Sejarah Gereja Indonesia
mencatat bahwa Tarekat Maria Mediatrix adalah sebuah tarekat religius pribumi
pertama yang lahir dari tangan dingin Mgr. Johanes Aerts, MSC. Tarekat ini
lahir di tanah Ambon, tidak untuk
dirinya sendiri. Tarekat ini lahir dan menjadikan diri bermakna ketika berkarya
untuk orang lain. Tarekat Maria Mediatrix mengambil bagian dalam tugas
perutusan Kristus yaitu mewartakan kabar gembira kepada orang-orang yang
dijumpai. Beberapa bidang kehidupan digeluti oleh Tarekat Maria Mediatrix dan cara sederhana ini memungkinkan para
suster dari Tarekat Maria Mediatrix untuk menyapa mereka yang tidak disapa,
membalut mereka yang terluka dan mendidik generasi muda yang sedang mencari
ilmu pengetahuan. Sebuah tugas luhur dan berat yang membentang di sepanjang sejarah keberadaan manusia,
terakomodir dalam visi TMM: “Tarekat Diosesan Misioner yang dipanggil untuk
mengambil bagian dalam persekutuan Injil dan dibaktikan untuk karya-karya
kerasulan Tarekat.” Visi yang tertera ini merupakan sebuah cita-cita yang akan
terwujud pada masa yang akan datang dan berusaha menerjemahkan nilai-nilai
Injili itu dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk mewujudkan visi
global yang diusung oleh Tarekat Maria Mediatrix ini diimplementasikan melalui
misi Tarekat Maria Mediatrix, “Tarekat
memberdayakan para anggota dan komunitasnya untuk dapat merealisasikan
visi TMM, melalui tugas perutusan dan karya-karya kerasulan Tarekat (Karya Kesehatan, Pendidikan, Sosial dan
Pastoral).”
Ketika seseorang terkena penyakit
kusta, tindakan awal yang dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu adalah
berusaha menyingkirkannya dari
masyarakat. Cara penyingkiran ini merupakan tindakan tidak manusiawi
tetapi terpaksa dilakukan agar penyakit kusta yang diderita oleh si kusta tidak
tersebar. Karena itu saat seorang
terkena penyakit kusta, dianggap sebagai penyakit kutukan dari Tuhan. Memang, pada zaman lampau, dunia medis
belum menemukan obat untuk menyembuhkan penyakit itu, karenanya cara yang
ditempuh masyarakat adalah “membuang” orang-orang kusta ke tempat yang jauh
dari masyarakat. Orang-orang kusta waktu itu dilihat sebagai “limbah
masyarakat” yang perlu dibuang. Peristiwa ini merupakan momentum gelisah dan
terjadi perendahan martabat manusia. Manusia yang diciptakan seturut citra
Allah harus kehilangan citra dirinya karena digerogoti oleh penyakit yang
bernama kusta.
Merunut
karya perdana suster-suster dari Tarekat Maria Mediatrix, sepertinya menghadirkan
kembali kisah para kusta di pulau
Molokai. Pulau ini dijadikan sebagai tempat pembuangan orang-orang yang
terkena penyakit kusta. Mereka hidup dan menunggu untuk perlahan mengakhiri hidup dalam
gerogotan penyakit sadis itu. Dalam keterpurukan hidup mereka di pulau Molokai
itu, Pastor Damian terdorong oleh belas kasih untuk melayani mereka dan
mengakhiri hidupnya bersama orang-orang kusta. Pastor Damian pada akhirnya
meninggal dalam kondisi yang mengenaskan setelah terjangkit penyakit kusta. Seperti
lilin yang membakar dirinya untuk menerangi
kegelapan orang-orang sekitarnya, demikian hidup
dan pelayanan seorang Damian.
Damian telah menjadi terang di antara orang-orang kusta yang dilayaninya
dan meluluhkan hidup demi sebuah pengorbanan diri tanpa pamrih.
Menerima
panggilan hidup sebagai seorang suster berarti bersedia melakukan sesuatu
sesuai dengan kehendak Allah dan tuntutan tarekat. Sejak awal memulai karyanya,
suster-suster yang tergabung dalam
Tarekat Maria Mediatrix, membaktikan hidup untuk Tuhan melalui pelayanan yang diberikannya kepada mereka
yang tersingkir atau bahkan dilupakan oleh masyarakat. Gerakan untuk memulai
karya ditunjukkan melalui pendampingan dan perawatan terhadap orang-orang kusta.
Ya, orang-orang kusta adalah mereka yang terluka dan tersingkir karena penyakit yang diderita, terus memperlihatkan jeritan perhatian dari
orang-orang sekitarnya. Jeritan orang-orang miskin ditanggapi oleh suster-suster
dari Tarekat Maria Mediatrix yang baru dilahirkan
di bumi nusantara ini.
Mengapa
bidang kesehatan menjadi perhatian utama Tarekat Maria Mediatrix? Barangkali kelahiran Tarekat Maria Mediatrix
di tengah masyarakat kecil dan berusaha untuk melihat kebutuhan utama yang bisa
dilakukan dalam pelayanan. Tercatat ada 150 orang kusta yang saat itu
disingkirkan ke pulau Watlus (Kei kecil). Orang-orang sekitar sepertinya
membangun “pulau pengasingan” bagi mereka yang layak diasingkan, yakni
orang-orang kusta. Mereka yang
disingkirkan di pulau Watlus, seakan melepaskan identitas diri mereka
masing-masing. Mereka tidak mempersoalkan aspek primordial, seperti suku, agama
dan ras. Mereka menyatu dalam rasa yang sama, yakni sebagai penderita kusta.
Kekustaan yang mereka alami menjadikan
mereka untuk tidak mempersoalkan aspek primordial yang sering dipersoalkan
dalam keberagaman hidup berbangsa dan bernegara.
Semangat
pelayanan dan membangun dunia “kekitaan,” terus mendorong suster-suster pribumi
untuk berkarya dalam merawat mereka yang terluka. Mereka yang terluka dan penuh
bau yang menyengat sehingga masyarakat menyingkirkan orang-orang kusta dari
panggung masyarakat, tetapi
suster-suster dari Tarekat Maria Mediatrix, justeru mencari yang terluka dan
penuh dengan bau. Para suster coba mencari untuk menemukan sumber bau yang
menjijikan itu dan ternyata mereka yang terluka penuh bau itu dilokalisasi di
pulau Watlus.
“Sebab ketika Aku lapar,
kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku
seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku
sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku
di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku.” Sabda ini terus menggema dalam diri
para suster Tarekat Maria Mediatrix
yang mengikuti jejak Kristus,
Sang Guru yang telah memperlihatkan pengorbanan diri-Nya tanpa pamrih di palang
kayu hina. Para suster bekerja keras dan melayani dengan tulus saat berhadapan
dengan orang-orang kusta. Para suster yang berkarya langsung di tengah
orang-orang kusta, melayani tanpa mempersoalkan aspek primordial (suku, agama
dan ras) dan bahkan menjadikan diri mereka sebagai sahabat yang mendengarkan
keluh-kesah hidup yang dialami oleh mereka yang sakit kusta. “Terkadang kita
berpikir perbuatan baik kita bagai setitik air di samudra. Tapi ketahuilah,
sang samudra akan merasa tidak lengkap tanpa setitik perbuatan baikmu itu.” Memulai
sebuah karya besar dengan merawat dan membalut mereka yang luka, sebuah
pekerjaan sederhana tetapi sulit dilakukan oleh manusia yang memiliki cinta.
Tarekat Maria Mediatrix melandasi karya dengan cinta dan melayani mereka yang kehilangan cinta dan perhatian dari
orang-orang dekat.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment