Beberapa waktu lalu, Keuskupan Agung Jakarta sudah mencanangkan gerakan
“Ayo Sekolah.” Gerakan ini lahir dari suatu keprihatinan di mana banyak
orang-orang Katolik belum mengenyam pendidikan karena terganjal oleh
persoalan perekonomian yang sulit. Gerakan ini juga merupakan jawaban
atas tema prapaskah yang dua tahun berturut-turut diusung, yakni “Mari
Berbagi.” Banyak umat bertanya, apa yang mau dibagi? Atas pertanyaan
yang sederhana ini bisa dijawab lewat gerakan “Ayo Sekolah,” yang tidak
lain adalah ajakan bagi setiap umat untuk membuka diri dan membuka
“dompet” untuk membantu para siswa-siswi yang tidak mampu.
Apakah
gerakan “Ayo Sekolah” merupakan jalan terakhir menyelesaikan persoalan
yang tengah dihadapi umat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya?
Ataukah gerakan ini hanyalah bentuk penyadaran sesaat dan kemudian
lenyap? Harus diakui bahwa dunia pendidikan sekarang begitu mahal.
Terlebih lagi sekolah Katolik yang menawarkan mutu pendidikan yang
baik, sekaligus biaya sekolahnya begitu mahal. Sekolah berlabel
“Katolik” tidak memberikan keberpihakkan pada orang Katolik sendiri.
Akibatnya orang-orang katolik tidak mampu menyekolahkan anaknya,
terpaksa mencari sekolah-sekolah negeri. Dampak dari anak yang
disekolahkan di sekolah negeri adalah tidak mendapat pelayanan pelajaran
agama Katolik. Anak menjadi buta terhadap agama dan doa-doa pokok
gerejani. Iman anak menjadi rapuh di tengah pusaran pergaulan dengan
orang-orang lain bahkan banyak yang memilih berpindah ke agama lain
karena lebih sering disentuh dengan ayat-ayat suci agama lain.