Sepanjang sejarah kehidupan
manusia, setiap orang mengakui betapa besarnya peranan keluarga untuk
melahirkan, membesarkan dan mendidik seorang anak manusia. Di tangan orang tua,
seorang anak bisa dididik seturut karakter dasar yang dimiliki oleh anggota
keluarga itu. Karena itu perilaku yang ditampilkan oleh seorang anak,
sesungguhnya sebagian besar memperlihatkan ciri bawaan dari keluarga yang telah
membentuknya. Jika dalam mendidik anak-anaknya, orang tua mendidik dengan hati dan
berperilaku santun maka akan melahirkan anak yang juga berperilaku santun dan
selalu berempati terhadap keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi
apabila sebaliknya, dalam mendidik, pola yang diterapkan adalah kekerasan dan
orang tua yang sangat otoriter maka akan melahirkan anak-anak dengan perangai
yang keras.
Pola didik dan bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan harus ditempuh
dengan cara yang lebih bersahabat. Pola didik seperti ini sangat diharapkan
oleh Gereja karena akan melahirkan generasi yang baik. Gereja sampai saat ini
melihat keluarga sebagai basis utama untuk tumbuh-kembangnya Gereja. Kalau
keluarga-keluarga Katolik berkembang secara baik maka secara langsung akan
menyokong kehidupan Gereja universal.
Karena itu keluarga dilihat sebagai “tempat persemaian” (seminarium) untuk tumbuh-kembangnya
“bibit-bibit unggul” yang bisa menjalani roda kehidupan Gereja pada setiap
generasi. Tetapi dalam proses mendidik anak-anak dalam keluarga, kita terbentur
pada pertanyaan ini. Apakah keluarga-keluarga
Katolik semuanya berhasil mendidik anak-anaknya? Banyak keluarga Katolik, yang kedua orang tua
mereka mapan secara ekonomis dan berhasil dalam karir tetapi gagal dalam
membina anak-anaknya. Tetapi kebanyakan anak-anak yang gagal dan bisa mengolah diri
secara baik bisa kembali ke jalan yang benar bahkan bisa menanggapi panggilan
Allah untuk menjadi pengikut Tuhan.
Inspirasi kehidupan Santo Fransiskus
Asisi, mendorong Isidorus Akbar untuk
terus bergelut dengan dirinya. Menurutnya, Santo Fransiskus Asisi itu hebat
karena melepaskan kekayaan duniawi dan mengikuti Kristus secara total. Proses
melepaskan kekayaan duniawi tentunya bukanlah hal mudah tetapi karena dorongan
kehendak Allah yang kuat maka keputusan radikal itu diambil juga demi melayani
umat manusia.
Selama menjalani hari-hari hidupnya
di penjara, kekuatan yang diperoleh Isidorus adalah ungkapan kasih sayang
keluarga. Hampir setiap hari mereka selalu menjenguk dan memberikan perhatian
padanya. Perhatian keluarga yang penuh kasih membuat dia lupa akan peristiwa
yang melukai dia dan menyeretnya ke penjara. Di sini, keluarga sangat memahami
arti keterpurukan hidup yang dirasakan oleh Isidorus tetapi sekaligus
membesarkan hatinya untuk menatap masa depan yang lebih baik. Ia juga selalu bergelut dengan Kitab Suci
untuk mengisi hari-hari hidupnya di penjara. Kekuatan utama datang dari Sang
Sabda (Yesus) dan dari sinilah ia melihat betapa Yesus lebih menderita
ketimbang dirinya.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Yesus Kristus
Setiap keluarga Katolik harus
mencontohi kehidupan keluarga kudus Nazareth. Keluarga inilah yang telah
melahirkan dan membesarkan Yesus dengan sikap yang rendah hati. Kerendahan hati
menjadi cerminan diri Bunda Maria dan Santo Yosef. Ketika Bunda Maria menerima
kabar dari Malaikat Gabriel, ia selalu mempertontonkan aspek kerendahan hati,
“Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Di sinilah Maria
bersimpuh di hadapan Allah dan membiarkan diri dalam terang kerendahan hati,
walaupun ia ditawari sebagai Ibu Yesus.
Tawaran keselamatan Allah kepada
manusia bisa terlaksana berkat penerimaan tawaran itu oleh Maria. Dengan
kerendahan hati, Maria menyiapkan rahimnya untuk mengandung dan melahirkan
seorang Putera Allah. Di sini, Maria tidak hanya mampu menerima pesan dari
Malaikat Gabriel tetapi juga berani
menerjemahkan pesan keselamatan itu,
Kita juga belajar kerendahan hati
dari Yohanes Pembaptis. Kita tahu tentang tujuan kedatangan Yohanes Pembaptis.
Ia datang mendahului Yesus agar mempersiapkan hati umat manusia. Yohanes
Pembaptis tampil dengan seruannya di padang gurun, “luruskanlah jalan bagi
Tuhan.” Kehadiran Yohanes Pembaptis menjadi penting saat ia melakukan persiapan
segala hal yang perlu bagi kedatangan Mesias. Tetapi orang-orang mengetahui
dirinya mengira bahwa Yohanes Pembaptislah yang menjadi Mesias yang dinantikan
itu. Yohanes Pembaptis dalam kerendahan hatinya mengatakan bahwa dirinya
bukanlah Mesias yang sedang dinantikan. Orang yang akan datang adalah Dia yang
lebih berkuasa, bahkan membuka tali kasutnya pun ia merasa tidak layak.
Apa yang mau kita belajar dari
Yohanes Pembaptis? Pertama, sikap
rendah hati untuk mempersiapkan kedatangan seorang Mesias. Dalam mempersiapkan
kedatangan Mesias, Yohanes Pembaptis tidak pernah lelah berkorban untuk menyerukan pertobatan manusia. Seruan
Yohanes Pembaptis menjadi seruan profetis (seruan kenabian) yang mau meluruskan
hati manusia yang bengkok. Kedua,
Yohanes Pembaptis tahu diri dan memahami secara benar mengenai arti perutusan
dirinya. Di sini, Yohanes Pembaptis mengedepankan pola kepemimpinan
inkarnatoris, Allah yang menjelma menjadi manusia.
Bahwa Allah yang transenden (jauh) mendekatkan diri dalam diri Yesus
Kristus yang berani mengambil rupa sebagai hamba Allah. Nilai kerendahan hati
dan pola kepemimpinan ini mestinya
ditiru dalam setiap keluarga Katolik. Kita mulai menanamkan pola kepemimpinan
mulai dalam keluarga dengan cara memberi contoh nyata dan bukannya perintah
yang diterapkan. Anak-anak lebih cenderung melihat keteladanan hidup orang
tuanya ketimbang apa yang dibicarakan oleh orang tuanya.
Belajar dari Yohanes Pembaptis berarti belajar untuk menerima diri dan
tanggung jawab sebagai orang yang diutus. Sebagai seorang pengikut Kristus maka
perlu kita berusaha untuk memperkenalkan Kristus dan mewartakan ajaran-Nya
kepada setiap orang yang kita jumpai. Mewartakan kebaikan kepada setiap orang
yang kita jumpai berarti kita mewartakan cinta kasih seperti yang telah
dipesankan oleh Kristus. Tentang kerendahan hati dan pola kepemimpinan ini bisa
kita belajar dari filsuf Albert Camus yang mengatakan bahwa: “Jangan berjalan di depan aku karena aku
bukan pengikutmu. Jangan berjalan di belakang aku karena aku bukan pemimpinmu.
Berjalanlah di samping kiri dan kananku karena kamu adalah sahabat-sahabatku.” Mari,
kita membangun pola kepemimpinan yang rendah hati, mulai dari keluarga kita masing-masing. Semoga!!
Tangerang, 7 Mei
2016
0 komentar:
Post a Comment