Wednesday, January 8, 2014

LUKA SEJARAH



Salah seorang tokoh yang diangkat dan diteladani dalam bulan Kitab Suci adalah Rut.  Rut sangat menghargai mertuanya, merawat dan mendampingi Naomi walaupun suaminya sendiri seorang lelaki Betlehem telah meninggal dunia. Apa yang dilakukan ini  terkesan sederhana tetapi sulit dalam pelaksanaan. Tindakan penghargaan terhadap mertua ini juga diinspirasi oleh sepuluh perintah Allah, terutama perintah Allah ke 4, hormatilah ayah dan ibumu, menghormati orang tua. Dalam proses menghormati orang tua, cinta dan kasih menjadi landasan utama dan menjadi penggerak untuk merawat orang tua yang telah uzur usianya dan membutuhkan perhatian dari orang lain. Apa yang dilakukan oleh Rut terhadap mertuanya, menjadikan orang-orang sepuh  untuk menemukan jati diri kembali sebagai manusia, sekaligus menyadari bahwa manusia hidup bergantung pada orang lain, terutama anak-anaknya.
Menelusuri liku-liku kehidupan Rut, seakan membentangkan sebuah garis luka yang panjang, sebuah garis luka sejarah. Dalam luka yang menetap di batin, Rut tetap tegar menghadapi sebuah kenyataan hidup yang pahit. Perjalanan hidup Rut penuh dengan tetasan air mata. Tetapi air mata yang keluar dan membasahi wajahnya ketika dirundung duka, adalah air mata keberpihakkan. Rut berduka menatap sanak keluarganya yang terenggut nyawa karena derita kelaparan berkepanjangan. Dalam duka pula, ia meratapi kepergian Mahlon suaminya untuk selamanya.

Sepeninggal suaminya, bersama Naomi mertuanya, mereka memutuskan untuk kembali ke negeri Israel. Dalam tradisi Israel, ketika suami meninggal, berarti tidak ada ikatan lagi dengan keluarga, apalagi ikatan dengan mertuanya. Tetapi Rut berkebangsaan Moab, berani  menerobos batas tradisi yang sempit. Ia tidak meninggalkan mertuanya hidup seorang diri, melainkan mengambil sebuah keputusan untuk ada bersama dengan mertuanya. Dan tentunya, apa yang dilakukan oleh Rut ini dilandasi oleh cinta yang sangat kuat. Cinta tanpa batas, menjadi simbol kekuatan bagi mereka untuk menemukan jalan hidup yang hakiki. Cinta seorang Rut, memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Kekuatan cinta menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan dari permasalahan namun menemukan jalan buntu. Cinta menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah dihadapi.
Rut telah mengajarkan kepada kita, tidak hanya menghormati orang tua tetapi juga mengajari, bagaimana bertahan di tengah badai, karena baginya pelangi kehidupan baru bisa muncul, saat setelah badai kehidupan itu dilalui dengan tabah. Tabah menerima seluruh tantangan hidup sebagai ujian dari Allah dan senantiasa membuka diri agar rahmat kasih dari Allah mengalir membasahi aliran derita itu. 
Menjadi janda seperti Rut dan janda umumnya dalam tradisi Yahudi, adalah mereka yang tak berdaya tanpa harapan, karena harapan satu-satunya adalah suami mereka. Para janda tergolong sebagai orang-orang miskin karena tidak berhak mendapat warisan. Seperti Rut, selain hidupnya menjadi janda, ia juga tidak mendapatkan warisan terutama warisan keturunan. Dalam kondisi seperti ini, Rut tetap memilih untuk ada bersama dengan mertuanya. Ia yakin bahwa dalam kehampaan dirinya, Allah terus memberikan perhatian kepada dia,  bahkan lewat keluarga Elimelekh, Rut mendapat seorang pendamping hidup, yakni Boas. Pertemuan mereka di ladang gandum, menjadi momentum bersejarah baginya karena cinta lama yang patah karena kematian suaminya bisa tumbuh kembali, saat Boas menanam benih cinta di ladang hatinya. Perkawinan mereka menjadi titik awal pengangkatan kembali martabatnya sebagai seorang janda yang selalu dipandang dengan sebelah mata. Bahkan dalam sejarah perjanjian lama dan dituturkan terus dalam lintas generasi bahwa Rut, yang menikah dengan Boas dan melahirkan Obed, masih dalam garis keturunan Daud dan Yesus, Sang Mesias.   
Kisah Rut merupakan kisah bermakna sepanjang sejarah kehidupan manusia. Kekuatan kisah Rut, tidak hanya terletak pada perkawinannya yang kedua tetapi lebih dari itu, Ia telah mengajarkan kepada kita tentang bagaimana menghargai orang tua. Orang tua yang dimaksudkan adalah tidak hanya mereka yang telah melahirkan kita dalam lingkup keluarga inti tetapi lebih dari itu, orang tua adalah mereka yang menjadi mertua. Selain  itu juga, kategori orang tua adalah mereka yang menjadi guru-guru kita  yang telah memberikan perhatian penuh pada kita dan menyiapkan masa depan kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, relasi dan persahabatan yang kita bangun dengan orang-orang yang kita anggap sebagai orang tua, terkadang menemukan banyak persoalan. Ataukah membangun relasi yang baik dengan orang-orang yang kita anggap sebagai orang tua, hanya demi mencapai tujuan tertentu. Apakah saya menghormati guru-guruku di sekolah, hanyalah sebuah kewajiban  agar demi memperoleh nilai yang baik? Ataukah saya menaati perintah kedua orang tuaku di rumah, hanya supaya  bisa mendapatkan uang jajan yang lebih?
Inilah rentetan kisah pengorbanan yang terkadang dilakukan tanpa dibarengi dengan cinta yang ikhlas.  Banyak orang tua yang terluka hatinya karena ulah kita. Karenanya, kita perlu belajar dari Rut dan membangun komitmen baru, untuk tulus dalam memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka.  Memang, banyak kesalahan telah kita lakukan terhadap mereka. Tetapi janganlah terlalu banyak meratapi kesalahan itu karena setiap kesalahan yang pernah kita lakukan adalah bagian dari proses pembentukan kepribadian. Jangan menyesali semua kesalahan tapi sesalilah jika semua itu tidak berdampak adanya perubahan. Selembut apapun angin berhembus, pasti pernah menebarkan debu. Seputih apapun baju, tak ada yang tanpa noda. Sebaik apapun manusia, pasti pernah khilaf dan melakukan kesalahan. Berilah maaf yang tulus pada mereka yang pernah kita lukai, terutama kedua orang tua kita.***(Valery Kopong) 

No comments: