Wednesday, August 13, 2008

JEJAK KAKI SANG PETANI


(Jeritan dibalik kelaparan)
Oleh: Valery Kopong*
MEMBACA dan mendengar berita dari Flores tentang masalah kemiskinan dan kelaparan yang sedang menimpah beberapa daerah di Sikka dan juga Ile Ape (Lembata), kesan kuat yang muncul adalah bahwa selama ini belum adanya keseriusan pemerintah untuk mengurus persoalan tersebut. Persoalan ini sebenarnya menampar kesadaran pemerintah secara khusus dinas pertanian untuk secara jeli memahami peristiwa ini sebagai kegagalan dinas yang bersangkutan yang mungkin selama ini tidak membantu warga dalam proses pengolahan lahan pertanian secara maksimal. Penulis lebih menitikberatkan pada dinas pertanian karena keberadaan mereka yang seharusnya menjadi mitera masyarakat dalam mengembangkan komoditas tetapi justeru yang terjadi adalah terdapat kesenjangan yang menciptakan jarak sosial yang jauh dari masyarakat. Keberadaan dinas pertanian di propinsi dan kabupaten belum menujukkan aktivitas secara paripurna untuk membantu masyarakat.
Melihat kondisi wilayah dari kedua daerah tersebut, pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah penelitian terhadap jenis tanah secara jeli untuk kemudian menentukan jenis tanaman mana yang cocok untuk ditanami tanaman. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk menemukan kecocokan tanah untuk ditumbuhi tanaman-tanaman, baik sayur-sayuran maupun komiditi lainnya yang bisa digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Selama ini belum adanya penelitian yang serius terhadap kondisi tanah dan pola pengembangan pertanian di wilayah-wilayah yang rawan pangan ini. Penelitian ini lebih dimaksudkan untuk menggali persoalan mendasar tentang rawan pangan, yang penyebab utamanya adalah kondisi tanah.
Terhadap persoalan mendasar ini, penulis teringat akan upaya dan kerja keras almahrum, Pastor Fritz Braun, SVD yang membantu salah satu wilayah tandus di daerah Maumere. Mulanya ia membantu warga dengan menggali beberapa sumur dan sumur-sumur yang ada dapat dijadikan sebagai sumber yang memberikan kehidupan bagi tanaman-tanaman lain. Beberapa tahun kemudian, wilayah yang dulunya tandus berubah menjadi segar dan hijau. Di sini, dapat kita lihat bahwa persoalan utama tidak hanya terletak pada tanah tetapi juga air. Air sebagai sentra utama memberikan kehidupan bagi yang lain belum terupaya digarap, seperti yang dilakukan oleh Pastor Fritz. Andaikata kandungan air yang tersimpan di dalam perut bumi, suatu saat tersedot maka dapat dijadikan sebagai sumber utama yang memberikan kahidupan.
Di sisi lain, perlu adanya perombakan pola pertanian. Masyarakat NTT umumnya masih terkondisi dengan cara bertani secara tradisional. Karena itu melihat kondisi seperti ini maka sudah saatnya masyarakat NTT perlu mengadakan perombakan secara total pola bertani. Kita mestinya belajar, bagaimana bertani secara baru (modern) di mana yang dicurahkan dalam sistem pertanian tersebut, tidak hanya secara fisik semata tetapi juga mengerahkan pikiran.
Penerapan cara bertani modern ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi masyarakat NTT. Di katakan tantangan berat karena masyarakat umumnya enggan untuk belajar hal-hal baru mengenai bagaimana bertani secara baik, di mana dalam mengerjakan areal pertanian tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga tetapi hasil yang diperoleh adalah memuaskan. Untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat NTT dan secara khusus daerah-daerah yang rawan pangan, perlu adanya pendampingan dari dinas pertanian secara kontinu. Pola pendampingan yang diterapkan disini harus secara personal dan berkelanjutan. Di sinilah tantangan terberat untuk dinas pertanian apabila mereka mau menyatu dan bersolider dengan masyarakat petani, yang tidak lain adalah warganya sendiri.
Beberapa pendekatan di atas belumlah menunjukkan sesuatu secara maksimal apabila komoditi yang ditanam hanyalah sejenis. Seperti yang terjadi di Sikka, ancaman terberat bagi mereka adalah lumpuhnya komoditi kakao yang menjadi primadona masyarakat tersebut karena terserang penyakit. Keadaan ini menjadi penyebab utama yang menimbulkan kelaparan karena harapan akan komoditi yang lain tidak ada. Untuk dapat mengatasi masalah ini pada masa mendatang, sebagai anjuran, bahwa masyarakat NTT umumnya tidak boleh menanam komoditi hanya sejenis saja. Anjuran ini dilakukan dengan melihat kondisi di Sikka, yakni karena bergantung pada komoditi primadona (baca: kakao) yang terserang penyakit maka mereka menjadi lapar. Primadona telah berubah wajah menjadi primadosa.
Kalau penulis melihat di wilayah lain seperti Adonara-Flores Timur, pola menanam tanaman komoditi tidak hanya terpaku pada satu jenis saja. Misalkan saja sebuah keluarga memiliki 4 hektar tanah, semuanya dibagi secara merata untuk ditanami beberapa jenis tanaman komoditi. Dari 4 hektar tanah itu bisa ditanami kopi, kakao, fanili, kemiri. Dan satu lahan pertanian kecil bisa disediakan untuk ditanami tanaman berumur pendek seperti jagung dan padi. Pola penanaman variatif seperti ini memberikan suatu nuansa baru untuk bagaimana mengatasi krisis pangan. Apabila kakao gagal panen sebagai akibat terserang penyakit maka komoditi lain yang berhasil dipanen menjadi penopang untuk membendung kelaparan.
Peristiwa kelaparan di Sikka atau rawan pangan (versi para pajabat), seperti yang ditulis di harian kompas, mengulas secara mendetail tentang sepak terjang kehidupan masyarakat Sikka. Salah satu hal yang disoroti adalah rendahnya budaya menabung. Mungkin benar dugaan-dugaan seperti ini karena apabila budaya menabung masyarakat cukup tinggi maka masyarakat sendiri bisa mengatasi masalah ini. Selain catatan di harian kompas, P. Budi Kleden, SVD dalam tulisannya di Pos Kupang, menghimbau masyarakat Sikka agar melihat peristiwa ini sambil berusaha membenah diri dengan cara “mengurangi pesta.”
Pesta merupakan bagian hidup masyarakat Sikka. Di dalam pesta yang sifatnya sesaat dan penuh hura-hura seakan menghantar para warga Sikka untuk melupakan pengalaman pahit yakni kelaparan. Kini saatnya untuk kembali melihat kondisi wilayah kita yang rawan baik rawan pangan, rawan ilmu pengetahuan dan busung lapar. Kita lebih berbenah diri lagi, menata pola bertani dan pola bertanam serta pola menabung sebagai upaya terbaik menyelamatkan diri. Pupuk yang baik untuk tanaman bukan pupuk urea, melainkan jejak kaki sang petani. Peristiwa kelaparan tidak dilihat sebagai kegagalan seorang petani tetapi lebih merupakan tuntutan alam. Dapatkah seorang petani menundukkan peristiwa kelaparan dengan membenah kembali cara berpikir dan pola bertani secara baru? ***

BUDAYA MENGUNGSI

( Sebuah refleksi sosio-biblis)

Oleh: Valery Kopong*

“SETELAH lepas dari mulut singa, ia masuk (dipaksa masuk) ke dalam mulut harimau”. Ungkapan sederhana ini menunjukkan keperpihakkan yang kental terhadap masyarakat Indonesia, secara khusus mereka yang sedang dilanda duka dan derita akibat bencana. Menelusuri perjalanan Indonesia saat ini tercatat begitu banyak problema yang dihadapi dan mendapat perhatian ekstra. Bencana ini barangkali bermula dari tol Jagorawi, saat presiden lewat terjadi tabrakan beruntun dan beberapa orang terpaksa mengakhiri hidup di atas tol itu. Belum lama berselang, muncul bencana Aceh, Nias, Jogja, Sidoarjo dan beberapa peristiwa lain yang tidak tercatat.

Atas bencana yang mengancam keselamatan jiwa ini maka warga secara keseluruhan mengadakan suatu eksodus, baik dalam jarak dekat maupun jauh. Peristiwa eksodus menjadi suatu peristiwa lumrah, yang secara refleks menggugah kesadaran masyarakat untuk menjauhi tempat-tempat bermasalah itu. Oleh keseringan bencana seakan menghidupkan budaya baru yaitu “budaya mengungsi.” Mengungsi di sini tidak dilihat sebagai upaya untuk tidak mencintai wilayahnya tetapi sebagai trik lama yang tetap dibaharui sebagai pemungkin untuk menjauhi pelbagai bencana yang mengancam eksistensinya.

Menelusuri peristiwa eksodus, aku teringat akan umat Israel yang keluar dari tanah Mesir. Bani Israel terpaksa keluar untuk menghindari kekerasan yang dilakukan oleh Raja Fira’un. Seluruh gerak kehidupan mereka dikondisikan oleh raja. Untuk menyelamatkan situasi ini, Allah orang Israel (baca: Yahwe) melalui Musa, dihantarkannya seluruh warga bangsa Israel untuk keluar dari tanah Mesir ke Kanaan, negeri yang dijanjikan. Peristiwa eksodus ini juga mengalami tantangan dari raja. Upaya pembendungan raja akhirnya diluluhlantakan dengan diturunkan tulah.

Pada tulah terakhir yakni seluruh anak laki-laki Mesir dibunuh, namun orang-orang Israel terselamatkan karena darah anak domba yang dioleskan pada jenang pintu rumah. Dalam konteks biblis dapat dipahami bahwa peristiwa ini disatu sisi menyelamatkan bani Israel tetapi di sisi lain membuka suatu pengembaraan baru melewati padang gurun yang mengancam. Inilah pengalaman awal dilematis bani Israel untuk menerima dua kemungkinan untuk keluar dari tekanan politis raja dan masuk pada tantangan alam saat mengembara.

Kisah eksodus masa lalu memiliki multi makna dan selalu inovatif. Gerak perjalanan eksodus sangat terasa akan intervensi Allah secara langsung. Pengalaman mereka akan Yahwe menunjukkan suatu relasi kondusif dan Yahwe memberikan proteksi riil tanpa mengumbar janji terlebih dahulu. Yahwe tidak pernah memutuskan mata rantai relasi dan keberpihakannya pada umat Israel. Allah menunjukkan kesetiaanNya pada umat tanpa mengenal ujung keberakhiran.

Apabila kita mengaitkan pengalaman eksodus Israel dan bani (bangsa) Indonesia, ada sedikit perbedaan yang menyolok yakni, eksodusnya Israel menggambarkan eksodus permanen dan eksodusnya orang-orang Indonesia yang terkena bencana adalah eksodus sementara. Antara dua peristiwa eksodus di sini terdapat satu benang merah yang menunjukkan adanya ketereratan hubungan adalah kedua bangsa ini berupaya untuk menghindar dari bahaya.

Proses penghindaran bencana untuk bangsa Israel semata-mata atas inisiatif Yahwe sendiri, sedangkan bangsa Indonesia yang terkena bencana terpaksa menghindar atas desakan alam. Di sini dapat dilihat dua gejala yang berbeda yaitu pada bani Israel yang karena kedekatan dan keakraban dalam membangun relasi spiritual dengan Yahwe maka Ia pada akhirnya menunjukkan kemurahan sebagai upah yang layak diterima. Sedangkan orang-orang Indonesia yang terkena bencana, khususnya banjir, menunjukkan relasi yang tidak bersahabat dengan alam yakni telah terjadi ekploitasi alam dan pengerukan kandungan bumi. Mungkin ini saat paling tepat untuk mengatakan bahwa bencana di hampir seantero nusantara ini merupakan “tulah” dari Allah dan menggema bagai “sirene yang mematikan.”

Di tengah deru dan gemuruh bencana yang kian mengancam, perlu kita mengadakan eksodus, keluar dari diri dan lingkungan kita untuk mencari tempat yang aman. Di tempat tujuan kita bereksodus inilah dapat dilihat sejauh mana saya menyadari spirit kedekatanku dengan yang Ilahi dan sejauh mana kita memperlakukan alam semesta, tempat untuk dihuni dan dipijaki. Di tempat pengungsian yang bersifat sementara, di bawah barak beratap terpal berlantaikan tanah, perlu disenandungkan kembali syair-syair lagu Ebiet G.Ade yang merupakan getaran jiwa sang seniman. “Mungkin Tuhan mulai bosan, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”

Syair lagu di atas telah menembus puing reruntuhan rumah-rumah, bahkan menembus ke telinga-telinga manusia. Kini, di Sidoarjo, warga tengah mengalami eksodus, mencari tempat aman untuk menghindar dari ancaman lumpur panas. Mereka mengungsi sebagai upaya penggenapan ulah perusahaan yang membor perut bumi. Alam Indonesia tidak bersahabat. Mungkinkah kita menjadikan peristiwa mengungsi sebagai budaya baru untuk menghindari diri dari ancaman bencana yang tak kenal putus? Tanya saja pada rumput yang bergoyang.***

“BOSAN MENJADI ORANG INDONESIA”


Oleh: Valery Kopong*

MENYAKSIKAN aksi jahit mulut dari beberapa warga yang terkena saluran udara tegangan ekstra tinggi (sutet), sebenarnya mereka sedang memproklamasikan ketersendatan sebuah komunikasi di negara yang sedang mencari jati diri akan demokrasi. Aksi serupa menyiratkan sebuah kekecewaan mendalam sekaligus mempertaruhkan sisa hidup di republik ini. Pada bagian atas, tepatnya berdampingan dengan kepala orang-orang terbaring dengan mulut terjahit, terpampang nisan makam sebagai praisyarat, kematian bakal datang menjemput. Terhadap aksi yang mengundang perhatian publik ini, menggelitik penulis untuk bertanya lanjut. Mengapa mereka bisa mengorbankan diri mereka dengan cara paling sadis? Sudah buntukah jalan komunikasi antara warga dan pemerintah? Masih pedulikah pemerintah terhadap jeritan orang-orang yang “tidak bermulut itu?”

Persoalan mendasar yang memunculkan aksi itu terletak pada kemandekan komunikasi yang menemukan jalan buntu. Pelbagai upaya barangkali telah dilakukan oleh para korban sutet untuk meminta secara baik agar pemerintah segera memindahkan mereka ke lokasi lain yang bebas dari tegangan arus lisrik. Upaya ini tidak ditanggapi secara serius sehingga pada akhirnya keputusan pahit mesti direguk untuk menuntut “sisa perhatian” dari pemerintah.

Ketika korban mengalami kondisi kritis, kepedulian pemerintah belum tercurah untuk mereka. Harapan mereka di atas “jalan maut” justeru menjadi tontonan menarik para elite. Di sini, kita dapat membaca secara jeli soal lemahnya tanggung jawab pemerintah terhadap keberlangsungan hidup mereka. Nyawa manusia tidak dihargai bahkan tidak dipedulikan saat mana mereka kadang berbaring di gedung dewan dengan membawa tubuh dan jantung “setengah berdenyut.” Inikah sebuah wajah republik yang terus berkoar menghidupkan demokrasi di tanah tumpah “terus berdarah ini?”

Sebuah ciri dari negara yang menyatakan diri berdemokrasi adalah membangun komunikasi. Komunikasi dibangun menjadi penghubung antara masyarakat dan pemerintah terutama berkaitan dengan masalah-masalah publik. Tetapi dari peristiwa tragis itu sebetulnya menggambarkan betapa minimnya komunikasi. Dalam berkomunikasi, begitu banyak ditemukan kekecewaan. Pemerintah mungkin pernah kecewa karena kebijakan yang diturunkan tidak mendapat respon dari masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat, mengalami kekecewaan karena banyak kebutuhan dan tuntutan tidak dipenuhi oleh pemerintah.

Inilah litani kekecewaan sekaligus menggambarkan “komunikasi yang frustrasi.” Dalam bukunya The Miracle of Dialogue, Reuel L. Howe menguakkan rahasia, bahwa mogoknya komunikasi itu disebabkan oleh tertutupnya sebuah hati akan arti yang ditawarkan oleh pihak lain. Bila berkomunikasi dengan pihak lain, kita sebetulnya ingin menunjukkan diri kepadanya dengan harapan supaya ia memberikan jawaban. Kita berharap bahwa arti yang sedang kita coba sampaikan itu akan menggerakkan arti tertentu dalam dirinya sebagai jawaban, sehingga suatu perubahan timbal balik akan arti dari masing-masing pihak menuju pada maksud yang ingin dicapai.

Pada intinya yang terdalam, lanjut Howe, rintangan arti disebabkan oleh kebutuhan ontologis manusia, yakni perhatian dan kepentingan yang diarahkan untuk diri sendiri. Misalnya kecemasan yang merupakan gejala emosional dan psikologis dari kebutuhan ontologis tersebut. Setiap manusia tanpa terkecuali hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran akan ancaman terhadap keberlangsungan hidupnya karena pada dasarnya manusia sendiri memiliki keterbatasan sekaligus menyatakan diri untuk tidak dapat memerangi aspek luar yang memiliki daya mati yang lebih dasyat. Kecemasan mereka yang terakumulasi dalam aksi bunuh diri itu juga sedikitnya memancing kecemasan publik untuk senantiasa waspada terhadap setiap aktus pemerintah yang mengarah pada tindakan destruktif.

Kecemasan mereka telah menjadi kecemasan bersama untuk kemudian memancing perhatian pemerintah agar menaruh perhatian atas kecemasan yang mereka miliki. Tetapi aksi yang dipertontonkan itu tidak lebih sebagai “dagelan jalanan’ di mata pemerintah karena tidak ada tanggap balik dari mereka maupun dari anggota dewan terhormat. Kehilangan daya jumpa – arti dalam komunikasi itu terjadi dalam apa yang biasa disebut sebagai “monolog”, sebuah metode komunikasi yang kini bahkan dipersalahkan sebagai pencipta kesakitan komunikasi itu sendiri. Banyak orang menyangka bahwa komunikasi berarti “saya mengatakan kepada orang lain apa yang seharusnya dia tahu.”

Dalam konteks ini, komunikasi selalu mengundang daya tanggap dari komunikan untuk menyelami maksud kedatangan dan pembicaraan dari komunikator. Walaupun dalam berkomunikasi, mulut orang-orang yang terjahit mewakili seribu warganya tetap memberikan contoh pada publik akan gagalnya sebuah komunikasi verbal antara pemerintah dan warganya sendiri. Tetapi dalam arti tertentu, komunikasi tidak harus berbicara di bawah empat mata dengan mulut penuh komat-kamit. Sebuah komunikasi yang mewakili “masyarakat yang sakit” menghadirkan cara lain untuk menyampaikan pesan terdalam dari apa yang tidak didengarkan oleh pemerintah saat mulut-mulut mereka dengan penuh busa menuntut ganti rugi.

Kehadiran mereka dengan kondisi memprihatinkan, memberikan pesan sederhana untuk masyarakat umum yaitu bahwa negara kita juga sedang berada dalam kondisi yang memprihatinkan sebagai akibat dari terkenanya pelbagai krisis yang belum terselesaikan. Dan nisan makam yang tertancap pada sisi mereka yang masih hidup menandakan adanya “kebosanan” mereka untuk tidak mau hidup lagi di negeri ini. Mereka bosan menjadi warga negara Indonesia karena seluruh keluhan kritis tidak tertanggapi secara paripurna.

Kisah tragis yang hadir di panggung Indonesia telah menjadikannya sebagai “kisah terbuka” untuk mengundang publik menafsir secara lebih jauh tentang makna terdalam dibalik aksi tersebut. Kisah mereka tak pernah selesai di sini, walau suatu ketika mereka meninggal dan terkubur di bawah “reruntuhan bumi pertiwi ini” karena kisah perjuangan mereka tetap dipilin sebagai cerita yang hidup, yang selalu memberi daya juang untuk tetap mengkritik penguasa.***

INDONESIA DAN KEGAGALAN MENGELOLA MASALAH

Oleh: Valery Kopong*

BEBERAPA tahun yang lalu, seorang sahabat saya melamar kerja pada sebuah paroki. Perkenalan awal dengan pastor paroki terasa kental dan akrab. Hal ini menimbulkan suatu kepercayaan penuh dalam diri pastor paroki terhadapnya. Pekerjaan memasak di dapur bahkan merangkap sebagai seorang koster dilakoninya. Melihat rutinitas kerja yang diakhiri secara baik dan memuaskan maka suatu hari sang pastor menjanjikannya untuk membelikan sebuah sepeda bermerek BMX. Hadiah menarik ini tentunya menambah gairah dan memotivasinya untuk berkreativitas.

Suatu hari ketika pastor paroki sedang mengadakan kunjungan ke lingkungan-lingkungan, kesempatan ini dia gunakan untuk mendandani sepedanya. Menatap sepedanya yang baru, ia selalu membanggakan orang-orang yang merakit sepeda itu. Kapan saya bisa merakit sepeda itu? Pertanyaan ini selalu menghantuinya sehingga pada akhirnya ia membongkar sepeda yang utuh itu lalu memisahkan onderdil. Seusai memisahkan sepeda menjadi beberapa bagian, ia mengalami kesulitan dan tidak tahu bagaimana mengutuhkan kembali masing-masing onderdil menjadi sebuah sepeda yang sempurna. Peristiwa ini akhirnya diketahui oleh pastor paroki dan sahabat saya dimarahi.

Cerita sederhana di atas menggambarkan betapa gamblangnya pemikiran sahabat saya yang tidak memiliki potensi tetapi berani menggambil resiko dari uji coba pemahaman yang minim akan dunia perakitan sepeda. Hal ini juga jelas menunjukkan sebuah egoisme yang kuat dalam diri sahabatku yang tidak mau mencari informasi dan meminta bantuan pihak lain. Dengan peristiwa ini ia pada akhirnya menatap resah pada onggokan onderdil sepeda dan sepeda yang disanjung-sanjung sebelumnya tidak lagi menjalani fungsinya sebagaimana mestinya.

***

KETIKA bapak Proklamator menyatukan bangsa ini, ia selalu mendengungkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengungan sang Proklamator ini menunjukkan adanya upaya untuk menjaga suatu keutuhan wilayah RI yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jiwa pemersatu selalu hidup dalam diri sang proklamator bahkan bisa dilihat sebagai mesin penggerak utama (motor primum) yang terus menggilasi nurani anak bangsa untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Menjaga keutuhan bangsa berarti berani memandang orang lain sebagai bagian dari anggota bangsa ini, tanpa perlu bertanya ia berasal dari suku mana. Keterbukaan hati antar wilayah telah menghantarkan bangsa menuju pada titik pemahaman yang absah tentang negara dan keutuhannya.

Para pemimpin lain pasca-Soekarno memerintah secara agak berbeda. Di tangan Soeharto, demi persatuan dan kesatuan, banyak orang yang lenyap nyawanya ketika berani berbicara dan mengeritik pemerintahannya yang pretorian. Dia pada akhirnya tumbang dan diganti Habibie. Pada masa transisi yang begitu singkat ia berani memisahkan Timtim dari Indonesia lewat dua opsi yang digulirkannya. Muncul pemimpin lain seperti Gus Dur dan Megawati di atas pentas republik dan dua tokoh ini masih tetap menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepemimpinan mereka menggambarkan sosok nasionalis yang gampang diterima oleh semua kalangan. Lalu bagaimana dengan pemerintahan SBY-JK?

Keutuhan bangsa ini kian renggang oleh karena tidak lagi didengungkannya nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini jelas terlihat bahwa selama kepemimpinan SBY-JK, jarang sekali terucap kata persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak medengungkan pancasila sebagai dasar negara ini. Pada saat ini beberapa tokoh nasional mencoba untuk mendengungkan kembali persatuan dan kesatuan serta menyerukan agar nilai-nilai pancasila dihidupkan lagi sebagai pedoman yang mengarahkan perjalanan bangsa ini.

SBY-JK barangkali memberikan interpretasi secara berbeda terhadap nilai-nilai di atas. Bahwa tak perlu lagi mendengungkan nilai persatuan dan kesatuan serta pancasila sebagai dasar karena para pemimpin terdahulu telah mendengungkannya ke telinga-telinga rakyat Indonesia. “Negara lain bisa maju tanpa pancasila,” demikian kata seorang tokoh nasional kita. Memang benar bahwa negara lain maju tanpa pancasila tetapi ingat bahwa negara lain juga mempunyai pedoman tertentu yang mampu menuntun negaranya untuk berjalan ke arah yang benar. Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan berpikir dan bertindak untuk memajukan bangsa ini. Itu berarti bahwa landasan ini menjadi cerminan bagi publik untuk pada akhirnya secara bijak memilih ketepatan “semburan nilai cahaya” yang terpancar dari sumber yang sakti itu.

Melihat kondisi bangsa yang amburadul ini, menurut hemat penulis bahwa tidak adanya dasar yang kuat yang sanggup mengarahkan perjalanan bangsa ini. Dan dengannya dalam bertindak, baik para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan tidak memikirkannya secara rasional sehingga pada akhirnya hasil yang diperoleh sangat mengecewakan. Cerita di atas menceritakan pada kita bahwa sudah banyak masalah yang dibuat sendiri yang tidak pernah terselesaikan secara baik. Contoh yang paling jelas adalah korupsi. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang korup yang sudah sekian tahun berjalan tetapi hal ini tidak bisa tertangani secara baik. Atau contoh lain yang menunjukkan kebodohan Indonesia sendiri adalah usaha pengeboran perut bumi oleh PT Lapindo di Porong –Sidoarjo di mana ketika ada semburan lumpur panas di areal pengeboran, pihak perusahaan pada kelabakan untuk bagaimana mengatasinya.

Masalah-masalah yang telah muncul di atas menunjukkan betapa sempitnya kiprah seorang pejabat yang bertindak untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan, tanpa berpikir secara global tentang hidup masyarakat publik. Pelbagai masalah yang dimunculkan belum tuntas terselesaikan secara baik. Mengelola masalah bangsa ini tidak akan menemukan suatu jawaban tuntas apabila masing-masing instansi bangsa berada secara terpisah, mirip onderdil sepeda dalam cerita di atas. Masing-masing instansi belum menunjukkan militansi yang handal dalam menyelesaikan masalah bangsa ini. Mereka (baca: instansi) menunjukkan fungsi secara sendiri-sendiri dan belum merambat kepada partner kerja yang lain.

Masalah korupsi misalnya, tidak bisa diberantas secara radikal karena korupsi telah melembaga dan membangun jaringan sangat kuat dan tidak bisa ditumbangkan. Bagaimana bisa menumbangkan kawanan koruptor kalau polisinya dan instansi penegak hukum yang lain senantiasa menghidupkan budaya korupsi? Atau pembalakan liar tak mungkin teratasi karena yang melakonkannya adalah seorang jenderal.

Kegagalan bangsa dalam mengelola masalah dan menyelesaikan secara baik masih menjadi sebuah “fatamorgana.” Itu berarti proses penyelesaian masalah tidak jauh berbeda dengan usaha seseorang untuk menggapai kaki langit, sesuatu yang sia-sia. Usaha penuntasan masalah pada pemerintahan SBY-JK hanyalah dilihat sebagai “riak-riak politik” yang mencari simpati dan perhatian dari masyarakat publik. Langkah yang ditempuh dalam penuntasan pelbagai kasus bahkan memunculkan persoalan baru. Contoh yang paling jelas adalah penuntasan masalah kejahatan pada beberapa tahun lalu ternyata tersangka pembunuhan yang ditangkap dan dipenjarakan selama sekian tahun, bukanlah pelaku yang sebenarnya. Inilah suatu situasi kronis yang mencirikan lemahnya profesionalitas pihak aparat.

Gambaran umum masalah bangsa di atas, oleh William .I. Thomas dan Florian Znaniecki menyebutnya sebagai disorganisasi masyarakat. Bagi kedua sosiolog ini, setiap tindakan dan usaha untuk mengubah suatu struktur, itu berarti sedang adanya usaha untuk mengubah struktur yang lain. Berusaha untuk tidak lagi mendengungkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa, berarti kita sedang mengubah struktur baru yakni “menghidupkan negara kecil dalam wilayah masing-masing.” Barangkali negara ini juga sudah jenuh dengan pancasila sebagai dasar negara ini, dan “mungkin” sedang mengubahnya dengan dasar agama seperti nampak pada perda yang beraroma syariat islam. Dalam jangka pendek, ada kemungkinan muncul gerakan separatis yang secara terang-terangan mendeklarasikan diri untuk berpisah dari NKRI karena merasa tidak cocok dengan paham baru yang tidak dapat mengakomodir seluruh elemen bangsa ini.

Lemahnya penanganan masalah bangsa terletak pada mismanagement para pemimpin yang kadang mengelola bangsa ini seperti mengelola “sebuah pesantren” yang masing-masing individu sudah tahu tentang apa yang mau dipelajari. Masalah bangsa adalah masalah publik karena itu kepentingan masing-masing wilayah terakomodir secara proporsional sehingga dengannya ada kepuasan publik terhadap pengelola bangsa ini. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang sanggup mengutuhkan seluruh komponen wilayah menjadi suatu bangsa yang berdaulat. Seperti onderdil sepeda telah memperlihatkan fungsi sepeda secara utuh karena berani merekatkan diri dengan yang lain, mungkin juga wilayah ini berada dalam satu kesatuan yang utuh karena adanya keberanian untuk memahami wilayah lain sebagai bagian yang utuh dari negara ini. Dengan kerekatan hubungan ini kita bersatu padu dalam mengelola pelbagai masalah bangsa ini secara paripurna.***

Tuesday, August 12, 2008

Filosofi sepakbola

Oleh Olanama

"MEREKA yang lambat, tak ikut bermain", demikian kata filsuf Plato. Maka dalam susunan the dream team ala Kolumnis Thomas Grassberger, Plato adalah kapten kesebelasan. Sebab ia menyukai tempo tinggi. Penyair Frans Kafka yang menjadikan setiap detik adalah final bagi kehidupan, menempati posisi bek kanan. Sebab ia bergegas mempertahankan gawangnya demi merebut kemenangan. Dan pendamping Kafka di sektor kiri adalah Arno Schmidt, pendekar apokaliptik yang menuntut manusia harus selalu tergesa-gesa. Sebab setiap hari, kata Schmidt, adalah hari Sabtu di musim kompetisi di mana manusia harus bertanding dan terus bertanding. Pelapis Schmidt di bagian depan tidak lain adalah Charles Baudelaire, yang mengatakan bahwa hidup hanya mempunyai pesona tunggal yakni permainan. Jika kita masuk ke dalam suatu permainan, maka pertanyaan filosofisnya adalah: "Maukah Anda menang atau kalah?"

Dua andalan tengah yang lain ditempati oleh dua penyair besar pada zamannya, Goethe dan Dante. Goethe mengadopsi lari sebagai gerak utama dalam sepak bola untuk dijadikan antonimdari kemalasan. "Lebih baik lari daripada bermalas diri." Tapi lari tidak hanya terbatas pada gerak cepat dua kaki manusia sebagai tumpuan. Jika kaki itu akhirnya patah atau rubuh, masih ada Dante yang tegas menulis dalam Infernale Firenze: "Yang satu roboh, yang lain tegak megah. Dengan kepala ia meloncat. Ia bertahan dengan menaruh kepala pada kakinya."

Bila bertahan dengan kepala pun masih belum meyakinkan, masih ada sayap kanan depan atas nama Ror Wolf, si penyuka segala yang tinggi. Inilah kata-katanya: "Menembus angin, tinggi, tinggi, demikian tinggi orang melihat bola lemah melambung, gemulai tanpa suara, bercahaya bagai bulan pucat, bolanya dibelai di langit tinggi, dari semuanya ia menjauhkan diri." Dan umpan lambung Wolf ini akan disambut oleh Petrarca, ujung tombak yang rakus gol, seperti dikatakannya: "Gol-gol itu datang dalam kawanan tanpa akhir." Kelak, sesudah pesta gol yang menegaskan batas antara kalah dan menang, Grassberger menempatkan Karl Valentin di sayap kiri. Valentin yang realistis, melihat kekalahan dan kemenangan sebagai suatu fakta yang tak terbantahkan. Dan di bawah mistar gawang, berdiri Peter Handke, si penyair tanpa ketakutan. Penalti di lapangan hijau dan perang yang berkecamuk, dihadapinya dengan berani. Sebab kata Handke, "Dari kodratnya sepak bola itu tiada berjiwa."

Demikianlah para filsuf dan penyair meramu metafor untuk kehidupan yang ternyata berlaku juga untuk sepak bola. Di dalam bola ada pergulatan dengan kerasnya kehidupan yang tidak selalu berakhir dengan kemenangan. Johan Cruyft, legenda sepak bola Belanda pernah menulis: "Ada tiga menit dalam tiap pertandingan, yang tiap momentnya terbagi-bagi." Kemenangan dan kekalahan sering ditentukan hanya dalam tigamenit untuk membuka mata kita akan realita hidup yang kadang penuh kejutan. Ada tragedi dan tangis bagi yang kalah. Ada komedi dan gelak tawa bagi yang menang. Dan karena dinamika kalah menang itulah, maka sepak bola menjadi olahraga yang paling banyak digemari.

Di ajang El Tari Memorial Cup 2007, tim sepakbola dari berbagai kabupaten di NTT mengalir ke satu titik di kota Atambua, Belu. Ketika bola pertama didepak dari kaki Wakil Gubernur, terasa ada yang gemuruh di langit Stadion Haliwen. Bola yang terbuat dari karet itu menarik ribuan pasang mata untuk hanya memandang dia. Lingkaran ajaib itu berputar di tanah maupun udara- seperti kata sastrawan Radhar Panca Dahana- mengorbit dalam gerak acak di antara langit dan bumi yang beremanasi di kedua kaki para seniman sepak bola. Dan di Haliwen yang gemuruh itu, bertaburan para bintang dari jagad sepak bola NTT. Kita bisa mencatat nama-nama seperti, Castelo Branco , Trio Langakamau, Ardi Pukan, Frans Sabon, Deus Wala, Frans Simposius, Fridz Zarbani, Raviki Keling, Dion Nonggor dan masih banyak yang lainnya.

Tetapi di harian Flores Pos, bersamaan dengan liputan pembukaan El Tari Memorial Cup (ETMC) yang menelan biaya 800 juta itu, kita juga disuguhi cerita tentang NTT yang kekurangan sekitar 110.000 ton beras untuk kebutuhan masyarakat hingga Desember 2007. Tak ada hubungan antara sepak bola dan beras, tapi tentu ada kaitan antara lapar dan kepadatan manusia di tepi lapangan bola. Kerumunan di tepi lapangan akan meninggalkan stadion sesudah pertandingan usai dan mendapati hidupnya masih seperti dulu. Di tengah kemiskinan, sepak bola menjadi hiburan yang menyenangkan. Tetapi di luar lapangan, bola bundar itu tak lebih darigelembung udara kosong. Sama kosongnya dengan perut yang menahan lapar. Davor Suker, ujung tombak Kroasia ketika membobol gawang Denmark di penyisihan piala Eropa 1996 mengakui : "Luar biasa. Sepak bola adalah hidangan ternyaman yang dapat mereka (orang Kroasia) peroleh. Saya tidak membuat mereka kenyang, tapi bahagia."

Kata-kata Davor terbukti menyulut patriotisme orang Kroasia untuk menjadikan bola kaki sebagai perang melawan penindasan. "Bagi rakyat Kroasia. Lolos dari kualifikasi Piala Eropa terasa bagai perebutan kembali tanah Krajina dari tangan Serbia, kata Nadan Vidosevic, presiden Liga Kroasia waktu itu. Pelatih Blazevich menambahkan, "Sepak bola adalah perang."

Senada dengan patrioritisme orang Kroasia, kita pun ingin sekurang-kurangnya sepak bola menjadi inspirasi untuk keluar dari penindasan kemiskinan yang bertahun-tahun membelenggu NTT. Sayangnya, kita tak mendapati kiat untuk memenangkan, baik bola di lapangan hijau, maupun orang banyak di kantung-kantung kelaparan, kurang gizi dan busung lapar. Dari sekian banyak reportase ETMC, amat jarang pelatih berbicara tentang teknik dan pola permainan yang diperagakan oleh anak-anak asuhnya. Berbeda dengan sepak bola dunia yang lebih mengandalkan strategi pelatih, ETMC seperti hanya mengandalkan kepiawaian para pemain. Ketika halangan terjadi dalam diri pemain andalan itu, kita tak bisa berharap pada kesigapan pelatih merubah teknik dan taktik untuk menjadikan permainan lebih menghibur.

Pemain andalan untuk memenangkan lapar di NTT, adalah para pengambil keputusan di pemerintahan. Tapi karena ketiadaan teknik dan pola permainan yang elegan, maka NTT menjadi provinsi ke-4 termiskin di Indonesia. NTT bahkan menjadiprovinsi paling rendah dalam indeks pemberdayaan manusia, sesuatu yang sangat berbanding terbalik dengan besarnya dana yang masuk ke kas daerah. Padahal, dalam sepak bola, yang terjadi adalah perang melawan kelemahan, agar kita keluar sebagai pemenang. Perang itu tak harus mengangkat senjata, melainkan adopsi dari sepak bola menyerang, untuk menjadikan hidup masyarakat NTT tidak melulu kalah. Tapi bagai-mana filosofi perang itu?

Gol adalah tujuan akhir. Suburnya gol ibarat tingkat kemakmuran yang menggembirakan hati. Kita menyaksikan bagaimana ideologi gol menarik para pemain belakang untuk ‘bernafsu’ menyerang, seperti yang diperagakan oleh Roberto Carlos, Rio Ferdinand dan Markus Cafu di piala dunia. Kerap terjadi satu serangan didukung hingga 6-8 orang di mulut gawang, sehingga pertahanan pun sering dilapisi 8-10 orang. Semua bergerak, semua berbicara, para tifosi berteriak dalam ragam ekspresi. Dalam penyerangan yang aktif itu, sepak bola bermetamorfosa menjadi milik orang banyak. Dengan kata lain, sepak bola adalah sebuah keberpihakan.

Dan ketika seluruh stadion bergemuruh oleh riuh gerak, wicara dan kata-kata, permainan pun berubah menjadi sebuah prosa. Radhar Panca Dahana menyebutnya sebagai bahasa yang riuh, seperti hidup di terminal, di kota besar, di sehari-hari kita. Kepentingan pribadi dinomorduakan. Final atas kemiskinan NTT akan kita tunggu dari gubernur baru yang tidak ingat diri.*

Wednesday, August 6, 2008

NKRI


Aceh kini bukan hanya sebuah daerah yang dirajang perang, tapi juga sejumlah pertanyaan. Pertanyaan itu semuanya berkait dengan apa sebenarnya sebuah “Indonesia”—ya, apa sebenarnya “Indonesia” yang hendak dipertahankan.

Kata para jenderal dan politikus, keutuhan wilayah itulah yang harus dibela. Tapi apa arti “wilayah” sebuah negeri? Apa pula “keutuhan” itu? Kita acap lupa “wilayah” adalah sebuah tempat dalam ilmu bumi, yang terbentang antara sekian garis lintang dan sekian garis bujur. Ia sebuah ruang. Dalam riwayatnya yang panjang manusia membela ruang itu sebagai membela milik sendiri, tapi dalam hal “Indonesia”, apa artinya “milik”?

“Milik” pada akhirnya berarti kekuasaan, dan kekuasaan itu bergerak dalam sejarah. Seandainya Raffles, orang Inggris itu, terus berkuasa di Jawa dan tak menyerahkan pulau ini kepada Belanda pada tahun 1816, mungkin Singapura yang kemudian didirikannya akan jadi bagian dari sebuah wilayah yang kini disebut “Indonesia”. Atau sebaliknya: bisa juga Yogyakarta akan termasuk sebuah negeri yang disebut “Singapura”. Perang dan perdagangan—kedua-duanya bukan sesuatu yang sakral—yang membuat dan menetapkan peta bumi. Benarkah “wilayah” begitu berarti hingga hal-hal yang lain boleh dikorbankan? Benarkah begitu penting “keutuhan”?

“Keutuhan”—kata ini pun tak pasti benar dari mana datangnya. Yang jelas, ia mencakup pengertian yang lebih luas ketimbang sekadar ketentuan tapal batas. “Keutuhan” bukan sekadar persoalan teritorial. Ia juga bisa berarti sumber alam dan keseimbangan ekologi, termasuk hutan tropis yang hijau dan biodiversitas hewan yang hidup, juga para penghuni, kehidupan sosial, dan khazanah kebudayaan mereka. Apa artinya “keutuhan” yang dipertahankan bila hutan jadi terbakar, sawah dan lumbung hancur, dan suatu masyarakat berantakan? Apa artinya “keutuhan” jika kelompok manusia yang berbeda saling membunuh dan mengusir?

Tapi mungkin juga yang hendak dipertahankan adalah sebuah “Indonesia” sebagai ingatan yang berharga. Sejak kita kanak-kanak, kita diberi rasa bangga akan sebuah negeri yang terbentang dari “Sabang sampai Merauke”, tentang orang-orang Aceh yang menyumbangkan yang mereka miliki buat Republik Indonesia yang baru berdiri, tentang kolonialisme Belanda yang justru mempersatukan pelbagai orang di Nusantara.

Kenangan itu sangat intim. Ia bagian dari identitas kita. Tapi setiap catatan dari masa lalu selalu mengandung apa yang luhur dan juga apa yang brutal, apa yang mengharukan dan juga apa yang mengerikan, bahkan memuakkan. Kenangan tentang sebuah “Indonesia” dapat berisi dokumen yang merekam niat mulia yang hendak menjabat tangan orang lain yang berbeda—niat yang membuat Sumpah Pemuda pada tahun 1928 terjadi dan sebuah generasi baru dengan ikhlas melupakan ikatan kesetiaan lama mereka, untuk membangun sebuah ikatan kesetiaan baru.

Tapi sejarah persatuan itu juga dapat berupa sejarah ketidak-ikhlasan. Bahkan sejarah kekerasan, pemaksaan, dan penyeragaman. Itulah sebabnya Bung Hatta pernah memperingatkan agar “per-satu-an” dibedakan dari “per-sate-an”.

Maka, sebuah “Indonesia” yang manakah yang hendak kita pertahankan?

Saya termasuk mereka yang akan menjawab: sebuah “Indonesia” yang dengan Aceh ada di dalamnya, tapi bukan sebuah NKRI (singkatan yang kaku dari “Negara Kesatuan Republik Indonesia”), yang memaksa Aceh untuk berada di dalamnya. Saya akan menangis bila Aceh terlepas dari Republik. Tapi saya juga akan menangis bila Aceh dibungkam oleh mereka yang datang atas nama Republik. “Indonesia” yang utuh adalah Indonesia yang punya cita-cita yang berharga untuk utuh.

Amerika Serikat adalah contoh yang tak menarik pada hari-hari ini, tapi dulu, pada pertengahan abad ke-19, ketika sebagian wilayah republik itu hendak memisahkan diri, seorang presiden yang kurus dan arif terpaksa mengirim tentara untuk memadamkan “pemberontakan” itu. Tapi bukan karena takut akan hilangnya sekian ribu kilometer persegi tanah. Ada yang lebih penting ketimbang keutuhan wilayah—yakni keutuhan sebuah cita-cita yang layak.

Maka, ketika sejumlah negara bagian di Selatan menjadi kekuatan separatis karena ingin melanjutkan perbudakan, Presiden Lincoln memutuskan: mereka harus dikalahkan. Sebuah perang pun meletus. Korban berjatuhan, amat dahsyat. Tapi Amerika Serikat waktu itu tahu untuk apa.

Kalimat pertama pidato Presiden Lincoln di Makam Pahlawan Gettysburg menjawab kenapa perang itu harus terjadi—dan itu tak jauh dari pertanyaan mengapa Amerika Serikat harus berdiri: ia adalah “sebuah bangsa baru, yang dibuahi dalam kemerdekaan, dan dipersembahkan untuk cita-cita bahwa semua manusia diciptakan sama”. Perbudakan jelas bertentangan dengan cita-cita itu, dan siapa yang akan mempertahankannya dengan kekerasan harus dikalahkan.

Di Indonesia belum terdengar alasan yang sejelas itu, tapi di Aceh, tentara telah dikirim. Perang berkobar. Korban jatuh di kedua belah pihak. Apa sebenarnya sebuah “Indonesia” yang hendak dipertahankan?

Jawabannya akan menentukan hidup kita kelak. Sebuah “Indonesia” yang masih bercita-cita atau sebuah “Indonesia” yang tanpa cita-cita? Sebuah “Indonesia” yang pandai bernegosiasi atau sebuah “Indonesia” yang bagaikan preman, yang menangguk untung dari kekerasan? Sebuah “Indonesia” yang percaya kepada hak-hak rakyat atau sebuah “Indonesia” yang sedang hendak menampik demokrasi? Sebuah “Indonesia” yang patut dibanggakan atau sebuah “Indonesia” yang bahkan oleh bangsanya sendiri berhenti diacuhkan? Aceh memang sejumlah pertanyaan.

~Majalah Tempo, Edisi. 21/XXXII/21 - 27 Juli 2003~

Friday, August 1, 2008

Malapetaka Kuasa Nekrofilia

Triyono Lukmantoro

Nama Very Idam Henyansyah membuat kita terkesima karena aksi-aksi kejahatan yang dilakukannya. Pria berusia 30 tahun—biasa dipanggil Ryan—itu merupakan tersangka pelaku pembunuhan berantai.

Lebih dari 10 orang dinyatakan menjadi korban, salah satunya dimutilasi. Diduga kuat, masih ada korban-korban perbuatan keji Ryan dan hampir setiap hari menjadi bahan pemberitaan media massa.

Pembunuhan dengan aneka cara bukanlah fenomena sosial yang baru. Pada awal Juni 2008 terjadi kehebohan di Jepang. Tomohiro Kato, laki-laki berusia 25 tahun, melakukan perbuatan sadistik. Setelah menabrakkan mobilnya pada kerumunan massa, Kato lalu melompat keluar dan mengamuk dengan menikam orang-orang di sekitarnya. Akibat perilakunya itu, sebanyak 17 orang menjadi korban, tujuh di antaranya tewas.

Kepada polisi, Kato mengungkapkan, dia sudah bosan hidup. Kato tidak punya motif apa pun, selain membunuh orang, siapa pun yang ditemuinya. Beberapa jam sebelum kejadian, Kato mengatakan, ”Saya akan menabrakkan kendaraan saya ke orang-orang dan jika kendaraan itu tak berguna, saya akan keluarkan pisau. Selamat tinggal semua!” Berbagai pernyataan bermunculan mengomentari kejadian itu. Salah satunya menyatakan, moralitas publik dan hubungan antarmanusia mengalami kemerosotan.

Ryan tidak seabsurd Kato dalam melakukan pembunuhan. Kecemburuan dan menguasai harta korban adalah dalihnya. Namun, apa pun motifnya, pembunuhan merupakan kejahatan yang umurnya setua peradaban manusia. Para kriminolog dapat berteori tentang kasus-kasus pembunuhan, dari eksplanasi yang bersifat individual-psikologis hingga paparan yang berkarakter komunal-sosiologis. Satu hal yang pasti, pembunuhan selalu terjadi dan menjadi bagian hidup sehari-hari.

Mencintai kematian

Sebuah uraian yang layak disimak tentang pembunuhan dikemukakan filsuf Erich Fromm (1900-1980). Dalam tulisannya , Creators and Destroyers (1964), Fromm mengemukakan dua definisi yang bersifat oposisional untuk melihat bagaimana manusia menyikapi kehidupan.

Pertama, biofilia yang berarti ”mencintai kehidupan”. Inilah orientasi normal yang ada di antara orang-orang yang waras. Biofilia tidak dibentuk oleh sifat yang tunggal, tetapi merepresentasikan orientasi total, sebuah keseluruhan cara berada manusia. Biofilia dimanifestasikan oleh proses-proses kebertubuhan seseorang, baik dalam emosi, pikiran, maupun gesturnya. Pendekatan biofilia terhadap kehidupan adalah fungsional ketimbang mekanis. Hal itu dapat dilihat pada sikap etisnya. Baik adalah semua yang terarah bagi kehidupan, jahat ialah semua yang mengabdi bagi kematian.

Kedua, nekrofilia yang bermakna ”mencintai kematian”. Siapakah orang yang bercorak nekrofilik, tanya Fromm. Dia adalah orang yang terpesona oleh semua yang bukan kehidupan, yakni kematian, jenazah, kerusakan, dan kekotoran. Orang yang dikuasai nekrofilia amat suka berbicara tentang kesakitan, pemakaman, dan kematian. Tipe manusia pengidap nekrofilia itu dapat dilihat dalam figur Adolf Hitler. Dia dingin, kulit tubuhnya menampakkan kematian, ekspresi wajahnya memunculkan aroma tidak sedap.

Mungkin saja Fromm berlebihan dalam menggambarkan figur fisik nekrofilik. Hitler tepat dijadikan sosok pengidap nekrofilia, selain Eichmann dan Stalin. Mereka adalah para penguasa negara yang menyebabkan kematian dan penderitaan bagi jutaan rakyat. Namun, kalangan penderita nekrofilia tidak selalu menampilkan sikap terbuka, seperti Tomohiro Kato di Jepang, dengan menyatakan bosan hidup dan bertindak bengis terhadap orang- orang tanpa dosa.

Kaum pengagum dan penderita nekrofilia bisa bersikap tertutup atau menunjukkan keramahan terhadap sesama. Wajahnya menyunggingkan senyuman, sikap tubuhnya bersahabat, parfum pewangi menghiasi, dan cara bicaranya mudah memancing keakraban. Manusia-manusia nekrofilik bisa menjalani kehidupannya di antara orang biasa. Kesadisannya tidak perlu dipamerkan dalam bentuk kekuasaan yang serba memerintah atau sikap badan yang menumbuhkan ketakutan.

Bagaikan mesin

Penjelasan Fromm tentang biofilia versus nekrofilia itu serupa dengan eksplanasi Sigmund Freud (1856-1939) tentang eros (dorongan untuk hidup) dan thanatos (dorongan untuk mati). Perbedaannya, sebagaimana diakui Fromm, Freud mengasumsikan dua dorongan itu terberi begitu saja secara biologis dan bersifat konstan. Fromm menyatakan, nekrofilia merupakan gejala patologis menular. Tentu saja, penularan nekrofilia bukan seperti virus influenza yang merambat melalui udara, tetapi melalui jalinan antarmanusia dalam struktur sosialnya.

Fromm tidak ingin terjebak determinisme biologis ala Freudian. Pada relasi-relasi sosial, dorongan nekrofilia justru mampu berbiak cepat. Kehidupan yang dibirokratisasikan, dengan corak industrial dan peradaban massal, adalah lahan sempurna bagi pertumbuhan nekrofilia. Dalam kondisi ini, sosok-sosok insani telah ditransformasikan menjadi benda-benda. Interaksi antarmanusia mengalami reifikasi, hubungan benda dengan benda. Struktur sosial beroperasi bagaikan mesin otomatis yang sedemikian dingin dan saling mengasingkan.

Nekrofilia tidak perlu dicari jauh rujukannya dalam sosok Hitler yang bengis atau Ryan yang sadis. Sebab, nekrofilia dapat juga dilihat pada figur-figur pejabat negara yang membiarkan rakyat hidup terlunta-lunta. Para pejabat negara itu menciptakan situasi sosial tanpa tatanan (anomi) yang menjadikan rakyat bergelimang dalam derita dan ketidakpastian. Akibat anomi, kita tidak hanya sekali mendengar berita tentang orangtua yang bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya akibat kemiskinan yang menghebat.

Malapetaka kuasa nekrofilia akan terus terjadi saat rakyat hanya diperlakukan sebagai angka statistik, bukan sebagai individu yang menjalani kehidupan.

Triyono Lukmantoro Pengajar Filsafat dan Etika pada FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

Jumat, 1 Agustus 2008 | 00:47 WIB

ICIS dan Prakarsa Perdamaian

Khamami Zada

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar The International Conference of Islamic Scholars (ICIS), 29 Juli-1 Agustus 2008 di Hotel Borobudur, Jakarta. Tema yang diusung, ”Upholding Islam as Rahmatan li al- ’Alamin: Peace Building and Conflict Prevention in the Muslim World.

Dengan hadirnya sejumlah ulama dan intelektual Islam dari Timur Tengah, Asia, Afrika, dan kawasan lain, ICIS berusaha memainkan peran strategis guna mendialogkan konflik yang melanda negara-negara Muslim dan aksi nyata menyelesaikannya.

Negara sumber konflik

Kini, negara-negara Muslim dilanda konflik berkepanjangan. Konflik internal bernuansa politik-ekonomi, agama, dan etnis, sedangkan konflik eksternal melibatkan antarnegara dalam perebutan kekuasaan wilayah, ekonomi, agama, etnis dan politik. Contohnya, konflik agama dan etnik di Sudan, krisis Irak yang mendorong konflik antara Syiah-Kurdi dan Sunni, dan konflik Palestina-Israel.

Meskipun berperan strategis dalam menyelesaikan konflik, negara pula yang sebenarnya menjadi sumber konflik. Kerja sama antarnegara dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel menjadi bukti, konflik tidak bisa sekadar diselesaikan oleh negara. Negara kadang tidak mampu menembus batas psikologis-historis masalah konflik di suatu negara. Sebab, dalam negara itu berkumpul segudang kepentingan ekonomi dan politik.

Negara-negara Timur Tengah, seperti Arab Saudi, Mesir, dan Suriah, cenderung tidak bersatu dalam menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Apalagi negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, dan Rusia, yang memiliki kepentingan ekonomi (bisnis senjata, peralatan perang, dan lainnya) dan pengaruh politik global. Inilah yang menjadikan persoalan konflik di negara-negara Muslim sulit terselesaikan.

Karena itulah, perlu dilakukan terobosan lain untuk menyelesaikan konflik di negara-negara Muslim. Prakarsa perdamaian tidak hanya dipusatkan pada kekuatan negara, tetapi juga diarahkan pada kekuatan masyarakat secara kultural.

Menurut Max Weber (1978:213-214), meski negara merupakan manifestasi tertinggi otoritas, tetapi otoritas adalah masalah relasi sosial yang bukan hanya melibatkan hubungan politis karena masyarakat di luar negara memiliki mekanisme distribusi otoritasnya sendiri. Jadi, otoritas dalam ruang sosial apa pun diperlukan untuk menjaga tertib sosial. Masyarakat biasanya lebih mendengarkan suara para pemimpin yang secara tradisional memiliki pengaruh.

Di sinilah prakarsa perdamaian amat ditentukan oleh bagaimana persepsi dan sikap pemimpin keagamaan terhadap masalah sosial yang dihadapi karena kekuatan otoritas dan legitimasi yang dimiliki mampu mengorientasikan masyarakat ke arah konflik atau damai.

Pemimpin dan harmoni

Ketegangan, pertentangan, dan sengketa tidak akan mudah menjadi konflik kekerasan sepanjang pemimpin agama mampu mentransformasikannya menjadi kehidupan sosial yang harmoni dan damai (Khamami Zada, dkk, Prakarsa Perdamaian; Pengalaman dari berbagai Konflik Sosial, PP. Lakpesdam NU-EIDHR Komisi Eropa, 2008;21-24).

Dalam konteks inilah ulama dan intelektual Islam berperan penting sekaligus signifikan dalam proses perdamaian. Ulama dan intelektual Islam memiliki otoritas dan legitimasi serta pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Karena itu, peran ulama dan intelektual Islam bukan sekadar penyelesaian konflik (conflict resolution), tetapi juga bagaimana mencegah terjadinya konflik (conflict prevention). Inilah yang bisa diperankan oleh ulama dan intelektual Islam dalam proses perdamaian.

Itu sebabnya, ulama NU diundang Perdana Menteri Thaksin dan Raja Thailand untuk menjembatani perpecahan antara Pemerintah Thailand dan Muslim Patani. Dengan pendekatan Islam Melayu, Muslim Patani baru bisa dijembatani dan disusun ulang dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pascapemerintahan Thaksin, perdana menteri Thailand yang baru mengajak Indonesia membantu penyelesaian krisis di Thailand Selatan (Badrus Sholeh dan Abdul Mun’im DZ, Pesantren dan Perdamaian Regional, 2007).

Dengan komitmen ICIS ketiga yang bukan lagi sekadar wacana, konferensi ditindaklanjuti aksi nyata. Artinya, NU tidak ingin bergulat dalam perdebatan diskursif soal konflik, tetapi mulai didorong berbuat, membantu penyelesaian konflik di negara-negara Muslim. Prinsip dalam aksi nyata ke depan adalah dialog, solidaritas, keadilan, kesabaran, forward looking, dan kepemimpinan visioner.

Karena itu, ICIS ketiga diibaratkan sebagai ”rumah besar” yang menaungi ulama sans frontiers, ulama lintas batas negara yang aktif berkontribusi dalam proses perdamaian di negara-negara konflik. Mereka akan menerjemahkan gagasan besar yang tertuang dalam ICIS kepada ulama di negaranya untuk menghimpun aktor-aktor perdamaian.

Dengan demikian, jelas jika peran Islam Indonesia masih dibutuhkan negara-negara Muslim lainnya. NU sebagai representasi Islam Indonesia tampil memimpin negara–negara Muslim untuk memberi kontribusi besar bagi proses perdamaian.

Khamami Zada Panitia ICIS; Manajer Kajian Agama dan Kebudayaan Lakpesdam NU

Jumat, 1 Agustus 2008 | 00:45 WIB

Tuesday, July 22, 2008

Ibu Sumiarsih [60 tahun] bersama anaknya, Sugeng [44 tahun], sudah dieksekusi mati di Surabaya, Sabtu dinihari 19 Juli 2007. Sudah macam-macam upaya yang dilakukan untuk mengubah hukuman mati, tapi gagal. Tinggal 20 tahun di dalam penjara, bertobat, berkelakuan baik, rajin ibadat, sekali-kali tak akan pernah membatalkan hukuman mati.

Ini Indonesia, Bung! Negara yang punya pasal hak asasi manusia di konstitusi, tapi kokoh mempertahankan pidana mati. Maka, Sumiarsih, Sugeng, dan nama-nama lain pun harus meregang nyawa di depan regu tembak.


Mata ganti mata! Gigi ganti gigi! Nyawa ganti nyawa!

Saya terenyuh ketika Bu Sumiarsih dan Sugeng dipertemukan di Rutan Medaeng, Sidoarjo. Sebelumnya Bu Sumiarsih tinggal di Penjara Malang, Sugeng di Penjara Porong, Sidoarjo. Ini isyarat kuat bahwa hari-hari eksekusi segera menjelang. Hampir 20 tahun mereka tak bertemu. Sugeng menggenggam tangan Bu Sumiarsih erat-erat. Begitu pula sebaliknya. Keduanya seakan tak ingin berpisah.

Mari bersiap, mari berdoa! Moga-moga Tuhan kasih tempat terbaik, bertemu di dunia yang lain! Saya tidak tahu apa saja yang dibicarakan Bu Sumiarsih bersama anaknya, Sugeng. Sulit dibayangkan, bertemu sejenak, diawasi tim jaksa dan penjaga penjara, untuk kemudian bersiap di depan regu tembak dua hari kemudian. Ajal memang niscaya. Tapi siapa gerangan yang tak gentar ketika hari-hari hidupnya sudah ditentukan?

Sejumlah jemaat gereja dan rohaniwan menemui Bu Sumiarsih. Berbeda dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya selama 20 tahun, para jemaat tak banyak bicara. Mau omong apa? Hanya rasa yang bicara. Dalam hitungan jam Bu Sumiarsih alias Mbah Sih harus ditembak mati. Harus menebus dosanya gara-gara peristiwa hitam di Dukuh Kupang Barat 13 Agustus 1988.

Oh Tuhan, inikah ajal yang telah Tuhan tentukan? Ataukah, ajal manusia ditentukan jaksa eksekutor? Tiba-tiba Bu Sumiarsih angkat bicara: "Mengapa kalian sedih? Saya tidak sedih kok. Bukankah saya sudah bersama Tuhan Yesus? Kita, orang beriman, tidak boleh takut menghadapi situasi macam apa pun."

Ah, Bu Sumiarsih, kata-katamu seperti dikutip berbagai media di Surabaya sungguh tak pernah saya bayangkan. Ini hanya bisa keluar dari mulut insan yang penuh iman, tawakal, dekat dengan Tuhan. Hidup di penjara selama 20 tahun tampaknya telah menempa Bu Sumiarsih sebagai pengikut Yesus Kristus yang teguh.

"Kami sangat terharu mendengar kata-kata Bu Sumiarsih. Ternyata, bukan kami yang menguatkan Bu Sumiarsih, tetapi justru beliau yang menguatkan kami," berkata beberapa jemaat yang sempat menemui Bu Sumiarsih pada saat-saat terakhir.

Jumat, 18 Juli 2008.

Tengah malam, sekitar pukul 22:00 WIB, Bu Sumiarsih dan Mas Sugeng dibawa keluar dari Rutan Medaeng. Berputar-putar selama satu jam, lalu mampir di lapangan terbuka. Tidak penting di lapangan Mapolda Jatim, lahan di Osowilangun, atau di mana.

Toh, di mana saja acara penembakan dua anak manusia, pada saat bersamaan, harus dilakukan. "Demi hukum. Demi undang-undang. Demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa," begitu kira-kira prinsip aparat penegak hukum.

Saya tidak tahu apa yang dikatakan Bu Sumiarsih kepada Tuhan pada detik-detik terakhir. Pula dengan Mas Sugeng. Tapi, mengutip pengacaranya, Pak Tedja Sasmita, Bu Sumiarsih terlihat tenang. Pasrah. "Oh Tuhan, ke dalam tanganmu kuserahkan nyawaku! Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama-Mu!"

Saya membayangkan Bu Sumiarsih menghadapi regu tembak [12 anggota Brimbo Jatim] dengan senyum. Selesai sudah! Umur manusia ternyata begitu pendek. Tak sampai satu menit, begitu perluru bersarang di tubuh fana, roh Bu Sumiarsih pun lepas dari badan. Pula dengan Sugeng. Ibu dan anak ini pun bertemu Sang Khalik!

Di TPU Samaan Malang, sebelum peti jenazah diturunkan, Pendeta Lanny Liem--pembimbing Bu Sumiarsih di penjara selama 20 tahun--menyampaikan kata-kata bijak Bu Sumiarsih kepada sidang jemaat. Lanny berbicara dalam nada yang tegas, layaknya pendeta-pendeta Pentakosta. Berikut kata-kata Bu Sumiarsih:

"Akhir hidup saya ini sudah ditentukan
hari, tanggal dan waktunya
Kepulangan saya bukan sebagai orang jahat,
melainkan sudah takdir dari Tuhan.

Kepada jemaat yang mengikuti pemakaman:
Hidup itu sementara,
kita pasti menghadap Bapa di Surga
Untuk itu, kita harus persiapkan keimanan kita
dan berusaha menebus dosa-dosa
yang pernah kita dilakukan di dunia ini."

Selamat jalan Bu Sumiarsih! Selamat jalan Bu Sumiarsih!


Mengutip kata-kata Rasul Paulus:

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik,
aku telah mencapai garis akhir
dan aku telah memelihara iman."

Lambertus L. Hurek

Thursday, July 10, 2008

Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri

Oleh IGNAS KLEDEN


Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Dalam sebuah esainya Sutardji menulis "puisi adalah alibi kata-kata". Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.

Sebuah kata, dalam pemikiran Sutardji, diberi beban makna oleh berbagai kekuatan, yang dalam proses selanjutnya tidak mau bertanggung jawab lagi tentang makna yang mereka berikan dan memindahkan tanggung jawab tersebut pada kata yang telah diasosiasikan dengan makna tertentu.

Adapun kekuatan-kekuatan yang dianggap menindas kebebasan kata-kata dengan memberinya beban makna bisa berasal dari dalam bahasa, seperti semantik atau sintaksis, tetapi dapat pula berasal dari lingkungan luar bahasa, seperti konvensi sosial, kekuasaan politik, atau norma-norma moral.

Mengikuti Sutardji, pemaknaan kata-kata adalah sebuah bentuk penindasan dan kolonisasi, dan dalam hubungan itu puisi dapat berperan sebagai kekuatan pembebas, yang membuat kata-kata kembali merdeka dari penjajahan makna. Proposisi-proposisi tentang pemikirannya ini kemudian dirumuskannya dalam sebuah manifesto yang dikenal sebagai Kredo Puisi.

Menilik isinya, kredo Sutardji yang terkenal itu (dalam O Amuk Kapak: Tiga Kumpulan Sajak, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1981) pada dasarnya lebih berisikan kredo penyair karena di sana ditegaskan peran penyair dalam pembebasan kata-kata dari penjajahan makna: Dalam puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.

Bagi saya, pemikiran-pemikiran dalam Kredo Puisi menjadi menarik bukan dalam kedudukannya sebagai suatu teori tentang puisi, tetapi terutama sebagai rencana kerja seorang penyair. Kredo itu membuat kita terkesan dan mungkin terkejut, bukan karena argumen-argumen yang diajukannya mengenai sense dan nonsense, tetapi dia menjadi menarik sebagai suatu program, suatu desain, dan bahkan suatu tekad.

Harga dan nilai kredo tersebut tidak selayaknya diukur berdasarkan konsistensi dalil-dalilnya, tetapi terutama berdasarkan pertanyaan: apakah penyairnya sanggup mewujudkan apa yang telah dia deklarasikan.

Mantra

Sutardji mengatakan bahwa bagi dia menulis puisi "adalah mengembalikan kata pada mantra". Mengembalikan kata kepada mantra adalah mengeluarkan kata dari konvensi makna dan membiarkannya menemukan kekuatannya sendiri.

Kita dapat bertanya: kalau kata dikembalikan kepada mantra, ke mana gerangan hendak dikembalikan kalimat dalam bahasa? Jawaban atas pertanyaan ini diberikan oleh panyairnya 24 tahun kemudian—setelah Kredo Puisi 1973—dalam esai "Pantun" yang diumumkan Kompas Minggu (14 Desember dan 21 Desember 1997).

Di situ pemikiran Sutardji bahwa kata pada dasarnya tak ada hubungan intrinsik dengan maknanya—suatu pandangan yang kemudian semakin dipertegas oleh teoretisi post-modernis—diteruskannya dengan pandangan lain bahwa sampiran dalam pantun tak ada hubungan intrinsik apa pun dengan isi pantun.

Di sini Sutardji secara frontal menolak pemikiran beberapa peneliti pantun dari Barat, yang berasumsi bahwa ada suatu hubungan intrinsik yang tidak selalu kita ketahui antara bagian sampiran dan bagian isi dalam pantun. Adalah menarik bahwa perlawanan yang dilancarkannya tidak dilakukan dengan berteori, tetapi dilaksanakan dalam praktik, yaitu praktiknya sebagai seorang penyair.

Cara yang ditempuhnya ialah mengambil satu dua pantun dan mengubah sampiran pantun itu dengan bunyi-bunyi yang tidak ada maknanya secara leksikal, tetapi tetap mempertahankan persyaratan formal pantun berupa jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu baris kalimat, dan persamaan bunyi pada akhir kalimat. Ternyata bahwa setelah sampiran diubah ke dalam bunyi-bunyi yang tanpa makna, pantun itu tetap utuh dan masih dapat dinikmati juga.

Pulau pandan jauh di tengah

di balik pulau angsa dua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang juga


Oleh Sutardji dua kalimat sampiran dalam pantun ini diubah dengan bunyi-bunyi yang tak ada maknanya dalam kode leksikal sebagai berikut:

Cacau landan taktak zizangah

tuta kadu pagara mua

hancur badan dikandung tanah

budi baik dikenang jua

Atau sebuah pantun lainnya:

Kalau ada sumur di ladang

bolehlah saya menumpang mandi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Oleh Sutardji dua kalimat sampiran itu diubah dengan bunyi-bunyi tanpa makna sebagai berikut:

Zuku zangga tukali tangtang

zegeze geze papali podi

kalau ada umurku panjang

bolehlah kita bertemu lagi

Dengan cara ini Sutardji membuktikan bahwa sampiran sama sekali tidak dan tidak perlu berhubungan dengan isi pantun dalam kandungan pesannya. Kita tahu, keterangan umum tentang sampiran biasanya dihubungkan dengan alasan fonetik dan alasan estetik. Sampiran diharuskan terdiri atas jumlah suku kata tertentu dalam tiap baris, dengan suku kata terakhir yang harus mengandung persamaan bunyi dengan suku kata terakhir dari bagian isi yang menjadi pasangannya.

Rima pada pantun mengikuti formula ab/ab, yang berarti akhir baris pertama harus mempunyai kesamaan bunyi dengan akhir baris ketiga, sedangkan akhir baris kedua mempunyai rima dengan akhir baris keempat. Di sini hubungan sampiran dan isi hanyalah hubungan formal menyangkut struktur pantun, tetapi tidak ada hubungan substansial antara keduanya.

Menerobos batas bahasa

Meski demikian, Sutardji maju selangkah lagi dan menyatakan bahwa sampiran, justru karena tak mengandung makna tertentu, memperlihatkan the other side of language atau sisi lain dari bahasa, karena makna dalam isi pantun diperhadapkan dengan sampiran yang tanpa makna tertentu. Dengan demikian, pantun menjelma menjadi dialektik antara sense dan nonsense, atau kontestasi antara makna dan tanpa-makna.

Rupa-rupanya keadaan tanpa makna itu tetap dibutuhkan dalam bahasa umumnya dan dalam puisi khususnya, karena dia menjadi kontras yang membuat makna semakin tampak seperti halnya cahaya lampu hanya menjadi nyata dalam gelap dan tidak tampak di bawah sinar matahari.

Dengan demikian, kalau mantra adalah sisi lain dari makna dalam kata, maka sampiran pada pantun adalah sisi lain dari makna dalam kalimat. Pada mantra fonem-fonem yang digabungkan tidak menghasilkan makna, dan atas cara itu membawa orang keluar dari dunia kata-kata yang bermuatan makna yang telah dibakukan.

Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.

Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan antara bahasa dan suatu obyek di luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu sendiri.

Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun dalam bentuk yang lebih diperluas.

Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula ab/ab.

Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi, kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.

Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut ini.

hai Kau dengar manteraku

kau dengar kucing memanggilMu

izukalizu

mapakazaba itazatali

tutulita

papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu

tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco

zukuzangga zegezegeze zukuzangga zege

zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang

ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu

ku zangga zegezegeze aahh....!

nama nama kalian bebas

carilah tuhan semaumu

Dalam sajak ini dua kalimat pertama "Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing memanggilMu" adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode leksikal bahasa Indonesia.

Kode leksikal

Nama dan kode-kode yang digunakan penyairnya adalah bunyi-bunyi seperti mapakazaba, itazatali, tutulita, dan seterusnya. Betapa pun gelapnya kode tersebut, dalam berbagai pengulangan dapat kita rasakan intensitas suatu hasrat yang tak terucapkan dengan bahasa, yaitu bunyi-bunyi seperti zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zukuzangga zegezegeze, tetapi rupanya seruan-seruan magis itu tak sanggup juga mendekatkan wujud yang tak terbatas atau yang kudus itu kepada penyair, yang akhirnya berkata dengan pasrah, dan mungkin dengan putus harapan: "nama nama kalian bebas/carilah tuhan semaumu".

Perjuangan dengan yang tak terbatas, yang ilahi, atau yang kudus dapat kita amati dengan lebih jelas dalam sajaknya yang berjudul Shang Hai. Teknik yang diterapkan penyair di sini adalah menerjemahkan kata-kata dalam kode leksikal ke dalam tanda-tanda non-leksikal.

Semantik diterjemahkan menjadi semiotik sebagaimana dikatakan oleh Emile Benveniste. Meski demikian, penggunaan kode-kode non-leksikal itu disusun dalam suatu struktur yang dengan mudah membuat kita menerjemahkannya kembali ke dalam kata-kata biasa dalam kode leksikal. Hubungan di antara signifier (tanda non-leksikal) dan the signified (kode leksikal) tidak dibuat eksplisit, tetapi memberi kemungkinan bagi pembaca untuk menemukannya.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

tak ya pong tak ya ping

ya tak ping ya tak pong

kutakpunya ping

kutakpunya pong

pinggir ping kumau pong

tak tak bilang ping

pinggir pong kumau ping

tak tak bilang pong

sembilu jarakMu merancap nyaring

Ada tiga cara membaca sajak ini. Cara pertama adalah cara semiotik yang melihat semua bunyi bahasa dalam sajak itu sebagai tanda dan hubungan antartanda. Cara yang kedua adalah cara semantik yaitu melihat hubungan kode leksikal dengan makna.

Cara yang ketiga adalah cara hermeneutik yaitu melihat hubungan antara kode bahasa dengan makna, dan hubungan makna dengan konteks kebudayaan yang luas. Cara ketiga inilah yang akan saya gunakan dalam membaca sajak Shang Hai.

Dibaca dengan cara hermeneutis maka sajak itu dapat menunjukkan suatu perjuangan eksistensial untuk memihak makna atau tanpa makna, persaingan antara percaya dan rasa sia-sia, tukar-menukar antara benci dan rindu, atau pingpong antara ada dan tiada.

Ping di atas pong

pong di atas ping

ping ping bilang pong

pong pong bilang ping

mau pong? bilang ping

mau mau bilang pong

mau ping? bilang pong

mau mau bilang ping

ya pong ya ping

ya ping ya pong

Ada sesuatu yang intens dan tegang dalam larik-larik tersebut yang kita tak tahu sepenuhnya apa. Akan tetapi, untuk keperluan penafsiran, kita secara eksperimental dapat mengganti fonem ping dan pong dengan kata-kata yang ada dalam kode leksikal bahasa Indonesia. Sebagai contoh gantilah fonem ping dengan kata-kata seperti: ada, percaya, rindu, dan dekat, dan gantilah fonem pong dengan kata-kata seperti: tiada, sia-sia, benci atau jauh maka akan terasa ketegangan itu.

Dengan peralihan ke dalam kode leksikal, maka larik-larik di atas akan berbunyi:

Ada di atas tiada

tiada di atas ada

ada ada bilang tiada

tiada tiada bilang ada

mau tiada? bilang ada

mau mau bilang tiada

mau ada? bilang tiada

mau mau bilang ada

ya tiada ya ada

ya ada ya tiada

Atau kalau kita menggantinya dengan kode leksikal lainnya, maka kita dapati larik-larik berikut:

Rindu di atas benci

benci di atas rindu

rindu rindu bilang benci

benci benci bilang rindu

mau benci? bilang rindu

mau mau bilang benci

mau rindu? bilang benci

mau mau bilang rindu

ya benci ya rindu

ya rindu ya benci

Sajak ini termasuk sajak Sutardji yang paling mempesona saya karena hanya dengan dua fonem yang tak ada maknanya secara leksikal kita diberi ruang yang lapang untuk membangun makna tentang dialektik yang keras di antara dua jenis energi yang diberi nama "ping" dan "pong".

Makna baru

Dialektik ini rupanya tak menghasilkan suatu sintesa yang memuaskan, sehingga akhirnya meledak dalam kalimat terakhir sajak yang berbunyi sembilu jarakMu merancap nyaring. Anda tahu "merancap" adalah bunyi senjata tajam yang sedang diasah. Maka, jarak dengan yang tak terbatas telah menjadi sembilu yang terus diasah dengan denting bunyi yang nyaring.

Namun, di sinilah Sutardji berhadapan dengan kontradiksinya sendiri: usaha untuk keluar dari makna akan membawa kita kepada makna baru, seperti yang terjadi pada setiap metafor. Penghancuran makna mengharuskan kita untuk melakukan penciptaan makna, sementara dekonstruksi makna akan membawa kita kepada rekonstruksi makna.

Bunyi-bunyi yang tak ada dalam kamus pada akhirnya harus diterjemahkan kembali dengan kata-kata dalam kode leksikal, sebagaimana mantra diterjemahkan menjadi doa, dan mistik diterjemahkan menjadi lirik. Sebagai contoh sajak Sutardji Shang Hai yang baru kita uraikan dapat dengan mudah diterjemahkan ke dalam sajak Sapardi Djoko Damono berjudul Sonet: X. Sajak ini dimulai dengan pertanyaan:

Siapa menggores di langit biru

siapa meretas di awan lalu

siapa mengkristal di kabut itu

siapa mengertap di bunga layu

Dan ditutup dengan pertanyaan:

siapa tiba-tiba menyibak cadarku

siapa meledak dalam diriku

: siapa Aku

Setelah bertanya dan mengaduh dengan berbagai pertanyaan yang serba gelisah, muncul juga jawaban berupa suara dalam diri orang yang bertanya: siapa Aku, siapa Aku yang menggema dalam dirimu? Demikian pun, kesimpulan Sutardji yang terungkap dalam kalimat sembilu jarakMu merancap nyaring dengan mudah mengingatkan kita akan rindu dendam dan mungkin juga frustrasi Amir Hamzah dalam sajaknya PadaMu jua", yang baik saya kutipkan beberapa baitnya sebagai perbandingan:

Satu kekasihku

aku manusia

rindu rasa

rindu rupa

Di mana Engkau

rupa tiada

suara sayup

hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu

engkau ganas

mangsa aku dalam cakarmu

bertukar tangkap dengan lepas

Permainan antara rindu rupa dan rupa tiada, dan pergantian tangkap dengan lepas pada Amir Hamzah kurang lebih paralel dengan sembilu jarakMu merancap nyaring pada Sutardji, yang menyatakan kegelisahan dan rasa penasaran ini dengan lebih jelas dalam sebuah sajaknya yang lain:

Kuharap isiNya kudapat remahNya

kulahap hariNya kurasa resahNya

kusangat inginNya kujumpa ogahNya

kumau Dianya kutemu jejakNya.

Daya pukau

Kalau yang tak terbatas itu dihayati juga sebagai yang kudus, maka pengalaman dengan yang kudus itu, menurut penyelidikan fenomenolog agama, Rudolf Otto, dihayati sebagai perjumpaan dengan mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menyebarkan rasa gentar dan memancarkan daya pukau.

Orang tertangkap dalam daya pukau, tetapi terlepas kembali dalam rasa gentar, bertukar tangkap dengan lepas seperti dikatakan Amir Hamzah. Pada beberapa penyair Indonesia daya pukau itu terasa lebih menonjol dan penyair melantunkan sukacita akan kepenuhan pengalaman itu. Chairil Anwar dalam pembukaan sajak Doa berkata:

Tuhanku

dalam termangu

aku masih menyebut namaMu>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m<

yang dapat kita bandingkan dengan beberapa kalimat dalam sajak Rabindranath Tagore:

I will utter your name, sitting alone among

the shadows of my silent thoughts

I will utter it without words, I will utter it without purpose

Chairil menutup sajaknya dengan stanza berikut:

Tuhanku

di pintuMu aku mengetuk

aku tidak bisa berpaling

Larik-larik itu terdengar bagaikan parafrase pengalaman penyair Inggris, William Blake, ketika berkata dalam sajaknya:

Hold infinity in the palm of your hand

and eternity in an hour

Sutardji jelas mengalami keterpukauan itu, tetapi berkali-kali merasa bahwa yang dekat tetaplah jauh, yang nampak tetap tersembunyi, daya pukau tetaplah menyebar rasa gentar. Ambivalensi tanggapan dan suasana hati ini dapat ditemukan secara intens dalam berbagai sajaknya tetapi muncul dalam nada rendah yang amat simpatik dalam sajak yang berikut ini:

Siapa dapat meneduh rusuh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membalut luluh

yang padamu yang padaku

siapa dapat turunkan sauh

dalam hatiku dalam hatimu

siapa dapat membasuh lusuh

apa kautahu apa kautahu?

Pelanggaran kategori

Kalau semantik diterobos melalui mantra, maka sintaksis diterobos melalui categorial transgression atau pelanggaran batas kategori sebagaimana dimaksudkan oleh Paul Ricoeur. Pelanggaran batas kategori ini dilakukan oleh Sutardji dengan beberapa cara, direncanakan ataupun tidak. Di beberapa tempat jelas-jelas dia memakai kata benda dalam fungsi sebagai kata sifat.

Yang paling mawar

yang paling duri

yang paling sayap

yang paling bumi

yang paling pisau

Ada dua hal terlihat dalam contoh ini. Di satu pihak kata benda digunakan sebagai kata sifat, sementara di lain pihak kata benda dapat diberi bentuk superlatif. Kita dapat bertanya mengapa gerangan penyairnya mengatakan "yang paling mawar" dan bukan "yang paling harum", "yang paling duri" dan bukannya "yang paling tajam", atau "yang paling sayap" dan bukannya "yang paling bebas"?

Salah satu jawaban yang mungkin ialah ajektif harum, tajam, dan bebas dalam perasaan penyair sudah mengalami devaluasi arti yang terlalu parah akibat tekanan konvensi sosial atau hipokrisi moral, sehingga dia mengambil substantif sebagai gantinya. Sementara itu, dia ingin memastikan bahwa kalau ada bau harum yang terbit dalam perasaannya, maka itu adalah harum mawar dan bukan harum parfum misalnya. Di sini pelanggaran kategori diterapkan untuk mengejar presisi dan kepenuhan makna yang dituju.

Penyimpangan lainnya dilakukan dengan menyamakan dalam fungsi atributif yang sejajar kata-kata dari berbagai jenis kata yang berbeda. Larik-larik berikut ini dapat memberi ilustrasi:

Siapa sungai yang paling derai siapa langit yang paling rumit

siapa laut yang paling larut siapa tanah yang paling pijak siapa

burung yang paling sayap siapa ayah yang paling tunggal

siapa tahu yang paling tidak siapa Kau yang paling aku kalau

tak aku yang paling rindu?

Atau larik-larik lainnya:

Yang mana sungai selain derai yang mana gantung selain sambung

yang mana nama selain mana yang mana gairah selain resah yang

mana tahu selain waktu yang mana tanah selain tunggu

Dalam bait yang dikutip pertama kita bertemu dengan jenis-jenis kata sebagai berikut: derai adalah kata benda, rumit kata sifat, larut kata sifat, pijak kata kerja, sayap kata benda, tunggal kata sifat, tidak kata keterangan, aku kata ganti dan rindu kata kerja. Semua kata-kata ini diberi bentuk superlatif dengan bantuan kata keterangan "paling", sementara menurut tata bahasa, superlatif hanya dikenakan pada kata sifat.

Dalam bait lainnya kita melihat pasangan kata-kata dalam kedudukan sebagai predikatif, tetapi tidak selalu simetris berdasarkan jenis katanya. Sungai dan derai memang simetris karena keduanya kata benda, juga gantung dan sambung adalah simetris karena keduanya kata kerja.

Akan tetapi, gairah dan resah tidak simetris karena gairah adalah kata benda sementara resah kata sifat. Juga tahu dan waktu tidak simetris karena tahu adalah kata kerja sedangkan waktu kata benda. Atas cara yang sama tanah dan tunggu juga tidak simetris, karena tanah adalah kata benda dan tunggu kata kerja.

Dekonstruksi bahasa

Suatu percobaan Sutardji lainnya yang patut dicatat ialah usahanya mendistorsikan kata-kata dalam kode leksikal dengan makna yang jelas ke bentuk-bentuk kata yang keluar dari kode leksikal sehingga tidak mempunyai makna lagi. Frase seperti "sepisau luka sepisau duri" dapat kita pahami melalui kode leksikal. Akan tetapi, oleh Sutardji perkataan "sepisau" dipelesetkan menjadi "sepisaupa sepisaupi" yang sudah sulit dipahami dengan menggunakan kamus.

Sepisau luka sepisau duri

sepikul dosa sepukau sepi

sepisau duka serisau diri

sepisau sepi sepisau nyanyi

sepisaupa sepisaupi

sepisapanya sepikau sepi

sepisaupa sepisaupi

sepikul diri keranjang duri

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sepisaupa sepisaupi

sampai pisauNya kedalam nyanyi

Pelanggaran kategori terhadap jenis kata yang sangat sering dilakukan dan distorsi bentuk kata yang kadang-kadang dilakukan, sangat mungkin telah digerakkan oleh motif pribadi penyair untuk menerobos batas bahasa sehari-hari. Sekalipun demikian, di banyak tempat penerobosan kategori dan distorsi bentuk kata ini dilakukan untuk meningkatkan efek fonetik melalui pengerahan aliterasi dan asonansi secara maksimal.

Dalam perasaan saya, semenjak Amir Hamzah hanya sedikit sekali penyair kita yang sanggup memainkan bunyi bahasa dalam aliterasi dan asonansi secara kuat dan efektif. Sutardji jelas salah satu dari yang sedikit itu, dan salah satu yang paling berhasil dalam memainkan bunyi bahasa.

Untuk mengambil sebuah contoh saja:

Rasa dari segala risau sepi dari segala nabi tanya dari segala

nyata sebab dari segala abad sungsang dari segala sampai duri

dari segala rindu luka dari segala laku igau dari segala risau

kubu dari segala buku resah dari segala rasa rusuh dari segala

guruh sia dari segala saya duka dari segala daku Ina dari segala

Anu puteri pesonaku!

datang Kau padaku!

Kalau gairahnya untuk bunyi bahasa menyebabkan dia menerobos kategori-kategori jenis kata, maka kesukaannya pada visualisasi sajak dalam tipografi yang unik menyebabkan dia sering mempersetankan aturan-aturan ejaan yang berlaku. Sutardji menulis kata berulang tanpa pernah menggunakan tanda sambung (-) dan pengulangan itu pun bisa dilakukan lebih dari dua kali. Dengan ringan saja dia menulis "kakekkakek", "bocahbocah", atau "terkekehkekeh". Atau "minumminum", "senyumsenyum", "jingkrakjingkrak" dan "nyanyinyanyi".

Jadi rupa-rupanya, dalam pandangan Sutardji, yang harus diterobos bukan saja makna kata-kata yang dibakukan dalam kamus, tetapi juga bentuk fisik kata-kata yang dibakukan dalam ejaan. Penyair seakan mencium bau kolonisasi dalam sistem ejaan. Karena, seperti halnya makna kata-kata, sangat mungkin pula bentuk kata yang diatur dalam ejaan telah dipaksakan oleh kepentingan politik, kebutuhan pasar, serta kecenderungan-kecenderungan tertentu, yang tidak selalu menguntungkan pemakaian bahasa secara efektif.

Begitulah, catatan-catatan ini mudah-mudahan memperlihatkan sekadarnya bahwa jauh-jauh hari sebelum diskusi tentang teori-teori post-modernis marak di Indonesia semenjak 1990-an, Sutardji sebagai penyair telah menyadari, kalau bahasa tak lain tak bukan hanyalah suatu konstruksi sosial. Karena bahasa adalah konstruksi, dia dapat juga dinegasikan melalui dekonstruksi.

Upaya dan perjuangan Sutardji untuk menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapatlah dipandang sebagai percobaan untuk melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran, dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.

Atau, untuk memakai kata-kata Sutardji sendiri, puisi adalah ibarat "senyap dalam sungai tenggelam dalam mimpi" tetapi dekonstruksi melalui puisi adalah ibarat "cuka dalam nadi luka dalam diri".

IGNAS KLEDEN Sosiolog, Penulis Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, Grafiti, Jakarta, 2004

* (Esai ini berasal dari Pidato Kebudayaan yang disampaikan pada Malam Puncak Pekan Presiden Penyair di TIM, Jakarta, 19 Juli 2007, untuk menghormati penyair Sutardji Calzoum Bachri 66 tahun. Dalam penerbitan ini seluruh catatan kaki dihilangkan).