Oleh: Valery Kopong*
TANGGAL 21 malam, bulan November 2009 waktu itu. Di tengah mendung menggelayut langit sekolah
Tarsisius Vireta, ada banyak kemah berdiri tegak di jantung halaman sekolah.
Dalam sorotan api unggun yang memikat, seakan membakar kesadaranku untuk selalu
berjaga dan berjaga. Anak-anak SD Vireta tengah mendesis di ruang kemah itu
yang seakan mengundang kemarahan dari kak Pembina. Tapi apakah mereka yang berkemah
adalah potret simpel dan simbol dari sebuah kehidupan yang fana?
Menonton film dan mengamati anak-anak
yang sedang berkemah membuka ruang pemikiran untuk membersitkan 2 sisi
kehidupan yang bersinggungan makna. Film akhir zaman, garapan Amerika
memprediksikan keberakhiran dunia dan perkemahan merupakan simbol kesementaraan
waktu. Kemah, simbol kesementaraan hidup menjadi titik dasar pemahaman bahwa
hidup hanyalah sebuah singgahan sementara. “Suatu saat Allah akan datang dan
membongkar kemah kehidupan kita.” Jika kemah itu dibongkar maka tamatlah
riwayat hidup ini dan manusia hanya menunggu saat yang paling genting untuk
membiarkan diri dan kemah dibongkar oleh Allah sendiri. Allah, di satu sisi
menjadi Sang Arsitek dan pada sisi lain, dalam pandangan dunia akhirat, Allah
yang sama datang sebagai pembongkar kehidupan ini.
Dunia
dan penghuni di bawah kolong langit masih berbincang dalam nuansa kecemasan
akan datangnya kiamat. Seolah-olah apa yang difilmkan memaksa sebuah kenyataan
untuk segera merealisasi kiamat. Film hanyalah sebuah miniatur yang memburai
kesadaran manusia untuk memahami masa parusia. Komersialisasi film perlahan
terwujud ketika manusia semakin panik sambil mencari sekeping kaset sebagai
dokumentasi hidupnya.
Allah dalam kesunyian sedang merekam
kepanikan manusia yang seakan menggantungkan nasibnya pada sang sutradara film.
Ia (sang sutradara) telah sanggup menembus pasaran dunia dan mengganggu
ketenangan manusia lewat sekeping VCD. Dalam penyerangan kesadaran manusia melalui film
yang aktif itu, film mengenai kiamat lalu bermetamorfosa menjadi milik orang
banyak. Dengan kata lain, film adalah sebuah keberpihakan. Dan ketika seluruh
penikmat film bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, tontonan yang
asyik pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai
bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari
kita. Allah telah membimbing kita ke tempat yang lapang (Ehr Fuhrte mich inz weite)
untuk ditantang dan membuat sebuah refleksi, tentang hidup, perjuangan dan
kiamat. Malam semakin larut, kutemukan diriku sedang menatap kemah yang
sementara dan tontonan film yang manipulatif. ***
1 komentar:
DAPATKAN FREECHIP DAN FREEBET !!
DENGAN BONUS DAN CASHBACK HINGGA 10 % !!!!
MARI BERGABUNG DENGAN B O L A V I T A . WIN
WA : +62812-22-22-995
Line : cs_bolavita
Wechat : Bolavita
Post a Comment