Saturday, November 16, 2019

PESAN-PESAN BERMAKNA DARI BALIK JERUJI BESI


Setiap hari Selasa, saya dan dua teman penyuluh Agama Islam mengadakan kunjungan ke Polsek Pamulang-Kota Tangerang Selatan-Banten. Sasaran kunjungan kami adalah kelompok tahanan sementara  yang  mendekam di sel tahanan yang berukur kecil itu. Sekitar duapuluhan orang yang setiap minggu di tahan di Polsek Pamulang dengan kasus yang begitu beragam. Ada yang ditangkap karena narkoba, pencurian  motor,  perkelahian dan beberapa kasus lain. Selama berkunjung ke tahanan, saya dan dua teman penyuluh muslim memberikan bimbingan rohani kepada para tahanan. Memang, disadari bahwa bimbingan yang dilakukan itu tidak memberikan perubahan yang maksimal, tetapi yang terpenting adalah mereka (para tahanan) merasa dikunjungi dan disapa oleh kami.  Seberapa jauh para tahanan menyadari diri dan mengadakan sebuah perubahan dari balik jeruji besi? 
salah seorang penghuni tahanan di Polsek Pamulang
Bimbingan dari Balik Jeruji Besi
                Pola pembinaan yang kami laksanakan terhadap para tahanan di Polsek Pamulang dan mungkin juga di polsek-polsek lain, sedikit berbeda dengan para narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Selain karena tempatnya yang tidak terlalu luas, tetapi secara psikologis, para tahanan sementara di polsek tidak diperbolehkan keluar dari ruang jeruji yang pengap. Kondisi kejiwaan mereka masih labil dan memberontaki situasi. Para tahanan tidak menerima diri sebagai tahanan yang terpenjara, tidak bebas bergerak.  Memang harus dipahami bahwa manusia sebagai makhluk yang bebas tetapi karena kesalahannya maka ia ditangkap dan dipenjara.
Penulis bersama Haji Ahmadi saat memberikan bimbingan
                Kami diisinkan Kapolsek untuk mengadakan kunjungan dan sekaligus memberikan bimbingan rohani. Dari balik jeruji, mereka dengan setia mendengarkan suara kami yang bisa menjangkau tiga ruang tahanan. Bagi mereka (para tahanan), kunjungan kami adalah momentum bagi mereka untuk mensyeringkan pengalaman, baik pengalaman hidup harian sebelum masuk penjara, demikian juga ketika ia ditangkap. Margono (bukan nama sebenarnya), salah seorang penghuni tahanan itu menuturkan bahwa “saya sudah menyerahkan diri tapi tetap saja ditembak kakiku.” Kaki kanan Margono terluka akibat tembakan dan peluruh berhasil menembus bahkan tulang keringnya pun terkena peluruh. Ia bercerita dengan meneteskan air matanya yang menjadi saksi dari sebuah peristiwa kelam yang mengitari hidupnya.
                Beberapa di antara mereka dijebak oleh temannya sendiri untuk terlibat dalam aksi pencurian. Tapi mau diapain lagi, kalau sudah ditangkap dan dijebloskan dalam tahanan? Yang harus dibangun adalah sikap menerima diri dan kenyataan hidup yang dialami. Sikap pasrah dan menerima pengalaman ini sebagai cara terbaik untuk mengatasi kegalauan hati. “Ini adalah ujian dari Allah, demikian kata Haji Ahmadi, saat memberikan bimbingan rohani. Memang, Allah telah menggariskan hidup kita. Peristiwa penangkapan dan penjeblosan dalam sel tahanan juga merupakan desain Allah dalam hidup setiap manusia. Banyak di antara mereka menyadari peristiwa ini sebagai momentum untuk berefleksi diri. “Mengapa Allah menegur saya dengan cara ini?”
                Di ruang tahanan yang pengap, banyak di antara mereka terus berdoa dan memohon agar Allah memberikan petunjuk yang baik. Doa-doa yang dilantunkan mengerucut pada sebuah permohonan tunggal, yakni ingin bebas seperti yang dialami sebelumnya. Memang, harapan adalah sebuah “energi terdalam” yang bersemayam di dalam hati seorang manusia. Ketika manusia terjerat dalam kesalahan dan putus asa maka satu-satunya kekuatan yang dimunculkan adalah “harapan.”
                Harapan untuk bangkit kembali merupakan sebuah komitmen dalam memperbaharui hidup. Tetapi begitu gampangkah  harapan untuk bebas dialami oleh seorang tahanan? Harapan untuk bebas oleh seorang tahanan melalui suatu proses panjang.  Lika-liku kehidupan harus mereka jalani sebagai bagian dari ujian hidup yang paling berat. Di ruang tahanan itu mereka terus menunggu berkas untuk dilimpahkan ke kejaksaan untuk disidangkan. Vonis yang bakal diterima, dijalani juga,  walau dengan berat hati.
Membangun Kebersamaan
                Ukuran sel tahanan yang semestinya ditempati sekitar dua orang, terpaksa dihuni oleh sekitar delapan orang.  Walaupun mereka dihimpun dalam satu tahanan dengan permasalahan yang beragam namun terlihat kompak di antara mereka. Selain memiliki latar belakang budaya, suku dan agama yang berbeda, namun mereka dipersatukan dalam ruang yang terbatas itu. Suasana akrab terbangun ketika makan bersama. Masing-masing anggota  sel tahanan duduk melingkar berkelompok untuk menyantap santapan yang telah disediakan.
                Kebersamaan yang dibangun adalah kebersamaan langka, yang sulit ditemukan. Karenanya, walaupun berada dalam kondisi bersalah, umumnya dari mereka menatap kebersamaan sebagai bagian penting dari hidup mereka terutama terbangun sikap saling mendukung satu sama lain. Kebersamaan juga menjadi “perekat” yang bisa mempersatukan dan dalam kebersamaan yang sama, tersulut kesadaran baru, saat di mana mereka semua berada dalam kondisi hidup yang memprihatinkan. 
                Untuk bisa meringankan beban batin yang terus mendera, setiap kali kunjungan kami membawakan buku-buku yang bernuasa rohani dan  memberikan motivasi. Dengan membaca, mereka bisa mengolah batin secara lebih terorganisir. Mereka bisa belajar dari tokoh-tokoh sukses dan barangkali mereka bisa menginternalisasi diri dengan motivasi-motivasi yang konstruktif. Selain membaca, ada beberapa di antara mereka mencoba untuk menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan. Ada yang menulis puisi, ada juga yang menulis cerpen dan semuanya membahasakan pengalaman jiwa yang sedang mereka alami. Tulisan-tulisan yang sempat kami kumpulkan, menjadi luapan refleksi terdalam dan bahasa kemanusiaan yang tersisih diungkapkan secara lugas penuh makna. Apa yang mereka alami dan renungkan dalam sel tahanan, pada  akhirnya juga kami terima sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan diri.
                Pengalaman mereka adalah “guru yang baik” untuk orang lain yang tidak mengalami pengalaman penahanan. Dalam proses penahanan itu, para  tahanan sepertinya hidup sesuai dengan prinsip etika. Mereka selalu memahami dan mengamalkan prinsip etika universal: “apa yang diketahui baik, perlu dilakukan dan apa yang diketahui tidak baik, sebaiknya dihindari.” Inilah pesan-pesan bermakna yang lahir dari balik jeruji besi. Ketika terjerat dalam sebuah permasalahan dan ditahan, mata mereka menjadi melek, berani menerobos prinsip etika universal serta  berani  memetakan, mana yang benar dan mana yang salah.  
                Kesalahan yang mereka alami dilihat sebagai batu loncatan yang berharga dan menjadi pintu 
masuk untuk melihat “model-model” kebenaran dalam beretika hidup. Hidup yang benar, bisa juga 
dialami setelah melewati sebuah kehidupan yang salah.  Dalam tahanan itu, kehidupan mereka ditempah 
dan dengan suatu harapan agar bisa menjadi baik setelah menjalani masa tahanan.  “Kudidik diriku untuk 
kemudian mendidik orang lain.”  Melewati masa-masa tahanan, tidak lebih dari melewati “kegersangan 
hidup.” Dalam kegersangan itu, mereka terus berharap untuk menikmati hidup yang lebih baik dari 
sebelumnya.***(Valery Kopong)

0 komentar: