Suatu sore yang sedikit mendung,
tepatnya pada Selasa, 12 November 2019. Sepulang kerja, aku mendapatkan berita
duka dari tetangga bahwa anaknya Clarisa yang masih setahun usianya harus
meregang nyawa saat berada bersama dengan pembantu yang momong. Tragedi ini di
luar dugaan dan sulit dicerna dengan nalar manusia. Kedua orang tuanya yang
saat itu masih berada di tempat kerja, seakan disambar petir di siang bolong
karena mendengar berita kematian puteri mereka yang lucu. Orang tuanya Clarisa
terus memberontak bahkan menyalahkan
Tuhan tidak adil terhadap mereka. Tuhan tidak membiarkan puteri mereka
bertumbuh di tengah-tengah keluarga dan
“terpaksa layu” di tengah harapan.
Showing posts with label Feature. Show all posts
Showing posts with label Feature. Show all posts
Friday, November 15, 2019
Tuesday, November 12, 2019
Jejak Kaki
Ketika melakukan pembinaan
di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola
perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya. Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi
itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi
siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan
Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di
sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya
dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i
merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua
terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai
bagian dari keluarga besar Insan Teratai.
Friday, June 14, 2019
Menyimpan Foto: Memendam Rasa
Sekitar tahun 2003, saya
mengenalmu dan tahun 2004 pengenalanku denganmu lebih dekat karena perkawinan
yang dilangsungkan antara saya dan Yuni, puterimu sendiri. Sejak menikah dengan
anakmu, saya terhitung sebagai menantu dan komunikasi yang dibangun selama ini
sangat baik. Ada spirit dan nasihat-nasihat bijak yang diberikan oleh bapa
Hardi Utomo kepada saya dan keluarga saya. Kata-kata menegakkan kami untuk
menjalani hidup ini tatkala kami merasa lesuh dan jenuh saat menapaki hidup
ini. Kata-kata menyejukkan seperti setetes air yang tengah berada pada “gurun
kembara.”
Tidak hanya kata-kata bijak
dan nasihat lembut yang telah engkau tinggalkan pada kami. Namun tindakan nyata
yang pernah dilakoni olehmu menjadi teladan hidup terbaik bagi kami. Ketika sedang
bermusuhan dengan siapa pun, engkau ajarkan kepada kami agar selalu “menyapa”
walau yang disapa adalah musuh kita. Ajaranmu ini mencontohi Sang Guru Agung
yang selalu mencintai siapa pun, termasuk musuh. Musuh-musuh pun harus disapa
dan didoakan agar “jembatan relasi” yang sempat ambruk oleh buruknya komunikasi
bisa terbangun kembali. Menjadi pertanyaan penting bagi saya, apakah ajaranmu
untuk menyapa musuh bisa saya terapkan? Pertanyaan ini penting bagi saya karena
kita berada pada dua budaya yang berbeda. Saya menganut budaya Lamaholot dan
Adonara khususnya, konsep menyapa seperti yang ditawarkan bapa, terkesan
bertolak belakang dengan latar budaya saya bahwa seorang musuh harus diberanguskan
dan tidak ada ruang komunikasi dalam setiap perjumpaan. Atau meminjam bahasa
kitab suci, “mata ganti mata, gigi ganti gigi.”
Wednesday, January 2, 2019
Cerita dari Pangkuan Merapi
“Sekali
mendayung, dua atau tiga pulau terlampaui.” Ungkapan ini rupanya mengena dengan
perjalanan wisata kami ke Cangkringan-Sleman, Yogyakarta. Tempat pertama yang
kami kunjungi adalah “Stonehenge Yogyakarta”yang letaknya di atas pangkuan Merapi.
Tempat ini terbilang sederhana karena hanya merupakan tancapan batu-batu buatan
dari semen namun kelihatan natural dan memiliki daya tarik terhadap wisatawan. Banyak
pengunjung berusaha untuk berfoto dengan latar belakang batu-batu buatan itu.
Penulis dan ular piton di Jogya Exotarium |
Liburan ke Yogyakarta
tanpa mengunjungi tempat-tempat wisata, rasanya perjalanan untuk berlibur
terasa hambar. Tanggal 22 Desember 2018 kami berlibur ke Yogyakarta dan tidak
hanya berdiam diri di rumah yang terletak di Jatimulyo, kota Yogyakarta tetapi
hampir setiap hari kami mengisi kegiatan dengan mengunjungi tempat-tempat
wisata yang sedang dikembangkan. Tempat wisata pertama yang kami kunjungi
adalah daerah Cangkringan – Sleman- Yogyakarta. Tempat wisata yang berada di
ketinggian Merapi itu tidak hanya menawarkan suasana seram saat Merapi mulai
mengamuk tetapi pada saat-saat teduh, tempat wisata menjadi ramai dikunjungi.
Monday, June 25, 2018
Membangun Kebersamaan di atas “Luka”
Pertemuan keluarga di Waiwadan, 23 Juni 2018 |
Melihat foto yang dikirim oleh adik Arnold Janssen Geroda
Belido melalui WhatSApp, menggugah nuraniku untuk melihat lebih jauh tentang
situasi keluarga besar saya yang ada di
Gelong Lama Ledan. Sebuah foto yang menggambarkan kebersamaan yang tidak lazim
dibangun selama ini. Mengapa saya berani mengatakan bahwa kebersamaan ini tidak
lazim seperti yang terekam dalam kamera?
Karena pertemuan ini bersifat mendadak dan menjadi sebuah bentuk
pemberontakan sunyi dari kelompok yang mempertahankan nuansa keakraban
keluarga. Kebersamaan ini dibangun di atas “luka” ini membahasakan betapa dalam
relung refleksi orangtua kami yang semakin sepuh tak tak berdaya di hadapan
garangnya anak-anak mereka.
Friday, April 6, 2018
Kemah
Oleh: Valery Kopong*
TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu. Di tengah mendung menggelayut langit sekolah
Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah.
Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu
berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu
yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah
adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
Subscribe to:
Posts (Atom)