Beberapa hari ini, bersama kelompok doa di lingkungan Maximilianus Maria
Kolbe, kami terus mendaraskan doa-doa untuk memohon perlindungan Tuhan agar
umat manusia terhindar dari virus yang mematikan ini. Dalam doa-doa itu juga
kami “melangitkan doa” untuk salah satu anggota lingkungan Max.Kolbe yang lima
hari lalu dipanggil oleh Tuhan. Pada rentang waktu yang belum sampai sebulan,
suami isteri harus meregang nyawa di ujung maut. Si isteri meninggal karena
sakit yang cukup lama, sedangkan si bapak meninggal dunia karena terkena covid
19. Dalam kondisi yang tidak memungkinkan itu, pada akhirnya kami semua berdoa
secara daring melalui google meet. “Kami tidak meninggalkan keluarga yang
sedang berduka tetapi kami hanya menjaga jarak,” demikian pesan singkat dari
ketua lingkungan kepada keluarga yang berduka.
Memang, harus dipahami bahwa orang-orang yang terkena Covid 19 bukanlah
aib yang harus ditanggung dan sesama sekitarnya juga tidak perlu harus
menjauhi, apalagi mengusir keluarga. “Siapa yang pernah meminta sakit dan
penyakit dari Allah?” Tak ada yang dalam doa-doanya meminta diberikan sakit dan
penyakit dari Allah tetapi inilah mungkin Allah memberikan cobaan terhadap
manusia. Dalam doa-doa yang dilantunkan itu, sebagai pemimpin doa sekaligus
membawakan renungan, saya memilih teks Injil yang berbicara seputar kebangkitan
Yesus. Kisah kebangkitan Yesus menjadi menarik dan sekaligus juga memberikan
penguatan pada kita semua yang percaya pada Kristus. Kebangkitan Kristus adalah
puncak iman kita dan di sini, Yesus menunjukkan keberhasilan misi penyelamatan
terhadap manusia. Misi penyelamatan manusia tidak hanya ditunjukkan dalam
peristiwa kelahiran-Nya di kandang hina tetapi justeru Ia mengalami sengsara,
wafat dan bangkit dari alam maut.
Dalam konteks tertentu, misi itu terus berproses dan Yesus menunjukkan
kesetiaan-Nya untuk berada dalam proses itu. Karena dalam berproses untuk
menggenapi misi penyelamatan itu, Yesus sepertinya diam membisu ketika diolok-olok oleh para
prajurit. “Jika Engkau Anak Allah, turunkanlah diri-Mu dari salib.” Yesus tidak
mau menunjukkan ke-Allah-an-Nya ketika berada di kayu salib dan tidak
menanggapi olokan itu. Tetapi jika dilihat dalam konteks kaca mata awam, bisa
dikatakan bahwa Yesus bisa membuktikan olok-olokan para prajurit ketika berada
di atas kayu salib, dengan turun dari atas salib. Dapatkah kita membayangkan, keselamatan
itu pasti tidak terlaksana bila Yesus turun dari salib. Misi penyelamatan belum
tuntas, bila Ia (Yesus) turun dari atas salib. Dalam kepasrahan yang total,
Yesus menyerahkan seluruh diri-Nya dalam penyelenggaraan Ilahi. Ketaatan-Nya
pada Bapa dan kesetiaan-Nya terhadap manusia, ditunjukkan oleh Yesus dengan “memendam
rasa sakit” tanpa mengeluh terhadap tragedi yang menimpah-Nya. Kesetiaan-Nya
sampai puncak Golgota, mengingatkan kita sebagai pengikut-Nya bahwa menjadi
murid Yesus tidak harus berada pada zona nyaman tetapi justeru dalam situasi
tapal batas, kesetiaan kita pada-Nya perlu diuji.*** (Valery Kopong)
0 komentar:
Post a Comment