Thursday, June 10, 2010

MEMBACA DERITA AYUB
Dalam sejarah perjalanan umat manusia, selalu terlihat pengalaman derita yang dialami oleh manusia dan ketergantungan manusia terhadap Allah. Ketika pengalaman ini mendera manusia, pada saat yang sama, refleksi batin pun muncul sebagai bentuk kesadaran untuk mendekatkan diri pada Allah. Allah menjadi sungguh terlibat dalam “puing-puing” derita dan kekecewaan. Dari mana semua penderitaan itu bersumber? Dari Allah atau dari ulah manusia sehingga penderitaan itu tetap “menghujani” manusia?
Ayub dalam pengalaman menghadapi penderitaan, ia sungguh teruji kesabaran oleh Allah sendiri. Baginya, Allah adalah sandaran pertama dan terakhir, tempat ia mempertahankan diri. Ayub kehilangan segala-galanya: anak, ternak dan harta bendanya. Bahkan, isteri dan sahabat-sahabatnya pun “meninggalkan” dia; mereka mempersalahkan dia. Tiada tara beban deritanya. Tetapi, ia tetap beriman kepada Tuhan, Allahnya. Dengan kondisi ketakberdayaan ini, Ayub masih setia dengan Allah, yang sedang memberinya ujian. Apa yang sesungguhnya membuat ia bertahan di “pergelangan” derita? Ayub tidak kehilangan harapan. Harapan yang bertumpuh dalam dirinya menjadi titik topang yang membuat ia tegar dalam menghadapi cobaan yang luar biasa. Iman dan harapan adalah “benteng” pertahanan bagi orang yang beriman. Mungkinkah kita rela menerima cobaan dari Allah seperti Ayub?***(Valery Kopong)

Tuesday, June 8, 2010

JENDELA

SETIAP rumah tentu mempunyai sebuah jendela atau paling kurang fentilasi sebagai jalan sirkulasi udara. Umumnya rumah-rumah, baik tradisional maupun yang sudah modern memiliki jendela sebagai “ruang tembus pandang” bagi mereka yang berada di dalam rumah maupun mereka yang berada di luar rumah. Dengan adanya jendela maka para penghuni dapat memantau seluruh aktivitas yang dijalankan oleh orang-orang yang berada di luar rumah. Jendela rumah membuka peluang “perjumpaan jarak jauh” untuk mereka yang berada di luar rumah.
Sebelum Konsili Vatikan II, kehidupan Gereja Katolik terkesan kaku dan bahkan mengurung diri dari pergaulan umum dan mau berdialog dengan agama-agama lain. Gereja sendiri mengklaim diri sebagai sarana keselamatan. “Extra ecclesia nulla salus,” di luar Gereja tidak ada keselamatan. Dengan paham ini maka Gereja memposisikan diri sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan penentu keselamatan. Apakah paham ini benar dan bertahan sepanjang sejarah? Ternyata tidak!
Setelah Konsili Vatikan II, Gereja menyerukan dialog yang intens dengan kebudayaan dan agama-agama lain. “Sudah waktunya Gereja harus membuka jendela-jendela Vatikan agar udara luar (baca: pengaruh luar) dapat masuk ke dalam Gereja. Gereja perlahan membuka diri dan menerima pelbagai perubahan demi pengembangan Gereja itu sendiri. Dapatkah kita membuka jendela hati kita agar kita berani berdialog dan berubah sesuai dengan tuntutan zaman?***(Valery Kopong)

GURU

“Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.”


Sedari dulu, guru dilirik sebagai sosok yang menyimpan ilmu dan pemberi teladan bagi siswa. Tumpuan kepintaran para siswa sangat bergantung pada guru, si pemberi ilmu. Ilmu yang didalami guru selama di bangku kuliah, seakan menuntut “penetasan” kembali pada “sangkar sekolah” sebagai bukti keterbukaannya pada siswa yang dengan setia menyadap ilmunya. Melirik konsep publik tentang guru yang selalu mengada dalam waktu, membuat penulis melahirkan sebuah pertanyaan tuyul. Masih relevankah bila guru dianggap sebagai pengajar dan pendidik?
Di mata siswa, guru menjadi salah satu tumpuan di mana mereka boleh menimbah ilmu. Di hadapan siswa pula, guru adalah cerminan masa depan siswa yang masih berada dalam mayanda suram. Masa depan siswa yang masih dalam taraf impian, seakan disibaki oleh guru. Di sini, guru boleh tampil sebagai gembala tradisi dan nabi untuk masa depan siswa.
Oleh peralihan ilmu, secara gamlang dapat dikatakan bahwa siswa ditransformasikan sebagai penerus ilmu sedangkan guru dijadikan oleh siswa sebagai tempat untuk menerima ilmu. Di sini, tertampilkan peran mutualistik dan dalam konteks yang lebih simpel, guru adalah sebuah “sapaan” bagi persentuhan antara pemberi dan penerima, antara orang yang berpengetahuan lebih (baca: guru) dengan siswa yang masih mendiami “wilayah tabula rasa.”
Visi dan misi seorang pengajar dan pendidik terungkap dalam sapaan yang “menyejarah.” Misi seorang guru dalam memproklamasikan ilmu sambil menyiapkan masa depan siswa sebagai perwujudan visi-futuris. Guru yang bermodalkan ilmu, “bersentuhan” secara langsung dengan siswa sebagai “lahan riil” dan sanggup membuka mata siswa untuk menangkap dan merasakan pergulatan dengan ilmu yang ditawarkannya. Keterlibatan guru dalam upaya pemberdayaan siswa merupakan sebuah langkah awal dalam pencerahan masa depan.
Sebagai agen perubahan masa depan siswa, guru perlu juga membekali diri secara lebih mendalam dengan ilmu tambahan, selain yang telah diperoleh pada masa lalu di bangku kuliah. Oleh pembelajaran yang kontinu ini, ilmu yang telah diperoleh mengalami ‘peremajaan’ dan sanggup menempatkan diri sesuai dengan perubahan zaman. Usaha guru untuk terus belajar dan meremajakan ilmunya merupakan bukti pertanggung jawaban terhadap masa lalu. Tanpa kesadaran akan sejarah dan keberanian untuk menggumuli kembali ilmu di masa lalu, guru hanya tampil sebagai pelaku sejarah yang pasif.
Antara ilmu dengan siswa sebagai penerima ilmu, terdapat guru yang membenang-merahi proses pengalihan ilmu kepada para siswa. Tindakan komunikatif dari guru tidak saja menukarkan gagasan tentang sesuatu, melainkan dalam memberikan gagasannya, guru disanggupkan sebagai pendidik yang memberikan contoh atau teladan yang terbaik bagi siswanya. Tersebab oleh pendemonstrasian teladan inilah maka guru tetap memposisikan diri sebagai pengajar dan sekaligus sebagai pendidik.
Sapaan ‘guru’ mengandung dua aspek secara serentak. Guru tidak hanya tampil sebagai pengajar dengan mengesampingkan nilai-nilai pedagogisnya, melainkan dalam diri seorang guru mestinya ada penyatuan dua aspek ini yakni sebagai pendidik dan pengajar. Barangkali di sini, terdapat persoalan urgen yang dihadapi oleh para guru. Di satu sisi, sebagai pengajar, seorang guru sanggup memindahkan ilmu dari “gudang pemikiran” kepada siswa sebagai alamat terakhir di mana ilmu itu tersalur. Namun di sisi lain, terkadang guru tidak sanggup sebagai pendidik dalam memberikan teladan.
Dari sisi edukatif, ada sejumlah pertanyaan meragukan yang dialamatkan kepada guru sebagai pengajar dan pendidik, misalnya pertanyaan tentang ketidak-sanggupannya dalam membidangi sebuah ilmu atau tentang kegagalannya sebagai pendidik. Dua hal ini mestinya melekat dalam diri seorang guru secara utuh. Dalam proses mengajar dan mendidik, seorang guru tidak luput dari kekurangan kedua aspek ini. Tetapi kekurangan itu bisa teratasi bila ada keterbukaan hati untuk mau belajar dan berendah hati. Dari segi keteladanan, seorang guru baru, boleh mengaca diri pada guru yang telah lama berkecimpung dalam dunia pendidikan karena darinya dapat diperoleh pelbagai hal dalam mereparasi kekurangannya. Dari segi ilmu pengetahuan, seorang guru mestinya belajar pada “intellectual modesty” milik Sokrates. “Hanya satu yang saya tahu yaitu saya tidak tahu apa-apa.” Berpijak pada pemikiran ini maka guru tak pernah berhenti menggumuli ilmu pengetahuannya.***(Valery Kopong)

LAUT

Di atas geladak kapal, aku selalu melepaskan pandangan ke arah hamparan samudera yang begitu luas. Kapal yang pernah kutumpangi delapan tahun lalu, begitu besar. Tetapi ketika berada di tengah laut dan mencoba mencari jalan tanpa jejak yang pasti untuk menggapai dermaga harapan, ia tak berarti apa-apa. Betapa besar Allah menempatkan seluruh isi muka bumi dengan nama masing-masing. Allah mengumpulkan sungai-sungai di suatu tempat dan menamainya laut. Setiap hari sungai-sungai dari penjuru dunia terus mengirimkan air ke muara terakhir, laut. Tetapi sampai kapankah, laut itu menjadi penuh?
Merenung dan bertanya, sampai kapankah laut menjadi penuh adalah kesia-siaan, demikian kata Sang Pengkhotbah. Segala sesuatu adalah sia-sia. “Sungai-sungai terus mengalir ke laut tetapi laut juga tidak menjadi penuh.”
Laut adalah lambang kemurahan hati Allah. Segala yang baik dan buruk ditampung dalam satu naungan. Dapatkah kita menjadikan diri sebagai “laut” yang sanggup menerima kebaikan dan keburukan orang lain?***(Valery Kopong)

AYAM

Setiap kali melihat ayam meminum air, ada sesuatu yang baik diperlihatkannya. Sebelum mereguk air itu ia selalu menengadah ke langit, seolah mengucapkan syukur atas rezeki yang diperolehnya. Ayam tak memiliki akal seperti aku tetapi mengapa hal yang sama tetap dilakukan secara baku pada setiap kali mereguk air?
Bersyukur merupakan suatu kewajiban yang dilakukan oleh seorang manusia terhadap Allah. Allah telah memperlihatkan kebaikan, memberikan kelimpahan rezeki setiap hari walau dalam porsi yang berbeda? ***(Valery Kopong)

PELANGI

Di bawah rintik hujan, anak-anak itu terus bermain gasing, seolah memberi tanda protes pada alam yang menghalangi mereka bermain dengan menurunkan gerimis. Di ufuk Timur, bentangan pelangi memanjang dan memperlihatkan warna warni dan menawan. Bentangan pelangi yang memancarkan kemilau warnanya seolah tidak digubris oleh anak-anak desa. Mereka terus bermain.
Pelangi, simbol perpaduan dari sebuah keberbedaan. Kita berbeda karena terlahir dari dan dibentuk dalam budaya yang berbeda pula. Kita berbeda karena berhaluan agama yang berlainan. Tetapi perbedaan itu tidak menjadi pemicu untuk memunculkan cara baru untuk membangun pertentangan dalam warna yang berbeda pula. Pelangi juga merupakan suatu peringatan. Seperti nabi Nuh yang mengalami tanda pelangi dari Tuhan yang menunjukkan bahwa Allah berjanji untuk tidak lagi menurunkan air bah? Mungkinkan sebuah pertentangan juga merupakan bentuk lain dari air bah zaman ini?***(Valery Kopong)

RUMPUT DAN SAPI

Ketika musim kering tiba, para penggembala kewalahan mencari rumput yang hijau dan dijadikan sebagai makanan ternak. Suatu ketika di musim kering, seorang penggembala membeli sebuah kaca mata berwarna hijau dan dikenakan pada kedua mata sapi. Di samping sapi tersebut, tertumpuk rumput-rumput kering yang sebelumnya tidak bisa dimakan oleh sapi. Namun ketika mengenakan kaca mata berwarna hijau, sapi itu memakan rumput dengan lahapnya. Ia (sapi) menyangka bahwa rumput yang dihidangkan oleh tuannya adalah rumput yang masih segar. Sang penggembala tersenyum legah karena sapinya sudah bisa bertahan hidup dari rumput yang kering itu.
Dalam hidup ini banyak hal kita jumpai terutama menyangkut segala penipuan yang terjadi. Para pedagang ikan kakap merah misalnya, berusaha mengelabui pembeli dengan memberi zat pewarna (warna merah) pada kakap putih agar kakap tersebut laris terjual dengan harga yang melambung tinggi. Banyak cara yang dilakukan, baik oleh kita sendiri maupun oleh orang lain untuk mengorbankan lawan. Dapatkan kita hidup tanpa menciptakan resiko bagi orang lain.***(Valery Kopong)

ANAK DOMBA

Mengapa Yesus mengatakan diri sebagai Anak Domba Allah dan bukannya yang lain? Apabila melihat tingkah laku anak domba, kesan pertama yang muncul adalah sifat keluguan dan kepolosan serta pasrah pada siapa dan apa pun yang menganiayanya. Model kepasrahan yang ditampilkan anak domba dan jika disejajarkan dengan julukan Yesus sebagai Anak Domba Allah, barangkali ada miripnya. Kemiripan sifat di sini, dimengerti sebagai bentuk kepasrahan Yesus yang rela membiarkan diri-Nya untuk taat menderita, sengsara bahkan wafat di kayu salib. Tetapi kepasrahan Yesus memiliki arah yang jelas yaitu penyelamatan umat manusia.
Dalam Paskah Yahudi, hewan yang menjadi kurban istimewa adalah anak domba. Peristiwa pengorbanan anak domba ini mengingatkan bangsa Israel yang diselamatkan dari darah anak domba yang dioleskan pada masing-masing jenang pintu rumah bani Israel yang saat itu masih dibawah penjajahan bangsa Mesir. Paskah Yahudi adalah mengenangkan kembali peristiwa pembebasan, di mana Allah datang melawat umat pilihan-Nya. Dengan pembunuhan anak sulung bangsa Mesir ini memungkinkan mereka untuk keluar dan memulai pengembaraan hidup menuju tanah terjanji.
Dalam dunia Perjanjian Baru, kehadiran Yesus memberi arti baru dalam hidup manusia. Yesus menamakan diri sebagai Anak Domba karena Dialah yang mengorbankan diri di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Salib baginya adalah sebuah pilihan yang sangat pahit untuk dijalaninya. Yesus telah meminta kayu salib untuk membebaskan kita. Apa yang harus kita minta untuk menawarkan jalan yang benar bagi orang lain.***(Valery Kopong)

ANAK DOMBA

Mengapa Yesus mengatakan diri sebagai Anak Domba Allah dan bukannya yang lain? Apabila melihat tingkah laku anak domba, kesan pertama yang muncul adalah sifat keluguan dan kepolosan serta pasrah pada siapa dan apa pun yang menganiayanya. Model kepasrahan yang ditampilkan anak domba dan jika disejajarkan dengan julukan Yesus sebagai Anak Domba Allah, barangkali ada miripnya. Kemiripan sifat di sini, dimengerti sebagai bentuk kepasrahan Yesus yang rela membiarkan diri-Nya untuk taat menderita, sengsara bahkan wafat di kayu salib. Tetapi kepasrahan Yesus memiliki arah yang jelas yaitu penyelamatan umat manusia.
Dalam Paskah Yahudi, hewan yang menjadi kurban istimewa adalah anak domba. Peristiwa pengorbanan anak domba ini mengingatkan bangsa Israel yang diselamatkan dari darah anak domba yang dioleskan pada masing-masing jenang pintu rumah bani Israel yang saat itu masih dibawah penjajahan bangsa Mesir. Paskah Yahudi adalah mengenangkan kembali peristiwa pembebasan, di mana Allah datang melawat umat pilihan-Nya. Dengan pembunuhan anak sulung bangsa Mesir ini memungkinkan mereka untuk keluar dan memulai pengembaraan hidup menuju tanah terjanji.
Dalam dunia Perjanjian Baru, kehadiran Yesus memberi arti baru dalam hidup manusia. Yesus menamakan diri sebagai Anak Domba karena Dialah yang mengorbankan diri di kayu salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Salib baginya adalah sebuah pilihan yang sangat pahit untuk dijalaninya. Yesus telah meminta kayu salib untuk membebaskan kita. Apa yang harus kita minta untuk menawarkan jalan yang benar bagi orang lain.***(Valery Kopong)

MALAM

Malam selalu diidentikkan dengan kegelapan dan mendatangkan suasana ketakutan. Situasi ini terasa menyeramkan apabila seseorang tidak mau berdamai dengan keadaan (malam) yang selalu datang dalam sebuah kepastian. Karena itu tidak perlu ditakuti tentang malam yang tiba tetapi cobalah selalu untuk membiarkan diri untuk mengakrabi situasi yang tenang, aman dan selalu menjanjikan inspirasi.
Memang, bagi orang yang suka merenung, kehadiran malam merupakan sesuatu yang ditunggu-tunggu. Bagi sang perenung, kehadiran malam dapat membangkitkan memori dan nuansa inspiratif menyertainya untuk melewati malam yang sepi. Malam yang sepi adalah saat berahmat yang dapat mendatangkan berkah bagi sang inspirator. Lihat saja karya-karya para seniman, umumnya dikerjakan pada saat-saat hening dan hal ini selalu terjadi pada malam hari.
Mengapa mereka (para seniman) selalu mengerjakan pada malam yang sunyi? Alasan sederhana muncul yaitu bahwa mereka tidak mau diganggu oleh apa dan siapa karena pada saat-saat seperti itu orang-orang pada lelap tertidur. Dalam kesendirian, mereka mulai bergelut dan bergumul dengan ide yang dituangkan dalam karya-karya nyata.
Yesus barangkali seorang pencinta malam atau paling kurang suasana sepi dan sunyi. Ketika Dia mau menjalin relasi dengan Bapa-Nya di Sorga, Ia selalu menyisihkan waktu untuk mencari suasana sunyi dan sepi untuk memulai berdoa. Pada saat malam sebelum menjalani sengsara dan kematian-Nya, Yesus berdoa seorang diri di malam sunyi pada taman Getzemani. Dia tidak hanya memanfaatkan waktu untuk berdoa tetapi juga “menjinakkan” niat-Nya untuk tetap pada keputusan Bapa dalam menjalani kehidupan baru, yakni sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.***(Valery Kopong)