Petrus Canisius Sumanto |
Dia hadir dalam setiap kedukaan orang-orang Katolik di wilayah Paroki
Kutabumi- Gereja Santo Gregorius Agung. Keterlibatannya
bukanlah sesaat tetapi jauh sebelum gereja itu menjadi sebuah paroki mandiri. Ia
dikenal murah senyum dan berlaku baik terhadap siapa saja yang ia jumpai. Dengan penampilan yang bersahaja dan
diperkuat dengan pelayanannya di gereja maka hampir semua orang mengetahui
tentang siapa dia sebenarnya. Karena membantu begitu banyak orang yang
kesusahan maka kepergiannya pada dini hari tadi, Rabu 14 Juli 2021 membuat
banyak orang menjadi kaget.
Memang, hari-hari ini, Petrus Kanisius Sumanto, atau lebih akrab
dipanggil Pakde Manto mengalami sakit tua. Terkadang sesak nafas dialaminya
tetapi sakit yang dideritanya bukanlah halangan baginya untuk bisa
beraktivitas. Menurut bude Manto (isterinya) saat ditemui di rumah duka
menuturkan bahwa, Pakde Manto belakangan ini di musim bola, ia kurang istirahat
karena selalu menyempatkan diri untuk menonton bola. Menarik bahwa saat
menonton bola, ia selalu membawa secarik kertas untuk mencatat scor dan tim
mana yang keluar sebagai pemenang.
Melihat kehidupan Pakde Manto dan memperhadapkan dengan hobinya yang
menonton bola, mengingatkan kita bahwa hidup itu juga dilihat sebagai sebuah
permainan. Dalam permainan bola, yang menjadi perhatian utama adalah
gerak-gerik bola yang menggelinding mengitari arena permainan itu. Bola menjadi
fokus perhatian para penonton dan bahkan penonton sendiri berani bertaruhan
dari permainan yang menarik itu. Sebagai penonton bola, ia bebas berbicara dan
berani untuk menganalisis, tim mana yang keluar sebagai pemenang. Sebagai penonton
yang cerdas, seakan ia menempatkan diri sebagai penjaga gawang yang harus
berkonsentrasi penuh agar bola tidak membobol gawang. Sering juga, penonton
bisa menempatkan diri, entah sebagai libero atau pun juga sebagai gelandang
tengah.
Hidup itu adalah permainan dan sebagai permainan, sangat ditentukan oleh
wasit yang menjadi wasit utama dalam
permainan itu. Dalam sejarah perjalanan hidupnya, Pakde Manto menempatkan diri
sebagai pengurus PSE Paroki Kutabumi untuk mengurus kematian orang lain. Kedukaan
orang lain sepertinya bisa teratasi dengan baik, bila ditangani oleh Pakde
Manto. Ia berusaha mengurus peti jenazah sampai dengan pemakaman terakhir.
Selama hidupnya, ia tidak hanya mengurus orang-orang yang hidup saja tetapi
juga mengurus orang yang sudah meninggal. Namun pada titik terakhir hidupnya,
ia harus diurus oleh orang lain karena ia tak bisa mengusung jenazahnya
sendiri. Seperti pemain bola, Pakde Manto sudah mengakhiri hidupnya di dunia
ini dan pada akhirnya menghadap pada sang “wasit Agung” yang selama ini
memantau permainan hidup.
Para pelayat yang menghantarkan jenazahnya ke pekuburan Selapajang,
menghantar dalam aroma kesedihan. Ketika
peti jenazah hendak diturunkan ke perut bumi, terdengar pula suara deru pesawat
terbang yang mau mendarat di bandara Soekarno-Hatta, yang tidak jauh dari
pekuburan itu. Bila pesawat yang bertugas mendaratkan para penumpang namun
tidak tahu ke mana para penumpang itu pulang ke rumah masing-masing. Tetapi
perjalanan jiwa Pakde Manto tertuju jelas pada Sang Guru Agung Yesus Kritus,
yang diimani selama hidupnya. Pakde Manto sudah memasuki rumah abadi dan boleh
menikmati kebahagiaan surgawi.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment