Wednesday, July 14, 2021

“Wasit Agung”

 

Petrus Canisius Sumanto

Dia hadir dalam setiap kedukaan orang-orang Katolik di wilayah Paroki Kutabumi- Gereja Santo Gregorius Agung.  Keterlibatannya bukanlah sesaat tetapi jauh sebelum gereja itu menjadi sebuah paroki mandiri. Ia dikenal murah senyum dan berlaku baik terhadap siapa saja yang ia jumpai.  Dengan penampilan yang bersahaja dan diperkuat dengan pelayanannya di gereja maka hampir semua orang mengetahui tentang siapa dia sebenarnya. Karena membantu begitu banyak orang yang kesusahan maka kepergiannya pada dini hari tadi, Rabu 14 Juli 2021 membuat banyak orang menjadi kaget.

 

Memang, hari-hari ini, Petrus Kanisius Sumanto, atau lebih akrab dipanggil Pakde Manto mengalami sakit tua. Terkadang sesak nafas dialaminya tetapi sakit yang dideritanya bukanlah halangan baginya untuk bisa beraktivitas. Menurut bude Manto (isterinya) saat ditemui di rumah duka menuturkan bahwa, Pakde Manto belakangan ini di musim bola, ia kurang istirahat karena selalu menyempatkan diri untuk menonton bola. Menarik bahwa saat menonton bola, ia selalu membawa secarik kertas untuk mencatat scor dan tim mana yang keluar sebagai pemenang.

 

Melihat kehidupan Pakde Manto dan memperhadapkan dengan hobinya yang menonton bola, mengingatkan kita bahwa hidup itu juga dilihat sebagai sebuah permainan. Dalam permainan bola, yang menjadi perhatian utama adalah gerak-gerik bola yang menggelinding mengitari arena permainan itu. Bola menjadi fokus perhatian para penonton dan bahkan penonton sendiri berani bertaruhan dari permainan yang menarik itu. Sebagai penonton bola, ia bebas berbicara dan berani untuk menganalisis, tim mana yang keluar sebagai pemenang. Sebagai penonton yang cerdas, seakan ia menempatkan diri sebagai penjaga gawang yang harus berkonsentrasi penuh agar bola tidak membobol gawang. Sering juga, penonton bisa menempatkan diri, entah sebagai libero atau pun juga sebagai gelandang tengah.

 

Hidup itu adalah permainan dan sebagai permainan, sangat ditentukan oleh wasit yang menjadi wasit  utama dalam permainan itu. Dalam sejarah perjalanan hidupnya, Pakde Manto menempatkan diri sebagai pengurus PSE Paroki Kutabumi untuk mengurus kematian orang lain. Kedukaan orang lain sepertinya bisa teratasi dengan baik, bila ditangani oleh Pakde Manto. Ia berusaha mengurus peti jenazah sampai dengan pemakaman terakhir. Selama hidupnya, ia tidak hanya mengurus orang-orang yang hidup saja tetapi juga mengurus orang yang sudah meninggal. Namun pada titik terakhir hidupnya, ia harus diurus oleh orang lain karena ia tak bisa mengusung jenazahnya sendiri. Seperti pemain bola, Pakde Manto sudah mengakhiri hidupnya di dunia ini dan pada akhirnya menghadap pada sang “wasit Agung” yang selama ini memantau permainan hidup.

 

Para pelayat yang menghantarkan jenazahnya ke pekuburan Selapajang, menghantar dalam aroma kesedihan. Ketika peti jenazah hendak diturunkan ke perut bumi, terdengar pula suara deru pesawat terbang yang mau mendarat di bandara Soekarno-Hatta, yang tidak jauh dari pekuburan itu. Bila pesawat yang bertugas mendaratkan para penumpang namun tidak tahu ke mana para penumpang itu pulang ke rumah masing-masing. Tetapi perjalanan jiwa Pakde Manto tertuju jelas pada Sang Guru Agung Yesus Kritus, yang diimani selama hidupnya. Pakde Manto sudah memasuki rumah abadi dan boleh menikmati kebahagiaan surgawi.***(Valery Kopong)

 

No comments: