Wednesday, August 13, 2008

INDONESIA DAN KEGAGALAN MENGELOLA MASALAH

Oleh: Valery Kopong*

BEBERAPA tahun yang lalu, seorang sahabat saya melamar kerja pada sebuah paroki. Perkenalan awal dengan pastor paroki terasa kental dan akrab. Hal ini menimbulkan suatu kepercayaan penuh dalam diri pastor paroki terhadapnya. Pekerjaan memasak di dapur bahkan merangkap sebagai seorang koster dilakoninya. Melihat rutinitas kerja yang diakhiri secara baik dan memuaskan maka suatu hari sang pastor menjanjikannya untuk membelikan sebuah sepeda bermerek BMX. Hadiah menarik ini tentunya menambah gairah dan memotivasinya untuk berkreativitas.

Suatu hari ketika pastor paroki sedang mengadakan kunjungan ke lingkungan-lingkungan, kesempatan ini dia gunakan untuk mendandani sepedanya. Menatap sepedanya yang baru, ia selalu membanggakan orang-orang yang merakit sepeda itu. Kapan saya bisa merakit sepeda itu? Pertanyaan ini selalu menghantuinya sehingga pada akhirnya ia membongkar sepeda yang utuh itu lalu memisahkan onderdil. Seusai memisahkan sepeda menjadi beberapa bagian, ia mengalami kesulitan dan tidak tahu bagaimana mengutuhkan kembali masing-masing onderdil menjadi sebuah sepeda yang sempurna. Peristiwa ini akhirnya diketahui oleh pastor paroki dan sahabat saya dimarahi.

Cerita sederhana di atas menggambarkan betapa gamblangnya pemikiran sahabat saya yang tidak memiliki potensi tetapi berani menggambil resiko dari uji coba pemahaman yang minim akan dunia perakitan sepeda. Hal ini juga jelas menunjukkan sebuah egoisme yang kuat dalam diri sahabatku yang tidak mau mencari informasi dan meminta bantuan pihak lain. Dengan peristiwa ini ia pada akhirnya menatap resah pada onggokan onderdil sepeda dan sepeda yang disanjung-sanjung sebelumnya tidak lagi menjalani fungsinya sebagaimana mestinya.

***

KETIKA bapak Proklamator menyatukan bangsa ini, ia selalu mendengungkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dengungan sang Proklamator ini menunjukkan adanya upaya untuk menjaga suatu keutuhan wilayah RI yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jiwa pemersatu selalu hidup dalam diri sang proklamator bahkan bisa dilihat sebagai mesin penggerak utama (motor primum) yang terus menggilasi nurani anak bangsa untuk tetap menjaga keutuhan bangsa ini. Menjaga keutuhan bangsa berarti berani memandang orang lain sebagai bagian dari anggota bangsa ini, tanpa perlu bertanya ia berasal dari suku mana. Keterbukaan hati antar wilayah telah menghantarkan bangsa menuju pada titik pemahaman yang absah tentang negara dan keutuhannya.

Para pemimpin lain pasca-Soekarno memerintah secara agak berbeda. Di tangan Soeharto, demi persatuan dan kesatuan, banyak orang yang lenyap nyawanya ketika berani berbicara dan mengeritik pemerintahannya yang pretorian. Dia pada akhirnya tumbang dan diganti Habibie. Pada masa transisi yang begitu singkat ia berani memisahkan Timtim dari Indonesia lewat dua opsi yang digulirkannya. Muncul pemimpin lain seperti Gus Dur dan Megawati di atas pentas republik dan dua tokoh ini masih tetap menyerukan persatuan dan kesatuan bangsa. Kepemimpinan mereka menggambarkan sosok nasionalis yang gampang diterima oleh semua kalangan. Lalu bagaimana dengan pemerintahan SBY-JK?

Keutuhan bangsa ini kian renggang oleh karena tidak lagi didengungkannya nilai persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini jelas terlihat bahwa selama kepemimpinan SBY-JK, jarang sekali terucap kata persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak medengungkan pancasila sebagai dasar negara ini. Pada saat ini beberapa tokoh nasional mencoba untuk mendengungkan kembali persatuan dan kesatuan serta menyerukan agar nilai-nilai pancasila dihidupkan lagi sebagai pedoman yang mengarahkan perjalanan bangsa ini.

SBY-JK barangkali memberikan interpretasi secara berbeda terhadap nilai-nilai di atas. Bahwa tak perlu lagi mendengungkan nilai persatuan dan kesatuan serta pancasila sebagai dasar karena para pemimpin terdahulu telah mendengungkannya ke telinga-telinga rakyat Indonesia. “Negara lain bisa maju tanpa pancasila,” demikian kata seorang tokoh nasional kita. Memang benar bahwa negara lain maju tanpa pancasila tetapi ingat bahwa negara lain juga mempunyai pedoman tertentu yang mampu menuntun negaranya untuk berjalan ke arah yang benar. Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan berpikir dan bertindak untuk memajukan bangsa ini. Itu berarti bahwa landasan ini menjadi cerminan bagi publik untuk pada akhirnya secara bijak memilih ketepatan “semburan nilai cahaya” yang terpancar dari sumber yang sakti itu.

Melihat kondisi bangsa yang amburadul ini, menurut hemat penulis bahwa tidak adanya dasar yang kuat yang sanggup mengarahkan perjalanan bangsa ini. Dan dengannya dalam bertindak, baik para pemimpin dan rakyat secara keseluruhan tidak memikirkannya secara rasional sehingga pada akhirnya hasil yang diperoleh sangat mengecewakan. Cerita di atas menceritakan pada kita bahwa sudah banyak masalah yang dibuat sendiri yang tidak pernah terselesaikan secara baik. Contoh yang paling jelas adalah korupsi. Indonesia dikenal sebagai bangsa yang korup yang sudah sekian tahun berjalan tetapi hal ini tidak bisa tertangani secara baik. Atau contoh lain yang menunjukkan kebodohan Indonesia sendiri adalah usaha pengeboran perut bumi oleh PT Lapindo di Porong –Sidoarjo di mana ketika ada semburan lumpur panas di areal pengeboran, pihak perusahaan pada kelabakan untuk bagaimana mengatasinya.

Masalah-masalah yang telah muncul di atas menunjukkan betapa sempitnya kiprah seorang pejabat yang bertindak untuk memuaskan kepentingan pribadi dan golongan, tanpa berpikir secara global tentang hidup masyarakat publik. Pelbagai masalah yang dimunculkan belum tuntas terselesaikan secara baik. Mengelola masalah bangsa ini tidak akan menemukan suatu jawaban tuntas apabila masing-masing instansi bangsa berada secara terpisah, mirip onderdil sepeda dalam cerita di atas. Masing-masing instansi belum menunjukkan militansi yang handal dalam menyelesaikan masalah bangsa ini. Mereka (baca: instansi) menunjukkan fungsi secara sendiri-sendiri dan belum merambat kepada partner kerja yang lain.

Masalah korupsi misalnya, tidak bisa diberantas secara radikal karena korupsi telah melembaga dan membangun jaringan sangat kuat dan tidak bisa ditumbangkan. Bagaimana bisa menumbangkan kawanan koruptor kalau polisinya dan instansi penegak hukum yang lain senantiasa menghidupkan budaya korupsi? Atau pembalakan liar tak mungkin teratasi karena yang melakonkannya adalah seorang jenderal.

Kegagalan bangsa dalam mengelola masalah dan menyelesaikan secara baik masih menjadi sebuah “fatamorgana.” Itu berarti proses penyelesaian masalah tidak jauh berbeda dengan usaha seseorang untuk menggapai kaki langit, sesuatu yang sia-sia. Usaha penuntasan masalah pada pemerintahan SBY-JK hanyalah dilihat sebagai “riak-riak politik” yang mencari simpati dan perhatian dari masyarakat publik. Langkah yang ditempuh dalam penuntasan pelbagai kasus bahkan memunculkan persoalan baru. Contoh yang paling jelas adalah penuntasan masalah kejahatan pada beberapa tahun lalu ternyata tersangka pembunuhan yang ditangkap dan dipenjarakan selama sekian tahun, bukanlah pelaku yang sebenarnya. Inilah suatu situasi kronis yang mencirikan lemahnya profesionalitas pihak aparat.

Gambaran umum masalah bangsa di atas, oleh William .I. Thomas dan Florian Znaniecki menyebutnya sebagai disorganisasi masyarakat. Bagi kedua sosiolog ini, setiap tindakan dan usaha untuk mengubah suatu struktur, itu berarti sedang adanya usaha untuk mengubah struktur yang lain. Berusaha untuk tidak lagi mendengungkan nilai persatuan dan kesatuan bangsa, berarti kita sedang mengubah struktur baru yakni “menghidupkan negara kecil dalam wilayah masing-masing.” Barangkali negara ini juga sudah jenuh dengan pancasila sebagai dasar negara ini, dan “mungkin” sedang mengubahnya dengan dasar agama seperti nampak pada perda yang beraroma syariat islam. Dalam jangka pendek, ada kemungkinan muncul gerakan separatis yang secara terang-terangan mendeklarasikan diri untuk berpisah dari NKRI karena merasa tidak cocok dengan paham baru yang tidak dapat mengakomodir seluruh elemen bangsa ini.

Lemahnya penanganan masalah bangsa terletak pada mismanagement para pemimpin yang kadang mengelola bangsa ini seperti mengelola “sebuah pesantren” yang masing-masing individu sudah tahu tentang apa yang mau dipelajari. Masalah bangsa adalah masalah publik karena itu kepentingan masing-masing wilayah terakomodir secara proporsional sehingga dengannya ada kepuasan publik terhadap pengelola bangsa ini. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang sanggup mengutuhkan seluruh komponen wilayah menjadi suatu bangsa yang berdaulat. Seperti onderdil sepeda telah memperlihatkan fungsi sepeda secara utuh karena berani merekatkan diri dengan yang lain, mungkin juga wilayah ini berada dalam satu kesatuan yang utuh karena adanya keberanian untuk memahami wilayah lain sebagai bagian yang utuh dari negara ini. Dengan kerekatan hubungan ini kita bersatu padu dalam mengelola pelbagai masalah bangsa ini secara paripurna.***

No comments: