Kalender yang lusuh itu masih
tergantung pada dinding rumahku. Tetapi pada tepian tahun 2016 ini, kalender
itu sepertinya harus berakhir seiring
berlalunya waktu. Waktu terus berputar dan kita pun turut terlibat dalam putaran
waktu. Dalam detak waktu yang berjalan tanpa kendali manusia, menimbulkan
pertanyaan bagi kita. Sudah berapa langkah kaki ini memberikan bekas pada tanah
yang dipajaki dan berapa kali tanganku ini berbuat kebaikan di bawah kendali
waktu? Di bawah terik matahari, kita terus bekerja, entah sampai berapa lama.
Untuk apa kita bekerja? Atau meminjam bahasa biblis Sang Pengkhotbah, untuk apa
kita harus berjerih lelah di bawah terik matahari? Sungai-sungai terus mengalir
ke laut tetapi laut tidak juga menjadi penuh.
Di akhir tahun ini kita perlu melepaskannya dengan pelbagai ragam
perasaan yang berbeda antara satu dengan
yang lain. Ada yang enggan melepaskan tahun yang lama karena baginya tahun ini
adalah tahun keberuntungan dan memberikan harapan yang maksimal. Tetapi tidak
terlepas kemungkinan bahwa banyak di antara kita yang ingin segera melepaskan
tahun ini karena kurang beruntung dan dengan suatu harapan penuh bahwa di tahun
mendatang, 2017 nanti bisa mendapatkan peluang yang baik dan bisa menjalani
hidup dengan lebih beruntung.
Tetapi apakah kita mengadu
keberuntungan kita atas dasar prediksi pribadi dan tanpa melibatkan Tuhan? Terkadang
kita merasa jauh dari bimbingan Tuhan ketika kita berada dalam sebuah pusaran
persoalan. Tetapi mestinya dalam untung maupun dalam malang, Tuhan yang kita
imani mendapat tempat utama dan menjadi “motor primum” (penggerak utama) dalam
setiap kegiatan kita. Pada “rel waktu” ini kita terus mengharap agar Tuhan
selalu berada di samping kita dan menemani kita dalam bergumul dengan setiap
persoalan yang terjadi. Mampukah kita merasakan kehadiran Tuhan terutama pada
titik peralihan tahun ini?*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment