Wednesday, August 13, 2008

JEJAK KAKI SANG PETANI


(Jeritan dibalik kelaparan)
Oleh: Valery Kopong*
MEMBACA dan mendengar berita dari Flores tentang masalah kemiskinan dan kelaparan yang sedang menimpah beberapa daerah di Sikka dan juga Ile Ape (Lembata), kesan kuat yang muncul adalah bahwa selama ini belum adanya keseriusan pemerintah untuk mengurus persoalan tersebut. Persoalan ini sebenarnya menampar kesadaran pemerintah secara khusus dinas pertanian untuk secara jeli memahami peristiwa ini sebagai kegagalan dinas yang bersangkutan yang mungkin selama ini tidak membantu warga dalam proses pengolahan lahan pertanian secara maksimal. Penulis lebih menitikberatkan pada dinas pertanian karena keberadaan mereka yang seharusnya menjadi mitera masyarakat dalam mengembangkan komoditas tetapi justeru yang terjadi adalah terdapat kesenjangan yang menciptakan jarak sosial yang jauh dari masyarakat. Keberadaan dinas pertanian di propinsi dan kabupaten belum menujukkan aktivitas secara paripurna untuk membantu masyarakat.
Melihat kondisi wilayah dari kedua daerah tersebut, pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah penelitian terhadap jenis tanah secara jeli untuk kemudian menentukan jenis tanaman mana yang cocok untuk ditanami tanaman. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk menemukan kecocokan tanah untuk ditumbuhi tanaman-tanaman, baik sayur-sayuran maupun komiditi lainnya yang bisa digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka. Selama ini belum adanya penelitian yang serius terhadap kondisi tanah dan pola pengembangan pertanian di wilayah-wilayah yang rawan pangan ini. Penelitian ini lebih dimaksudkan untuk menggali persoalan mendasar tentang rawan pangan, yang penyebab utamanya adalah kondisi tanah.
Terhadap persoalan mendasar ini, penulis teringat akan upaya dan kerja keras almahrum, Pastor Fritz Braun, SVD yang membantu salah satu wilayah tandus di daerah Maumere. Mulanya ia membantu warga dengan menggali beberapa sumur dan sumur-sumur yang ada dapat dijadikan sebagai sumber yang memberikan kehidupan bagi tanaman-tanaman lain. Beberapa tahun kemudian, wilayah yang dulunya tandus berubah menjadi segar dan hijau. Di sini, dapat kita lihat bahwa persoalan utama tidak hanya terletak pada tanah tetapi juga air. Air sebagai sentra utama memberikan kehidupan bagi yang lain belum terupaya digarap, seperti yang dilakukan oleh Pastor Fritz. Andaikata kandungan air yang tersimpan di dalam perut bumi, suatu saat tersedot maka dapat dijadikan sebagai sumber utama yang memberikan kahidupan.
Di sisi lain, perlu adanya perombakan pola pertanian. Masyarakat NTT umumnya masih terkondisi dengan cara bertani secara tradisional. Karena itu melihat kondisi seperti ini maka sudah saatnya masyarakat NTT perlu mengadakan perombakan secara total pola bertani. Kita mestinya belajar, bagaimana bertani secara baru (modern) di mana yang dicurahkan dalam sistem pertanian tersebut, tidak hanya secara fisik semata tetapi juga mengerahkan pikiran.
Penerapan cara bertani modern ini merupakan suatu tantangan tersendiri bagi masyarakat NTT. Di katakan tantangan berat karena masyarakat umumnya enggan untuk belajar hal-hal baru mengenai bagaimana bertani secara baik, di mana dalam mengerjakan areal pertanian tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga tetapi hasil yang diperoleh adalah memuaskan. Untuk membuka cakrawala berpikir masyarakat NTT dan secara khusus daerah-daerah yang rawan pangan, perlu adanya pendampingan dari dinas pertanian secara kontinu. Pola pendampingan yang diterapkan disini harus secara personal dan berkelanjutan. Di sinilah tantangan terberat untuk dinas pertanian apabila mereka mau menyatu dan bersolider dengan masyarakat petani, yang tidak lain adalah warganya sendiri.
Beberapa pendekatan di atas belumlah menunjukkan sesuatu secara maksimal apabila komoditi yang ditanam hanyalah sejenis. Seperti yang terjadi di Sikka, ancaman terberat bagi mereka adalah lumpuhnya komoditi kakao yang menjadi primadona masyarakat tersebut karena terserang penyakit. Keadaan ini menjadi penyebab utama yang menimbulkan kelaparan karena harapan akan komoditi yang lain tidak ada. Untuk dapat mengatasi masalah ini pada masa mendatang, sebagai anjuran, bahwa masyarakat NTT umumnya tidak boleh menanam komoditi hanya sejenis saja. Anjuran ini dilakukan dengan melihat kondisi di Sikka, yakni karena bergantung pada komoditi primadona (baca: kakao) yang terserang penyakit maka mereka menjadi lapar. Primadona telah berubah wajah menjadi primadosa.
Kalau penulis melihat di wilayah lain seperti Adonara-Flores Timur, pola menanam tanaman komoditi tidak hanya terpaku pada satu jenis saja. Misalkan saja sebuah keluarga memiliki 4 hektar tanah, semuanya dibagi secara merata untuk ditanami beberapa jenis tanaman komoditi. Dari 4 hektar tanah itu bisa ditanami kopi, kakao, fanili, kemiri. Dan satu lahan pertanian kecil bisa disediakan untuk ditanami tanaman berumur pendek seperti jagung dan padi. Pola penanaman variatif seperti ini memberikan suatu nuansa baru untuk bagaimana mengatasi krisis pangan. Apabila kakao gagal panen sebagai akibat terserang penyakit maka komoditi lain yang berhasil dipanen menjadi penopang untuk membendung kelaparan.
Peristiwa kelaparan di Sikka atau rawan pangan (versi para pajabat), seperti yang ditulis di harian kompas, mengulas secara mendetail tentang sepak terjang kehidupan masyarakat Sikka. Salah satu hal yang disoroti adalah rendahnya budaya menabung. Mungkin benar dugaan-dugaan seperti ini karena apabila budaya menabung masyarakat cukup tinggi maka masyarakat sendiri bisa mengatasi masalah ini. Selain catatan di harian kompas, P. Budi Kleden, SVD dalam tulisannya di Pos Kupang, menghimbau masyarakat Sikka agar melihat peristiwa ini sambil berusaha membenah diri dengan cara “mengurangi pesta.”
Pesta merupakan bagian hidup masyarakat Sikka. Di dalam pesta yang sifatnya sesaat dan penuh hura-hura seakan menghantar para warga Sikka untuk melupakan pengalaman pahit yakni kelaparan. Kini saatnya untuk kembali melihat kondisi wilayah kita yang rawan baik rawan pangan, rawan ilmu pengetahuan dan busung lapar. Kita lebih berbenah diri lagi, menata pola bertani dan pola bertanam serta pola menabung sebagai upaya terbaik menyelamatkan diri. Pupuk yang baik untuk tanaman bukan pupuk urea, melainkan jejak kaki sang petani. Peristiwa kelaparan tidak dilihat sebagai kegagalan seorang petani tetapi lebih merupakan tuntutan alam. Dapatkah seorang petani menundukkan peristiwa kelaparan dengan membenah kembali cara berpikir dan pola bertani secara baru? ***

0 komentar: