Semangat beralih atau lebih sering dikenal
“Passing over spirituality” merupakan suatu semangat untuk keluar dari diri dan
berani untuk memasuki wilayah orang lain dan berusaha untuk bisa memahami dan
menerima situasi orang lain. Semangat ini biasanya dihidupi oleh para
misionaris yang datang dari tempat asal
untuk bermisi (berkarya) mewartakan Injil dan berbuat baik kepada orang-orang
di tanah misi. Semangat bermisi berarti menghidupi tanah misi dengan
menanggalkan budaya sendiri bahkan bisa membawa budayanya sendiri untuk bisa
membaur dengan kehidupan orang-orang yang dilayani di tanah misi itu.
Ketika sedang menulis tentang semangat beralih ini, ingatan saya tertuju pada beberapa teman yang kini sedang bekerja sebagai imam misionaris di beberapa belahan dunia. Para misionaris itu bekerja dalam diam untuk melayani umat di tanah misi bahkan ada yang mendirikan sekolah di tanah misi sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat setempat yang belum tersentuh oleh pendidikan. Atas jasa dalam mendirikan sekolah itu, sang misionaris itu diberi penghargaan oleh pemerintah setempat bahkan dibuatkan nama jalan sesuai nama sang misionaris itu.
Sebagai orang yang pernah menjadi bagian dari pusat misi itu, ada kebanggaan tersendiri karena pola pembentukan karakter dan bidang akademik tidak sia-sia diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam melayani umat. Sebagai misionaris, harus peka terhadap seluruh persoalan yang sedang dialami oleh umat. Mengasah kepekaan itu menjadi sebuah keharusan agar karya-karya pelayanan itu bisa bermakna untuk orang lain. Bermisi dalam konteks lebih radikal seperti yang diperlihatkan oleh Yosef Freinademetz, misionaris SVD yang pertama yang dikirim ke Cina, ia berani melepaskan budaya sendiri dan mengenakan budaya Cina. Menurutnya, bermisi berarti pergi untuk tidak pulang kembali ke tanah asal atau dalam bahasa yang lebih radikal adalah pergi untuk dikuburkan di sana (tempat misi).
Sebagai kaum awam, sadar atau tidak, setiap umat Katolik harus mampu menyadari dirinya sebagai misionaris-misionaris domestik yang mengembangkan tugas dan panggilan sebagai seorang awam yang bisa memperlihatkan pelayanan pada orang-orang sekitar. Kita telah melangkah dan keluar dari rumah dan meninggal kampung halaman untuk mengadu nasib di tanah rantau dan tanah rantau boleh saya katakan sebagai tanah misi untuk kaum awam. Gereja bisa dibangun dari komunitas-komunitas iman dan warta penyebaran nilai-nilai Injili semakin menyata dengan kehidupan orang-orang Katolik dalam satu payuyuban iman.
Dengan berbuat baik berarti kita sedang memperlihatkan cahaya kebaikan kepada mereka yang sedang mengalami keredupan hidupnya. Dengan berbuat baik pula maka kita sedang memperlihatkan diri sebagai garam dunia yang siap larut dalam kelompok-kelompok masyarakat agar mereka bisa merasakan kebaikan di tengah hidup mereka yang sedang hambar. Tindakan untuk berbuat baik adalah cerminan tindakan Yesus yang selalu berpihak pada mereka yang tersingkir, menderita dan disisihkan dari pergaulan umum. Kehadiran Yesus di dunia juga misi utama, yakni menyelamatkan manusia dengan memulai mewartakan Kerajaan Allah yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan.
Puncak karya misi penyelamatan Yesus tidak hanya berhenti pada penyaliban di Golgota tetapi peristiwa Golgota dimaknai sebagai titik akhir dan sekaligus membuka babak baru kehidupan Yesus melalui peristiwa kebangkitan-Nya dari alam maut. Keselamatan itu bisa terjadi melalui suatu proses panjang dan beruntun. Dan dalam proses itu, Yesus menunjukkan kesetiaan pada Bapa yang telah mengutus-Nya ke dunia dan kecintaan-Nya pada manusia. Kita semua yang mengimani Yesus sebagai penyelamat ketika Ia rela memikul derita, setia dan bangkit dari alam maut. Hanya dengan kebangkitan-Nya, mau menegaskan pada dunia bahwa Ia sungguh penyelamat manusia dan dunia.***(Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment