Thursday, May 12, 2016

BELAJAR BERENDAH HATI



Sepanjang  sejarah kehidupan manusia, setiap orang mengakui betapa besarnya peranan keluarga untuk melahirkan, membesarkan dan mendidik seorang anak manusia. Di tangan orang tua, seorang anak bisa dididik seturut karakter dasar yang dimiliki oleh anggota keluarga itu. Karena itu perilaku yang ditampilkan oleh seorang anak, sesungguhnya sebagian besar memperlihatkan ciri bawaan dari keluarga yang telah membentuknya. Jika dalam mendidik anak-anaknya, orang tua mendidik dengan hati dan berperilaku santun maka akan melahirkan anak yang juga berperilaku santun dan selalu berempati terhadap keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Tetapi apabila sebaliknya, dalam mendidik, pola yang diterapkan adalah kekerasan dan orang tua yang sangat otoriter maka akan melahirkan anak-anak dengan perangai yang keras.
Pola didik dan bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan harus ditempuh dengan cara yang lebih bersahabat. Pola didik seperti ini sangat diharapkan oleh Gereja karena akan melahirkan generasi yang baik. Gereja sampai saat ini melihat keluarga sebagai basis utama untuk tumbuh-kembangnya Gereja. Kalau keluarga-keluarga Katolik berkembang secara baik maka secara langsung akan menyokong kehidupan  Gereja universal. Karena itu keluarga dilihat sebagai “tempat persemaian” (seminarium) untuk tumbuh-kembangnya “bibit-bibit unggul” yang bisa menjalani roda kehidupan Gereja pada setiap generasi. Tetapi dalam proses mendidik anak-anak dalam keluarga, kita terbentur  pada pertanyaan ini. Apakah keluarga-keluarga Katolik semuanya berhasil mendidik anak-anaknya?  Banyak keluarga Katolik, yang kedua orang tua mereka mapan secara ekonomis dan berhasil dalam karir tetapi gagal dalam membina anak-anaknya. Tetapi kebanyakan anak-anak yang gagal dan bisa mengolah diri secara baik bisa kembali ke jalan yang benar bahkan bisa menanggapi panggilan Allah untuk menjadi pengikut Tuhan.   
Ada satu kisah nyata tentang seorang anak bernama Isidorus Akbar. Ia seorang remaja Katolik. Setelah lulus SMA, ia bekerja sebagai penjaga warnet (warung internet). Beberapa tahun bekerja di warnet   sebagai operator, ia dituduh menggelapkan sejumlah uang oleh pemilik warnet. Ia diminta untuk menanggung kerugian yang cukup besar namun tidak dituruti olehnya. Karena itu pemilik warnet akhirnya menjebloskannya ke penjara dan menjalani hukuman selama tiga tahun. Tahun yang lalu ia dinyatakan bebas dan untuk selanjutnya ia memutuskan diri untuk menjadi seorang bruder dari ordo Fransiskan. Keputusan ini diambil karena selama dalam penjara ia membaca dan merenungkan kisah hidup Santo Fransiskus Asisi. 
            Inspirasi kehidupan Santo Fransiskus Asisi, mendorong  Isidorus Akbar untuk terus bergelut dengan dirinya. Menurutnya, Santo Fransiskus Asisi itu hebat karena melepaskan kekayaan duniawi dan mengikuti Kristus secara total. Proses melepaskan kekayaan duniawi tentunya bukanlah hal mudah tetapi karena dorongan kehendak Allah yang kuat maka keputusan radikal itu diambil juga demi melayani umat manusia.

            Selama menjalani hari-hari hidupnya di penjara, kekuatan yang diperoleh Isidorus adalah ungkapan kasih sayang keluarga. Hampir setiap hari mereka selalu menjenguk dan memberikan perhatian padanya. Perhatian keluarga yang penuh kasih membuat dia lupa akan peristiwa yang melukai dia dan menyeretnya ke penjara. Di sini, keluarga sangat memahami arti keterpurukan hidup yang dirasakan oleh Isidorus tetapi sekaligus membesarkan hatinya untuk menatap masa depan yang lebih baik.  Ia juga selalu bergelut dengan Kitab Suci untuk mengisi hari-hari hidupnya di penjara. Kekuatan utama datang dari Sang Sabda (Yesus) dan dari sinilah ia melihat betapa Yesus lebih menderita ketimbang dirinya.

Saudara-saudari yang terkasih dalam Yesus Kristus
            Setiap keluarga Katolik harus mencontohi kehidupan keluarga kudus Nazareth. Keluarga inilah yang telah melahirkan dan membesarkan Yesus dengan sikap yang rendah hati. Kerendahan hati menjadi cerminan diri Bunda Maria dan Santo Yosef. Ketika Bunda Maria menerima kabar dari Malaikat Gabriel, ia selalu mempertontonkan aspek kerendahan hati, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Di sinilah Maria bersimpuh di hadapan Allah dan membiarkan diri dalam terang kerendahan hati, walaupun ia ditawari sebagai Ibu Yesus. 
            Tawaran keselamatan Allah kepada manusia bisa terlaksana berkat penerimaan tawaran itu oleh Maria. Dengan kerendahan hati, Maria menyiapkan rahimnya untuk mengandung dan melahirkan seorang Putera Allah. Di sini, Maria tidak hanya mampu menerima pesan dari Malaikat Gabriel tetapi juga berani  menerjemahkan pesan keselamatan itu,
            Kita juga belajar kerendahan hati dari Yohanes Pembaptis. Kita tahu tentang tujuan kedatangan Yohanes Pembaptis. Ia datang mendahului Yesus agar mempersiapkan hati umat manusia. Yohanes Pembaptis tampil dengan seruannya di padang gurun, “luruskanlah jalan bagi Tuhan.” Kehadiran Yohanes Pembaptis menjadi penting saat ia melakukan persiapan segala hal yang perlu bagi kedatangan Mesias. Tetapi orang-orang mengetahui dirinya mengira bahwa Yohanes Pembaptislah yang menjadi Mesias yang dinantikan itu. Yohanes Pembaptis dalam kerendahan hatinya mengatakan bahwa dirinya bukanlah Mesias yang sedang dinantikan. Orang yang akan datang adalah Dia yang lebih berkuasa, bahkan membuka tali kasutnya pun ia merasa tidak layak.
            Apa yang mau kita belajar dari Yohanes Pembaptis? Pertama, sikap rendah hati untuk mempersiapkan kedatangan seorang Mesias. Dalam mempersiapkan kedatangan Mesias, Yohanes Pembaptis tidak pernah lelah berkorban  untuk menyerukan pertobatan manusia. Seruan Yohanes Pembaptis menjadi seruan profetis (seruan kenabian) yang mau meluruskan hati manusia yang bengkok. Kedua, Yohanes Pembaptis tahu diri dan memahami secara benar mengenai arti perutusan dirinya. Di sini, Yohanes Pembaptis mengedepankan pola kepemimpinan inkarnatoris, Allah yang menjelma menjadi manusia.
Bahwa Allah yang transenden (jauh) mendekatkan diri dalam diri Yesus Kristus yang berani mengambil rupa sebagai hamba Allah. Nilai kerendahan hati dan  pola kepemimpinan ini mestinya ditiru dalam setiap keluarga Katolik. Kita mulai menanamkan pola kepemimpinan mulai dalam keluarga dengan cara memberi contoh nyata dan bukannya perintah yang diterapkan. Anak-anak lebih cenderung melihat keteladanan hidup orang tuanya ketimbang apa yang dibicarakan oleh orang tuanya.       
Belajar dari Yohanes Pembaptis berarti belajar untuk menerima diri dan tanggung jawab sebagai orang yang diutus. Sebagai seorang pengikut Kristus maka perlu kita berusaha untuk memperkenalkan Kristus dan mewartakan ajaran-Nya kepada setiap orang yang kita jumpai. Mewartakan kebaikan kepada setiap orang yang kita jumpai berarti kita mewartakan cinta kasih seperti yang telah dipesankan oleh Kristus. Tentang kerendahan hati dan pola kepemimpinan ini bisa kita belajar dari filsuf Albert Camus yang mengatakan bahwa: “Jangan berjalan di depan aku karena aku bukan pengikutmu. Jangan berjalan di belakang aku karena aku bukan pemimpinmu. Berjalanlah di samping kiri dan kananku karena kamu adalah sahabat-sahabatku.” Mari, kita membangun pola kepemimpinan yang rendah hati, mulai dari keluarga  kita masing-masing. Semoga!!


Tangerang, 7  Mei  2016


No comments: