Friday, August 1, 2008

Malapetaka Kuasa Nekrofilia

Triyono Lukmantoro

Nama Very Idam Henyansyah membuat kita terkesima karena aksi-aksi kejahatan yang dilakukannya. Pria berusia 30 tahun—biasa dipanggil Ryan—itu merupakan tersangka pelaku pembunuhan berantai.

Lebih dari 10 orang dinyatakan menjadi korban, salah satunya dimutilasi. Diduga kuat, masih ada korban-korban perbuatan keji Ryan dan hampir setiap hari menjadi bahan pemberitaan media massa.

Pembunuhan dengan aneka cara bukanlah fenomena sosial yang baru. Pada awal Juni 2008 terjadi kehebohan di Jepang. Tomohiro Kato, laki-laki berusia 25 tahun, melakukan perbuatan sadistik. Setelah menabrakkan mobilnya pada kerumunan massa, Kato lalu melompat keluar dan mengamuk dengan menikam orang-orang di sekitarnya. Akibat perilakunya itu, sebanyak 17 orang menjadi korban, tujuh di antaranya tewas.

Kepada polisi, Kato mengungkapkan, dia sudah bosan hidup. Kato tidak punya motif apa pun, selain membunuh orang, siapa pun yang ditemuinya. Beberapa jam sebelum kejadian, Kato mengatakan, ”Saya akan menabrakkan kendaraan saya ke orang-orang dan jika kendaraan itu tak berguna, saya akan keluarkan pisau. Selamat tinggal semua!” Berbagai pernyataan bermunculan mengomentari kejadian itu. Salah satunya menyatakan, moralitas publik dan hubungan antarmanusia mengalami kemerosotan.

Ryan tidak seabsurd Kato dalam melakukan pembunuhan. Kecemburuan dan menguasai harta korban adalah dalihnya. Namun, apa pun motifnya, pembunuhan merupakan kejahatan yang umurnya setua peradaban manusia. Para kriminolog dapat berteori tentang kasus-kasus pembunuhan, dari eksplanasi yang bersifat individual-psikologis hingga paparan yang berkarakter komunal-sosiologis. Satu hal yang pasti, pembunuhan selalu terjadi dan menjadi bagian hidup sehari-hari.

Mencintai kematian

Sebuah uraian yang layak disimak tentang pembunuhan dikemukakan filsuf Erich Fromm (1900-1980). Dalam tulisannya , Creators and Destroyers (1964), Fromm mengemukakan dua definisi yang bersifat oposisional untuk melihat bagaimana manusia menyikapi kehidupan.

Pertama, biofilia yang berarti ”mencintai kehidupan”. Inilah orientasi normal yang ada di antara orang-orang yang waras. Biofilia tidak dibentuk oleh sifat yang tunggal, tetapi merepresentasikan orientasi total, sebuah keseluruhan cara berada manusia. Biofilia dimanifestasikan oleh proses-proses kebertubuhan seseorang, baik dalam emosi, pikiran, maupun gesturnya. Pendekatan biofilia terhadap kehidupan adalah fungsional ketimbang mekanis. Hal itu dapat dilihat pada sikap etisnya. Baik adalah semua yang terarah bagi kehidupan, jahat ialah semua yang mengabdi bagi kematian.

Kedua, nekrofilia yang bermakna ”mencintai kematian”. Siapakah orang yang bercorak nekrofilik, tanya Fromm. Dia adalah orang yang terpesona oleh semua yang bukan kehidupan, yakni kematian, jenazah, kerusakan, dan kekotoran. Orang yang dikuasai nekrofilia amat suka berbicara tentang kesakitan, pemakaman, dan kematian. Tipe manusia pengidap nekrofilia itu dapat dilihat dalam figur Adolf Hitler. Dia dingin, kulit tubuhnya menampakkan kematian, ekspresi wajahnya memunculkan aroma tidak sedap.

Mungkin saja Fromm berlebihan dalam menggambarkan figur fisik nekrofilik. Hitler tepat dijadikan sosok pengidap nekrofilia, selain Eichmann dan Stalin. Mereka adalah para penguasa negara yang menyebabkan kematian dan penderitaan bagi jutaan rakyat. Namun, kalangan penderita nekrofilia tidak selalu menampilkan sikap terbuka, seperti Tomohiro Kato di Jepang, dengan menyatakan bosan hidup dan bertindak bengis terhadap orang- orang tanpa dosa.

Kaum pengagum dan penderita nekrofilia bisa bersikap tertutup atau menunjukkan keramahan terhadap sesama. Wajahnya menyunggingkan senyuman, sikap tubuhnya bersahabat, parfum pewangi menghiasi, dan cara bicaranya mudah memancing keakraban. Manusia-manusia nekrofilik bisa menjalani kehidupannya di antara orang biasa. Kesadisannya tidak perlu dipamerkan dalam bentuk kekuasaan yang serba memerintah atau sikap badan yang menumbuhkan ketakutan.

Bagaikan mesin

Penjelasan Fromm tentang biofilia versus nekrofilia itu serupa dengan eksplanasi Sigmund Freud (1856-1939) tentang eros (dorongan untuk hidup) dan thanatos (dorongan untuk mati). Perbedaannya, sebagaimana diakui Fromm, Freud mengasumsikan dua dorongan itu terberi begitu saja secara biologis dan bersifat konstan. Fromm menyatakan, nekrofilia merupakan gejala patologis menular. Tentu saja, penularan nekrofilia bukan seperti virus influenza yang merambat melalui udara, tetapi melalui jalinan antarmanusia dalam struktur sosialnya.

Fromm tidak ingin terjebak determinisme biologis ala Freudian. Pada relasi-relasi sosial, dorongan nekrofilia justru mampu berbiak cepat. Kehidupan yang dibirokratisasikan, dengan corak industrial dan peradaban massal, adalah lahan sempurna bagi pertumbuhan nekrofilia. Dalam kondisi ini, sosok-sosok insani telah ditransformasikan menjadi benda-benda. Interaksi antarmanusia mengalami reifikasi, hubungan benda dengan benda. Struktur sosial beroperasi bagaikan mesin otomatis yang sedemikian dingin dan saling mengasingkan.

Nekrofilia tidak perlu dicari jauh rujukannya dalam sosok Hitler yang bengis atau Ryan yang sadis. Sebab, nekrofilia dapat juga dilihat pada figur-figur pejabat negara yang membiarkan rakyat hidup terlunta-lunta. Para pejabat negara itu menciptakan situasi sosial tanpa tatanan (anomi) yang menjadikan rakyat bergelimang dalam derita dan ketidakpastian. Akibat anomi, kita tidak hanya sekali mendengar berita tentang orangtua yang bunuh diri dengan mengajak anak-anaknya akibat kemiskinan yang menghebat.

Malapetaka kuasa nekrofilia akan terus terjadi saat rakyat hanya diperlakukan sebagai angka statistik, bukan sebagai individu yang menjalani kehidupan.

Triyono Lukmantoro Pengajar Filsafat dan Etika pada FISIP Universitas Diponegoro, Semarang

Jumat, 1 Agustus 2008 | 00:47 WIB

0 komentar: