Friday, February 21, 2014

CITRA ANGGOTA DEWAN


Citra DPR masih terpuruk. Dari riset terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) terungkap bahwa mayoritas orangtua (56,43 persen) tidak ingin anak-anaknya kelak menjadi anggota legislator di Senayan. Berdasarkan hasil survey, hanya 37,62 persen orangtua yang berkeinginan anaknya menjadi anggota DPR. Sebanyak 5,95 persen sisanya menyatakan tidak tahu atau tidak dijawab. “Hasil ini faktual dan aktual. Yakni, menjadi anggota DPR dengan beragam fasilitas dan gaji besar bukan lagi impian para orangtua untuk anak-anak mereka,” terang peneliti LSI Rully Akbar saat memaparkan hasil survey, Minggu (18/11).(Radar Banten 19/11/2012)
                Mengapa jabatan dan profesi idaman yang menjanjikan gelimang uang dan harta tetapi justeru tidak diminati oleh publik? Keluhan ini memiliki dasar yang kuat dengan melihat fakta yang dibeberkan berkaitan dengan karakter dan perilaku anggota-anggota dewan yang cenderung manipulatif. Persoalan mempermainkan anggaran seperti yang disinyalir,  menjadi sebuah kunci melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap anggota-anggota DPR/DPRD. Mengapa bisa terjadi manipulasi proyek yang lebih banyak mengeruk keuntungan pribadi ataupun kelompok dan meniadakan aspek kesejahteraan masyarakat? Tulisan sederhana ini hanya mau menyoroti  tugas dan wewenang DPRD dan permasalahan umum yang
terjadi dan menjadi keluhan publik.


Tugasku, kepercayaan masyarakat
                Memang, tidak semua anggota DPR maupun DPRD yang terlibat dalam mega proyek penyelewengan. Tetapi bisa dihitung dengan jari, berapa anggota dewan terhormat yang masih memegang komitmen dalam memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. Hal ini juga menjadi indikasi bahwa minimnya anggota dewan yang bersih, berarti tidak ada lagi benteng kekuatan yang mengontrol seluruh program, penetapan anggaran dan  pelaksanaan proyek di lapangan.
                Apa yang menjadi komitmen anggota dewan saat mempertaruhkan diri dan diloloskan dalam verifikasi pemilihan anggota legislatif? Setiap kali berkampanye, satu hal yang sering didengungkan adalah mau menjadi anggota dewan dan pelayan masyarakat. “Jika saya dipilih, saya akan memberikan perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat.” Dalam konsep otonomi daerah, “roh” yang dapat menggerakkan seluruh roda pemerintahan adalah masyarakat. Mengapa masyarakat? Masyarakat sebagai pembayar pajak utama dan hal ini mensuport dana ke pemerintah dan dikelola untuk dipergunakan demi kepentingan bersama.  Dalam proses pengelolaan anggaran oleh pemerintah dan tentunya mendapat persetujuan anggota dewan, mestinya proyek ini berjalan secara mulus karena mendapat pengontrolan secara ketat. Tetapi menjadi pertanyaan di sini, seberapa ketat fungsi pengontrolan yang diperlihatkan oleh anggota dewan?       
                Peranan DPRD dalam UU 22/1999, yakni sebagai badan legislatif di daerah, DPRD mempunyai kekuasaan untuk mensahkan Perda (Peraturan Daerah), menetapkan APBD bersama Kepala  Daerah dan melakukan fungsi pengawasan. Kedudukan DPRD dipisahkan dari pemerintah daerah sesuai dengan ps. 14 UU 22/1999 ayat (1) dengan suatu tujuan luhur yakni bisa terjadi kontrol yang baik kepada pemerintah. Mengambil jarak pisah yang tegas, memberi peluang bagi anggota dewan (DPRD) untuk memberikan kritik yang konstruktif bila terjadi penyelewengan perda dan penyalagunaan anggaran yang menjadi lumbung kesejahteraan masyarakat.
                Seberapa jauh fungsi kontrol yang diperlihatkan oleh anggota dewan? Fungsi kontrol yang baik harus memisahkan secara tegas aspek relasi ataupun system kekerabatan lain yang memungkinkan melemahnya kontrol terhadap pemerintah. Beberapa fakta terjadi belakangan ini, memperlihatkan fungsi control dewan yang terkesan kongkalikong. Artinya ada persekongkolan antara pemerintah daerah dan DPRD, baik itu dalam penetapan anggaran maupun pelaksanaan di lapangan. DPRD sepertinya  manggut saja ketika terjadi pertanggung jawaban pemerintah daerah. Kelemahan dan kekurangan pemerintah terkadang dilihat sebagai hal yang manusiawi dan tidak perlu disoroti secara terbuka.      
                 Undang-undang di atas  memberikan ruang sekaligus amanat untuk membentengi seluruh alokasi dana dan pengontrolan pelaksanaan di lapangan secara maksimal. Melalui undang-undang ini, DPRD mestinya menyadari diri sebagai bagian penting dalam menentukan kemajuan dan kemunduran daerahnya masing-masing. Dalam situasi yang dilematis ini, DPRD mesti membangun dan menegakkan kembali komitmen pada saat dipilih oleh rakyat menjadi anggota dewan. “Di saku baju para dewan,” rakyat menitipkan pesan luhur, yakni sebagai “abdi masyarakat.” Pola pengabdian tentunya dengan cara yang berbeda tetapi yang terpenting adalah bagaimana membangun keberpihakan kepada rakyat sebagai pemberi suara dalam memuluskan perjalanan anggota dewan untuk menempati kursi terhormat.   
                Anggota DPRD harus melihat kondisi masyarakat yang sederhana dan jauh dari sentuhan kemewahan. Dengan melihat kondisi rakyat seperti ini maka bisa membuka ruang keberpihakkan kembali dan pemurnian komitmen diasah agar tidak terjadi penyelewengan yang serius.  Rasa  pesimisme yang datang dari nubari orangtua, rupanya hanyalah sesaat saja. Realita membuktikan bahwa betapa banyak calon-calon anggota legislatif  bermunculan, bak cendawan di musim hujan. Mereka (para caleg) sedang bergeliat mencari dan terus memperlihatkan wajah sebelum musim kompetisi tiba di saat pemilu nanti. Kiranya suara rakyat yang diperoleh menjadi sumbangan berharga untuk  memuluskan jalan menuju kursi dewan dan pada waktunya rakyat akan menagih janji yang pernah dilontarkan saat menjelang pemilu.***(Valery Kopong)


No comments: