikat pemirsa, terutama laki-laki yang haus akan seks untuk mengikutsertakan diri dalam sayembara bergengsi itu.
Dalam konteks kesastraan, seorang novelis terasah kesadaran untuk membentangkan seluruh refleksi yang bernada sastrawi untuk berpihak pada kenyataan yang ada. Perempuan dalam sosok seorang Srintil, menampilkan sikap penuh lugu dan menuruti acara ritual yang diselenggarakan. Dapat dipahami yaitu bahwa tokoh Srintil yang ditampilkan adalah seorang gadis bocah yang apabila dilihat dari kebutuhan biologis, ia belum meminati untuk dipenuhi kebutuhan itu. Tetapi mengapa, dengan latar kesusastraan yang suram dan seram ini, Srintil dicebloskan ke dalam “malam sayembara keperawanan” yang menuruti orang yang dikorbankan tidak tahu sama sekali tentang seksualitas.
Seksualitas dalam catatan seorang sastrawan tidak dilihat sebagai aib publik, melainkan menunjukkan sebuah keterbukaan masyarakat untuk secara jernih melihat aib ini sebagai sebuah kebutuhan ritual yang diterima sebagai tuntutan yang mesti dijalani. Di sini, Ahmad Tohari dengan kekuatan daya susastra seakan menggiring kesadaran para peminat sastra untuk memahami secara detail tentang makna acara ritual pengukuhan seorang peronggeng baru yang dilihat sebagai suatu keharusan yang mendakwa. 

Tuesday, November 12, 2019

Jejak Kaki


Ketika melakukan pembinaan di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya.  Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai bagian dari keluarga besar Insan Teratai.  

Monday, November 11, 2019

Barnabas (Anak Penghiburan)


Sebanyak 460 ketua-ketua lingkungan dari paroki yang ada di Dekenat Tangerang I mengikuti rekoleksi bersama Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, bertempat di gedung pastoral, Paroki Curug, Gereja Santa Helena. Di hadapan para ketua lingkungan, Kardinal mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan terutama para ketua lingkungan telah mengambil bagian dalam pelayanan umat di wilayah Keuskupan Agung Jakarta. Bapak/ibu sudah berkorban waktu dan menjalankan tugas perutusan ini. “Sampaikan juga salam untuk para mitera kerja di lingkunganmu dan juga keluargamu.”

Monday, October 28, 2019

Mencontohi Paulus


Minggu, 27 Oktober 2019 merupakan hari yang istimewa bagi Paroki Kutabumi, Gereja Santo Gregorius Agung, Tangerang. Paroki Kutabumi mendapatkan kunjungan dari Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo untuk menerimakan sakramen krima bagi 282 calon krisma yang sudah dipersiapkan secara baik oleh para katekis. Walaupun kedatangan Bapak Kardinal ke paroki tepat pukul 07.00 tetapi anak-anak calon krisma dan para pendamping sudah siap di gereja mulai pukul 06.00.
Setibanya di area paroki dan saat turun dari mobil, Bapak Kardinal disambut dengan tarian penjemputan yang dibawakan oleh kelompok Ikatan Keluarga Sumatera Utara (IKSU) yang ada di Gereja Santo Gregorius Agung. Setelah tarian khas Batak Karo dan Toba disuguhkan, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo dikalungi dengan ulos oleh Bapak Jaipin Simarmata dan Ibu Frida Sinaga. Seusai pengalungan dengan ulos, Bapak Kardinal diperkenankan untuk berdoa di depan gua Maria yang terletak tidak jauh dari tempat penjemputan.

Gereja Perlu Bermimpi

Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan “Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban atas  tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni  “Mari Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka “dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu.

Apakah gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya? Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat  dan kemudian lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal. Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan  yang baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel “Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri. Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya, terpaksa mencari  sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.


Wednesday, October 23, 2019

Kepulan Asap

Di traffic lightdengan lampu-lampunya kian redup itu. Deru knalpot-knalpot kota terus membahana mengusik ketenangan manusia-manusia puntung. Deburan asap membubung ke langit semesta, membuat kota itu semakin kabut lantaran jemari sang mentari sulit menggapai bumi. Tetapi apakah di tengah hiruk-pikuk kota yang semrawut semakin memastikan mereka dengan tangan terulur terus meminta-minta? Sampai kapankah tangan mereka berhenti meminta?Hanya waktulah yang memastikan denyut nadi kehidupan mereka, entah kapan.
Tak pernah sepi ruas jalan utama memasuki gerbang ibu kota itu. Ibu kota kian keras menantang kehidupan mereka. Baginya, sejahat-jahatnya ibu tiri, jauh lebih jahat dari ibu kota. Ibu kota yang tidak memberi rasa aman, tidak memberikanperlindungan yang manusiawi. Di tangan mereka hanya tergenggam harapan kosong. Yang ada adalah jeritan luka yang terus menganga menanti harap untuk dipenuhi. 

Hampir setiap hari, orang-orang kusta tidak pernah sepi menjejali jalan utama. Mereka terbuang dari bibir nestapa dan penyakit yang terus menggerogoti hidup yang kian kejam. Orang-orang kusta sepertinya sudah ditakdirkan sebagai manusia sisa yang terkena kutuk dari Allah. Mereka tersingkir dari pergaulan umum karena masyarakat jijik dan takut terjangkit penyakit yang parah itu. Saya melihat dan membandingkan kehidupan orang kusta di Tangerang dan Lembata (Flores) yang terhimpun pada Rumah Sakit Lepra, Santo Damian, terkesan ada perbedaan yang sangat tajam. Perbedaan itu terlihat dari perhatian dan pemberian hidup yang layak bagi mereka yang sudah menjadi eks kusta. 

Saturday, September 14, 2019

FILOSOFI BOLA KAKI DAN IDEOLOGI GOL


Oleh: Valery Kopong

“Setiap detik adalah final bagi kehidupan,” demikian Penyair Frans Kafka. Ketika setiap orang melihat lini kehidupan adalah final maka masing-masing orang mempersiapkan diri secara matang dalam proses pertarungan hidup. Frans Kafka memposisikan diri sebagai bek kanan untuk mempertahankan gawang dari bobolan lawan yang mungkin juga menembus kelambu yang terlilit rapih melalui tendangan pisang (babana kick). Tetapi untuk meraih titik kulminasi (final) perlu adanya kegesitan. “Mereka yang lambat tak ikut bermain, demikian kata Plato, si filsuf dari Yunani, negara pendekar demokrasi pertama. Plato, dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, ia mendapat kehormatan sebagai kapten kesebelasan. Ia terpilih karena menyukai tempo yang tinggi, sekaligus idealis dan desainer dalam menata pola permainan yang artistik. Dalam pola penataan permainan, barangkali ia tersulut oleh pendamping Kafka di sektor kiri yakni Arno Schmidt. Arno Schmidt dikenal sebagai pendekar apokaliptik yang terus menuntut manusia untuk tergesa-gesa. Bagi Schmidt, setiap hari Sabtu adalah musim kompetisi di mana setiap manusia harus bertanding dan bertanding. Dan di arena permainan, kata Charles Baudelaire, Pelapis Schmidt di bagian depan, selalu mengingatkan para pemain bahwa hidup hanya mempunyai sebuah pesona tunggal yakni permainan. Dan jika kita masuk atau terperangkap masuk dalam pola permainan maka masing-masing orang harus mengantongi pertanyaan filosofis ini: “Maukah Anda menang atau kalah?”