Monday, July 31, 2017

Jalan Politik Sunyi Jokowi



Pertemuan antara SBY dan Prabowo disinyalir oleh banyak pihak sebagai pertemuan yang menggadang  kepentingan politik. Betapa tidak, dua petinggi dari partai Gerindra dan Demokrat sedang membangun strategi untuk mematahkan Jokowi pada Pilpres 2019 nanti. Memang, hajatan politik itu masih jauh  tetapi animo politik partai oposisi Gerindra sepertinya ingin memunculkan trik dan mencari figur yang tepat untuk menantang Jokowi pada Pilpres nanti.
            Pada pertemuan mereka dengan disuguhi nasi goreng itu, Prabowo sempat memperbincangkan mengenai “ambang batas” pada Pilpres nanti. DRP telah menyetujui ambang batas 20% kursi di parlemen jika partai mencalonkan seorang calon presiden. Memang berat untuk mencapai target itu tetapi di sini membuka ruang koalisi partai agar bisa memenuhi target seperti yang disyaratkan dalam undang-undang pemilu. Dengan koalisi seperti ini juga memberikan kesempatan kepada partai untuk mencari figur terbaik yang bakal diusung dalam proses pemilihan presiden nanti.
            Menurut Prabowo bahwa ambang batas 20% itu hanyalah lelucon politik. Atas komentar Prabowo ini, Jokowi juga menanggapi secara santai. Kalau ambang batas yang ditetapkan 20 % itu dianggap lelucon maka dua periode pada masa kepemimpinan SBY juga menjadi sebuah lelucon karena aturan main tentang ambang batas 20 % sudah berlaku. Mengapa pada masa kepemimpinan SBY persoalan ambang batas 20 % tidak dipersoalkan, sementara di masa Jokowi dipersoalkan?  Apa yang dikatakan oleh Prabowo ini menjadi “boomerang politik” karena mungkin tidak sadar bahwa pada masa kepemimpinan SBY, penerapan aturan ambang batas 20 % sudah ada.
           
Duet antara Prabowo dan AHY
            Pertemuan kedua petinggi partai itu sepertinya mencapai titik temu. Prabowo mengusung dirinya untuk menjadi Capres dengan memilih AHY sebagai wakil. Kolaborasi jebolan TNI ini menjadi sebuah titik balik sejarah, bahwa capres dan cawapres sama-sama mantan militer. Apa jadinya kalau kedua figur ini terpilih? Tetapi masyarakat luas masih menyangsikan pencalonan ini mengingat bahwa koalisi yang dibangun antara SBY dan Prabowo baru pertama kali terjadi. Karena itu koalisi awal ini bisa saja menemukan jalan buntu ketika mendekati Pilpres nanti. Mengapa koalisi menemukan jalan buntu? Persoalannya terletak pada proses dalam mencari figur yang tepat untuk diusung. Bisa saja SBY mencalonkan anaknya untuk menjadi Capres ketimbang harus tunduk pada Gerindra. SBY memainkan “tuts-tuts” politik yang lihai bahwa pencalonan anaknya bersama Prabowo adalah momentum untuk memperkenalkan anaknya ke pentas politik nasional, sekaligus mendulang popularitas.
            SBY berperan penting dibalik layar politik. SBY seolah masih malu tampil di hadapan publik untuk menggadang anaknya menjadi calon presiden karena permintaan Prabowo untuk bertemu disambut baik olehnya sebagai proses awal membangun trust politik terhadap masyarakat. Jika pada proses menjelang Pilpres nanti, elektabilitas AHY jauh lebih dan mengungguli Prabowo maka besar kemungkinan SBY bisa mencalonkan anaknya dengan kendaraan politik Demokrat. Tetapi jika elektabilitas Prabowo melejit dan melampaui AHY maka koalisi awal tetap terjalin.
            Pertemuan awal kedua petinggi partai ini juga memberikan sinyal bagi Jokowi untuk mengatur strategi dalam menghadapi lawan politik. Jokowi, ketika melihat pertemuan ini bahkan Prabowo melontarkan kritikan pada ambang batas undang-undang pemilu yang telah ditetapkan oleh DPR, langsung direspons sebagai reaksi awal Jokowi. Memang, untuk Jokowi, seolah tidak menghiraukan move politik itu karena dia fokus kerja, kerja dan kerja sebagai slogan sekaligus gerak perubahan nyata yang dilakukan oleh Jokowi. Prestasi yang ditonjolkan oleh Jokowi memang bagus tetapi partai pengusung tidak terlalu lama terlena dengan keberhasilan Jokowi dalam bidang pembangunan sebagai cara sederhana untuk berkampanye tentang keberhasilan Jokowi. Menurut beberapa pengamat politik, keberhasilan saja tidak cukup dalam menggalang suara pada proses Pilpres nanti tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek lain yang lebih produktif.
            Lihat saja kondisi Jakarta yang maju karena Ahok, pada akhirnya ditumbangkan dengan cara yang kurang elok. Jokowi harus banyak belajar dari kontelasi politik perhelatan di DKI Jakarta karena kemungkinan besar, cara-cara represif yang digunakan pada Pilkada DKI bisa dimunculkan kembali pada Pilpres 2019 nanti. Kita tunggu geliat politik Jokowi yang terkesan sunyi tetapi mematikan langkah politik para lawannya.***

No comments: