Monday, July 31, 2017

KARYA PERTAMA TMM: MERAWAT ORANG-ORANG KUSTA



Sejarah Gereja Indonesia mencatat bahwa Tarekat Maria Mediatrix adalah sebuah tarekat religius pribumi pertama yang lahir dari tangan dingin Mgr. Johanes Aerts, MSC. Tarekat ini lahir  di tanah Ambon, tidak untuk dirinya sendiri. Tarekat ini lahir dan menjadikan diri bermakna ketika berkarya untuk orang lain. Tarekat Maria  Mediatrix mengambil bagian dalam tugas perutusan Kristus yaitu mewartakan kabar gembira kepada orang-orang yang dijumpai. Beberapa bidang kehidupan digeluti oleh Tarekat Maria Mediatrix  dan cara sederhana ini memungkinkan para suster dari Tarekat Maria Mediatrix untuk menyapa mereka yang tidak disapa, membalut mereka yang terluka dan mendidik generasi muda yang sedang mencari ilmu pengetahuan. Sebuah tugas luhur dan berat yang membentang  di sepanjang sejarah keberadaan manusia, terakomodir dalam visi TMM: “Tarekat Diosesan Misioner yang dipanggil untuk mengambil bagian dalam persekutuan Injil dan dibaktikan untuk karya-karya kerasulan Tarekat.” Visi yang tertera ini merupakan sebuah cita-cita yang akan terwujud pada masa yang akan datang dan berusaha menerjemahkan nilai-nilai Injili itu dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mewujudkan visi global yang diusung oleh Tarekat Maria Mediatrix ini diimplementasikan melalui misi Tarekat Maria Mediatrix, “Tarekat  memberdayakan para anggota dan komunitasnya untuk dapat merealisasikan visi TMM, melalui   tugas perutusan  dan karya-karya kerasulan Tarekat  (Karya Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan Pastoral).”


Karya Perdana TMM: Melayani si Kusta

            Ketika seseorang terkena penyakit kusta, tindakan awal yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu adalah berusaha menyingkirkannya dari  masyarakat. Cara penyingkiran ini merupakan tindakan tidak manusiawi tetapi terpaksa dilakukan agar penyakit kusta yang diderita oleh si kusta tidak tersebar.  Karena itu saat seorang terkena penyakit kusta, dianggap sebagai penyakit kutukan dari  Tuhan. Memang, pada zaman lampau, dunia medis belum menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit itu, karenanya cara yang ditempuh masyarakat adalah “membuang” orang-orang kusta ke tempat yang jauh dari masyarakat. Orang-orang kusta waktu itu dilihat sebagai “limbah masyarakat” yang perlu dibuang. Peristiwa ini merupakan momentum gelisah dan terjadi perendahan martabat manusia. Manusia yang diciptakan seturut citra Allah harus kehilangan citra dirinya karena digerogoti oleh penyakit yang bernama kusta.
            Merunut karya perdana suster-suster dari Tarekat Maria Mediatrix, sepertinya menghadirkan kembali kisah para kusta di pulau  Molokai. Pulau ini dijadikan sebagai tempat pembuangan orang-orang yang terkena penyakit kusta. Mereka hidup dan menunggu  untuk perlahan mengakhiri hidup dalam gerogotan penyakit sadis itu. Dalam keterpurukan hidup mereka di pulau Molokai itu, Pastor Damian terdorong oleh belas kasih untuk melayani mereka dan mengakhiri hidupnya bersama orang-orang kusta. Pastor Damian pada akhirnya meninggal dalam kondisi yang mengenaskan setelah terjangkit penyakit kusta. Seperti lilin yang membakar dirinya untuk menerangi  kegelapan orang-orang sekitarnya, demikian  hidup  dan pelayanan seorang Damian.  Damian telah menjadi terang di antara orang-orang kusta yang dilayaninya dan meluluhkan hidup demi sebuah pengorbanan diri tanpa pamrih.
            Menerima panggilan hidup sebagai seorang suster berarti bersedia melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak Allah dan tuntutan tarekat. Sejak awal memulai karyanya, suster-suster  yang tergabung dalam Tarekat Maria Mediatrix, membaktikan hidup untuk Tuhan melalui   pelayanan yang diberikannya kepada mereka yang tersingkir atau bahkan dilupakan oleh masyarakat. Gerakan untuk memulai karya ditunjukkan melalui pendampingan dan perawatan terhadap orang-orang kusta. Ya, orang-orang kusta adalah mereka yang terluka dan tersingkir  karena penyakit yang diderita, terus  memperlihatkan jeritan perhatian dari orang-orang sekitarnya. Jeritan orang-orang miskin ditanggapi oleh suster-suster dari Tarekat Maria Mediatrix  yang  baru  dilahirkan di bumi nusantara ini.   
                Mengapa bidang kesehatan menjadi perhatian utama Tarekat Maria Mediatrix?  Barangkali kelahiran Tarekat Maria Mediatrix di tengah masyarakat kecil dan berusaha untuk melihat kebutuhan utama yang bisa dilakukan dalam pelayanan. Tercatat ada 150 orang kusta yang saat itu disingkirkan ke pulau Watlus (Kei kecil). Orang-orang sekitar sepertinya membangun “pulau pengasingan” bagi mereka yang layak diasingkan, yakni orang-orang kusta.  Mereka yang disingkirkan di pulau Watlus, seakan melepaskan identitas diri mereka masing-masing. Mereka tidak mempersoalkan aspek primordial, seperti suku, agama dan ras. Mereka menyatu dalam rasa yang sama, yakni sebagai penderita kusta. Kekustaan yang  mereka alami menjadikan mereka untuk tidak mempersoalkan aspek primordial yang sering dipersoalkan dalam keberagaman hidup berbangsa dan bernegara.
            Semangat pelayanan dan membangun dunia “kekitaan,” terus mendorong suster-suster pribumi untuk berkarya dalam merawat mereka yang terluka. Mereka yang terluka dan penuh bau yang menyengat sehingga masyarakat menyingkirkan orang-orang kusta dari panggung masyarakat,  tetapi suster-suster dari Tarekat Maria Mediatrix, justeru mencari yang terluka dan penuh dengan bau. Para suster coba mencari untuk menemukan sumber bau yang menjijikan itu dan ternyata mereka yang terluka penuh bau itu dilokalisasi di pulau  Watlus.      
“Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan;  ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian;   ketika Aku sakit, kamu melawat Aku;  ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Sabda ini terus menggema dalam diri para suster Tarekat Maria Mediatrix  yang  mengikuti jejak Kristus, Sang Guru yang telah memperlihatkan pengorbanan diri-Nya tanpa pamrih di palang kayu hina. Para suster bekerja keras dan melayani dengan tulus saat berhadapan dengan orang-orang kusta. Para suster yang berkarya langsung di tengah orang-orang kusta, melayani tanpa mempersoalkan aspek primordial (suku, agama dan ras) dan bahkan menjadikan diri mereka sebagai sahabat yang mendengarkan keluh-kesah hidup yang dialami oleh mereka yang sakit kusta.  “Terkadang kita berpikir perbuatan baik kita bagai setitik air di samudra. Tapi ketahuilah, sang samudra akan merasa tidak lengkap tanpa setitik perbuatan baikmu itu.”  Memulai sebuah karya besar dengan merawat dan membalut mereka yang luka, sebuah pekerjaan sederhana tetapi sulit dilakukan oleh manusia yang memiliki cinta. Tarekat Maria Mediatrix melandasi karya dengan cinta dan  melayani mereka  yang kehilangan cinta dan perhatian dari orang-orang dekat.*** (Valery Kopong)









No comments: