(catatan misa inkulturasi)
Paroki Santa
Helena-Karawaci-Tangerang begitu terbuka dan mengapresiasi nilai-nilai budaya
lokal yang dimiliki oleh umatnya. Umatnya yang beragam diberi peluang untuk
mengungkapkan iman dalam konteks budaya
yang dimilikinya. Budaya yang dimiliki
dan membentuk kepribadian sejak kecil dimanfaatkan sebagai sarana yang
mengantar untuk memahami, siapa itu Allah yang sebenarnya. Di Gereja Santa Helena
inilah umat merayakan Ekaristi dan memadukannya dengan budaya lokal. Misa
inkulturasi menjadi bagian penting untuk memahami kehadiran Allah lewat beragam
budaya.
Di pagi yang cerah minggu itu,
tepat 28 Oktober 2012 umat Katolik NTT yang berada di wilayah Paroki Santa
Helena dan sekitarnya merayakan misa yang dihantar dengan keberagaman budaya
yang dimiliki oleh setiap wilayah yang ada di NTT. Saat menampilkan lagu dan
tarian mengiringi prosesi misa, seolah-olah kesadaran setiap insan yang hadir
saat itu, digiring untuk mengenang kembali kisah masa lalu di kampung yang jauh
di ujung timur. “Per Mariam ad Iesum.” Inilah tema sentral yang diusung dalam
perayaan bernuansa etnis NTT itu sekaligus mengingatkan kita akan peran Maria
di dalam kehidupan manusia.
Misa inkulturasi ini begitu
meriah bukan hanya karena tarian dan lagu-lagu bernuansa etnis NTT tetapi lebih dari itu karena kehadiran
seorang gembala, Mgr. Vincent Sensi Potokota, Pr hadir dan bertindak sebagai
selebran utama. Kedatangannya dari Flores menunjukkan betapa perhatiannya yang
begitu besar terhadap umatnya sendiri yang sedang dan terus merantau jauh di tanah Jawa. Kehadirannya
menggelorakan kembali semangat hidup dan menuntun umat agar hidup di jalan yang
benar. Misa inkulturasi ini dihadiri oleh 12 imam yang umumnya berasal dari
Flores. Hadir pula Pastor Profesor Alex Lanur, OFM. Ribuan umat hadir dan
tenggelam dalam perayaan misa inkulturasi.
Dalam kata pembukaannya, Mgr.
Sensi mengatakan bahwa misa inkulturasi tidak sekedar seremoni belaka melainkan
sebuah ungkapan iman pada Allah. “Kita masih beruntung punya seorang Bunda
Maria yang kemudian menjadi ibu kita.” kehadiran Maria sangat dibutuhkan agar
melaluinya kita bisa selamat dalam ziarah hidup iman kita. Kemudian di dalam
khotbahnya, Uskup Agung Keuskupan Agung Ende-Flores ini memperlihatkan bahwa
masyarakat Katolik NTT dikenal sebagai masyarakat Katolik Marianis, yang
terungkap melalui cara-cara dalam berdevosi kepada Bunda Maria.
Dalam perjalanan hidupnya, Maria
memperlihatkan diri sebagai ibu yang peduli dan memperhatikan orang lain.
Perhatian terhadap Yesus dan orang-orang lain di sekitarnya menjadi prioritas utama. Maria menunjukkan
diri sebagai ibu yang berbela rasa dan membangun inisiatif untuk menyelamatkan
orang-orang dari situasi genting. Di saat orang merasa kehilangan harapan dan
bahkan kehilangan segala-galanya, Maria tampil sebagai ibu yang tidak hanya
menghibur tetapi membantu dan memberikan solusi dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi.
Figur Maria perlu dicontoh
karena selalu menanggalkan egoisme dan menempatkan kepentingan publik dari
kepentingan pribadinya. Ia pun menyadari bahwa Yesus adalah anak Allah yang
dikandung dari Roh Kudus dengan meminjamkan rahimnya. Tetapi rahim Maria adalah
“rahim semesta” yang menghadirkan Yesus untuk dicintai dan menjadi penebus
untuk seluruh umat manusia. Yesus tidak menjadi milik diri seorang Maria tetapi
ia menyadari bahwa Yesus milik umat manusia. Karenanya seluruh tindakan Yesus
dan pengorbanan diri yang bermuara pada kematian di kayu salib menjadi
kegelisahan dan kekuatan iman umat. Maria sungguh gelisah ketika berhadapan
dengan realitas dan berperan penting dalam berkoordinasi dengan Yesus dalam
upaya penyelamatan situasi.
Mukjizat pertama pada pesta
pernikahan di Kana, menunjukkan peran produktif itu. Ia menyerahkan seluruh urusan pada Yesus,
ketika tuan pesta kehabisan anggur. Melalui permintaan Maria, mukjizat pertama
yang menjadi bukti keilahian Yesus terjadi. Dan paling akhir, ia bertahan di
jalan salib Tuhan. “Ini menunjukkan bahwa derita Putera sungguh menjadi bagian
hidupnya. Hidupnya memang selalu menunjuk kepada Yesus, bukan menyatakan
kehebatan keibuannya.”
“Tidak salah kita menuju Yesus
melalui Maria, “ tegas Mgr. Sensi di
selah-selah khotbahnya. Ziarah iman kita
menuju Yesus melalui Maria adalah sah.
Mengapa melalui Maria? Ketika Ia disalibkan, ia menyerahkan Maria untuk menjadi
ibu para murid dan kita semua. Kata-kata
Yesus di saat yang sangat genting menunjukkan seorang pribadi yang istimewa
bagi siapa saja yang menjadi murid Yesus. Maria adalah jalan pintas untuk
mencapai ziarah iman kita. Melalui Maria, kita memperoleh kepenuhan Allah yang
kita cari. Maria bisa membantu kita untuk mengenal siapa itu Allah. Seperti
dalam pengalaman umat Israel, Allah
tidak membiarkan sisa umat Israel hilang lenyap. Allah menjanjikan untuk
mengutus seorang Mesias yang bisa menyelamatkan umat-Nya. Tuhan / Yahwe orang
Israel adalah Allah yang setia.
Kita boleh meyakini kesetiaan
Allah di tengah domba-domba-Nya. Dalam diri Yesus kita melihat ketaatannya pada
Allah yang luar biasa. Yesus adalah representasi kehadiran Allah sendiri.
Yesus sendiri sebagai Imam Agung hanya
karena ingin menghadirkan kesetiaan kepada Allah. Melalui Bunda Maria, Allah
yang diimani setiap saat merangkul kita agar tidak sesat. Dalam Injil Markus
yang diperdengarkan hari itu, juga menampilkan kepenuhan rahasia hidup Allah
yang peka terhadap kenyataan, tidak membiarkan Bartimeus melarat di pinggir
jalan.
Allah yang kita cari mewujud
dalam diri Yesus sebagai pribadi yang solider, yang dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Apa yang kiranya berkesan dan belajar dari contoh kehidupan Maria?
Beriman pada Yesus tidak cukup tetapi perlu diwujudnyatakan dalam hidup
sehari-hari. Kita meningkatkan keyakinan kita tentang Yesus melalui Maria.
Kehadiran Yesus merupakan kehadiran keteladanan, menciptakan kehidupan kita
sehingga menjadi kesaksian nyata yang merangkul satu sama lain. Hidup kita
menjadi sebuah kesaksian nyata.***(Valery Kopong)