Saturday, February 2, 2013

EPIKLESE KONSEKRATORIS


Secara liturgis, epiklese berarti seruan doa permohonan kepada Allah agar mengutus Roh Kudus untuk menguduskan seseorang atau barang / hal tertentu. Seluruh Doa Syukur Agung bersifat epiklesis, yakni suatu doa syukur yang sekaligus permohonan agar Allah menghadirkan karya penyelamatan-Nya melalui Kristus dalam Roh Kudus pada Gereja.
                Namun, ada bagian Doa Syukur Agung yang secara eksplisit dan terfokus menyebut seruan permohonan turunnya Roh Kudus itu. Kita mengenal dua macam epiklese dalam Doa Syukur Agung (DSA).
                Pertama ialah epiklese konsekratoris yang memohon turunnya Roh Kudus untuk menyucikan bahan persembahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.
                Kedua ialah epiklese komuni yang memohon agar Roh Kudus itu mempersatukan umat beriman itu sebagai satu tubuh, satu communion, sebagaimana ditandakan dengan penerimaan komuni.
                Tentang kedua epiklese itu, PUMR menyatakan: “Dalam doa-doa khusus ini Gereja memohon kuasa Roh Kudus dan berdoa supaya bahan persembahan yang disampaikan oleh umat dikuduskan menjadi tubuh dan darah Kristus; juga supaya kurban murni ini menjadi sumber keselamatan bagi mereka yang akan menyambut-Nya dalam komuni” (PUMR no. 79c).
                Pada doa syukur Agung (DSA), epiklese konsekratoris diletakkan sebelum kisah institusi dan epiklese komuni ditempatkan sesudah kisah institusi. Semangat Liturgi Konsili Vatikan II menempatkan seluruh DSA sebagai satu kesatuan doa yang bersifat anamnesis dan epiklesis. Kini dipahami bahwa peristiwa perubahan roti dan anggur yang menjadi tubuh dan darah Kristus berlangsung dalam keseluruhan Doa syukur Agung itu sendiri.

DOA ANAMNESIS


                      Bagian sesudah kisah dan kata-kata institusi serta aklamasi anamnesis adalah doa anamnesis. Doa anamnesis adalah ungkapan iman akan Allah yang hadir dengan segala karya penyelamatan-Nya melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Dengan mengenangkan karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Kristus  yang secara historis terjadi 2000 tahun yang lalu, yaitu kurban salib Kristus, umat sekarang ini mengalami sendiri tindakan penyelamatan Allah melalui Kristus tersebut berkat atau dalam Roh Kudus. Namun,  karya penyelamatan Allah yang dialami oleh umat beriman itu merupakan tindakan Allah melalui Kristus yang terus berlangsung menuju kepenuhannya pada akhir zaman. Dengan demikian, pengenangan yang kita lakukan memungkinkan kita  berpartisipasi dalam karya penyelamatan Allah melalui Kristus dalam Roh Kudus itu secara serentak dan sekaligus menurut ketiga dimensi waktu: masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang.
                      Mengenai doa anamnesis ini, PUMR menyatakan: “Dalam bagian ini Gereja memenuhi amanat Kristus Tuhan yang disampaikan melalui para rasul. ‘Lakukanlah ini untuk mengenangkan Daku!’ Maka Gereja mengenangkan Kristus, terutama sengsaranya yang menyelamatkan, kebangkitan-Nya yang mulia dan kenaikan-Nya ke surga” (PUMR no.79.e). Dari kutipan ini terungkap dengan jelas  alasan mengapa kita mengadakan doa anamnesis. Di satu pihak seluruh DSA yang secara khusus dan eksplisit menyebutkan tindakan pengenangan yang dilakukan Gereja atas karya penyelamatan Allah yang terlaksana melalui Kristus sebagaimana memuncak dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus itu. Dengan doa anamnesis ini, umat beriman mengalami sendiri secara hic et nunc (di sini dan kini) karya penebusan itu yang puncaknya berlangsung dalam peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus dan kita ikut ambil bagian dalam kemuliaan-Nya (yang diungkapkan dalam kenaikan Yesus Kristus ke surga) dan sekaligus menantikan kepenuhan dan penyelesaian akhir dari karya penebusan Kristus itu pada akhir zaman, saat Dia datang kembali dengan mulia.***
                     







DOA PERSEMBAHAN


Pada semua DSA, doa anamnesis sangat erat dihubungkan dengan doa persembahan atau doa kurban. Dengan anamnesis, dihadirkan misteri kurban di salib Kristus sendiri yang menyelamatkan itu pada saat ini dan di sini, yakni dalam konteks jemaat yang merayakan ekaristi.
                Dalam prakata Pedoman Umum Misale Romawi : “Keyakinan mengenai  kehadiran kurban salib dalam perayaan Ekaristi dijabarkan secara cermat dan tepat dalam doa-doa syukur agung. Sebab bila dalam doa syukur agung imam melakukan pengenangan (anamnesis), ia menghadap Allah, juga atas nama seluruh umat, bersyukur kepada-Nya dan mempersembahkan kurban yang hidup dan suci, yang merupakan persembahan Gereja sebagai kurban sejati, yakni putera-Nya sendiri, yang berkat kematian-Nya telah mendamaikan kita dengan Allah. Imam pun berdoa agar tubuh dan darah Kristus menjadi kurban yang berkenan pada Allah dan membawa keselamatan bagi seluruh dunia."dirumuskan dalam satu kalimat. Misalnya dalam DSA II dirumuskan: “Sambil mengenangkan wafat dan kebangkitan, kami mempersembahkan kepada-Mu, ya Bapa, roti kehidupan dan piala keselamatan.” Sementara dalam DSA III, doa persembahan itu dirumuskan sendiri, namun langsung sesudah doa anamnese: “Sambil  mengharapkan kedatangan-Nya kembali, dengan penuh syukur kami mempersembahkan kepada-Mu kurban yang hidup dan kudus ini. Kami mohon, pandanglah persembahan Gereja-Mu ini dan indahkanlah kurban yang telah mendamaikan kami dengan Dikau ini.” 
                Pada bagian doa persembahan ini, PUMR merumuskan: “Dalam perayaan-kenangan ini, Gereja, terutama Gereja yang sekarang sedang berkumpul, mempersembahkan kurban murni kepada Allah Bapa dalam Roh Kudus. Maksud Gereja ialah supaya dalam mempersembahkan kurban murni ini umat beriman belajar juga mempersembahkan diri sendiri. Maka melalui Kristus, Sang Pengantara, dari hari ke hari umat beriman akan semakin sempurna bersatu dengan Allah dan dengan sesama umat, hingga akhirnya Allah menjadi segala-galanya dalam semua.” (PUMR 79.h.)

Friday, February 1, 2013

TANDA SALIB



                Tanda salib adalah tata gerak khas katolik setiap kali mengawali doa atau ibadat; juga ketika jemaat katolik mengawali Perayaan Ekaristi. Sambil berdiri, imam bersama seluruh umat yang hadir memulai perayaan Ekaristi dengan membuat tanda salib dengan bersuara lantang: “Dalam/Demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Umat juga membuat tanda salib dan menjawab: “Amin.” Baik dilafalkan maupun dilagukan, jawaban ‘Amin’ ini harus mantap.
                Jadi, pada dasarnya tanda salib dalam perayaan Ekaristi bersifat dialogal. Pemimpin tidak boleh memborong sampai dengan “Amin.” Karena kalau demikian, ia menggusur hak umat untuk mengamini dan dapat ditafsirkan bahwa ia tidak menghendaki peranserta umat untuk ikut berpartisipasi.
                Maka, tata gerak tanda salib harus dilaksanakan dengan khidmat dan cermat, tidak serampangan atau sambil lalu saja. Kita memulai tanda salib dengan menyentuhkan tangan pada dahi, lalu pada dada, lalu pada bahu kiri dan akhirnya pada bahu kanan.
                Tanda salib ini menyatakan dua pengakuan iman sekaligus. Pertama, tanda salib mengungkapkan tanda keselamatan kita, yakni salib Kristus. Kekuatan dan kemegahan orang kristiani terletak pada “Salib Tuhan kita Yesus Kristus” (Gal 6: 14). Para Bapa Gereja mengatakan bahwa keselamatan kita hanya berasal dari salib Kristus. Kedua, tanda salib dengan penyebutan Allah Tritunggal menunjuk inti misteri iman kita sebagaimana diakui dan dinyatakan pada saat pembaptisan kita. melalui pembaptisan, kita dipersatukan dengan persekutuan Allah Tritunggal, sesuai dengan sabda Tuhan sendiri pada waktu memberi perintah para murid: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.” (Mat 28: 19). Dengan demikian, tanda salib dengan menyebut nama Allah Tritunggal secara liturgis sebenarnya menghubungkan kita dengan sakramen baptis.   


Thursday, January 31, 2013

Orang-Orang Kudus

Santo-Santa
Kita semua dipanggil Kristus kepada kekudusan dan kesempurnaan, kepada persatuan mesra dengan Allah Bapa, melaui Kristus dalam persekutuan dengan Roh Kudus: Karena itu Harusalah kamu sempurna, sama seperti Bapa di Surga adalah sempurna (Mat 5:48); "Kuduskanlah kamu, sebab, Aku, Tuhan, Allahmu, kudus” (Im 19:2)
Tradisi iman Katolik mewariskan kepada kita sejumlah besar tokoh pejuang dan pembela nilai dan paham hidup yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Itulah”Orang-Orang Kudus”. Orang-orang Kudus, terdiri dari tua-muda, rohaniawan/wati, bapa-ibu, perawan-janda, raja-rakyat jelata, cendekiawan-orang tidak berpendidikan, yang berasal dari berbagai suku bangsa, ras dan budaya.
Bunda Gereja yang kudus dibawah bimbingan Roh Kudus secara resmi menyebut dan menyatakan mereka “Orang-Orang Kudus”, baik sebagai ‘Beato-Beata’ atau ‘Santo-Santa’. Pernyataan resmi Gereja itu diawali dengan suatu proses penelitian yang panjang dan teliti, yang disebut Beatifikasi dan kanonisasi hingga akhirnya disetujui oleh Takhta Suci.
Prosedur untuk menetapkan calon santo-santa di mulai tahun 1234, di prakarsai oleh Paus Gregorius IX dan Kongregasi Ritus yang diberi wewenang untuk mengawasi keseluruh prosesnya (Kongregasi Ritus dan terbentuk mulai tahun 1588, oleh Paus Sixtus V), Prosedurnya sebagai berikut :
Apabila seorang yang telah meninggal dunia dan  “dianggap martir” atau “dianggap kudus” maka biasanya Uskup Diosesan yang memprakarsai proses penyelidikan. Dimana salah satu unsur penyelidikan adalah apakah suatu permohonan khusus atau mukjizat telah terjadi melalui perantaraan calon santo-santa yang bersangkutan. Gereja juga akan menyelidiki tulisan-tulisan calon santo-santa guna melihat apakah mereka setia pada “ajaran yang murni,” pada intinya tidak didapati adanya suatu kesesatan atau suatu yang bertentangan dengan iman Katolik. Segala informasi ini dikumpulkan, dan kemudian suatu transumptum, yaitu salinan yang sebenarnya, yang disahkan dan dimeterai, diserahkan kepada Kongregasi Ritus.
Begitu transumptum telah diterima oleh Kongregasi, penyelidikan lebih lanjut dilaksanakan. Jika calon santo-santa adalah seorang martir, Kongregasi menentukan apakah ia wafat karena iman dan sungguh mempersembahkan hidupnya sebagai kurban cinta kepada Kristus dan Gereja. Dalam perkara-perkara lainnya, Kongregasi memeriksa apakah calon digerakkan oleh belas kasih yang istimewa kepada sesama dan mengamalkan keutamaan-keutamaan dalam tindakan yang menunjukkan keteladanan dan kegagahan.
Sepanjang proses penyelidikan ini, “promotor iman”, mengajukan keberatan-keberatan dan ketidakpercayaan yang harus berhasil disanggah oleh Kongregasi. Begitu seorang calon dimaklumkan sebagai hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan yang gagah berani, maka calon dimaklumkan sebagai Venerabilis.
Proses selanjutnya adalah BEATIFIKASI. Seorang martir dapat dibeatifikasi dan dimaklumkan sebagai “Beato-Beata” dengan keutamaan kemartiran itu sendiri. Di luar kemartiran, calon harus diperlengkapi dengan suatu mukjizat yang terjadi dengan perantaraannya. Dalam memastikan kebenaran mukjizat, Gereja melihat apakah Tuhan sungguh melakukan mukjizat lewat perantaraan calon Beato/Beata. Begitu dibeatifikasi, calon santa-santo boleh dihormati, tetapi terbatas pada suatu kota, keuskupan, wilayah atau kelompok religius tertentu. Selanjutnya, Paus akan mengesahkan suatu doa khusus, atau Misa atau Ofisi Ilahi yang pantas demi menghormati Beato-Beata yang bersangkutan. Setelah beatifikasi, suatu mukjizat lain masih diperlukan untuk kanonisasi dan memaklumkan secara resmi seseorang sebagai seorang santo-santa. Proses resmi untuk memaklumkan seseorang sebagai seorang santo- santa disebut KANONISASI.
Para orang-orang kudus, bukan berarti selama hidupnya tidak mempunyai cela/kesalahan. Sebagai manusia mereka memiliki juga kecenderungan berdosa, kelemahan dan kekuaragan selama masa hidupnya, ada juga orang kudus yang selama hidupnya dikenal sebagai pendosa berat, namun oleh sentuhan rahmat Allah, mereka bertobat dan memulai menata hidupnya secara baru mengikuti kehendak Allah.
Kita, dibawah bimbingan Tuhan dan Gereja-Nya, meneladani cara hidup mereka (Santo-Santa/beato-Beata), menjadikan mereka pelindung kita dan perantara doa-doa kita.
Yang terutama, dalam memilih nama Baptis atau Krisma, kita harus melihat dari Kekhasan Santo-santa tersebut, misalnya kalau diri kita ingin menjadi yang militan dalam menghayati kekristenan, pilih St. Ingatius Loyola, kalau menjadi seorang yang sangat kristis, bisa memilih nama Baptis/Krisma St. Thomas, kalau berpribadi tenang bisa pilih St. Philipus, dan sebagainya. jadi sebaiknya bukan karena disesuaikan dengan pesta/perayaan atau tanggal dari kelahiran kita. Terang doa dan dalam bimbingan Roh Kudus akan membantu dalam pemilihan nama pelindung kita baik dalam Baptis maupun Krisma.

Santa Matilda, Pengaku Iman


Matilda lahir kira-kira pada tahun 895. Ia kemudian menikah dengan Henry I, putra Adipati Saxon, yang menjadi raja Jerman pada tahun 919. Tuhan menganugerahkan kepada mereka anak-anak yang cerdas : Otto, yang menjadi Otto I, kaisar Jerman dan kaisar Romawi Suci; Henry, yang menjadi adipati Bavaria; Bruno yang menjadi uskup Agung di Cologne dan kemudian dihormati oleh Gereja sebagai orang kudus; dan Gerberga, yang menikah dengan Raja Loius IV dari Perancis.
Ketika suaminya meninggal pada tahun 936, Matilda membaktikan dirinya kepada karya-karya cinta kasih. Ia lebih banyak memperhatikan kehidupan rohaninya. Ia mendirikan biara-biara di Nordhausen, Quedlinburg dan di Engern. Anak-anaknya, Henry dan Otto sering memarahi ibunya karena sangat banyak memboroskan harga kekayaan untuk membantu orang-orang fakir miskin. Meskipun demikian, mereka tetap menghormati Matilda, ibu mereka. Hal ini terlihat dengan tindakan Otto terhadap ibunya. Ketika Otto pergi ke Roma untuk dimahkotai sebagai Kaisar Roma, ia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Jerman kepada ibunya. Matilda memimpin Kerajaan Jerman hingga kematiannya pada tanggal 14 Maret 968 di sebuah biara yang didirikannya di Quedlinburg.
Santa Matilda dirayakan pada tanggal 14 Maret.

PENGHORMATAN ALTAR DAN PENDUPAAN



                Penghormatan Altar dilakukan oleh semua petugas liturgi dengan membungkuk khidmat (PUMR 49). Akan tetapi, apabila di belakang altar terdapat Sakramen Mahakudus di dalam tabarnakel, semua petugas liturgi berlutut (PUMR 274). Altar dihormati karena altar melambangkan Tuhan Yesus Kristus sendiri. Tuhan yang telah wafat dan bangkit akan hadir di atas altar dan dari meja ini Dia akan memberikan diri-Nya kepada umat beriman dalam rupa makanan dan minuman ekaristis.
                Secara khusus imam menghormati altar dengan mencium altar. Mencium altar ini menjadi lambang untuk memberi salam dan penghormatan kepada Kristus Sang Imam Agung dan Sang Tuan Rumah Perayaan Ekaristi. Penghormatan altar dengan mencium altar sudah dipraktekan Gereja sejak abad IV. Tindakan imam yang mencium altar itu bukan hanya bersifat pribadi melainkan bersifat mewakili seluruh jemaat yang hadir. Maka, umat hendaknya menggabungkan diri dalam penghormatan kepada Kristus itu secara batin (dalam hati).
                Pendupaan dapat diadakan pada kesempatan hari-hari besar dan khusus. Pendupaan menyatakan ungkapan hormat dan doa, seperti terungkap dalam Kitab Mazmur: “Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan.” (Mzm 141:2).
                Imam mengisi pendupaan dan memberkatinya dengan membuat tanda salib di atasnya tanpa mengatakan apa-apa. Sebelum dan sesudah pendupaan, imam atau petugas selalu membungkuk khidmat kea rah orang atau barang yang didupai. Pendupaan dilaksanakan dengan mengayunkan dupa ke depan. Pendupaan diayunkan tiga kali tiga untuk penghormatan: Sakramen Maha-kudus, reliqui salib suci atau patung Tuhan, bahan persembahan, salib altar, Kitab Injil, lilin paskah, imam dan jemaat. Namun pendupaan cukup diayunkan dua kali tiga saat menghormati reliqui dan patung orang kudus (PUMR 277).