Setiap
hari Selasa, saya dan dua teman penyuluh Agama Islam mengadakan kunjungan ke
Polsek Pamulang-Kota Tangerang Selatan-Banten. Sasaran kunjungan kami adalah
kelompok tahanan sementara yang mendekam di sel tahanan yang berukur kecil
itu. Sekitar duapuluhan orang yang setiap minggu di tahan di Polsek Pamulang
dengan kasus yang begitu beragam. Ada yang ditangkap karena narkoba,
pencurian motor, perkelahian dan beberapa kasus lain. Selama
berkunjung ke tahanan, saya dan dua teman penyuluh muslim memberikan bimbingan
rohani kepada para tahanan. Memang, disadari bahwa bimbingan yang dilakukan itu
tidak memberikan perubahan yang maksimal, tetapi yang terpenting adalah mereka
(para tahanan) merasa dikunjungi dan disapa oleh kami. Seberapa jauh para tahanan menyadari diri dan
mengadakan sebuah perubahan dari balik jeruji besi?
salah seorang penghuni tahanan di Polsek Pamulang |
Bimbingan dari Balik Jeruji Besi
Pola pembinaan yang kami
laksanakan terhadap para tahanan di Polsek Pamulang dan mungkin juga di polsek-polsek
lain, sedikit berbeda dengan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selain
karena tempatnya yang tidak terlalu luas, tetapi secara psikologis, para
tahanan sementara di polsek tidak diperbolehkan keluar dari ruang jeruji yang
pengap. Kondisi kejiwaan mereka masih labil dan memberontaki situasi. Para
tahanan tidak menerima diri sebagai tahanan yang terpenjara, tidak bebas
bergerak. Memang harus dipahami bahwa
manusia sebagai makhluk yang bebas tetapi karena kesalahannya maka ia ditangkap
dan dipenjara.
Penulis bersama Haji Ahmadi saat memberikan bimbingan |
Kami diisinkan Kapolsek untuk
mengadakan kunjungan dan sekaligus memberikan bimbingan rohani. Dari balik
jeruji, mereka dengan setia mendengarkan suara kami yang bisa menjangkau tiga
ruang tahanan. Bagi mereka (para tahanan), kunjungan kami adalah momentum bagi
mereka untuk mensyeringkan pengalaman, baik pengalaman hidup harian sebelum
masuk penjara, demikian juga ketika ia ditangkap. Margono (bukan nama sebenarnya), salah seorang
penghuni tahanan itu menuturkan bahwa “saya sudah menyerahkan diri tapi tetap
saja ditembak kakiku.” Kaki kanan Margono terluka akibat tembakan dan peluruh
berhasil menembus bahkan tulang keringnya pun terkena peluruh. Ia bercerita
dengan meneteskan air matanya yang menjadi saksi dari sebuah peristiwa kelam
yang mengitari hidupnya.
Beberapa di antara mereka
dijebak oleh temannya sendiri untuk terlibat dalam aksi pencurian. Tapi mau
diapain lagi, kalau sudah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan? Yang harus
dibangun adalah sikap menerima diri dan kenyataan hidup yang dialami. Sikap
pasrah dan menerima pengalaman ini sebagai cara terbaik untuk mengatasi
kegalauan hati. “Ini adalah ujian dari Allah, demikian kata Haji Ahmadi, saat
memberikan bimbingan rohani. Memang, Allah telah menggariskan hidup kita.
Peristiwa penangkapan dan penjeblosan dalam sel tahanan juga merupakan desain
Allah dalam hidup setiap manusia. Banyak di antara mereka menyadari peristiwa
ini sebagai momentum untuk berefleksi diri. “Mengapa Allah menegur saya dengan
cara ini?”
Di ruang tahanan yang pengap,
banyak di antara mereka terus berdoa dan memohon agar Allah memberikan petunjuk
yang baik. Doa-doa yang dilantunkan mengerucut pada sebuah permohonan tunggal,
yakni ingin bebas seperti yang dialami sebelumnya. Memang, harapan adalah
sebuah “energi terdalam” yang bersemayam di dalam hati seorang manusia. Ketika
manusia terjerat dalam kesalahan dan putus asa maka satu-satunya kekuatan yang
dimunculkan adalah “harapan.”
Harapan untuk bangkit kembali
merupakan sebuah komitmen dalam memperbaharui hidup. Tetapi begitu
gampangkah harapan untuk bebas dialami
oleh seorang tahanan? Harapan untuk bebas oleh seorang tahanan melalui suatu
proses panjang. Lika-liku kehidupan
harus mereka jalani sebagai bagian dari ujian hidup yang paling berat. Di ruang
tahanan itu mereka terus menunggu berkas untuk dilimpahkan ke kejaksaan untuk
disidangkan. Vonis yang bakal diterima, dijalani juga, walau dengan berat hati.
Membangun Kebersamaan
Ukuran
sel tahanan yang semestinya ditempati sekitar dua orang, terpaksa dihuni oleh sekitar
delapan orang. Walaupun mereka dihimpun
dalam satu tahanan dengan permasalahan yang beragam namun terlihat kompak di
antara mereka. Selain memiliki latar belakang budaya, suku dan agama yang
berbeda, namun mereka dipersatukan dalam ruang yang terbatas itu. Suasana akrab
terbangun ketika makan bersama. Masing-masing anggota sel tahanan duduk
melingkar berkelompok untuk menyantap santapan yang telah disediakan.
Kebersamaan yang dibangun adalah
kebersamaan langka, yang sulit ditemukan. Karenanya, walaupun berada dalam
kondisi bersalah, umumnya dari mereka menatap kebersamaan sebagai bagian
penting dari hidup mereka terutama terbangun sikap saling mendukung satu sama
lain. Kebersamaan juga menjadi “perekat” yang bisa mempersatukan dan dalam
kebersamaan yang sama, tersulut kesadaran baru, saat di mana mereka semua
berada dalam kondisi hidup yang memprihatinkan.
Untuk bisa meringankan beban
batin yang terus mendera, setiap kali kunjungan kami membawakan buku-buku yang
bernuasa rohani dan memberikan motivasi. Dengan membaca, mereka
bisa mengolah batin secara lebih terorganisir. Mereka bisa belajar dari
tokoh-tokoh sukses dan barangkali mereka bisa menginternalisasi diri dengan
motivasi-motivasi yang konstruktif. Selain membaca, ada beberapa di antara mereka
mencoba untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Ada yang menulis puisi,
ada juga yang menulis cerpen dan semuanya membahasakan pengalaman jiwa yang
sedang mereka alami. Tulisan-tulisan yang sempat kami kumpulkan, menjadi luapan
refleksi terdalam dan bahasa kemanusiaan yang tersisih diungkapkan secara lugas
penuh makna. Apa yang mereka
alami dan renungkan dalam sel tahanan, pada akhirnya juga kami terima
sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan diri.
Pengalaman mereka adalah “guru
yang baik” untuk orang lain yang tidak mengalami pengalaman penahanan. Dalam
proses penahanan itu, para tahanan
sepertinya hidup sesuai dengan prinsip etika. Mereka selalu memahami dan
mengamalkan prinsip etika universal: “apa yang diketahui baik, perlu dilakukan
dan apa yang diketahui tidak baik, sebaiknya dihindari.” Inilah pesan-pesan
bermakna yang lahir dari balik jeruji besi. Ketika terjerat dalam sebuah
permasalahan dan ditahan, mata mereka menjadi melek, berani menerobos prinsip
etika universal serta berani memetakan, mana yang benar dan mana yang
salah.
Kesalahan yang mereka alami
dilihat sebagai batu loncatan yang berharga dan menjadi pintu
masuk untuk
melihat “model-model” kebenaran dalam beretika hidup. Hidup yang benar, bisa
juga
dialami setelah melewati sebuah kehidupan yang salah. Dalam tahanan itu, kehidupan mereka ditempah
dan dengan suatu harapan agar bisa menjadi baik setelah menjalani masa
tahanan. “Kudidik diriku untuk
kemudian
mendidik orang lain.” Melewati masa-masa
tahanan, tidak lebih dari melewati “kegersangan
hidup.” Dalam kegersangan itu,
mereka terus berharap untuk menikmati hidup yang lebih baik dari
sebelumnya.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment