Monday, May 15, 2017

Puntung Rokok Sang Diktator

Perhelatan demokrasi pada Pilkada DKI Jakarta pada putaran kedua, semakin memperlihatkan cara-cara yang memuakkan dari pendukung Paslon tertentu. Cara-cara kampanye yang tidak demokratis ini dilansir oleh salah satu stasiun televisi swasta dan mengemas dalam acara talkshow dengan judul: “Cara Keji Kampanye Pada Pilkada DKI Jakarta.” Mengapa publik melihat bahwa cara kampanye saat ini merupakan cara keji? Beberapa kasus  terutama dalam pemasangan spanduk yang bernada provokatif menimbulkan keresahan di masyarakat. Agama seakan menjadi isu murahan karena agama itu sendiri dipolitisasi demi mencapai target politik, yakni kemenangan. Kampanye “keji” ini memperlihatkan bahwa strategi kampanye yang dipakai oleh salah satu Paslon dirasa tidak mempan untuk mendongkrak  popularitas Paslon tersebut.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh para pendukung Anies-Sandi pada hari-hari terakhir ini memperlihatkan kemunduran dalam berdemokrasi. Berdemokrasi itu sendiri memperlihatkan upaya yang sehat dalam meyakinkan Paslon yang diusung dan membiarkan masyarakat  secara bebas untuk menentukan pilihan pada saat pemungutan suara nanti. Tetapi kenyataan dalam berkampanye, isu mengenai program yang mestinya digadang sebagai “komoditi politik” dalam meyakinkan publik, ternyata kurang diperhatikan atau bahkan program yang ditawarkan menjadi bahan tertawaan karena dirasa kurang logis. Misalnya menyangkut program perumahan, masyarakat diberi kemudahan untuk mengkredit rumah dengan  DP 0  %. Program ini dinilai tidak wajar dan pada beberapa waktu lalu, Gubernur Bank Indonesia angkat bicara soal DP 0 % yang secara prosedural  menyalahi aturan yang sudah ditetapkan. Ada beberapa program lain yang ditawarkan oleh Anies-Sandi, yakni menolak reklamasi. Tentang reklamasi, pada beberapa minggu lalu, ada dua pulau dihentikan setelah adanya putusan dari PTUN. Itu berarti bahwa program penolakan reklamasi yang selama ini didegungkan menjadi sesuatu yang absurd.
Melihat program-program yang ditawarkan Anies-Sandi jauh dari konsumsi politik masyarakat maka pasangan ini gencar mencari “move politik” lain dan bahkan mencari kedekatan dengan keluarga penguasa Orde Baru. Apa yang dicari Anies-Sandi saat berkolaborasi dengan keluarga Cendana? Kalau mencari dukungan politik, sepertinya keluarga Cendana kurang memiliki power untuk mendongkrak popularitas Anies-Sandi. Tetapi  setelah  pertemuan Anies-Sandi dengan keluarga Cendana di Masjid At-Tin di  Taman Mini Indonesia Indah pada Haul Supersemar, memperlihatkan Anies-Sandi semakin gencar melakukan serangan terhadap Paslon Ahok-Djarot. Anies  rupanya sedang belajar tentang strategi pemenangan lewat keluarga Cendana yang selama kurang lebih 30-an tahun menguasai Indonesia. Satu ciri yang menonjol pada zaman Orde Baru adalah memangkas hak-hak politik masyarakat bahkan masyarakat mengambang ditengah pusaran politik Orde Baru.
Sebuah foto bertuliskan kerinduan seorang Anies terhadap sosok Soeharto beredar di media sosial. Anies rindu akan kepemimpinan Soeharto dan belajar dari sejarah yang telah tertanam pada masa Orde Baru. Kalau kita melihat kerinduan Anies untuk belajar kepemimpinan ini, seakan memperlihatkan dua situasi yang bertolak belakang karena ketika Anies belajar pada sosok  Soeharto maka yang diadopsi adalah  pola kepemimpinan yang otoriter dan pola otoriter ini tidak bisa diterapkan dalam era demokrasi yang terbuka ini. Kepemimpinan otoriter memperlihatkan tindakan pembungkaman terhadap lawan-lawan politik dengan cara yang tidak manusiawi. Karena itu dalam konteks kerinduan Anies pada sang diktator, Anies sedang menyusun strategi untuk mematahkan lawan terutama Ahok-Djarot, hanya kediktatoran Anies yang perlahan muncul adalah “menggunakan tangan lain” dalam membungkam gerak politik lawan, sedangkan Anies sendiri tetap memperlihatkan “pesona kesantunan semu.”
Tentang kediktatoran ini, di negeri Cina hiduplah seorang pemimpin diktator yang sangat ditakuti oleh masyarakat. Saking takutnya masyarakat terhadap sang diktator ini maka ketika ia mati, masyarakat  tetap mengenang kepemimpinannya dengan cara melihat “puntung rokok” sang diktator yang dimuseumkan. Sebuah tindakan masyarakat yang karena ketakutan sepanjang sejarah, menghadirkan sang diktator lewat puntung rokok yang selama hidupnya disundut oleh mulut  sang diktator itu. Memang, dengan pelbagai cara masyarakat tetap mengenang pemimpin masa lampau. Seperti Anies yang sedang belajar membangun imajinasi dan perlahan mengadopsi pola kepemimpinan Soeharto yang selama 30-an tahun menguasai negeri ini. Walaupun Anies merapat pada keluarga Cendana tetapi  cendana itu belum tentu menebarkan aroma yang  wangi. Wanginya cendana adalah wangi yang murni-alami tetapi belum tentu wanginya politik keluarga Cendana, menebarkan aroma yang berbeda, aroma yang ambisius.***             



No comments: