Salah seorang tokoh yang diangkat dan diteladani dalam
bulan Kitab Suci adalah Rut. Rut sangat
menghargai mertuanya, merawat dan mendampingi Naomi walaupun suaminya sendiri
seorang lelaki Betlehem telah meninggal dunia. Apa yang dilakukan ini terkesan sederhana tetapi sulit dalam
pelaksanaan. Tindakan penghargaan terhadap mertua ini juga diinspirasi oleh
sepuluh perintah Allah, terutama perintah Allah ke 4, hormatilah ayah dan
ibumu, menghormati orang tua. Dalam proses menghormati orang tua, cinta dan
kasih menjadi landasan utama dan menjadi penggerak untuk merawat orang tua yang
telah uzur usianya dan membutuhkan perhatian dari orang lain. Apa yang
dilakukan oleh Rut terhadap mertuanya, menjadikan orang-orang sepuh untuk menemukan jati diri kembali sebagai
manusia, sekaligus menyadari bahwa manusia hidup bergantung pada orang lain,
terutama anak-anaknya.
Menelusuri liku-liku kehidupan Rut, seakan membentangkan
sebuah garis luka yang panjang, sebuah garis luka sejarah. Dalam luka yang menetap
di batin, Rut tetap tegar menghadapi sebuah kenyataan hidup yang pahit.
Perjalanan hidup Rut penuh dengan tetasan air mata. Tetapi air mata yang keluar
dan membasahi wajahnya ketika dirundung duka, adalah air mata keberpihakkan.
Rut berduka menatap sanak keluarganya yang terenggut nyawa karena derita
kelaparan berkepanjangan. Dalam duka pula, ia meratapi kepergian Mahlon
suaminya untuk selamanya.
Sepeninggal suaminya, bersama Naomi mertuanya, mereka memutuskan untuk kembali ke negeri Israel. Dalam tradisi Israel, ketika suami meninggal, berarti tidak ada ikatan lagi dengan keluarga, apalagi ikatan dengan mertuanya. Tetapi Rut berkebangsaan Moab, berani menerobos batas tradisi yang sempit. Ia tidak meninggalkan mertuanya hidup seorang diri, melainkan mengambil sebuah keputusan untuk ada bersama dengan mertuanya. Dan tentunya, apa yang dilakukan oleh Rut ini dilandasi oleh cinta yang sangat kuat. Cinta tanpa batas, menjadi simbol kekuatan bagi mereka untuk menemukan jalan hidup yang hakiki. Cinta seorang Rut, memiliki daya dobrak terutama ketika berhadapan dengan kemelut batin. Kekuatan cinta menjadi saluran terakhir ketika segala daya upaya meloloskan dari permasalahan namun menemukan jalan buntu. Cinta menjadi “rahim khatulistiwa” yang sanggup menyelimuti segala persoalan yang tengah dihadapi.
Rut telah mengajarkan kepada kita, tidak hanya
menghormati orang tua tetapi juga mengajari, bagaimana bertahan di tengah
badai, karena baginya pelangi kehidupan baru bisa muncul, saat setelah badai
kehidupan itu dilalui dengan tabah. Tabah menerima seluruh tantangan hidup
sebagai ujian dari Allah dan senantiasa membuka diri agar rahmat kasih dari
Allah mengalir membasahi aliran derita itu.
Menjadi janda seperti Rut dan janda umumnya dalam tradisi
Yahudi, adalah mereka yang tak berdaya tanpa harapan, karena harapan
satu-satunya adalah suami mereka. Para janda tergolong sebagai orang-orang
miskin karena tidak berhak mendapat warisan. Seperti Rut, selain hidupnya
menjadi janda, ia juga tidak mendapatkan warisan terutama warisan keturunan.
Dalam kondisi seperti ini, Rut tetap memilih untuk ada bersama dengan
mertuanya. Ia yakin bahwa dalam kehampaan dirinya, Allah terus memberikan
perhatian kepada dia, bahkan lewat
keluarga Elimelekh, Rut mendapat seorang pendamping hidup, yakni Boas.
Pertemuan mereka di ladang gandum, menjadi momentum bersejarah baginya karena
cinta lama yang patah karena kematian suaminya bisa tumbuh kembali, saat Boas
menanam benih cinta di ladang hatinya. Perkawinan mereka menjadi titik awal
pengangkatan kembali martabatnya sebagai seorang janda yang selalu dipandang
dengan sebelah mata. Bahkan dalam sejarah perjanjian lama dan dituturkan terus
dalam lintas generasi bahwa Rut, yang menikah dengan Boas dan melahirkan Obed,
masih dalam garis keturunan Daud dan Yesus, Sang Mesias.
Kisah Rut merupakan kisah bermakna sepanjang sejarah
kehidupan manusia. Kekuatan kisah Rut, tidak hanya terletak pada perkawinannya
yang kedua tetapi lebih dari itu, Ia telah mengajarkan kepada kita tentang
bagaimana menghargai orang tua. Orang tua yang dimaksudkan adalah tidak hanya
mereka yang telah melahirkan kita dalam lingkup keluarga inti tetapi lebih dari
itu, orang tua adalah mereka yang menjadi mertua. Selain itu juga, kategori orang tua adalah mereka
yang menjadi guru-guru kita yang telah
memberikan perhatian penuh pada kita dan menyiapkan masa depan kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, relasi dan persahabatan yang
kita bangun dengan orang-orang yang kita anggap sebagai orang tua, terkadang
menemukan banyak persoalan. Ataukah membangun relasi yang baik dengan
orang-orang yang kita anggap sebagai orang tua, hanya demi mencapai tujuan
tertentu. Apakah saya menghormati guru-guruku di sekolah, hanyalah sebuah
kewajiban agar demi memperoleh nilai
yang baik? Ataukah saya menaati perintah kedua orang tuaku di rumah, hanya
supaya bisa mendapatkan uang jajan yang
lebih?
Inilah rentetan kisah pengorbanan yang terkadang
dilakukan tanpa dibarengi dengan cinta yang ikhlas. Banyak orang tua yang terluka hatinya karena
ulah kita. Karenanya, kita perlu belajar dari Rut dan membangun komitmen baru,
untuk tulus dalam memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka. Memang, banyak kesalahan telah kita lakukan
terhadap mereka. Tetapi janganlah terlalu banyak meratapi kesalahan itu karena
setiap kesalahan yang pernah kita lakukan adalah bagian dari proses pembentukan
kepribadian. Jangan menyesali semua kesalahan tapi sesalilah jika semua itu
tidak berdampak adanya perubahan. Selembut apapun angin berhembus, pasti pernah
menebarkan debu. Seputih apapun baju, tak ada yang tanpa noda. Sebaik apapun
manusia, pasti pernah khilaf dan melakukan kesalahan. Berilah maaf yang tulus
pada mereka yang pernah kita lukai, terutama kedua orang tua kita.***(Valery
Kopong)
0 komentar:
Post a Comment