Citra DPR masih terpuruk. Dari
riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terungkap bahwa mayoritas
orangtua (56,43 persen) tidak ingin anak-anaknya kelak menjadi anggota
legislator di Senayan. Berdasarkan hasil survey, hanya 37,62 persen orangtua
yang berkeinginan anaknya menjadi anggota DPR. Sebanyak 5,95 persen sisanya
menyatakan tidak tahu atau tidak dijawab. “Hasil ini faktual dan aktual. Yakni,
menjadi anggota DPR dengan beragam fasilitas dan gaji besar bukan lagi impian para
orangtua untuk anak-anak mereka,” terang peneliti LSI Rully Akbar saat
memaparkan hasil survey, Minggu (18/11).(Radar
Banten 19/11/2012)
Mengapa
jabatan dan profesi idaman yang menjanjikan gelimang uang dan harta tetapi
justeru tidak diminati oleh publik? Keluhan ini memiliki dasar yang kuat dengan
melihat fakta yang dibeberkan berkaitan dengan karakter dan perilaku
anggota-anggota dewan yang cenderung manipulatif. Persoalan mempermainkan
anggaran seperti yang disinyalir,
menjadi sebuah kunci melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap
anggota-anggota DPR/DPRD. Mengapa bisa terjadi manipulasi proyek yang lebih
banyak mengeruk keuntungan pribadi ataupun kelompok dan meniadakan aspek
kesejahteraan masyarakat? Tulisan sederhana ini hanya mau menyoroti tugas dan wewenang DPRD dan permasalahan umum
yang
terjadi dan menjadi keluhan publik.
Memang, tidak semua anggota DPR
maupun DPRD yang terlibat dalam mega proyek penyelewengan. Tetapi bisa dihitung
dengan jari, berapa anggota dewan terhormat yang masih memegang komitmen dalam
memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Hal ini juga menjadi
indikasi bahwa minimnya anggota dewan yang bersih, berarti tidak ada lagi
benteng kekuatan yang mengontrol seluruh program, penetapan anggaran dan pelaksanaan proyek di lapangan.
Apa
yang menjadi komitmen anggota dewan saat mempertaruhkan diri dan diloloskan
dalam verifikasi pemilihan anggota legislatif? Setiap kali berkampanye, satu
hal yang sering didengungkan adalah mau menjadi anggota dewan dan pelayan
masyarakat. “Jika saya dipilih, saya akan memberikan perhatian terhadap
kesejahteraan masyarakat.” Dalam konsep otonomi daerah, “roh” yang dapat
menggerakkan seluruh roda pemerintahan adalah masyarakat. Mengapa masyarakat?
Masyarakat sebagai pembayar pajak utama dan hal ini mensuport dana ke
pemerintah dan dikelola untuk dipergunakan demi kepentingan bersama. Dalam proses pengelolaan anggaran oleh
pemerintah dan tentunya mendapat persetujuan anggota dewan, mestinya proyek ini
berjalan secara mulus karena mendapat pengontrolan secara ketat. Tetapi menjadi
pertanyaan di sini, seberapa ketat fungsi pengontrolan yang diperlihatkan oleh
anggota dewan?
Peranan
DPRD dalam UU 22/1999, yakni sebagai badan legislatif di daerah, DPRD mempunyai
kekuasaan untuk mensahkan Perda (Peraturan Daerah), menetapkan APBD bersama
Kepala Daerah dan melakukan fungsi
pengawasan. Kedudukan DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah sesuai dengan ps.
14 UU 22/1999 ayat (1) dengan suatu tujuan luhur yakni bisa terjadi kontrol
yang baik kepada pemerintah. Mengambil jarak pisah yang tegas, memberi peluang
bagi anggota dewan (DPRD) untuk memberikan kritik yang konstruktif bila terjadi
penyelewengan perda dan penyalagunaan anggaran yang menjadi lumbung kesejahteraan
masyarakat.
Seberapa
jauh fungsi kontrol yang diperlihatkan oleh anggota dewan? Fungsi kontrol yang
baik harus memisahkan secara tegas aspek relasi ataupun system kekerabatan lain
yang memungkinkan melemahnya kontrol terhadap pemerintah. Beberapa fakta
terjadi belakangan ini, memperlihatkan fungsi control dewan yang terkesan
kongkalikong. Artinya ada persekongkolan antara pemerintah daerah dan DPRD,
baik itu dalam penetapan anggaran maupun pelaksanaan di lapangan. DPRD
sepertinya manggut saja ketika terjadi
pertanggung jawaban pemerintah daerah. Kelemahan dan kekurangan pemerintah
terkadang dilihat sebagai hal yang manusiawi dan tidak perlu disoroti secara
terbuka.
Undang-undang di atas memberikan ruang sekaligus amanat untuk
membentengi seluruh alokasi dana dan pengontrolan pelaksanaan di lapangan
secara maksimal. Melalui undang-undang ini, DPRD mestinya menyadari diri
sebagai bagian penting dalam menentukan kemajuan dan kemunduran daerahnya
masing-masing. Dalam situasi yang dilematis ini, DPRD mesti membangun dan
menegakkan kembali komitmen pada saat dipilih oleh rakyat menjadi anggota
dewan. “Di saku baju para dewan,” rakyat menitipkan pesan luhur, yakni sebagai
“abdi masyarakat.” Pola pengabdian tentunya dengan cara yang berbeda tetapi yang
terpenting adalah bagaimana membangun keberpihakan kepada rakyat sebagai
pemberi suara dalam memuluskan perjalanan anggota dewan untuk menempati kursi
terhormat.
Anggota
DPRD harus melihat kondisi masyarakat yang sederhana dan jauh dari sentuhan kemewahan.
Dengan melihat kondisi rakyat seperti ini maka bisa membuka ruang keberpihakkan
kembali dan pemurnian komitmen diasah agar tidak terjadi penyelewengan yang
serius. Rasa pesimisme yang datang dari nubari orangtua,
rupanya hanyalah sesaat saja. Realita membuktikan bahwa betapa banyak
calon-calon anggota legislatif
bermunculan, bak cendawan di musim hujan. Mereka (para caleg) sedang
bergeliat mencari dan terus memperlihatkan wajah sebelum musim kompetisi tiba
di saat pemilu nanti. Kiranya suara rakyat yang diperoleh menjadi sumbangan
berharga untuk memuluskan jalan menuju
kursi dewan dan pada waktunya rakyat akan menagih janji yang pernah dilontarkan
saat menjelang pemilu.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment