Wednesday, September 3, 2008

Konsep Dulu, Baru Uang


Daoed JOESOEF

Salah satu ucapan Presiden yang disambut hangat di dalam dan di luar DPR adalah keputusan mewujudkan anggaran 20 persen APBN untuk pendidikan.

Sambutan ini berdasarkan asumsi, kekurangan dana menjadi faktor utama impotensi pendidikan nasional selama ini.

Benarkah? Sepertinya tidak. Asumsi itu keliru. Kalaupun tambahan anggaran itu diwujudkan secara efisien, efektif, dan mencapai sasaran, hal itu justru mengukuhkan penyakit yang membuat pendidikan tak berdaya melaksanakan misinya. Sistem pendidikan kita mandek, bahkan amburadul, bukan (hanya) karena kekurangan dana, tetapi lebih dari itu, terkait ketiadaan konsep idiil yang mendasari.

Tidak ada sistem apa pun yang tepat sebagaimana adanya (in itself). Ia tepat, maka itu dinilai baik, ditinjau dari konteks tujuan perumusannya, untuk apa ia diadakan. Dengan predikat ”nasional”, fungsi pendidikan jelas berdimensi nasional (kepentingan negara-bangsa) selain individual (hak warga negara perseorangan). Berarti, kejelasan citra dari komunitas nasional yang diidam-idamkan harus ada lebih dulu. Dan, citra ini merupakan keputusan nasional yang disepakati oleh semua negarawan, politikus, dan cendekiawan bangsa.

Namun, justru citra ideal itu yang tidak ada, belum pernah ada. Padahal, bahan-bahan untuk perumusan tersebar dalam ucapan, tulisan para pendiri negara-bangsa—adakalanya begitu eksplisit, dan kandungan-kandungan pasal/ayat UUD.

Jadi, jangan disalahkan jika para profesional di Depdiknas bekerja seadanya, pragmatis/reaktif, mengesankan amburadul, ganti menteri ganti kurikulum. Keamburadulan kian parah karena tidak ada konsep nasional yang integralistik, disuntikkan aneka otonomi ke dalam proses pendidikan, mulai otonomi daerah yang berlapis—provinsi, kabupaten, kota—hingga otonomi sekolah yang atomistis.

Kini departemen diberi dana kerja amat besar, padahal tidak ada program aksi relevan yang disiapkan sebelumnya.

Mengingat negara-bangsa tidak ”memberi” kriteria tentang apa yang harus dilakukan oleh pendidikan nasional, sebagai lembaga formal tertinggi dalam memasok suatu kualitas pendidikan, wajar Depdiknas menyiapkan konsep pendidikan demi pendidikan itu sendiri. La noblesse oblige! Jangan membiarkan pemerintah terus memperlakukan pendidikan hanya sebagai urusan marjinal dalam seluruh urusan politik yang ditangani.

Tiga keharusan

Paling sedikit ada tiga keharusan yang membenarkan departemen bertindak demikian, yaitu yang bersifat konstitusional, moral, sosial dan ekonomis.

Dalam Pembukaan UUD 1945 tertera, dengan menyatakan kemerdekaannya, rakyat Indonesia bertekad, antara lain, ”mencerdaskan kehidupan bangsa”. Para pendiri Republik menyadari betapa kehidupan bangsa perlu dicerdaskan mengingat unsur-unsur konstitutifnya tidak homogen. Maka, kecerdasan merupakan satu keharusan demi pemahaman genuine sebagai dasar kesatuan dan persatuan di tengah kemajemukan alami. Persatuan dalam arti menerima adanya aneka perbedaan dengan ikhlas, penuh toleransi (integrasi). Kesatuan dalam arti menyatukan dan menegakkan kesamaan (unifikasi).

Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral.

Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental.

Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya.

Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan.

Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah” dan tentu saja disiplin yang sudah jadi (ilmu pengetahuan dalam arti produk).

Semangat ilmiah diperlukan untuk semakin menyempurnakan pembawaan human kita. Ia membantu menciptakan pengetahuan ekstra genetik agar terbebas dari ketergantungan pada pengetahuan genetik semata. Ia juga berguna dalam pembentukan pengetahuan ekstra somatik, yaitu informasi yang disimpan di luar tubuh, di tempat khusus—perpustakaan, laboratorium, museum, dan lain-lain.

Integritas departemen

Semangat ilmiah dan ilmu pengetahuan yang dihasilkan juga dapat menyempurnakan hidup kemakhlukan kita. Kita hidup di antara dua infinitas alami yang keberadaannya amat menentukan kondisi kehidupan makhluk di bumi, baik dalam arti positif maupun negatif. Di satu pihak ada yang besar tak terhingga, yaitu galaksi di angkasa luar, nebula bercahaya warna-warni dari Bimasakti, planet-planet dari sistem solar. Di lain pihak, ada yang kecil tak terhingga, seperti sel hidup, jaringan neuron, DNA, subatomic particles. Akses ke potensi natural yang dikandung kedua infinitas itu terbukti dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan.

Jadi, sistem pendidikan yang kita kembangkan demi mencerdaskan bangsa adalah bagian dari kebudayaan. Maka, sungguh aneh jika urusan kebudayaan tidak dikembalikan ke jajaran departemen yang mengurus pendidikan. Lebih aneh lagi jika Depdiknas membiarkannya tetap begitu. Mana integritas intelektual departemen ini? Cakupan kebudayaan jauh lebih luas dari sekadar kesenian selaku pemancing dollar turis asing! Nilai-nilai perlu diolah oleh kecerdasan melalui penemuan dan kombinasi baru demi pembentukan peradaban baru yang sejalan tuntutan abad XXI dan selanjutnya.

Bila konsep pendidikan nasional yang menyeluruh dan terpadu telah selesai, berikan kepada politik agar diterima. Politik harus memutuskan konsep yang ia sendiri tidak mampu merumuskannya. Dengan cara begini alih-alih politik mengorupsi pendidikan, the intellectual integrity of education needs to contribute to the decorruption of politics. Bagaimanapun ada politik dalam pendidikan, sebagaimana ada pendidikan dalam politik.

Daoed JOESOEF Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-सोर्बोंने


Anggaran Peningkatan Mutu Pendidikan



Baskoro Poedjinoegroho

Dalam pidato di depan anggota DPR, Presiden menetapkan anggaran pendidikan nasional sebesar 20 persen dari total APBN 2009.

Bila dirupiahkan, total anggaran untuk pendidikan pada APBN 2009 sebesar Rp 244,44 triliun, kenaikan yang amat mencolok dibanding anggaran 2008 sebesar Rp 154, 2 triliun. Insan pendidikan agaknya puas, karena putusan itu sejalan dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Perbaikan mutu pendidikan menjadi prioritas. Masalahnya, mungkinkah dengan dana sebesar itu kemajuan pendidikan bisa terwujud?

Memperbaiki mutu

Kebijakan penaikan anggaran pendidikan, tentu bukan tanpa alasan. Banyak alasan dapat dikemukakan, antara lain keinginan dan tuntutan dalam berbagai bentuk dari insan pendidikan entah penyelenggara, pelaku, ataupun pemerhati. Pantas disyukuri bahwa pemerintah menyambut keinginan insan pendidikan. Rasa syukur layak dikemukakan jika terjadi perjumpaan antara keinginan yang baik untuk memajukan pendidikan dan kemauan baik untuk mendukungnya. Maksudnya, keinginan dan kemauan baik yang tidak melulu demi besarnya jumlah dana atau uang, atau muatan politis lainnya. Bukankah uang senantiasa menggiurkan, apa.lagi sebesar anggaran pendidikan nasional 2009?

Memang, orang boleh berpendapat, anggaran itu masih lebih kecil dibanding anggaran negara tetangga, misalnya dengan basis produk domestik bruto (PDB) angka Indonesia adalah 1,9 persen, sementara Thailand 5,0 persen, Malaysia 5,2 persen, dan Vietnam 2,8 persen.

Bagaimanapun Rp 244,44 triliun adalah jumlah amat besar. Jumlah itu akan kian bermakna karena merupakan kebijakan politik atau jawaban tepat dan kini dibutuhkan. Apalagi, bangsa ini sedang mengalami kemunduran di segala bidang, terutama karena kemerosotan moral, yang harus diyakini akan dapat diimbangi dengan pendidikan bermutu.

Dalam pidato Presiden (15/8/2008) itu, anggaran 20 persen ditujukan untuk perbaikan sarana-prasarana (gedung sekolah) dan SDM (guru, dosen, beasiswa). Dengan demikian, diharapkan akan terjadi kemajuan mutu pendidikan. Dari sisi lain, ada yang menantang pelaku atau pengguna anggaran, yakni pembuktian sekaligus perwujudan pengembangan diri bahwa mereka adalah insan-insan yang melakukan kemajuan pendidikan melalui pemanfaatan dana sesuai maksud/tujuan pengadaan (intentio dantis). Meski juga harus disadari, tidak selalu mudah menanggapi atau melaksanakan apa yang sudah diketahui; acap kali apa yang diketahui tidak selalu dilaksanakan terlebih bila menyangkut soal dana atau uang.

Keadaan ini mengingatkan akan apa yang baru saja digumuli para pendidik, yaitu sertifikasi pendidik. Entah sudah mengerti ihwal makna sertifikasi atau belum, yang pasti, mereka yang lolos sertifikasi akan mendapat tambahan pendapatan. Inilah yang hidup di benak pengajar sertifikasi. Sertifikasi diperjuangkan mati-matian jika perlu dengan bertindak curang, tidak peduli bertentangan dengan prinsip pendidikan. Misalnya, memalsukan dokumen/portofolio demi lengkapnya persyaratan.

Di antara pengejar sertifikasi belum pernah terdengar, sertifikasi diburu sebagai bukti bahwa seorang pendidik telah dan selalu mengejar kompetensi atau profesionalitas dalam mendidik. Yang lazim adalah sertifikasi diperjuangkan demi bertambahnya pendapatan atau uang. Bila demikian, mutu pendidikan akan biasa-biasa saja meski pendapatannya bertambah.

Bukan milik pribadi

Banyak orang amat rentan dengan uang, tak bijaksana dalam mengelola uang. Apa saja yang terkait uang senantiasa membuat mabuk, kehilangan kesadaran diri, kehilangan akal sehat, kehilangan ketajaman nurani. Banyak bukti mudah ditemukan saat ini. Setiap hari media tak pernah absen memberitakan kejahatan yang terkait uang.

Karena itu, penetapan anggaran pendidikan 20 persen harus dijadikan momentum bagi para insan pendidikan untuk membuktikan diri, mereka adalah pribadi-pribadi yang berharkat luhur yang amat bernilai lebih daripada nilai nominal uang. Caranya, dengan memperlakukan anggaran atau dana pendidikan sebagai bukan milik pribadi. Inilah sikap dasar yang harus dimiliki oleh siapa pun sebelum melibatkan diri dalam penggunaan anggaran atas nama perbaikan mutu. Bila tidak, perbaikan mutu pendidikan tak akan terjadi, bahkan akan semakin merosot.

Baskoro Poedjinoegroho Direktur SMA Kanisius जकार्ता


A A A

Tuhan Peluklah aku


Saat aku lelah dan tak kuasa untuk berjalan
Aku yakin TUHAN menopangku
Saat aku sakit hati dan tak kuasa menahan tangis
Aku yakin TUHAN memebelaiku
Saat aku kuatir dan tak kuasa menahan gemetar
Aku yakin TUHAN memelukku
Saat aku terluka dan tak kuasa menahan sakit
Aku yakin TUHAN membebatku
Saat aku kehilangan dan tak kuasa menahan sedih
Aku yakin TUHAN menghiburku
Saat aku merasa tak berarti dan tak kuasa untuk melanjutkan hidup
Aku yakin TUHAN katakan :"Kau berarti bagiku"
Saat aku merasa tak dicintai dan tak kuasa menahan pilu
Aku yakin TUHAN katakan :"Aku mencintaimu"
Saat aku dibuang dan aku tak kuasa menahan galau
Aku yakin TUHAN katakan :"Aku tak akan pernah membuangmu"

Di dunia ini begitu banyak kesusahan yang tak bisa ditolak. siapapun, semua orang dan tak terkecuali aku.
Aku dibuang, aku dianggap tak berarti, aku dianggap sampah, aku ditinggalkan oleh orang yang sangat kucintai,
Tapi....
Aku yakin TUHAN selalu ada dan kasih-Nya tak pernah berubah untukku.
Untukmu pun, DIA tak pernah berubah.
**** prie****

Patung Katak Disalib Dianggap Menghina Tuhan

Jumat, 29 Agustus 2008 | 03:58 WIB

—ROMA, KAMIS — Sebuah museum di Italia menentang Paus Benediktus dan menolak melepaskan sebuah karya seni berupa patung katak berwarna hijau yang disalib dengan tangan memegang mug bir dan sebuah telur yang dianggap Vatikan sebagai penghujatan.

Dewan Museum Museion di utara kota Bolzano memutuskan berdasarkan suara terbanyak mereka tetap memasang kodok itu di tempatnya selama pameran berlangsung. Patung katak kayu yang dibuat seniman Jerman, Martin Kippenberger, ini sepanjang 1,30 meter dengan salib berwarna coklat. Katak ini dalam posisi disalib dengan tangan kanan memegang mug bir dan tangan kiri memegang sebuah telur.

Disebut Zuerst die Fuesse atau yang pertama kali adalah kaki, patung ini juga menjulurkan lidah. Hasil karya ini dipamerkan di Galeri Tate Modern dan Saatchi di London, juga di Bennale, Venisia. Rencananya, patung katak ini juga akan dipamerkan di Los Angeles dan New York.

Paus Benediktus yang orang Jerman dan sedang berlibur berada tidak jauh dari Bolzano jelas-jelas tidak setuju dengan pameran ini. Vatikan, atas nama Paus, telah menulis surat mendukung Franz Pahl, gubernur setempat yang menentang dipamerkannya patung ini. Dalam suratnya, Pahl mengatakan, "Patung ini telah menimbulkan sentimen agama dan melukai banyak orang yang melihat salib sebagai simbol cinta Tuhan."

Pahl, yang wilayahnya banyak didiami warga Katolik, begitu marah dengan hal ini. "Jelas-jelas ini bukan seni, melainkan penghujatan dan pelecehan yang mengecewakan banyak orang," ujarnya.

Tentu saja, kata Pahl, keputusan untuk tetap mempertahankan salib ini jelas tidak bisa diterima. Namun, para artis berkata lain. "Seni harus selalu bebas dan seniman seharusnya bebas berekspresi dan tidak semestinya dibatasi," ujar Claudio Strinati, pengawas Museum Negara Roma kepada koran Italia, Kamis.

Friday, August 29, 2008

Wacana Koalisi Golkar dan PDI-P

Oleh M Alfan Alfian

Setelah gagal mewujudkan gerak politik bersama pascapertemuan Medan dan Palembang tahun lalu, beberapa kalangan elite Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mewacanakan kembali koalisi menjelang Pemilu 2009. Lagi-lagi, alasan dasar yang dipakai kesamaan ideologi.

Baik Partai Golkar maupun PDI-P sama-sama sebagai partai nasionalis yang berposisi di tengah yang mewadahi beragam segmen (cacth all party). Namun, kesamaan ”ideologi” saja tidaklah cukup untuk mengoperasionalisasikan kerangka koalisi yang sesungguhnya. Akibatnya, koalisi berhenti di tingkat wacana. Kedua partai tampak tak memasang ”harga mati” dan masih membuka diri bagi berbagai macam kemungkinan. Maka, berharap ada koalisi besar PDI-P dengan Partai Golkar sebelum Pemilu 2009 tentu terlalu berlebihan.

Masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri. Realitas faksional di masing-masing partai, khususnya Golkar, membuat manuver-manuver yang tercipta tak kunjung matang. Masing-masing pihak terbuka menciptakan ruang manuvernya sendiri, yang sering berbuah benturan. Di lapangan, kalkulasi politik pragmatis condong mengedepankan ketimbang realisasi komitmen ideologis. Golkar dan PDI-P, dalam banyak kasus gagal berkoalisi, bahkan berhadapan dalam banyak pilkada.

Belum tumbuh

Hingga saat ini, tradisi koalisi permanen belum tumbuh. Golkar dan PDI-P sesungguhnya pernah merintis upaya itu, tatkala membentuk Koalisi Kebangsaan. Tapi begitu Jusuf Kalla, yang notabene wakil presiden, berhasil menjadi ketua umum partai yang sebelumnya dipimpin Akbar Tandjung itu, Koalisi Kebangsaan langsung bubar.

Pasca-Koalisi Kebangsaan, wacana untuk berkoalisi kembali hadir, puncaknya tatkala Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dan petinggi PDI-P Taufik Kiemas memotori pertemuan Medan dan Palembang. Sayangnya, koalisi ini tidak matang. Rencana pertemuan selanjutnya di Jawa Barat gagal.

Di kalangan petinggi Golkar juga pernah dilontarkan gagasan koalisi permanen pendukung pemerintahan serta melancarkan kritik atas partai-partai yang terkesan setengah hati mendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Toh, koalisi permanen pun berhenti di tingkat wacana pula. Partai Golkar dan Partai Demokrat belum membuat koalisi apa-apa menjelang Pemilu 2009 ini. Karena itu, rencana-rencana politik masih demikian terbuka.

Partai-partai yang berada di tengah, baik tengah-kanan maupun tengah-kiri, kini semakin beragam. Artinya segmentasi politik ”ideologi tengah” bakal diperebutkan banyak partai. Dalam pemilu legislatif satu sama lain adalah pesaing, sementara sentimen ideologi pada era demokrasi langsung yang pragmatis ini belum terbukti manjur dalam menggerakkan konvergensi politik. Kalaupun terbentuk koalisi ”permanen” pascapemilu legislatif menjelang pilpres, yang mengemuka justru kepentingan pragmatis berasas take and give dalam sharing kekuasaan.

Yang perlu diamati juga adalah pola oligarki masing-masing partai. Aktor-aktor dalam oligarki politik partai akan sangat menentukan ”hasil akhir” pengambilan kebijakan politik. Dalam konteks inilah realitas fragmentasi internal partai perlu diteropong. Hubungan-hubungan antar-aktor satu partai dengan yang lain perlu pula ditelaah. Kesamaan berorganisasi di luar partai masih dianggap sebagai faktor yang cukup menentukan.

Terlalu riskan

Tampaknya kedua elite partai telah mengambil pelajaran dari rencana-rencana mereka sebelumnya. Terlalu mengutamakan isu koalisi ideologis di tengah realitas pragmatisme, terlalu riskan. Terbukti, partai-partai Islam tampak tersinggung dengan wacana yang seolah-olah memosisikan mereka ”tidak nasionalis”. Eksesnya dapat mengarah kepada ketegangan-ketegangan politik yang kurang perlu. Karena itu, dapat dipahami mengapa, misalnya, Taufik Kiemas mendirikan sayap Islam Baitul Muslimin di PDI-P dan hadir dalam Seminar Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), partai yang kerap disebut sebagai common enemy itu.

Bayangan bahwa jika Golkar- PDI-P berkoalisi prapemilu akan tambah besar kelak, barangkali hanya akan ”menguntungkan” satu pihak. Pihak PDI-P mungkin lebih optimistis, dukungan suaranya bakal melonjak sesuai yang diperkirakan banyak lembaga jajak pendapat. Sementara Golkar, bisa ”turun kelas” sebagai partai menengah. Kecemasan-kecemasan soal posisi dukungan suara itu sangat menentukan pergerakan niat berkoalisi. Di sisi lain, wacana memasangkan Megawati-Jusuf Kalla atau Jusuf Kalla-Megawati perlu dicermati chemistry politik antarkeduanya, khususnya seberapa besar derajat kepatutan dan elektabilitasnya.

Megawati harus mencari figur untuk memperkuat kimia politiknya. Pengalamannya dalam Pilpres 2004 menjadikan pelajaran berharga. Bagi Megawati dan siapa pun calon presiden, ketepatan memilih pasangan akan sangat menentukan. Satu sama lain tak boleh lagi terkesan menegasikan, sementara JK juga akan disibukkan mengalkulasi dirinya, soal apakah tetap berpasangan lagi dengan Yudhoyono, banyak variabel yang menentukan.

Kini, kalkulasi politik belum dapat dilakukan secara rinci. Pengalaman membuktikan, pertarungan antarpartai akan tidak sama dengan antarfigur. Ke depan, isu oligarki partai ”tidak laku” lagi dijadikan sentimen penarik suara. Sebab, koalisi antar- partai sudah menjadi keharusan khususnya pascapemilu legislatif. Tidak lagi ada klaim koalisi antar-partai yang bebas oligarki.

M ALFAN ALFIAN Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta

Jumat, 29 Agustus 2008 | 00:25 WIB

Oleh Teuku Kemal Fasya

Tanggal 15 Agustus selalu diingat sebagai hari perdamaian Aceh. Nota Kesepahaman Helsinki yang menandai perdamaian itu telah menjadi sejarah baru.

Tiga tahun lalu, 15 Agustus 2005, di sebuah vila megah di Vantaa, Helsinki, Finlandia, Hamid Awaluddin mewakili Pemerintah Indonesia berjabat erat dengan Malik Mahmud, perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), mengakhiri mesiu permusuhan yang cukup lama berakar dalam tubuh bangsa.

Beragam intervensi

Perdamaian kali ini menjadi lestari karena perangkat keras perdamaian, yaitu keamanan, mampu digaransi oleh kedua belah pihak. Letusan senjata dan kriminalitas mampu ditekan hingga titik minimal. Tanpa membesar-besarkan beberapa kasus kekerasan, penculikan, pe- rampokan, dan penembakan dari sebaran senjata ilegal yang masih beredar, tingkat kriminalitas nyatanya turun dengan cepat di tengah masyarakat.

Faktor keamanan di Aceh pun tumbuh karena intervensi ekonomi. Jika dibaca secara komprehensif, skenario perdamaian di Aceh berkait-kelindan dengan proyek rekonstruksi tsunami dan investasi pembangunan. Beberapa lembaga yang menangani korban konflik dan mantan kombatan, seperti Badan Reintegrasi/Damai Aceh (BRDA) dan Inter Peace Indonesia (IPI) yang dimotori oleh ”jaringan Makassar” (JK connection) berlomba memperbesar volume anggaran perdamaian.

Faktor terakhir yang memperkuat proses perdamaian di Aceh adalah kesadaran komponen konflik melakukan transformasi politik, dari instrumen militerisme dan clandestein menuju gerakan politik terbuka-konstitusional. GAM telah berubah menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) dan membentuk Partai Aceh (PA) sebagai media agregasi kepemiluan. SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh), organisasi yang dulu dikenal sebagai sayap intelektual GAM, telah membentuk secara mandiri Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA). Ada empat partai politik lokal lainnya yang ikut mewarnai proses politik dan demokrasi Aceh.

Kesimpulan ini menunjukkan bahwa demokratisasi Aceh tidak hanya terkanalisasi oleh satu kelompok saja (GAM/KPA), tetapi telah menyebar menjadi kekuatan-kekuatan politik baru yang sangat mungkin menolak agenda-agenda krisis dan kerawanan keamanan tumbuh pada masa depan. Mekarnya kekuatan sipil (akademisi, wartawan, dan LSM) dalam mengisi ruang publik dengan rencana-rencana peradaban dan pertumbuhan akan menutup jalan terjal menuju medan pertempuran.

Beberapa tantangan

Berkaca pada proses penyelesaian konflik Aceh melalui skenario M>small 2small 0

Proses ini memang ditunjukkan dengan terbentuknya beragam regulasi dan struktur-struktur politik yang mencacah residu konflik dan kekerasan sekaligus masuknya industri investasi. Namun, proses ini belum menjadi keyakinan dan keampuhan bagi seluruh masyarakat. Pilkada dan transformasi politik GAM telah berlangsung, tetapi kesejahteraan dan kenyamanan masih jauh dari pandangan (masyarakat kecil).

Satu hal yang masih problematis adalah belum redupnya isu pemekaran provinsi Aceh Leuseur Antara (ALA) dari wilayah publik. Meskipun Gubernur Irwandi berhasil membonsai jaringan dan tokoh-tokoh politik yang propemekaran, isu ini kembali hangat. Bila tidak dikelola ”mainan politik” ini akan berubah serius. Peredaan wacana pemekaran akan efektif jika pemerintahan Aceh mampu memberi janji dengan bukti serta membebaskan isolasi masyarakat pedalaman dengan pembangunan dan partisipasi. Selain juga memberi kesempatan kekuasaan dan pendidikan bagi putra-putra terbaik Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aneuk Jamee, dan Simeulue sebagai suku minoritas di Aceh.

Keran keamanan pasti bocor jika setiap individu tidak dipercaya mempertahankan perdamaian. Tanggung jawab perdamaian Aceh tidak hanya di tangan elite, tetapi seluruh aktor yang peduli. Manisnya buah perdamaian bukan hanya bernutrisi bagi masyarakat Aceh, tetapi juga Indonesia yang makin berjaya.

Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh

Jumat, 29 Agustus 2008 | 00:26 WIB

Thursday, August 28, 2008

Mesin Ketik Pertama Arswendo Atmowiloto

Oleh Arswendo Atmowiloto

Saya menulis cerita pendek mulai kelas dua SMA। Mestinya jauh sebelum itu, karena itu यांग pertama kali dimuat। Tentang kisah cinta sesama teman sekolah. Lalu banyak menulis cerpen dalam bahasa Jawa. Salah satunya BAKUL JAMU atau penjual obat pinggir jalan yang biasanya penuh atraksi.

Saya ingat karena karena cerpen itu dikomentari sastrawan senior N. Sakdani Darmopamudjo. Tentu saja cerita ini lahir dari tangan saya--dalam artian sebenarnya--karena saya tulis dengan tangan. Tulisan tangan saya tidak bagus... sampai sekarang susah dibaca, mirip resep bikinan dokter.

Sebagian dari karya saya kemudian saya berikan ke biro jasa pengetikan. Waktu itu di Solo ada banyak biro jasa seperti itu. Kita bisa mengetikkan , dapat rangkap dua, dengan ongkos tertentu per halaman. Tapi ya itu tadi, tulisan saya susah dibaca dan susah ditafsirkan. Akibatnya, banyak salah ketik.

Tanpa banyak belajar, saya bisa mengetik di kantor kelurahan. Biasanya sehabis jam kantor, kelurahan sepi. Mesin ketik gede pun menganggur sehingga saya bisa leluasa menggunakan. Namun, kondisinya sudah tidak memenuhi syarat. Pitanya kering dan hancur, huruf-hurufnya harus dibersihkan, sehingga cara terbaik adalah memakai karbon. Aslinya tak jelas, tapi hasil karbon bisa terbaca. Apalagi harga karbon jauuuuh lebih murah dibandingkan dengan harga pita mesin ketik.

DIGADAIKAN IBU

Sebenarnya, kami pernah memiliki mesin ketik, warisan keluarga. Saya pernah menggunakan sesekali. Tapi oleh Ibu, mesin ketik itu digadaikan ke keluarga dekat. Karena tiga bulan tak bisa menebus, akhirnya "mabur" alias terbang tak kembali.

Sebenarnya keluarga dekat itu bukan tukang gadai. Tapi Ibu sering meminjam uang dan biasanya susah ditagih. Saya sempat marah besar kepada Ibu, namun Ibu menerangkan: "Itu lebih baik daripada kelaparan, dijual kan sayang."

Untuk jangka yang lama saya membenci Ibu karena tak menemukan alasan kenapa mesin ketik itu digadaikan. Ibu menyesali perbuatan itu, dan menurut cerita, ia mau "menjual rambut tubuhnya" jika bisa menebusnya. Tapi tak ada yang mau membeli rambut Ibu. Versi lain diceritakan tetangga. Ibu terpaksa menggadaikan mesin ketik itu bukan untuk kebutuhan sendiri, melainkan untuk menolong seseorang yang datang padanya meminjam duit.

Beberapa kali saya minta klarifikasi ke Ibu, tapi tak ada jawaban pasti. Untuk satu hal ini, Ibu lebih suka tutup mulut.

Akhirnya, ada jalan keluar yang tak terduga. Bisa jadi beginilah jalan Tuhan yang susah dimengerti, tapi mudah dirasakan. Saya menjaga toko kelontong milik keluarga dekat tadi. Saya menjaga saya juga berbelanja ke toko grosir dan melakukan pembukuan. Untuk itu, saya tidak menerima gaji, tapi bisa menggunakan mesin ketik.

Selama tak ada pembeli, saya bisa terus mengetik. Sebuah penyelesaian yang sama-sama menyenangkan. Saya mengusulkan toko buka 24 jam, meski yang disetujui hanya sampai pukul 22.00.

Toh, keinginan memiliki mesin ketik sendiri tetap menggebu, apalagi setelah toko kelontong itu punya penjaga lain. Saya merasa kurang leluasa mengetik. Untunglah, tak lama kemudian saya diterima bekerja di sebuah penerbitan berbahasa Jawa. Di sini saya bisa mengetik. Tapi, karena satu mesin dipakai tiga empat wartawan, kami harus antre. Di malam hari kadang saya tertidur dalam antrean.

Di samping pekerjaan kantor, saya mengetik juga keperluan pribadi. Menulis artikel, cerita pendek, dan cerita bersambung untuk dikirimkan ke penerbitan di Jakarta. Untuk kertas yang dipakai urusan pribadi, saya membawa sendiri dari rumah. Kertas itu biasanya kertas buram--begitu istilahnya, harganya murah.

Kertas itu tidak dibeli per rim, melainkan secara eceran. Bisa dibeli hanya 100 lembar, 50 lembar, bahkan 10 lembar pun dilayani. Dapat dibayangkan betapa repotnya menghitung lembar demi lembar, kadang tangan dibasahi ludah lebih dulu.

Saya mencoba menyisihkan uang agar kelak bisa membeli mesin ketik. Yang bekas pun tak apa. Namun, keinginan itu lebih sering mentok oleh kebutuhan perut. Hanya mereka yang pernah merasakan lapar, tahu betapa kelaparan bisa mendorong seseorang berbuat yang kita sesali, termasuk membenci Ibu atau mengecewakan anak. Hanya mereka yang tulus akan menemukan jalan keluar yang menyenangkan, tidak menyakiti siapa-siapa, dan tidak menyisakan dendam.

BUAH PERKAWINAN

Tahun pertama pernikahan, saya lebih memperkuat tekad untuk bisa membeli dan memiliki mesin ketik sendiri. Istri saya yang bekerja sebagai penjahit setuju untuk sama-sama menyisihkan uangnya. Dimasukkan ke "tabungan" yang diletakkan di kamar tidur. Bukan celengan ayam atau babi, melainkan kendi, tempat air dari tanah.

Kalau saya menerima honor tulisan, separuh masuk tabungan. Juga istri saya kalau menerima honor jahitan. Kalau tidak begitu, tidak ada yang tertahan. Sebelumnya, kami sudah melakukan hal yang sama ketika membeli mesin jahit bekas, dan sukses.

Meskipun tidak mencatat, kami sering berhitung. Kira-kira sudah berapa, hari ini memasukkan berapa, minggu ini memasukkan berapa. Perolehan dari honor-honor saya lumayan sebenarnya. Karena saya juga menulis laporan atau berita--lebih sering berbentuk feature--untuk harian KOMPAS dan mingguan TEMPO. Mungkin saya satu-satunya koresponden lepas yang bekerja untuk dua media yang berbeda. Herannya, saya memiliki surat tugas resmi, selembar kertas yang menerangkan saya koresponden lepas, dengan jangka waktu tertentu.

Honor menulis cerpen sekitar lima kali hasil menjahit baju. Namun tak bisa dijadwalkan kapan saya terima. Sementara menjahit bisa diperhitungkan, tiga hari dikerjakan selesai. Bisa langsung terima ongkos jahit... kalaupun mundur pembayaran, masih bisa diperkirakan. Baik menjahit maupun mengetik tak memerlukan modal besar. Menjahit hanya perlu membeli benang dan jarum sesekali, sedangkan mengetik hanya memerlukan kertas. Masalahnya, mesin jahit sudah ada, mesin ketik belum!

Sambil menunggu tabungan penuh, kami berdua rajin ke toko, melihati pajangan mesin ketik, dan mengumpulkan data-data, merek ini harganya berapa.Keinginan saya adalah mesin ketik portable--bukan yang gede kayak di kantor. Buatan Jepang lebih murah dari buatan Jerman, Inggris atau negara lain.

Ketika merasa sudah cukup, kami pun sepakat untuk memecahkan kendi. Benar, uang yang kami kawinkan berhasil mencapai harga mesin ketik di toko. Tak menunggu lama, kami berdua naik becak menuju kompleks pertokan di daerah Singasaren, sekitar tiga kilometer dari rumah. Dengan gagah kami membeli. Akhirnya! Ya, akhirnya saya, eh kami, memiliki mesin ketik sendiri!

Pulangnya saya tak mau naik becak. Mesin ketik sengaja saya tenteng sambil jalan kaki. Biar seluruh dunia tahu saya mampu membeli mesin ketik. Baru. Merek Brother, buatan Jepang -- mungkin juga buatan Taiwan atau Tiongkok, atau malah rakitan negeri sendiri. Kami hanya beristirahat di warung bakso. Bukan karena kecapekan, melainkan masih ada sisa duit. Melanjutkan jalan kaki, lewat deretan toko yang lampunya terang. Sehingga orang-orang bisa melihat kami membawa mesin ketik!

Sampai di rumah, mesin ketik dibuka plastiknya, saya letakkan di ranjang. Lalu dikeloni. Sengaja saya tidak menggunakan malam itu. Ingin memandang sepuasnya. Saya sudah menyatakan tekad bulat: segenting apa pun hidup ini, mesin ketik ini tak boleh digadaikan.

AMAN BERSELIMUT

Esoknya, berita besar sampai di kantor. Saya mendapat ucapan selamat. Semua teman menyatakan turut bergembira. Tentu saja mereka bergembira karena saya tak ikut antrean lagi.
Sejak itu hiasan rumah jadi berubah. Bertambah dengan pita yang direntangkan dari ujung ke ujung. Pita mesin ketik yang kering diminyaki, kemudian diangin-anginkan. Ini cara yang lebih mudah dibandingkan membeli yang baru. Pernah saya melakukan kebodohan yang disesali agak lama. Membeli pita baru yang dua warna: merah dan hitam. Ternyata warna merah praktis tak pernah digunakan, artinya hanya mempergunakan separuh. Duuuuh, nyesel rasanya.

Akhir 1973 saya mengembara ke Jakarta, sendirian. Anak dan istri di rumah. Pekerjaan saya menulis resensi, atau apa saja untuk dikirimkan ke media yang ada. Media mana saja. Mesin ketik itu saya bawa karena tak punya kantor. Saya memperoleh tempat tinggal di daerah Cililitan, di sebuah kebun kosong milik orang yang baik hati. Di sana ada rumah, namun kurang terurus... memang tak ditempati. Ada daun pintu, tapi tak ada kunci, dan engselnya mudah lepas.

Kalau saya dan teman-teman pergi, mesin ketik itu saya bungkus selimut, disembunyikan di kolong ranjang. Nyatanya selamat dari pencuri yang bisa masuk leluasa jika mau.

Kemudian saya mulai bekerja di grup ... namanya belum divisi majalah, di Gramedia. Mesin ketik itu pun ikut pindah ke rumah kontrakan di daerah Kalipasir, Cikini, kemudian ke Depok. Kadang kalau tugas keluar kota saya bawa.

Kami berpisah sementara di akhir tahun 1979 ketika saya mendapat beasiswa dari University of Iowa, Amerika Serikat. Saya mendapat kesempatan mengikuti kuliah dan membeli kuliah, kalau mau, mengenai penulisan kreatif. Hasil pertama di sana saya isi dengan membeli mesin ketik. Waktu itu mesin ketik sangat murah karena adanya komputer. Belinya di toko loak.

Suara tak-tik-tak-tok yang merdu turut hilang, berganti tet-tet-tet-tet mesin ketik listrik. Rasanya kok kurang pas. Itu sebabnya saya beli lagi mesin ketik biasa. Saah satu novel yang saya tulis lewat mesin ketik itu adalah DUA IBU yang dimuat bersambung di KOMPAS dan diterbitkan Gramedia, lalu mendapat penghargaan sebagai buku terbaik dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Dua mesin ketik itu saya bawa pulang, meskipun praktiknya saya masih lebih sering menggunakan merek Brother, yang kini telah berubah, catnya diperbarui. Kalau tak salah pernah dua kali diperbarui catnya, sebelum akhirnya lebih banyak digunakan keponakan. Sekitar 1985-an saya mulai menggunakan komputer. Membeli dari Parakitri Tahi Simbolon yang menjual berikut mesin printernya.

DOA DARI PENJARA

Saya memang selalu mengetik. Boleh dikata, tak pernah tiga hari berturut-turut, dalam kondisi apa pun, saya tidak mengetik. Setidaknya sampai 1990 ketika saya masuk penjara. Saya masih menulis, mengumpulkan lelucon-lelucon, yang lantas menjadi buku MENGHITUNG HARI, juga dibuat sebagai sinetron dengan judul yang sama dan dipilih sebagai sinetron terbaik. Capek sekali menulis tangan seperti dulu. Akhirnya, saya secara khusus merumuskan cara berdoa.

"Tuhan, tangan saya capek menulis. Beri kesempatan menggunakan mesin ketik kalau itu membawa kebaikan bagi saya. Jangan beri kesempatan kalau ternyata menjauhkan dari-Mu." Saya minta bantuan istri dan anak-anak berdoa dengan tema serupa: mendapatkan mesin ketik.

Eeeee, manjur seketika atau kebetulan, saya diizinkan memakai mesin ketik. Surat permohonan yang sudah diajukan sejak masuk, tiba-tiba diberi izin, dengan surat khusus. Alasan yang saya pakai untuk mengetik pembelaan. Surat izin itu saya beri bingkai, saya tempel di kamar. Isinya bahwa saya bertanggung jawab penuh atas penggunaan mesin ketik itu, tak boleh dipinjamkan kepada orang lain tanpa izin tertulis dari pimpinan.

Suatu ketika ada sipir yang mau meminjam mesin ketik, tetapi saya tolak. Padahal hanya mengetik satu huruf. Ya, satu huruf. Sipir itu baru saja memfotokopi kartu tanda penduduk. Rupanya ada huruf yang tak tersalin dengan jelas, dan hanya bisa dibetulkan dengan mesin ketik karena jenis hurufnya sama. Tapi saya keukeh tak memberikan dengan menunjukkan tanda larangan meminjamkan.

Di ruang keamanan--hanya ini tempat yang diperbolehkan untuk mengetik, itu pun siang hari--saya tak cuma mengetik pembelaan, tapi juga cerpen, novel, cerita bersambung, sesekali artikel. Dengan nama samaran, saya kirimkan dan dimuat di banyak harian, mingguan, dan majalah.

Gangguan kala mengetik hanya terjadi kalau ada napi berkelahi, pukul-pukulan, tusuk-tusukkan, atau tertangkap sodomi. Di ruang itulah diperiksa, berdaah-darah. Saya tak tega melihatnya. Mungkin kalau dulu saya berdoa: "Tuhan beri kesempatan saya menggunakan mesin ketik siang dan malam", lain ceritanya.

Sekarang, ketika menulis ini, saya tak lagi memakai mesin ketik. Tapi saya mengoleksi banyak mesin ketik, dari semua jenis yang pernah saya gunakan dan masih saya ingat, sampai yang aneh-aneh. Ada yang hurufnya amat sangat kecil, berhuruf Jepang, Arab, Thailand, Ibrani, India, ada juga yang sangat besaaaaar, hurufnya berdiri seperti bulu merak, hurufnya kapital semua, hurufnya terbuat dari perak, berukuran lebih kecil dari korek api [ini lebih sebagai hiasan], sampai yang masih lengkap tas pembungkusnya [dari kulit, kayu, plastik].

Beragam benar, dan semua masih bisa digunakan untuk mengetik. Saya memang senang mengoleksi. Mungkin karena dulu pernah menggunakan berbagai jenis yang tak bisa saya miliki. Mungkin juga karena kini saya merasa punya duit dan mampu membeli. Mungkin juga karena keinginan bernostalgia, sebagai kenangan yang bisa menjadi kekuatan rohani saat itu... atau juga sampai saat ini.

Yah, hanya mereka yang penah lama mengetik dengan mesin ketik manual bisa merasakan irama tak-tok-tak-tok yang indah, merdu, dan memberi kekuatan hidup. (*)

Sumber: Intisari, Februari 2008

BUNGA DUKA

Oleh: Valery Kopong*

GUNDUKAN tanah itu masih basah. Di atas gundukan tanah itu tertabur bunga-bunga duka dan tertanam salib bertuliskan RIP, requescat in pace, semoga ia beristirahat dalam damai. Menatap salib kayu bertuliskan RIP dan nama Paul yang terpampang di palang hina itu, ada memori terhadir kembali untuk mengenang wajah yang sudah berada dalam bayangan. Wajah yang ramah itu telah membumi dan lebur bersama ibu pertiwi tetapi kenangan akan wajah dan kepribadiannya tak pernah luput dari ingatan.

Kematian tak terelakan oleh manusia itu telah meninggalkan kesedihan yang mendalam. Isak tangis dan jeritan keluarga tak kuasa menghidupkan kembali tubuh yang kaku. Tetapi di tengah deraian air mata dan hilangnya harapan tersembul sosok Yesus yang dalam kitab suci memperkenalkan diri sebagai jalan, kebenaran dan hidup. Sebagai jalan yang benar, dimengerti sebagai penunjuk jalan ke arah tanah air sorgawi. Dialah yang membimbing orang yang telah meninggal dunia untuk boleh menikmati kebahagiaan abadi, suatu kebahagiaan sejati yang dijanjikan oleh Kristus kepada manusia. Dan Kristus sebagai manusia yang pernah mati dan bangkit sebagai Allah menjadikan ia sebagai tokoh iman abadi bagi dunia.

Merenungkan kisah korban Kristus dan memperhadapkan dengan kematian sahabatku Paul, ada suatu janji tentang kehidupan lain yang ada di dalamnya. Ketika berbaring di RS Sint Carolus, Paul sepertinya berpasrah pada Dia yang telah tersalib. Aku mengerti dengan sikap pasrahnya yang mungkin dipengaruhi oleh profesinya sebagai guru agama sehingga ia menghayati penderitaan itu sebagai salib yang harus ditanggung. Kepasrahan yang tergambar dalam sikap Paul yang berstatus sebagai pasien, tidak hanya karena penghayatannya akan penderitaan yang telah dialami oleh Sang gurunya tetapi karena parahnya penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya.

“Pak, sakit apa pak?” tanya Beny puteranya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

“Engga! Engga! Bapak engga sakit! Bapak hanya istirahat,” jawab Paul dalam kemelut resah. “Mengapa bapak hanya istirahat dan harus menempati ruang isolasi?” tanya Beny yang melacak keberadaan bapak di ruang isolasi.

“Ia tak sanggup menjawab lagi seluruh pertanyaan yang diberikan oleh anaknya. Buliran air matanya jatuh berceceran membasahi pipinya yang makin kurus.

Hari berganti hari, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Sore itu, Maria isterinya dipanggil oleh dokter Alberto untuk berkompromi agar bapak Paul segera dilarikan ke ruang ICU. “Bu, kondisi suamimu semakin memburuk. Jalan satu-satunya yaitu masuk ruang ICU dan kemungkinan dicuci darahnya karena darahnya telah tercemar dengan racun sebagai akibat dari pecahnya empedu,” kata dokter Alberto

“Seluruh penanganan kesehatan, saya serahkan pada dokter,” tegas Maria dengan mata berkaca-kaca. Memasuki ruang ICU sepertinya memasuki ruang kematian, mirip Auschwitz di Jerman tempo dulu. Pernapasan bapak Paul dipacu oleh oksigen dan hentakan jantung dikontrol oleh komputer. Detakan garis naik-turun yang terlihat pada layar komputer menandakan bahwa masih adanya tanda kehidupan. Pada hentakan garis terakhir menunjukkan sebuah garis lurus yang membentang dan mengisyaratkan sebuah kematian total. Pada hari Jumat, tepatnya pukul 10.00, bapak Paul menutup mata untuk terakhir kalinya. Ia mengambil hari Jumat sebagai hari kematian, mungkin untuk menunjukkan bahwa ia tetap menyatu dengan Yesus yang kematianNya diperingati pada hari Jumat Agung.

Ia telah tiada, ia telah pergi. Jiwanya telah melayang mendahului Beny, Eus dan Maria. Kepergiannya telah melepaskan belenggu penyakit yang menggerogotinya selama hidupnya. Tetapi kematiannya telah menyisahkan kepedihan yang mendalam dan hilangnya harapan bagi kedua puteranya.

“Mam, ke mana bapak pergi? Tanya Beny pada Maria, mamanya.

“Ia pergi menemui Yesus,” jawab Maria.

“Kapan bapak pulang lagi setelah menemui Yesus?” tanya Beny lanjut.

Kematian membawa kedukaan tetapi dibalik kedukaan itu menimbulkan pertanyaan lanjut, seperti Beny yang selalu bertanya kepergian bapaknya. Tubuh bapak Paul telah melebur bersama tanah. Gundukan tanah yang membukit pada pintu makam, telah menyatukan-leburkan tubuhnya dengan tanah. Memang, manusia diciptakan dari tanah maka setelah meninggal, ia harus kembali ke asalnya. Tanah adalah pangkuan asal seorang manusia dan manusia menemukan kerapuhan diri di atas onggokan tanah.

Tubuh memang hancur tetapi jiwa adalah sesuatu yang abadi. Setelah kematian, tubuh manusia berpisah dengan jiwanya. Tubuh kembali menemui tanah asalnya dan jiwa pun pergi menemui Allah sebagai Sang Khalik. Perpisahan tubuh dan jiwa dalam peristiwa kematian tidak lebih dilihat sebagai terbebasnya jiwa dari penjara tubuh. Tubuh dilihat sebagai penjara yang selama manusia hidup tetap mendekap jiwa. Karena tubuh (baca:daging) itu lemah maka terkadang jiwa turut terperosok di dalam kelemahan tubuh itu.

Senja kini jatuh lebih cepat di kompleks pemakaman karena pohon-pohon rindang menaungi dan sinar mentari menghilang lebih awal ditolak daun-daun tua dan semerbaknya wangi bunga duka. Di atas langit terlihat sebuah pesawat melaju dengan cepat menghantar penumpang, saat yang sama sidang perkabungan pun menghantar jenazah bapak Paul. Seperti pesawat, yang setelah menghantar penumpang namun tidak tahu ke mana tujuan perjalanan penumpang selanjutnya, demikian juga para pelayat dan penghantar jenazah. Mereka cuma menghantar tetapi tidak tahu perjalanan jiwa selanjutnya. Tetapi dalam keyakinan akan Kristus sebagai jalan, kebenaran dan hidup, Beny dan Maria ibunya percaya bahwa jiwa almahrum telah berarak menuju tanah air sorgawi. “Bapak, selamat jalan sampai jumpa. Jangan lupa Beny dan Eus,” pinta Beny di depan pusara.***

Api, Lau

Bung Karno jadi presiden dalam usia 44. Soeharto memimpin gerilya ke Kota Yogya dalam umur 26. Ali Sadikin jadi gubernur ketika ia 39 tahun.

Apa yang menyebabkan keadaan seperti itu kini tak terjadi lagi? Kenapa kini, pada awal abad ke-21 ini, sejumlah orang harus berteriak, seakan-akan mendesakkan yang tak lumrah, memberitakan yang tak lazim, bahwa mereka yang masih muda bisa jadi pemimpin?

Memang ganjil, sebenarnya. Indonesia belum tua benar. Enam puluh tiga tahun adalah waktu yang pendek bahkan dalam tarikh kepulauan ini sendiri. Tapi rupanya sesuatu terjadi: kini Indonesia tak berada dalam sebuah krisis dan lebih dari itu, kini kita telah terbiasa gentar untuk krisis.

Tak ada lagi tanah longsor politik, yang menyebabkan lembaga-lembaga yang ada retak atau runtuh. Tak ada celah tempat munculnya sesuatu yang baru sama sekali. Tak ada awal yang seakan-akan murni dan sepenuhnya awal. Kita bisa bernapas lega. Tapi jangan-jangan kita sebenarnya sedang tidak benar-benar bernapas.

Sebab, seperti dialami Indonesia pada tahun-tahun revolusi— dari 1945 sampai 1949—dari retakan tanah longsor itulah, ketika sejarah bagaikan dipenggal, bisa lahir pemimpin yang justru jadi penting karena ia tak punya masa lalu. Bukan kebetulan Benedict Anderson menyebut masa itu masa ”Revolusi Pemuda”: yang muda tak hanya berada di garis depan yang menghela maju, tapi juga di belakang, jadi pendorong.

Gemuruh itu menemukan jejaknya, dengan sedikit mencong-mencong, dalam organisasi-organisasi pemuda. Ada Gerakan Pemuda Marhaen, Gerakan Pemuda Islam Indonesia, Pemuda Rakyat, Pemuda Sosialis, Pemuda Ansor—dan pada 1958 sampai 1966, sebagian dari ”gerakan” itu disingkirkan dan sebagian dihidupkan kembali, sebuah tanda bahwa sesuatu sedang guncang di masa itu.

Pada 1958, Bung Karno menyebut tema ”Manifesto Politik” yang dimaklumkannya ”penemuan kembali revolusi kita”. Sampai 1965, kata ”revolusi” jadi sakti kembali. Tak berarti masa itu adalah masa yang seluruhnya layak dirindukan kembali: ”revolusi”, walaupun dalam bentuk separuh retorika belaka, punya korbannya sendiri. Tapi ada yang kuat di sana, dan suasana seperti matang kembali, berseru, seperti Chairil Anwar berseru:

Ayo Bung Karno, kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu

Kemudian datang 1965-1966: api itu membakar, laut itu menghantam, ke sana-kemari, dan dari arang dan puing Indonesia berpegang erat-erat, dengan rasa takut dan paranoia, sebuah keadaan yang disebut ”stabilitas”. Gemuruh dan gejolak dicegah. Revolusi digantikan Kontrarevolusi. Lembaga-lembaga dikukuhkan. Sistem dan prosedur dimantapkan.

Dalam keadaan itu, yang muda tak bisa lagi berkata, seperti Chairil berkata, ”aku sekarang api, aku sekarang laut”. Berangsur-angsur, yang muda jadi bagian penopang bangunan yang didirikan dan diberi nama ”Orde Baru”: jadi paku, sekrup, dan penyangga—hal-hal yang tak bisa mengguncang, bahkan diadakan buat melawan guncangan. Para pemuda bukan lagi bergerak, melainkan harus antre dengan tertib. ”Orde Baru” adalah sebuah masa ketika kita praktis tak mendengar lagi kata ”pemuda” sebagai yang terkait dengan gerakan. Kita tak mendengar dengus napasnya.

Politik memang mati pada masa itu. Kini, sejak 1998, ia memang hidup kembali, tapi tiap ”Reformasi”—bahkan sebenarnya juga tiap Revolusi—tak hanya mengandalkan sisi destruktif dari sikap menampik. ”Reformasi” tak hanya terdiri dari sisi yang merusak dari ”negasi”. Tiap ”Reformasi” mengandung sisi yang ”afirmatif”. Tiap ”Reformasi” menunjukkan kemungkinan lahirnya tatanan baru yang sebenarnya bukan sebuah awal yang benar-benar awal.

Tapi dengan demikian ”Reformasi” mengandung kemungkinan berubahnya tatanan itu jadi kontra-reformasi. Ada satu fragmen dari sajak Pier Paolo Pasolini, Vittoria, yang pernah dikutip Alain Badiou—sebuah sajak yang dimulai dengan kalimat yang muram, ”semua politik adalah Realpolitik”. Dari sini kita temukan gambaran yang murung: pasukan anak muda yang telah gugur, yang datang kembali dan menunggu. Tak mustahil bila ”ayah mereka, pemimpin mereka, terlibat habis dalam sebuah debat yang misterius dengan Kekuasaan”. Tak mustahil bila sang ayah akan meninggalkan mereka, ”di pegunungan putih, di lembah yang anteng…”.

Tak mustahil—bahkan itulah yang terjadi kini. Politik hidup kembali, tapi tampaknya anak-anak muda telah ditinggalkan. Sepuluh tahun setelah Reformasi, tetap tak ada tampak gerakan pemuda dalam radar politik Indonesia. Partai-partai yang kini sibuk tak henti-hentinya terlibat dalam ”debat yang misterius dengan Kekuasaan” dan ke luar dari sana dengan tubuh yang gemuk tapi tua.

Tubuh itu tampak tua tentu saja karena Megawati, dalam umur 61, tetap ingin jadi presiden sekali lagi. Juga karena Abdurrahman Wahid, 68 tahun, belum hendak melepaskan niatnya buat kembali jadi kepala negara. Tapi bukan hanya itu soalnya. Ketuaan itu terasa ketika partai-partai memang tidak dimaksudkan untuk jadi ”api” dan ”laut”—kekuatan yang bisa destruktif tapi juga bisa menggerakkan perubahan.

Buat sebuah perubahan sosial, mereka yang tak terikat masa lalu—para pemuda—diperlukan di depan, sebagai penghela dan pendorong. Tapi jika kini kita tak melihat mereka, itu karena partai hanya jadi sebuah tempat pengawet, berangkat dari keinginan untuk kembali, bukan untuk sebuah gerakan maju.

~Majalah Tempo Edisi. 23/XXXVII/28 Juli - 03 Agustus 2008~

Wednesday, August 27, 2008

MEMBUNUH IDEOLOGI

Oleh: Valery Kopong*

Abu Dujana telah ditangkap. Pelbagai kritik sedang dituai oleh pihak kepolisian berkenaan dengan cara penangkapan yang dinilai tidak manusiawi. Tim pembela muslim pun menilai bahwa penangkapan yang dilakukan melanggar hak asasi manusia karena yang bersangkutan ditembak pada saat ia telah jongkok dan pasrah.

Peristiwa penangkapan teroris ini mengundang minat publik untuk mengkaji lebih jauh terkait dua hal. Pertama, peristiwa penangkapan Abu Dujana dan para teroris lain tidak secara otomatis membubarkan jaringan teroris yang telah eksis sekian tahun. Kedua, peruntuhan jaringan teroris mestinya dibarengi dengan pembersihan ideologi yang dianut oleh kaum teroris yang telah mengakar dalam kelompok fundamental yang melegalkan kekerasan bahkan pembunuhan sebagai “komunikasi religius.” “Jihad, sebuah terminologi suci bagi kaum teroris. Penyebutan jihad seakan menjadi sebuah pembelaan tuntas. Terminologi jihad menyelesaikan segala perkara. Ada semacam keyakinan bahwa aktivitas kekerasan menjadi sarana masuk sorga, asal dibungkus dengan motif jihad. Sebuah logika moralitas yang menyesakkan nurani kemanusiaan kita!”

Tugas Berat Kepolisian

Apakah dengan penangkapan pelaku teroris, Indonesia sudah merasa aman dari ancaman dan peledakan bom? Jawabannya sulit untuk ditebak. Penangkapan bukanlah tujuan akhir tetapi hanyalah sebuah cara. Permasalahan pokok yang perlu ditangani terletak pada bagaimana membangun ideologi baru yang lebih menghargai nilai humanitas dan sekaligus menyelenggarakan kampanye untuk meruntuhkan ideologi militan yang sedang ditumbuhkan oleh kaum teroris.

Pihak kepolisian masih memiliki kelemahan. Secara organisatoris, mereka (pihak kepolisian) cukup solid dalam membangun jaringan kerja untuk membongkar kerangka kerja para gembong teroris. Tetapi cara paling efektif untuk bagaimana membubarkan jaringan teroris dengan ideologinya, belum terjangkau secara fundamental.

Tugas berat pihak kepolisian pascapenangkapan Abu Dujana adalah membangun pola kerja baru dengan menempuh beberapa langkah. Pertama, pahamilah masalah secara benar seperti yang dikatakan oleh Hobbes. Dengan memahami esensi masalah terorisme secara komprehensif maka besar kemungkinan semua permasalahan dapat teratasi.

Kedua, kepolisian harus digerakkan oleh misi dan kepentingan yang sama. Untuk meruntuhkan jaringan ini perlu adanya kerja sama dengan lembaga lain terutama lembaga keagamaan yang dijadikan tameng oleh para teroris untuk berlindung. Lembaga penegak hukum yang baik mempunyai mission-driven (Frederickson, 1997), bukan sekadar digerakkan oleh aturan (rule-driven).

Ketiga, meruntuhkan jaringan komunikasi yang negatif. Menelusuri sepak terjang kehidupan para teroris, kehidupan mereka menyatu dengan dunia internet dan alat komunikasi lain, yang mana peluang ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi secara global dengan sesama jaringan. Untuk membendung komunikasi ini maka pihak kepolisian berkoordinasi dengan departemen yang secara langsung menangani dunia internet dan alat komunikasi lain dalam memblokir jaringan mereka.

Keempat, sudah saatnya pihak kepolisian dan pemerintah bekerjasama mendirikan satu lembaga baru yang khusus mengedepankan “ideologi baru” (mungkin ideologi pancasila) yang lebih humanis yang bisa memberi pemahaman terhadap publik akan pentingnya penghargaan terhadap martabat manusia. Kerumunan masyarakat perlu diberi pembekalan baru tentang nilai sebuah kehidupan yang lebih berarti. Atau meminjam bahasa Le Bon, seperti yang dikutip Boni Hargens mengatakan, individu dalam kerumunan menjadi anonim, mengalami hipnosis karena tenggelam dalam psikologi kolektif yang menular secara psikologis, cenderung mudah dipengaruhi, mudah percaya, dan loyal pada kelompok. Fenomena ini terlihat pada kelompok teroris yang cenderung mudah dipengaruhi dan loyal pada pamrih daripada hajat hidup rakyat, pemilik kehidupan (Kompas,18/5/2007).

Ujung Tombak

Lembaga kepolisian menjadi ujung tombak membasmi jaringan berbahaya ini. Empat pilar di atas menjadi penentu utama dalam menegakkan sebuah negara dari ancaman teroris. Jika pilar penentu kurang diperhatikan secara baik maka pertumbuhan jaringan terorisme semakin menyebar, seiring dengan waktu dan lengahnya para aparat.

Menata pola kerja seusai penangkapan Abu Dujana adalah sesuatu yang mendesak. Karena setiap kali ada penangkapan, apalagi yang ditangkap adalah seorang pemimpin maka ikatan emosional anggota lain cepat tanggap untuk menata susunan kepemimpinan yang baru. Pola kerja aparat dalam melenyapkan jaringan ini terkesan lambat tapi pasti. Atau meminjam adagium latin, “guta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo.” (titik air dapat melubangi batu bukan dengan kekerasan tetapi dengan cara menetes berulang-ulang kali). “Gaya dan pesona kehilangan makna kalau pemimpin labil dalam prinsip. Perubahan terjadi di tangan pemimpin yang berprinsip tegas dan berperangai lembut.”

Keberhasilan pihak kepolisian dalam menangani masalah terorisme tidak terlepas dari partisipasi masyarakat terutama dalam memberi informasi mengenai keberadaan seorang teroris. Teroris telah tertangkap tetapi bukan berarti sekaligus melenyapkan karakter mereka yang militan. Masih ada jalan panjang untuk mengelola ideologi baru sebagai ideologi tandingan sekaligus meruntuhkan ideologi para teroris.***

*Penulis, pemerhati masalah terorisme