Thursday, July 14, 2011

Kecurangan Anggaran, Siapa yang Rugi?

Oleh Yohanes Fabiyola Halan SE, Ak (Internal Auditor)

Sejak berlakunya UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerin-tahan Daerah sebagai pengganti dari UU No. 25 Tahun 1999, pemerintah daerah berhak untuk mengelola keuangan yang berasal Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan.

Untuk mengawasi kelelua-saan ini tentunya sudah dirancang meka-nisme perencanaan dan pertanggungja-waban yang memadai sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan. Sebagai contoh dapat kita lihat pada mekanisme pembuatan anggaran yang melibatkan aspirasi masyarakat.


Laporan pertanggungjawaban yang benar merupakan salah satu komponen dari Sistem Pengendalian Internal. Tujuan-nya untuk mendorong setiap pengguna anggaran agar selalu patuh pada mekanis-me yang benar.

Namun, tidak bisa dipung-kiri bahwa keleluasaan pengelolaan keuangan mempunyai daya tarik tersendiri untuk terjadinya tindak kecurangan. Yang salah bukan laporan pertangungjawaban yang diwajibkan, melainkan niat untuk tidak menghiraukan ketentuan dan me-manipulasi laporan pertangungjawaban. Di satu sisi kita mengharapkan adanya pola kerja yang efisien dan efektif dalam keleluasaan pegelolaan keuangan, namun di lain sisi ada pembocoran karena mental yang tidak mau maju.


Keadaan ini harus menjadi perhatian bersama. Kecurangan terhadap anggaran dapat dilakukan oleh pihak internal pemerintah, pihak luar yang berhubungan dengan pemerintah, dan kolaborasi antara kedua pihak tersebut. Untuk yang disebutkan terakhir akan menjadi lebih sulit untuk dibuktikan karena melibatkan dua pihak yang saling mendapat keuntungan


Secara teoretis penyebab kecurangan dirangkai dalam satu kata, yaitu GONE (Greed, Opportunity, Need, Expose). Greed atau Keserakahan, Opportunity atau Kesempatan, dan Need atau Kebutuhan, merupakan tiga faktor penyebab pertama yang berbanding lurus dengan tindak kecurangan. Artinya semakin tinggi ketiga faktor tersebut, kemungkinan terjadinya kecurangan pun meningkat. Ini berbeda dengan faktor Expose atau Pengungkapan.

Semakin besar tingkat pengungkapan atas tindak kecurangan maka diharapkan keinginan untuk melakukan kecurangan kian berkurang. Untuk faktor yang terakhir ini tampaknya belum efektif dilakukan. Bukan karena tidak dimunculkannya di muka publik tindak kecurangan tersebut, namun karena cepat memudar dan begitu cepat terlupakannya setiap kasus yang terungkap karena ketidaktuntasan pengungkapannya. Dalam hal ini faktor pengungkapan yang dimaksud tidak menghasilkan efek jera.


Faktor Kesempatan sudah mendapat perhatian yang memadai. Buktinya secara gencar dilakukan pendalaman pemahaman mengenai Sistem Pengendalian Internal (SPI) yang efektif.

Selain itu, sebagai pengawasan terhadap berjalannya SPI, pemerintahan melalui satuan kerja pengawas internalnya, baik pada tingkat pusat maupun pada tingkat daerah memberi perhatian khusus untuk memastikan berjalannya mekanisme tersebut. Tujuannya untuk meminimalisasi kesempatan untuk terjadinya tindak kecurangan.
Berkaitan dengan faktor Kebutuhan juga demikian. Pemberian remunerasi adalah salah satu contohnya.

Tentu tidak semua bagian mendapat fasilitas tersebut. Fasilitas ini lebih difokuskan pada mereka yang karena tugas dan tanggung jawabnya rawan terjadi tindak kecurangan karena bersentuhan langsung dengan aset yang mudah dipindahtangankan tanpa melalui mekanisme yang rumit.
Dalam kerangka berpikir GONE, faktor Keserakahan ditempatkan paling awal. Ini bukan tanpa alasan. Mentalitas ini merupakan awal dari bencana kecurangan. Namun, faktanya justru faktor tersebut kurang mendapat perhatian. Faktor ini sifatnya melekat pada setiap pribadi.

Pencegahan yang paling efektif adalah ketika pelaksanaan seleksi masuk pegawai. Berapa banyak pemerintah daerah yang menggunakan metode psikotes untuk menilai potensi mental serakah dalam seleksi masuk pegawai? Berapa banyak pelatihan yang bertujuan untuk mencegah mentalitas tersebut? Hal ini harus menjadi perhatian serius.


Dalam era Otonomi Daerah, praktik kecurangan tidak dapat dihindari, bahkan kecurangan tampak dalam pelbagai bentuk baru yang tidak mudah terdeteksi. Karena itu, kita perlu menumbuhkan sikap mawas diri terhadap setiap tindakan kecurangan. Sikap mawas diri dapat menghindarkan kita dari pengaruh untuk melakukan permufakatan jahat. Untuk itu, sangat perlu untuk memahami seperti apa tindak kecurangan itu dilakukan.


Tindak kecurangan terhadap anggaran yang banyak menyita perhatian dari pihak pengawas adalah kecurangan yang dilakukan oleh okunum internal pemerintah (pihak pertama) dengan pihak luar (pihak kedua). Sebut saja aktivitas pengadaan barang yang merupakan komponen belanja modal dalam anggaran.

Motif kecurangan bisa saja terjadi pada tahap penyusunan anggaran. Artinya, pada tahap penyusunan anggaran ini sudah ada proposal dari pihak kedua yang digunakan sebagai dasar untuk pengajukan dalam mata anggaran belanja modal tersebut. Tentu saja tidak ada yang gratis.

Ada semacam balas jasa yang harus ditanggung oleh pihak kedua atas dipakainya proposal tersebut dalam pengajuan anggaran. Namun bisnis tetap bisnis dan tidak ada yang mau rugi. Sejumlah biaya balas jasa tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam laporan keuangan pihak kedua, namun ditambahkan sebagai harga jual yang biasa disebut praktik mark up (penggelembungan) harga.


Selanjutnya dalam tahap pelaksanaan pengadan tersebut, pihak kedua akan berusaha seefisien mungkin untuk menekan biaya yang dikeluarkan dengan maksimal harga sebesar harga pokoknya sehingga laba yang diharapkan dapat terealisasi secara utuh. Ilustrasi singkatnya sebagai berikut: Proyek pengadaan barang dengan harga pasar Rp 100 juta. Pihak kedua mengharapkan tambahan laba sebesar Rp 20 juta.

Total harga barang tersebut menjadi Rp 120 juta. Oknum pihak pertama meminta jatah Rp 30 juta. Pihak kedua tidak memperlakukan Rp 30 juta tersebut sebagai biaya sehingga labanya berkurang sebesar jumlah tersebut, namun menambahkannya menjadi harga jual. Harga jual barang tersebut meningkat menjadi Rp 150 juta. Ilustrasi ini menunjukkan bahwa besarnya uang yang dikeluarkan dari anggaran sebesar Rp 150 juta hanya untuk menikmati produk yang harganya Rp 100 juta.


Dalam praktik peristiwa semacam ini bisa dimodifikasi sedemikian rupa namun tujuannya tetap sama, yaitu pada keuntu-ngan kedua belah pihak. Jika demikian keadannya, maka hal ini tidak akan muncul ke permukaan selama kedua belah pihak merasa tidak dirugikan.

Namun, tidak berarti tidak dapat dibuktikan tindak kecurangan ini. Pembuktian atas kecurangan semacam ini membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus yang biasanya dimiliki oleh lembaga pemeriksa dan pengawasan baik eksternal, yaitu BPK, maupun internal pemerintah, yaitu BPKP dan satuan kerja lainnya seperti Inspektorat.

Masyarakat tentunya menaruh harapan besar atas kinerja lembaga dan satuan kerja tersebut untuk dapat mengungkap tindak kecurangan.
Jika dilihat dari ruang lingkup pemeriksaan, inspektorat baik pada tingkat propinsi atau kabupaten mempunyai scope pemeriksaan yang lebih sempit. Selain itu, dengan keberadaan auditor pada lingkungan propinsi atau kabupaten, mereka seharusnya lebih memahami karakteristik auditee-nya.

Selanjutnya mereka dapat mengembangkan risiko yang dapat muncul dari setiap aktivitas apalagi yang berkaitan dengan komponen belanja modal. Hal ini dapat menjadi prioritas pengawasan yang dimuat dalam Program Kerja Pengawasan Tahunannya (PKPT). Dengan demikian, persoalan kecurangan (seperti ilustrasi tadi) dan pelbagai modifikasi lainnya seharusnya segera dapat terdeteksi.


Menjadi penting untuk kita bahwa dengan adanya fungsi pengawasan dari lembaga atau satuan kerja pengawas, segala kejanggalan yang ada di masyarakat bisa dilaporkan. Tentunya tidak semua laporan tersebut dapat ditanggapi secara langsung karena adanya prioritas dari lembaga tersebut yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Bagi kita yang ada di daerah perlu sekali untuk mendorong peranan pihak inspek-torat agar lebih proaktif bukan hanya un-tuk melakukan monitoring yang bersifat rutin, tetapi juga melakukan audit investi-gasi untuk mengungkap praktik kecurang-an.

Jika dihubungkan dengan kerangka berpikir GONE, audit investigasi tersebut bisa menjadi salah satu elemen dari faktor Expose yang dapat dimaksimalkan hingga menghasilkan efek jera. *

Wednesday, July 13, 2011

Menang Tanpa Harus Merendahkan (Bersama SONATA Membangun Flotim)

Oleh Thomas Todo Golo Tokan (Aktivis Hak Anak dan Perempuan serta Fasilitator “Sekolah” Jurnalistik BUMI JAYA Course Center )

HANYA oleh satu sebab yakni tidak ada selembar kertas, pembangunan rakyat Flores Timur (Flotim) ‘mati suri’ fisik pun psikis tersayat selama 15 bulan 21 hari (15/3/2010 - 6/7/2011). Selembar kertas itu yakni surat dukungan, yang tidak disertakan salah satu pasangan dalam kelengkapan administrasi proses seleksi bakal calon pasangan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Flotim.

Sekadar info, dari 244 Pilkada kota/kabupaten se-Indonesia selama 2010, 243 Pilkada berjalan mulus, karena surat dukungan itu di mata partai pendukung bakal calon pasangan adalah surat wajib yang harus disertakan, sehingga tidak menuai kasus seperti Flotim. Hanya satu yang tidak! Itu di Flotim. Ini sejarah.


Efek domino sejarah itu amat memilukan bagi siapapun yang mencintai Flotim. Betapa tidak! Mayoritas rakyat Flotim mungkin tidak menyadarinya. Tetapi tidak tertutup kemungkinan kisruh Flotim dikondisikan guna mencoreng citra Gubernur Frans Lebu Raya sekaligus untuk membela rakyat Flotim menghadapi suksesi politik NTT tahun 2013?

Artinya kemenangan politik ada pada pihak lawan politik tingkat propinsi. Prediksi demikian agak rasional. Minimal sampai 7 Juli 2011, rakyat Flotim gundah sampai usai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Mondial dan FF-IA (Pos Kupang, 8/7/2011).

Rakyat Gotong Royong

Keputusan MK ini melegahkan setiap pecinta damai. Rakyat Flotim pecinta damai hendaklah melakukan aneka tindak fisik pun perubahan psikis agar ke depan pembangunan Flotim berubah maju mengejar ketertinggalan dari kabupaten/kota lain se-NTT. Sudah waktunya, rakyat Flotim mengembalikan harga diri dan tidak merasa rendah diri seperti tidak ada seorang pun anak tanah Flotim duduk di kursi DPRD NTT sekarang (2009-2014) walau masih ada wakilnya dari anak Lamaholot: Lembata-Alor.


Hanya, dari sisi politik tingkat Propinsi NTT, wajah rakyat Flotim masih diselamatkan oleh seorang anak Lamaholot yakni Frans Lebu Raya. Jika Gubernur NTT periode ini pun bukan anak Lamaholot, maka sampai tahun 2014, tidak ada anak Flotim terlihat di panggung politik NTT. Syukurlah!


Padahal, sudah dua putera Flotim dipercayakan menjadi Gubernur NTT yang didahului oleh terhormat Dokter Hendrikus Fernandez. Demikianpun pada periode tahun tertentu, ketua partai politik tingkat provinsi justru terbanyak dari Flotim. Ada Simon Hayon (PPDI). Ada Kris Boro Tokan (Ketua PAN). Ada Yahidin Umar (Ketua PPP). Ada Frans Lebu Raya (PDIP). Ada Arif Rahman (Ketua PBB).

Apalagi sejarah pendidikan di NTT menjelaskan, berhulu dari Larantuka-lah mengalir para guru ke arah barat Flores yang kemudian menghasilkan anak didik mereka yang melalang buana ke seantero NTT.
Menyadari peran politis anak Lewo Tana tersebut, maka usai keputusan MK ini rakyat Flotim hendaklah meyakinkan diri bahwa rakyat Flotim memiliki kematangan berpolitik.

Untuk itu, rakyat Flotim berlapang dada menegaskan, ‘Kami adalah penegak domkratis tulen. Kami menerima pemimpin terpilih dan siap bersuka ria bergotong royong membangunan Lewo Tana guna lebih maju dari sekarang. Kami juga harus maju,.. maju dan terus maju bergotong royong bersama Bupati Yosni.’ Suara kenabian dari mimbar gereja, masjid, pura amat dibutuhkan untuk menjernihcerahkan keadaan ini.

SONATA Merendah

Dorongan agar rakyat Flotim bergan-dengan tangan seperti budaya tandak (lili, dolo-dolo, nama’) yang adalah simbol persatuan dan kesatuan serta eratnya semangat bergotong royong, maka rakyat Flotim hendaklah rendah hati. Baik rakyat maupun elit politik, kalangan aparat pemerintah yang kalah atau menang hendaklah kembali ke citra orang beriman Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha bahwa rendah hati, saling memaafkan, saling mengampuni jika sudah sempat tergores rasa dendam, benci dan iri malah tidak tegur sapa satu sama lain.


Biarlah hari lalu pergi bersama derasnya arus selat Gonzalo entah menuju Laut Flores ataupun ke Laut Sawu. Campakanlah luka hati itu di puncak gersang Lewo Tobi ataupun Boleng.

Tetapi dari sekarang marilah semua rakyat Flotim bersatu kata dan tindak menabur kesejukan dan kedamaian seindah hijau dan dinginnya Mandiri.
Proses sejuk, damai, gotong royong ini pasti diteladankan pasangan SONATA. Pada titik titian baru inilah, terhormat Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Yoseph Lagadoni Herin (Yosni) dan Valentinus Tukan (Valens) merangkul seluruh rakyat dan semua kalangan yang selama proses Pilkada disebut ‘lawan politik’ baik murni politisi pun kalangan aparat pemerintah yang abu-abu ataupun hitam di atas putih.


Empat pilar kecerdasan manusia SONATA (fisik, intelektual, emosional dan spiritual) hendaklah diramu sedemikian sehingga pada akhir periode pengabdian tergores pena keberhasilan sekaligus terkenang seumur sejarah peradaban Pemda Flotim. Hebat, SONATA menang tanpa harus merendahkan kawan pun lawan.

Ikan dan Jagung Ganti Nasi

Dalam proses menuju keberhasilan pengabdian SONATA ini, beberapa titik teresensial pembangunan Flotim patut diwujudkan bersama. Tanpa mengabaikan infrastruktur air, listrik dan jalan, tetapi beberapa aspek utama bidang kesejahteraan (ekonomi, kesehatan, pendidikan) patut disandingkan dalam skala nilai prioritas termasuk dalam paparan visi misi, program kerja SONATA. Bidang ekonomi teristimewa melanggenkan budaya tani ditekankan penghijauan kembali padang savana dengan penekanan pada perubahan radikal dari pola bakar ke ‘tidak bakar’ baik rumput di kebun maupun savana yang tersisa.


Selain itu, hasil perkebunan (kopi, coklat, kemiri, kelapa dll) agar diantarpu-laukan dari pelabuhan Flotim. Ini penting demi peningkatan retribusi PAD Flotim. Selama ini, hasil komoditi terbanyak diantarpulaukan dari Maumere. Sikka dapat retribusinya. Buatlah terobosan ke Makasar lebih dekat dengan Flotim.


Terkait dengan itu, urgen satu unit ferry nol kilometer didatangkan dari Jepang misalnya untuk rutin merangkai Waibalun, Pamangkayo, Terong Boleng terus ke Lewoleba, Balauring, Baranusa, Kalabahi sehingga roda empat dari Maumere atau Larantuka ke berbagai daratan Lamaholot pun aman saja. Ekonomi Lamaholot pasti lebih gesit melesat ke depan bagai anak panah.
Bidang kesehatan, perbanyak pendidikan dokter asal darah Flotim dan kembali melayani rakyat Flotim.

Carilah sponsornya dari berbagai kedutaan terutama pihak Jepang yang memiliki pabrik ikan dan mutiara di Flotim. Khusus untuk peningkatan kualitas pendidikan anak umumnya, naluri penulis dan jiwa jurnalis Bupati Yosni hendaklah terlihat nyata di sekolah-sekolah oleh Mading profesional jurnalistik disertai aneka lombanya didukung Tabloid Guru dan budaya baca. Saatnya, semua anak Flotim minimal tamat tingkat SMA. Tidak ada anak usia 18 tahun ke bawah dibiarkan putus sekolah. Hapuskan pekerja anak.


Ajaklah ribuan pemuda menjadi nelayan tangguh penangkap sekaligus penjual ikan segar murah meriah ke seluruh Flores dan Timor lewat Atapupu agar rakyat NTT bermenu favorit ikan. Aliran ikan berlimpah sedikitnya 2,5 juta ton dalam 24 jam dari selat Gonzalo sampai Watowoko hingga Alor hendaklah dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga mengantar anak Flotim brilian sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat Flotim.


Terakhir tetapi justru terutama dan pertama yakni SONATA meyakinkan anak-anak Flotim agar perbanyak makan ikan berteman jagung, ubi kayu, sayuran alami dari pupuk kandang ternak bukan kondang nasi (beras dari luar Flotim yang turut menambah kemiskinan akut). Remaja puteri dimotivasi berbudaya menenun dan titi jagung.


Harapan ini hanya dapat terwujud jika ada dana melimpah. Agar dana melimpah, maka rajin-rajinlah Bupati Yosni ke Jakarta melobi investor dan departemen terkait. Urusan administrasi diserahkan kepada Wakil Bupati. Karena di mata aparat Pusat, seorang kepala daerah tingkat kabupaten/kota tidak beda jauh dengan seorang petugas penyuluh lapangan bukan ‘raja kecil’ yang minta disembah dan hanya menghabiskan DAK dan DAU.

Aparat Pusat angkat topi lalu menggelontorkan lebih banyak dana ke daerah yang rajin menyerap DAK dan DAU berkualitas prima sampai pada September. Tabe SONATA! Selamat Mengabdi Lewo Tana. *

Urgensi Kritik Sastra NTT

Oleh Viktorius P. Feka (Alumnus FKIP Undana, Peminat Sastra)

TRADISI kritik sastra yang berkembang di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya masih tergolong muda. Tradisi kritik sastra ini belum begitu berkembang dengan baik oleh karena tiga (3) faktor, yakni: pertama, usia sastra kita yang masih tergolong belia sehingga muncul rasa reluktansi (sense of reluctance) untuk mengeritik dan berceloteh tentang sastra.

Kedua, minimnya minat dan atensi terhadap sastra itu sendiri sehingga mengakibatkan mandulnya reproduksi kritik sastra. Ketiga, belum adanya koran sastra atau koran yang menyediakan rubrik/kolom sastra untuk kritik sastra.

Sejarah Kritik Sastra di Indonesia

Sebelum kita berkelana menyisir tradisi kritik sastra di NTT (bumi Flobamora), saya ingin mengajak kita sekalian untuk sekilas menengok perkembangan kritik sastra dahulu kala. Dalam buku Kritik Sastra karya Drs. Atar Semi (1989:64-65) dikemukakan bahwa kritik sastra Indonesia baru dikenal setelah budayawan dan sastrawan mengenyam pendidikan Barat. Sebelum itu, penilaian atas karya sastra hanyalah dalam hubungan dengan kepercayaan, agama, dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan pada umumnya, bahwa sastra tidak sepenuhnya ditautkan dengan dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakekatnya walaupun dilepaskan dari norma keagamaan.

Seiring dengan kesadaran itu, orang mulai memikirkan tentang hakekat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai sastra. Hal ini menimbulkan minat pula dalam membaca dan mempelajari tentang permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara-negara lain.

Pada saat itu, dunia kritik sastra mulai muncul di Indonesia. Semuanya itu bermula pada awal abad kedua puluh.
Terinspirasi oleh sejarah sastra ini, maka mulai diciptakanlah tradisi kritik sastra di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya penulisan buku kritik sastra dan tak kalah media cetak pun menyediakan kolom sastra untuk memuat karya sastra dan kritik sastra.


Misalnya, buku Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw, seorang mahaguru yang menaruh perhatian terhadap kesusteraan Indonesia. Tulisan-tulisan kritik sastra juga ditulis oleh para pujangga baru Indonesia, seperti J.E Tatengkeng, di bawah judul Penyelidikan dan Pengakuan serta karangan-karangan Sutan Takdir Alisjahbana, Armin Pane. H. B. Jassin pun muncul dengan buku kritik dan esei di bawah judul Kesusteraan Indo-nesia Modern dalam kritik dan esei pada tahun 1954. Setelah itu, muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh lebih muda yang sebagian besar mu-rid-murid H.B. Jassin, antara lain Boen S. Oemaryati, J. U. Nasution, M.S. Hutagalung.


Dari kalangan sastrawan atau pengarang pun bermunculan karya-karya kritik sastra antara lain Gunawan Muhamad, Arif Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi.


Majalah sastra dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat, Budaya, Basis, Budaya Jaya, Horison, sedangkan surat kabar seperti Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, dan Suara Karya.


Meskipun kritik sastra masih tertatih-tatih berjalan menuruti perkembangan zaman, kritik sastra Indonesia tetap berkembang dan bertumbuh begitu baik. Kritik sastra tetap dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu hasil karya sastra. Hal ini dapat kita saksikan pada media cetak yang tersebar di pulau Jawa dan sekitarnya, kolom sastra selalu disediakan untuk memublikasikan segala karya berbau sastra.
Lantas bagaimana dengan konteks kritik sastra di NTT? Pertanyaan ini merupakan langkah awal bagi penulis dan kita semua untuk menyisir kritik sastra di NTT.


Menyisir Kritik Sastra NTT


Dalam konteks NTT, rupanya kritik sastra belum mentradisi sebagaimana yang ada di tanah Jawa. Sejauh pengamatan penulis, tradisi kritik sastra NTT belum dibangun dan diciptakan dengan baik untuk memberikan apresiasi terhadap suatu karya sastra. Padahal boleh dikatakan NTT memiliki sastrawan/i yang tak kalah bersaing juga dengan para sastrawan/i di daerah lain. Atau mungkin saja penulis keliru karena belum membaca media cetak lainnya, selain Harian Pos Kupang (PK). Namun di balik tak berkembangnya tradisi kritik sastra ini, PK telah mulai membuka ruang kritik sastra.


Kita patut berbangga dan mengapresiasi inisiatif PK yang ugahari berikhtiar berdonasi dalam pengembangan karya sastra di NTT. Sebagai salah satu media besar di NTT, media ini selalu menyuplai rubrik imajinasi untuk memublikasikan karya-karya sastra semisal puisi dan cerpen. Tak hanya beristirahat di sini, PK pun mengepakkan sayap kreatif-inovatifnya menuju dunia kritik sastra. Tentunya ini merupakan suatu kebanggaan kita bersama teristimewa yang concern terhadap dunia sunyi (sastra) Flobamora.


Dalam catatan penulis, PK telah memulai dan melakukan kritik sastra. Kritik sastra ini didalangi pak Julianus Akoit (wartawan PK) pada edisi Minggu, 10 April 2011 (kritik cerpen KKS karya Taty Gantir), 8 Mei 2011 (kritik puisi terhadap 3 penyair pemula; Mario F. Lawi, Viktorius P. Feka dan Dion Tunty), dan 29 Mei 2011 (kritik cerpen SKDR karya Mario F. Lawi). Masyarakat NTT patut berbangga dengan munculnya kritikus mumpuni, yang mesti masih belia, telah memulai apresiasi sastra dalam rubrik imajinasi PK. Dengan keterbatasan yang dimiliki beliau mencurahkan atensinya terhadap fertilitas karya sastra di NTT. Salah satu hal yang dilakukannya adalah kritik sastra.


Bagi sebagian orang, kemunculan kritik sastra di PK mungkin saja dipandang sebagai cambuk pematian dan pelemahan terhadap bakat dan minat karya sastra. Atau adakalanya kritik sastra itu dapat memengaruhi aspek psikologis dan sosiologis seorang sastrawan/i pemula yang hasil karya sastranya dikritik. Namun bagi saya, kritik sastra ini urgen diperlukan dengan dilandasi dua alasan, yakni: pertama, kritik sastra adalah pupuk (literary fertilizer).

Kritik sastra bak pupuk yang mutlak diperlukan untuk memupuk dan menumbuhkembangkan benih-benih sastra yang ditaburkan di dalam taman/ladang sastra. Presensi kritik sastra ini akan selalu menambah fertilitas pertumbuhan karya sastra di NTT. Kedua, kritik sastra adalah oase. Kritik sastra bak oase yang mutlak dibutuhkan untuk memberikan kesegaran kepada mereka yang dehidrasi di tengah padang sastra. Kritik sastra ini pula dilakukan untuk memacu minat dan bakat seorang calon sastrawan/i untuk menjadikan karyanya sempurna.


Oleh sebab itu, kritik sastra sangat diperlukan demi terciptanya reproduksi sastrawan/i NTT. Mengapa tidak? Masyarakat NTT memiliki potensi yang luar biasa dalam dunia sastra. Bakat menulis sastra baik berupa puisi, cerpen, cerber maupun novel, dsb merupakan suatu berkah yang mesti dikembangkan.

Dalam pengembangan karya sastra, tentu-nya kritik sastra pun berperan dalam ikh-tiar penyempurnaan sebuah karya sastra. Sebab di dalam suatu kritik sastra kita dapat menemukan kelebihan dan kekura-ngan yang mesti dipertahankan/diting-katkan dan diperbaiki/direvisi. Untuk itu, kita semua berharap agar PK sebagai peretas kritik sastra di NTT tetap terus melakukan kritik sastra. Kritik sastra mesti dijadikan sebagai sebuah tradisi demi fertilitas dan perfeksi karya sastra di NTT.

Tambahan pula, semoga PK pun berkenan menyediakan rubrik/kolom kritik sastra bagi pihak luar (non-PK) yang ingin melakukan kritik sastra. Sebab harumnya nama Flobamora menjadi tanggung jawab dan kebanggaan kita semua.*
Editor : Bildad Lelan »» Penulis : Viktorius P. Feka »» Sumber : POS KUPANG CETAK
Dibaca 86 kali »» Dikomentari 3 kali »» Share on Facebook »» Share on Twitter
<< Awal < Sebelumnya | 1 dari 1 Halaman Komentar | Selanjutnya > Akhir >>

saya setuju dngan pandangan bung Berno dan salut 2 jempol untuk saudaraku Viktor yang sudah berbuat lebih untuk masyarakat NTT dengan menulis sebuah artkel cukup bagus. tapi bisakah kita generasi muda berpikir 'lebih'?. berpikir lebih yang saya maksud adalah mengajak masyarakat NTT untuk mencintai sastra. dengan mencintai dunia sastra, kita dan mereka akan sampai pada tahap kritik sastra dimaksud.
Komentar Oleh: Unu Ruben | Rabu, 13 Juli 2011 | 10:56 WITA

Bagus idenya. tapi, baik kalau mengawalinya dengan ulasan: Kritik sastra mempelajari sastra secara khusus (Wellek, 1977: 38), langsung dan konkret, yakni bagaimana meresepsi sebuah karya sastra: menimbang, menilai, meresensi, mengomentari, dll. Coba dihubungkan dulu dengan Sejarah sastra, teori sastra sehingga menjadi satuan ilmu sastra yang kemudian menjadi acuan orang untuk membangun sebuah 'kritik sastra NTT' Salam.

Menang Tanpa Harus Merendahkan (Bersama SONATA Membangun Flotim)

Oleh Thomas Todo Golo Tokan (Aktivis Hak Anak dan Perempuan serta Fasilitator “Sekolah” Jurnalistik BUMI JAYA Course Center )

HANYA oleh satu sebab yakni tidak ada selembar kertas, pembangunan rakyat Flores Timur (Flotim) ‘mati suri’ fisik pun psikis tersayat selama 15 bulan 21 hari (15/3/2010 - 6/7/2011). Selembar kertas itu yakni surat dukungan, yang tidak disertakan salah satu pasangan dalam kelengkapan administrasi proses seleksi bakal calon pasangan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Flotim.

Sekadar info, dari 244 Pilkada kota/kabupaten se-Indonesia selama 2010, 243 Pilkada berjalan mulus, karena surat dukungan itu di mata partai pendukung bakal calon pasangan adalah surat wajib yang harus disertakan, sehingga tidak menuai kasus seperti Flotim. Hanya satu yang tidak! Itu di Flotim. Ini sejarah.


Efek domino sejarah itu amat memilukan bagi siapapun yang mencintai Flotim. Betapa tidak! Mayoritas rakyat Flotim mungkin tidak menyadarinya. Tetapi tidak tertutup kemungkinan kisruh Flotim dikondisikan guna mencoreng citra Gubernur Frans Lebu Raya sekaligus untuk membela rakyat Flotim menghadapi suksesi politik NTT tahun 2013?

Artinya kemenangan politik ada pada pihak lawan politik tingkat propinsi. Prediksi demikian agak rasional. Minimal sampai 7 Juli 2011, rakyat Flotim gundah sampai usai Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Mondial dan FF-IA (Pos Kupang, 8/7/2011).

Rakyat Gotong Royong

Keputusan MK ini melegahkan setiap pecinta damai. Rakyat Flotim pecinta damai hendaklah melakukan aneka tindak fisik pun perubahan psikis agar ke depan pembangunan Flotim berubah maju mengejar ketertinggalan dari kabupaten/kota lain se-NTT. Sudah waktunya, rakyat Flotim mengembalikan harga diri dan tidak merasa rendah diri seperti tidak ada seorang pun anak tanah Flotim duduk di kursi DPRD NTT sekarang (2009-2014) walau masih ada wakilnya dari anak Lamaholot: Lembata-Alor.


Hanya, dari sisi politik tingkat Propinsi NTT, wajah rakyat Flotim masih diselamatkan oleh seorang anak Lamaholot yakni Frans Lebu Raya. Jika Gubernur NTT periode ini pun bukan anak Lamaholot, maka sampai tahun 2014, tidak ada anak Flotim terlihat di panggung politik NTT. Syukurlah!


Padahal, sudah dua putera Flotim dipercayakan menjadi Gubernur NTT yang didahului oleh terhormat Dokter Hendrikus Fernandez. Demikianpun pada periode tahun tertentu, ketua partai politik tingkat provinsi justru terbanyak dari Flotim. Ada Simon Hayon (PPDI). Ada Kris Boro Tokan (Ketua PAN). Ada Yahidin Umar (Ketua PPP). Ada Frans Lebu Raya (PDIP). Ada Arif Rahman (Ketua PBB).

Apalagi sejarah pendidikan di NTT menjelaskan, berhulu dari Larantuka-lah mengalir para guru ke arah barat Flores yang kemudian menghasilkan anak didik mereka yang melalang buana ke seantero NTT.
Menyadari peran politis anak Lewo Tana tersebut, maka usai keputusan MK ini rakyat Flotim hendaklah meyakinkan diri bahwa rakyat Flotim memiliki kematangan berpolitik.

Untuk itu, rakyat Flotim berlapang dada menegaskan, ‘Kami adalah penegak domkratis tulen. Kami menerima pemimpin terpilih dan siap bersuka ria bergotong royong membangunan Lewo Tana guna lebih maju dari sekarang. Kami juga harus maju,.. maju dan terus maju bergotong royong bersama Bupati Yosni.’ Suara kenabian dari mimbar gereja, masjid, pura amat dibutuhkan untuk menjernihcerahkan keadaan ini.

SONATA Merendah

Dorongan agar rakyat Flotim bergan-dengan tangan seperti budaya tandak (lili, dolo-dolo, nama’) yang adalah simbol persatuan dan kesatuan serta eratnya semangat bergotong royong, maka rakyat Flotim hendaklah rendah hati. Baik rakyat maupun elit politik, kalangan aparat pemerintah yang kalah atau menang hendaklah kembali ke citra orang beriman Katolik, Protestan, Islam, Hindu, Budha bahwa rendah hati, saling memaafkan, saling mengampuni jika sudah sempat tergores rasa dendam, benci dan iri malah tidak tegur sapa satu sama lain.


Biarlah hari lalu pergi bersama derasnya arus selat Gonzalo entah menuju Laut Flores ataupun ke Laut Sawu. Campakanlah luka hati itu di puncak gersang Lewo Tobi ataupun Boleng.

Tetapi dari sekarang marilah semua rakyat Flotim bersatu kata dan tindak menabur kesejukan dan kedamaian seindah hijau dan dinginnya Mandiri.
Proses sejuk, damai, gotong royong ini pasti diteladankan pasangan SONATA. Pada titik titian baru inilah, terhormat Bupati dan Wakil Bupati terpilih, Yoseph Lagadoni Herin (Yosni) dan Valentinus Tukan (Valens) merangkul seluruh rakyat dan semua kalangan yang selama proses Pilkada disebut ‘lawan politik’ baik murni politisi pun kalangan aparat pemerintah yang abu-abu ataupun hitam di atas putih.


Empat pilar kecerdasan manusia SONATA (fisik, intelektual, emosional dan spiritual) hendaklah diramu sedemikian sehingga pada akhir periode pengabdian tergores pena keberhasilan sekaligus terkenang seumur sejarah peradaban Pemda Flotim. Hebat, SONATA menang tanpa harus merendahkan kawan pun lawan.

Ikan dan Jagung Ganti Nasi

Dalam proses menuju keberhasilan pengabdian SONATA ini, beberapa titik teresensial pembangunan Flotim patut diwujudkan bersama. Tanpa mengabaikan infrastruktur air, listrik dan jalan, tetapi beberapa aspek utama bidang kesejahteraan (ekonomi, kesehatan, pendidikan) patut disandingkan dalam skala nilai prioritas termasuk dalam paparan visi misi, program kerja SONATA. Bidang ekonomi teristimewa melanggenkan budaya tani ditekankan penghijauan kembali padang savana dengan penekanan pada perubahan radikal dari pola bakar ke ‘tidak bakar’ baik rumput di kebun maupun savana yang tersisa.


Selain itu, hasil perkebunan (kopi, coklat, kemiri, kelapa dll) agar diantarpu-laukan dari pelabuhan Flotim. Ini penting demi peningkatan retribusi PAD Flotim. Selama ini, hasil komoditi terbanyak diantarpulaukan dari Maumere. Sikka dapat retribusinya. Buatlah terobosan ke Makasar lebih dekat dengan Flotim.


Terkait dengan itu, urgen satu unit ferry nol kilometer didatangkan dari Jepang misalnya untuk rutin merangkai Waibalun, Pamangkayo, Terong Boleng terus ke Lewoleba, Balauring, Baranusa, Kalabahi sehingga roda empat dari Maumere atau Larantuka ke berbagai daratan Lamaholot pun aman saja. Ekonomi Lamaholot pasti lebih gesit melesat ke depan bagai anak panah.
Bidang kesehatan, perbanyak pendidikan dokter asal darah Flotim dan kembali melayani rakyat Flotim.

Carilah sponsornya dari berbagai kedutaan terutama pihak Jepang yang memiliki pabrik ikan dan mutiara di Flotim. Khusus untuk peningkatan kualitas pendidikan anak umumnya, naluri penulis dan jiwa jurnalis Bupati Yosni hendaklah terlihat nyata di sekolah-sekolah oleh Mading profesional jurnalistik disertai aneka lombanya didukung Tabloid Guru dan budaya baca. Saatnya, semua anak Flotim minimal tamat tingkat SMA. Tidak ada anak usia 18 tahun ke bawah dibiarkan putus sekolah. Hapuskan pekerja anak.


Ajaklah ribuan pemuda menjadi nelayan tangguh penangkap sekaligus penjual ikan segar murah meriah ke seluruh Flores dan Timor lewat Atapupu agar rakyat NTT bermenu favorit ikan. Aliran ikan berlimpah sedikitnya 2,5 juta ton dalam 24 jam dari selat Gonzalo sampai Watowoko hingga Alor hendaklah dimanfaatkan semaksimal mungkin sehingga mengantar anak Flotim brilian sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat Flotim.


Terakhir tetapi justru terutama dan pertama yakni SONATA meyakinkan anak-anak Flotim agar perbanyak makan ikan berteman jagung, ubi kayu, sayuran alami dari pupuk kandang ternak bukan kondang nasi (beras dari luar Flotim yang turut menambah kemiskinan akut). Remaja puteri dimotivasi berbudaya menenun dan titi jagung.


Harapan ini hanya dapat terwujud jika ada dana melimpah. Agar dana melimpah, maka rajin-rajinlah Bupati Yosni ke Jakarta melobi investor dan departemen terkait. Urusan administrasi diserahkan kepada Wakil Bupati. Karena di mata aparat Pusat, seorang kepala daerah tingkat kabupaten/kota tidak beda jauh dengan seorang petugas penyuluh lapangan bukan ‘raja kecil’ yang minta disembah dan hanya menghabiskan DAK dan DAU.

Aparat Pusat angkat topi lalu menggelontorkan lebih banyak dana ke daerah yang rajin menyerap DAK dan DAU berkualitas prima sampai pada September. Tabe SONATA! Selamat Mengabdi Lewo Tana. *

Urgensi Kritik Sastra NTT

Oleh Viktorius P. Feka (Alumnus FKIP Undana, Peminat Sastra)

TRADISI kritik sastra yang berkembang di Indonesia pada umumnya dan NTT pada khususnya masih tergolong muda. Tradisi kritik sastra ini belum begitu berkembang dengan baik oleh karena tiga (3) faktor, yakni: pertama, usia sastra kita yang masih tergolong belia sehingga muncul rasa reluktansi (sense of reluctance) untuk mengeritik dan berceloteh tentang sastra.

Kedua, minimnya minat dan atensi terhadap sastra itu sendiri sehingga mengakibatkan mandulnya reproduksi kritik sastra. Ketiga, belum adanya koran sastra atau koran yang menyediakan rubrik/kolom sastra untuk kritik sastra.

Sejarah Kritik Sastra di Indonesia

Sebelum kita berkelana menyisir tradisi kritik sastra di NTT (bumi Flobamora), saya ingin mengajak kita sekalian untuk sekilas menengok perkembangan kritik sastra dahulu kala. Dalam buku Kritik Sastra karya Drs. Atar Semi (1989:64-65) dikemukakan bahwa kritik sastra Indonesia baru dikenal setelah budayawan dan sastrawan mengenyam pendidikan Barat. Sebelum itu, penilaian atas karya sastra hanyalah dalam hubungan dengan kepercayaan, agama, dan mistik. Pendidikan Barat membuka mata para sastrawan dan budayawan pada umumnya, bahwa sastra tidak sepenuhnya ditautkan dengan dunia keagamaan, dan sastra tidak akan kehilangan hakekatnya walaupun dilepaskan dari norma keagamaan.

Seiring dengan kesadaran itu, orang mulai memikirkan tentang hakekat sastra serta bagaimana menemukan dan mencari nilai sastra. Hal ini menimbulkan minat pula dalam membaca dan mempelajari tentang permasalahan esei dan kritik sastra yang berkembang pesat di negara-negara lain.

Pada saat itu, dunia kritik sastra mulai muncul di Indonesia. Semuanya itu bermula pada awal abad kedua puluh.
Terinspirasi oleh sejarah sastra ini, maka mulai diciptakanlah tradisi kritik sastra di Indonesia. Hal ini ditandai dengan adanya penulisan buku kritik sastra dan tak kalah media cetak pun menyediakan kolom sastra untuk memuat karya sastra dan kritik sastra.


Misalnya, buku Pokok dan Tokoh karya A. Teeuw, seorang mahaguru yang menaruh perhatian terhadap kesusteraan Indonesia. Tulisan-tulisan kritik sastra juga ditulis oleh para pujangga baru Indonesia, seperti J.E Tatengkeng, di bawah judul Penyelidikan dan Pengakuan serta karangan-karangan Sutan Takdir Alisjahbana, Armin Pane. H. B. Jassin pun muncul dengan buku kritik dan esei di bawah judul Kesusteraan Indo-nesia Modern dalam kritik dan esei pada tahun 1954. Setelah itu, muncullah kritik-kritik sastra yang dihasilkan oleh tokoh-tokoh lebih muda yang sebagian besar mu-rid-murid H.B. Jassin, antara lain Boen S. Oemaryati, J. U. Nasution, M.S. Hutagalung.


Dari kalangan sastrawan atau pengarang pun bermunculan karya-karya kritik sastra antara lain Gunawan Muhamad, Arif Budiman, Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi.


Majalah sastra dan budaya yang memuat kritik sastra adalah Mimbar Indonesia, Siasat, Budaya, Basis, Budaya Jaya, Horison, sedangkan surat kabar seperti Sinar Harapan, Kompas, Indonesia Raya, Merdeka, dan Suara Karya.


Meskipun kritik sastra masih tertatih-tatih berjalan menuruti perkembangan zaman, kritik sastra Indonesia tetap berkembang dan bertumbuh begitu baik. Kritik sastra tetap dilakukan untuk memberikan penilaian terhadap suatu hasil karya sastra. Hal ini dapat kita saksikan pada media cetak yang tersebar di pulau Jawa dan sekitarnya, kolom sastra selalu disediakan untuk memublikasikan segala karya berbau sastra.
Lantas bagaimana dengan konteks kritik sastra di NTT? Pertanyaan ini merupakan langkah awal bagi penulis dan kita semua untuk menyisir kritik sastra di NTT.


Menyisir Kritik Sastra NTT


Dalam konteks NTT, rupanya kritik sastra belum mentradisi sebagaimana yang ada di tanah Jawa. Sejauh pengamatan penulis, tradisi kritik sastra NTT belum dibangun dan diciptakan dengan baik untuk memberikan apresiasi terhadap suatu karya sastra. Padahal boleh dikatakan NTT memiliki sastrawan/i yang tak kalah bersaing juga dengan para sastrawan/i di daerah lain. Atau mungkin saja penulis keliru karena belum membaca media cetak lainnya, selain Harian Pos Kupang (PK). Namun di balik tak berkembangnya tradisi kritik sastra ini, PK telah mulai membuka ruang kritik sastra.


Kita patut berbangga dan mengapresiasi inisiatif PK yang ugahari berikhtiar berdonasi dalam pengembangan karya sastra di NTT. Sebagai salah satu media besar di NTT, media ini selalu menyuplai rubrik imajinasi untuk memublikasikan karya-karya sastra semisal puisi dan cerpen. Tak hanya beristirahat di sini, PK pun mengepakkan sayap kreatif-inovatifnya menuju dunia kritik sastra. Tentunya ini merupakan suatu kebanggaan kita bersama teristimewa yang concern terhadap dunia sunyi (sastra) Flobamora.


Dalam catatan penulis, PK telah memulai dan melakukan kritik sastra. Kritik sastra ini didalangi pak Julianus Akoit (wartawan PK) pada edisi Minggu, 10 April 2011 (kritik cerpen KKS karya Taty Gantir), 8 Mei 2011 (kritik puisi terhadap 3 penyair pemula; Mario F. Lawi, Viktorius P. Feka dan Dion Tunty), dan 29 Mei 2011 (kritik cerpen SKDR karya Mario F. Lawi). Masyarakat NTT patut berbangga dengan munculnya kritikus mumpuni, yang mesti masih belia, telah memulai apresiasi sastra dalam rubrik imajinasi PK. Dengan keterbatasan yang dimiliki beliau mencurahkan atensinya terhadap fertilitas karya sastra di NTT. Salah satu hal yang dilakukannya adalah kritik sastra.


Bagi sebagian orang, kemunculan kritik sastra di PK mungkin saja dipandang sebagai cambuk pematian dan pelemahan terhadap bakat dan minat karya sastra. Atau adakalanya kritik sastra itu dapat memengaruhi aspek psikologis dan sosiologis seorang sastrawan/i pemula yang hasil karya sastranya dikritik. Namun bagi saya, kritik sastra ini urgen diperlukan dengan dilandasi dua alasan, yakni: pertama, kritik sastra adalah pupuk (literary fertilizer).

Kritik sastra bak pupuk yang mutlak diperlukan untuk memupuk dan menumbuhkembangkan benih-benih sastra yang ditaburkan di dalam taman/ladang sastra. Presensi kritik sastra ini akan selalu menambah fertilitas pertumbuhan karya sastra di NTT. Kedua, kritik sastra adalah oase. Kritik sastra bak oase yang mutlak dibutuhkan untuk memberikan kesegaran kepada mereka yang dehidrasi di tengah padang sastra. Kritik sastra ini pula dilakukan untuk memacu minat dan bakat seorang calon sastrawan/i untuk menjadikan karyanya sempurna.


Oleh sebab itu, kritik sastra sangat diperlukan demi terciptanya reproduksi sastrawan/i NTT. Mengapa tidak? Masyarakat NTT memiliki potensi yang luar biasa dalam dunia sastra. Bakat menulis sastra baik berupa puisi, cerpen, cerber maupun novel, dsb merupakan suatu berkah yang mesti dikembangkan.

Dalam pengembangan karya sastra, tentu-nya kritik sastra pun berperan dalam ikh-tiar penyempurnaan sebuah karya sastra. Sebab di dalam suatu kritik sastra kita dapat menemukan kelebihan dan kekura-ngan yang mesti dipertahankan/diting-katkan dan diperbaiki/direvisi. Untuk itu, kita semua berharap agar PK sebagai peretas kritik sastra di NTT tetap terus melakukan kritik sastra. Kritik sastra mesti dijadikan sebagai sebuah tradisi demi fertilitas dan perfeksi karya sastra di NTT.

Tambahan pula, semoga PK pun berkenan menyediakan rubrik/kolom kritik sastra bagi pihak luar (non-PK) yang ingin melakukan kritik sastra. Sebab harumnya nama Flobamora menjadi tanggung jawab dan kebanggaan kita semua.*

Monday, June 20, 2011

Hukuman Mati Ruyati, Tamparan buat SBY


AKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarty menilai eksekusi hukuman mati tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia, Ruyati binti Satubi, merupakan tamparan bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kematian Ruyati telah menunjukan bahwa Presiden telah gagal melindungi hak asasi buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri.

Seperti yang diberitakan, Ruyati binti Satubi pada Sabtu (18/6/2011) dihukum mati setelah mengakui telah membunuh wanita asal Arab Saudi bernama Khairiya binti Hamid Mijlid pada 2010. "Pemerintah harus bertanggung jawab. Ini merupakan tamparan bagi SBY, dalam arti sebelumnya, dalam pidatonya pada sidang ke-100 ILO di Swiss, yang menyatakan mekanisme perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) migran di luar negeri sudah berjalan itu tidak terbukti," ujar Poengky di Kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (19/6/2011).

Ditambahkan, kasus hukuman mati Ruyati harus dicermati dan dijadikan pembelajaran bagi pemerintah agar tidak kembali terulang. Dia menyarankan agar pemerintah melakukan upaya maksimal dalam menjamin keamanan para WNI yang berkerja di luar negeri. Salah satunya adalah terhadap 23 WNI di Arab yang mayoritas sebagai PRT Migran, yang sedang menghadapi ancaman hukuman mati.

"Jadi, pemerintah harus me-review kasus-kasus yang menimpa buruh migran di luar negeri. Karena paling banyak kan kasusnya itu di Arab Saudi dan Malaysia, jadi kedua negara itulah yang harus menjadi fokus perhatian Pemerintah Indonesia dan terus secara keras mengupayakan 23 WNI di Arab itu agar diberi pengampunan untuk lolos dari hukuman mati," jelasnya.

Selain itu, lanjut Poengky, undang-undang yang mengatur tentang buruh migran Indonesia juga perlu diatur. Menurut dia, dengan melihat banyaknya kasus yang menimpa buruh migran di luar negeri adalah bentuk gagalnya pemerintahan dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya. "Itu kegagalan pemerintah yang paling besar. Jadi, sebagai gantinya, pemerintah harus bisa melindungi tenaga kerja kita yang ingin keluar negeri. Katakan saja, misalnya, pemerintah bisa memberikan pelatihan-pelatihan sebelumnya kepada orang-orang yang mau bekerja keluar negeri, sehingga setidaknya kehidupan mereka di sana itu bisa terjamin," tegasnya.

Sebelumnya, secara terpisah, pengamat hukum internasional Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah harus bersikap tegas terhadap Pemerintah Arab Saudi terkait kasus tersebut. Ketegasan tersebut, menurut dia, dapat diwujudkan dengan melakukan penghentian pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dia juga menyarankan agar pemerintah dapat melakukan tindakan diplomatik untuk memperlihatkan ketidaksenangan Indonesia atas perlakuan warganya, salah satunya dapat berupa pemanggilan pulang Duta Besar Indonesia di Arab Saudi atau mengurangi jumlah personel perwakilan Indonesia di negara tersebut.

"Ketegasan perlu dilakukan agar Pemerintah Arab Saudi lebih sensitif terhadap nasib para TKI di negeri tersebut yang kerap menderita perlakuan kasar dan kekerasan. Ini semua berujung pada para TKI melakukan tindakan yang dituduhkan pada Ruyati, yaitu pembunuhan atas majikan. Apalagi bila otoritas Arab Saudi tidak serius dalam melakukan proses hukum, bahkan cenderung melindungi warganya yang melakukan kekejaman terhadap para TKI," kata Hikmahanto.

Sunday, June 19, 2011

Keluarga: Tak Sepatutnya Vonis Terjadi


BEKASI, KOMPAS.com - Keluarga almarhumah Ruyati binti Satubi (54), menilai eksekusi hukuman pancung oleh pemerintah Arab Saudi, Sabtu (18/6/2011), tidak sepatutnya terjadi bila vonis direspon advokasi Pemerintah Indonesia. Hal itu diungkapkan salah satu anak kandung almarhumah, Evi (32), di rumah duka Jalan Raya Sukatani, Kampung Srengseng Jaya, RT01 RW03, Desa Sukadarma, Kecamatan Sukatani, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (19/6/2011).

"Sebelum kasus itu terjadi, majikan almarhumah bernama Ipat asal Arab Saudi sering memperlakukan hal-hal yang tidak wajar. Mulai dari pemukulan, pelemparan, dan penendangan hingga menimbulkan patah tulang pada bagian kaki almarhumah dan tidak ada pihak yang peduli," katanya.

Informasi itu, kata dia, diperoleh dari teman seprofesi almarhumah bernama Warni bahwa ibunya kerap diperlakukan dengan tidak wajar oleh ibu majikan selama bekerja sejak Januari 2009. Evi menambahkan, pada komunikasi terakhirnya bersama almarhumah pada Desember 2010, pihak keluarga sudah meminta almarhumah untuk segera pulang ke Indonesia. Sebab, bekerja di Arab Saudi banyak terjadi pelanggaran penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

"Bila hal ini dipertimbangkan hakim dan mendapat bantuan pemerintah seharusnya tidak perlu ada vonis itu," katanya.

Namun demikian, pihak keluarga meminta kepada Kementerian Luar Negeri, Migran Ketenagakerjaan serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk memproses kepulangan almarhumah ke Tanah Air agar dimakamkan di Kampung Ceger, Desa Suka Darma, Kecamatan Sukatani.

"Kami harap mereka juga memberikan kekurangan gaji yang belum dibayarkan selama tujuh bulan," kata Evi.

Almarhumah Ruyati binti Satubi berangkat melalui penyalur tenaga kerja PT Dasa Graha Utama yang berlokasi di wilayah Pondok Gede, Kota Bekasi. Sementara, pengiriman TKI itu langsung dari PT Dasa Graha Utama yang berada di Gambir, Jakarta Pusat. Untuk ketiga kalinya, Ruyati menjadi seorang TKI untuk memenuhi kebutuhan keluarganya setelah bercerai dari suaminya.

Friday, June 17, 2011

AMA BELEN

Ama belen, ama Paya Puru Nama
Kaka yogan kaka Puru Nama Laga

Ama Kopong di Kapitan Sina
Kaka Mamun Saba Poli Murin

Kebe inak, kabe amak, kabe opuk kabe wahek, kabe kakak, kabe arik, melan senaren wahankae, go hulen baat tonga belolo.

Tun pito hiko doan, tobo tabe tika lewo, mio doan ile papa, kame doan ile papa. Wulan lema gela lela, pae tabe bage tana, mio lela woka lola, kame lela woka lola. Pana herunet bo laran laga doni, hala hae bo wulen sugi nuba elun, dimayan ata pata hala. Gawe rupaket bo ewa Tuawolo, hala hae bo lapan peni ero matan, di doen ata bain kurang. Elo pito pai getana kae ni, tobo pai dase mu, ti pia go hiin kai tutu koda. Woken lema haka gelata kae ni, pae haka natanmu, ti pia go hiin kai marin kirin. Ribhun pulo lewo na’an gole, hia Kiwan Lama Doan dano Loba Lama Lewa. Rathun lema tana na’an bue, hia Ekan Lama Lela dano Lewa Liwu Raya. An’am pia mo mabe jadi tali, tawa kala nuba nulan, loge lali tukan buran, ti pana waukek ketaka kadarunu, di peten ka’aro mia take, ti tukan kodi weli kai. Bahim hia me mabe sura lekat, gera kala nara baran, towe teti lolon sabok, ti gawe leleten bo seku lakasao, di sudi ka’aro mirin kuran, ti lolon kode haka kai (bersambung…..)
Leron pito hiko doan, ribhun pulo pia Kiwang Lama Doan dano Loba Lama Lewa, mai buka pita sina, ti ma’an kame pana pai. Hari lema gela lela, rathun lema hia Ekan Lama Lela dano Lewa Liwu Raya, mai balok aran Jawa, ti ma’an kame gawe haka. Weli mai weli uma sika tukan, inak ata ruran puken, na’anek keru dano baki, na’an gatiro ana na nabe jadi tali. Haka mai teti lango losen lolon, binek ata hoi lolon, na’anek wai dano selan, naan heluro bai na nabe sura lekat.
Tekan dike weli uma sika tukan, tekan tao pigan sina, diinak ata ruran puken, nai koda amet, tekan tao kero utan. Tenu sare rae lango losen lolon, tenu liwo makok Jawa, dibinek ata hoi lolon, nai kirin marin, tenu liwo sason baron. Nuba go ata nuba nulan, nuba go mete tobu bangku, ti nuba go ata ola take murek naen, ti bekel ake pate oneke. Nara go ata nara baran, nara go mete pehen pena, ti nara dibelura kuran, ti holat ake helu yoneke. Pi reron hena wa, lera lau seran gere, go guti leik lodo pana, pana peken inak ata ruran puken irae uma sika tukan, nai tobo mete tani mayan. Pi reron he wa, seni weli goran tawan, go semu limak lodo gawe, gawe tulin binek ata hoi lolon, irae lango losen lolon, nai pae mete hutan toen. Pana pai dase mu, ti tena tabe gili wua, papa me mo’on lewo tobo, papa ke moon laran pana. Gawe haka natan mu, ti naot tabe bolak malu, lola me moon tana pae, lola ke moon ewa gawe. Lera weli seran gere, lodo ke moon butu bua, mai sedan ole lagadoni, wutuken oleh Lewotobi, mai sedan saphekem lai sina jawa. Seni lau goran tawan, lodo ke moon bayo dayon, mai gawe wura watopeni, wakonen wura wailebe. Sedan saphekem bo lau tana Jawa, mai gute tutu ama belen pulo kae, budhike dike sumsera Lewo Kiwan Lama Doan dano Loba Lama Lewa. Pai, koda pupuro taan tou sama wua weli wayak. Pai, kirin boitro menoi sama malu weli sepen. (Salam, Kopong ata budi dike)



Ama belen teti kowa kelen tukan
Nobum wato, beledane bala

Kame ata ribhun, leta dike denin sare no’on Mo’e. Mo soron Yesus an’am Mo’en, lodo pia tana ekan. An’a mo’en uhurem tukan, nai huba bolaka no’on suri sangarian. Nai bolak tuberun teti krus kayo bala, ti na’an hipe ata ribhun, lapak ata rathun. Mehin ba hau liwo nuba, lebo nara. Kakan keru arin baki, bekel ake pate oneke. Koda aya-aya ni, ka’an gatiro koda koke liko sina. Holat ake helu yoneke, kirin rain-rain ni, ka’an heluro kirin bale milin jawa.

YLH: ‘Profesor Penulis dari Undana’

Oleh Yusuf Leonard Henuk (Guru Besar Fapet Undana)

JUDUL tulisan ini sengaja dipilih untuk memperkenalkan nama penulis yang telah lama dikenal di dunia maya sebagai To’o YLH dari Universitas Nusa Cendana (Undana) yang kebetulan terpilih mewakili universitas-universitas di wilayah Indonesia Tengah sebagai seorang ‘profesor penulis produktif’ yang telah diwawancarai wartawan Media Indonesia sekaligus menanggapi opini dari Hengky Ola Sura (HOS) yang mengawali opininya dengan mengangkat komentar Bung Joki berjudul: “Guru Besar Hanya Nama” ketika menurunkan opininya berjudul:

“Merindukan Profesor Menulis” (Pos Kupang, Sabtu, 4 Juni 2011: 4). YLH sendiri telah lama menulis opini terkait komentar Bung Joki di media massa yang mungkin komentar ini diambil Bung Joki dari opini YLH berjudul: “Guru Besar Hanya Nama” (Timor Express, Senin, 2 Juni 2008: 4).


Sebagai seorang Guru Besar (GB) dari Undana yang tergolong sebagai ‘profesor penulis’ selain kedua senior YLH yang telah disinggung HOS yaitu: Prof. Dr. Alo Liliweri dan Prof. Dr. Mien Ratoe Odjoe, tapi sayang tak dijumpai namanya bersama seniornya Prof. Dr. Felyanus Sanga oleh HOS yang hanya terfokus pikirannya membaca Pos Kupang dan Flores Pos, walaupun YLH khususnya sudah lama menulis di Pos Kupang sejak opini pertamanya berjudul: ‘Raih Gelar Doktor: Memangnya Gampang?” (Pos Kupang, Senin, 29 April 2002: 4 & 7).


Sedangkan, kedua profesor baru di Undana yang telah dikukuhkan pada tanggal 16 April 2011 telah lama menulis bersama di Pos Kupang untuk kedua opini mereka berikut: (1) Henuk dan Sanga (2006): “Undana: 44 Tahun Belum Publikasi 44 Buku” (Pos Kupang, Jumat, 1 September 2006: 11 & 15) dan (2) Sanga dan Henuk (2006): “Budaya Membaca dan Menulis di Kalangan Dosen” (Pos Kupang, Jumat, 23 September 2006: 11).

Sebagai informasi khusus kepada HOS, YLH hingga kini sudah menulis 20 opininya yang dimuat di Kupang Pos dari total 62 opininya yang tergolong journalistik papers yang terbit di media massa lokal di NTT dan SUMUT.


YLH pun telah mengungkapkan rasa terima kasih pada hari pengukuhan GB-nya pada tanggal 16 April 2011 kepada semua media massa lokal di NTT yang telah ‘membesarkan’ namanya ke mancanegara:

(1) Pos Kupang (www.pos-kupang.com), (2) Timor Express (www.timorexpress.com) dan khususnya (3) Kursor yang rutin meliput dan memberitakan gugatannya melawan Rektor Undana tanpa pengacara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang lalu disusul upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi TUN Surabaya (www.pttun-surabaya.go.id) dan berakhir melakukan upaya hukum kasasi dan penarikannya di Mahkamah Agung RI (www.mahkamahagung.go.id).


Pada kesempatan ini, YLH ingin memperkenalkan dirinya sebagai ‘profesor penulis dari Undana’ agar dikenal dan disayangi para pembaca sesuai kata-kata yang sudah umum dipakai ‘Tak kenal maka tak sayang’ (to know is to love). Perkenalan diri YLH telah dimuat dalam buku terbarunya ke-11 yang memiliki International Series of Book Number (ISBN: 978-979-18254-0-5) yang merupakan judul pidato pengukuhan GB-nya pada tanggal 16 April 2011 berjudul: “Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Penyusunan Ransum Untuk Ternak.”

Acara iring-iringan kendaraan bermotor bernuansa ‘Adat Rote’ dari tempat kediamannya di Kelurahan Maulafa Kota Kupang ke tempat pengukuhan dan selama acara pengukuhan GB berlangsung di Undana telah disiarkan dan ditonton oleh para pemirsa TVRI Stasiun Kupang pada tanggal yang sama dan khusus di halaman 41/terakhir bukunya yang dibacakan penyiar TVRI Kupang (Ina Djara): “..Ia tergolong cukup produktif menulis dan menyajikan karya ilmiah di dalam maupun luar bidang keahliannya di berbagai pertemuan ilmiah internasional maupun nasional serta telah menerbitkan juga beberapa buku disamping aktif mengisi kolom opini berbagai media lokal di NTT [i.e. Pos Kupang, Timor Express, Kursor, Rote Ndao Pos, Ti’i Langga dan Warta Undana] dan SUMUT [i.e. Analisa].


Berdasarkan data dalam buku ini sudah tidak diragukan bahwa YLH tepat sekali memperkenalkan diri sebagai ‘profesor penulis dari Undana’, karena telah menerbitkan: (1) Karya ilmiah di jurnal ilmiah nasional non-akreditasi, nasional akreditasi dan internasional: 80 buah; (2) Tulisan-tulisan di koran: 62 buah; (3) Buku ber-ISBN: 11 buah, termasuk buku: “Pedoman Penulisan Artikel di Rubrik Opini dan Karya Ilmiah di Jurnal Ilmiah” (ISBN: 979-97845-7); dan (4) Edit buku penulis lain ber-ISBN: 4 buah, termasuk buku: “Basic Study Skills Untuk Dosen dan Mahasiswa” (ISBN: 979-97845-6-5).


Sudah tidak dibantah lagi bahwa YLH merupakan seorang GB dari 20 GB di Undana yang kini masih aktif dari 923 dosen Undana sudah lama ‘turun dari menara gading dunia jurnal-jurnal ilmiah, buku-buku yang memuat tulisannya’, namun tidak begitu dikenal oleh HOS yang masih berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Flores.

YLH perlu menjernihkan pikiran HOS yang masih berpikir hanya sebatas seorang mahasiswa saja dengan menyatakan dengan begitu lugu bahwa ‘Guru besar hendaknya lebih bernas memoles tulisan tentang aneka persoalan dengan langsung memberikan gambaran yang praktis. Penguasaan teori-teori yang hanya disampaikan dalam jurnal dan seminar-seminar, hemat saya, ibaratnya membuang garam di air laut’.


Bagi kami para profesor mana pun di muka bumi ini justru kami merasa lebih bergengsi menulis di jurnal ilmiah internasional untuk dikenal sesama pakar serumpun ilmu sejagat dan khusus di Indonesia dihargai bobot kredit: 40 (empat puluh)/karya ilmiah ketimbang menulis di jurnal ilmiah nasional akreditasi yang memiliki bobot kredit: 25 (dua puluh lima)/karya ilmiah dan jurnal ilmiah nasional non-akreditasi yang memiliki bobot kredit: 10 (sepuluh)/karya ilmiah, sehingga hampir banyak profesor di Indonesia tidak begitu tertarik menulis di koran yang hanya memiliki bobot kredit: 1 (satu) per opini dan justru koran merupakan tempat belajar bagi para mahasiswa seperti HOS untuk belajar menulis.


Sedangkan, tugas utama seorang profesor di Indonesia telah diatur jelas dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (Pasal 49 Ayat 2) bahwa “Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah untuk mencerahkan masyarakat”, sehingga jelas tidak sesuai dengan pernyataan HOS bahwa “Dan andil seorang profesor salah satunya adalah sumbangan tulisannya pada media massa”.


Kini menjadi lebih jelas bahwa tugas seorang mahasiswa seperti HOS adalah membaca buku atau karya ilmiah seorang profesor lalu menurunkan dalam bentuk opini di media massa.

YLH telah mengajar mahasiswa Fapet Undana seperti Amirudin Bapang untuk menulis karya ilmiah YLH di media massa dalam opininya berjudul: “Fapet Uber Alles” (Timor Express, Selasa, 26 April 2011: 4), artinya: “Fapet Diatas Segala-galanya.”


Sebagai seorang profesor, YLH sudah terbiasa mengutip kata-katanya sendiri dalam menulis ketimbang HOS yang masih banyak belajar menulis, sehingga mengutip kata-kata dari Pramoedya Ananta Toer. Kutipan YLH terbaru dalam mengakhiri opininya ini yang patut disimak oleh para profesor di Indonesia seperti terbaca dalam opininya yang ditulis bertepatan dengan hari ulang tahunnya ke-49 berjudul: “Fapet Undana di Mata Guru Besar Undana” (Timor Express, Kamis, 24 Februari 2011: 4):

“Seorang dosen yang meniti karir sebagai pengajar di perguruan tinggi mana pun dan telah meraih gelar akademik yang tertinggi sekalipun, sebenarnya ia baru mencapai kepuasan batin yang sesungguhnya bila ia telah mempublikasi karya ilmiah yang banyak seperti yang terlihat dalam curriculum vitae (cv) sebanding dengan deretan panjang gelar akademik yang telah diraihnya.” *

Potret Buram Implementasi UU Minerba

Oleh Ferdy Hasiman (Peneliti pada Indonesia Today, Jakarta dan Alumnus STF Driyarkara)

PASCA pemberlakuan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), investasi tambang memunculkan polemik baru di daerah. UU itu memberi keleluasaan kepada pemerintah daerah (Pemda) menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Kewenangan pemberian IUP kepada pemda tanpa disertai kerangka acuan strategi kebijakan pertambangan nasional yang jelas, terbukti berpotensi makin tidak terkontrolnya pengelolaan pertambangan di level lokal. Kementerian ESDM melansir, dari 8.475 IUP yang diterbitkan pemda, hanya 3.971 IUP dinyatakan legal dan 4.504 IUP dinyatakan ilegal (Baca, ESDM).


NTT hanyalah sekadar contoh dalam tulisan kecil ini. Data menunjukkan, sebanyak 319 pemegang IUP tidak mengantongi dokumen resmi alias ilegal (Dinas Pertambangan NTT, 2010). Ratusan hektar tanah warga dan hutan lindung disabotase hanya untuk investasi tambang. Akibatnya, masalah sosial pun merebak. Buruh dibayar upah tak wajar, perebutan lahan antarsuku dan proses penambangan rakyat pun tak terbendung.

Hanya untuk mendapat secuil berkah dari batu mangan, warga beralih profesi dari petani penggarap menjadi pengumpul mangan. Alhasil 30 warga meninggal selama pertambangan di Tomor Barat periode tahun 2010. Realitas ini menunjukkan potret buram implementasi UU Minerba di daerah ini. Pertanyannya adalah mengapa tambang ilegal mekar?

Instink ekonomis


Implementasi UU Minerba di tengah desakan liberalisasi sektor energi adalah petaka bagi rakyat. Penegakan hukum dan tingkat korupsi di daerah masih sangat tinggi. Reformasi birokrasi masih stagnan. Banyak daerah mendapatkan rapor merah dalam mewujudkan desentralisasi dan otonomi daerah. Good governance (GG) pun menjadi impian tak bertepi.


Liberalisasi pasar tanpa diikuti GG dan penegakan hukum yang ketat berpotensi menimbulkan pencurian sumber daya alam (SDA) daerah.

Potensi pencurian ini diperkuat dengan paradigma umum pertambangan di Indonesia. Paradigma tambang di Indonesia adalah menjual hasil tambang tanpa pengelolaan terlebih dahulu hanya untuk mengejar pasar ekspor. Orientasi ekspor memicu terjadinya tambang ilegal. Orientasi ekspor dipicu oleh naiknya harga komoditas, seperti mangan di pasar global. Di tengah rapuhnya regulasi hasrat akumulasi pelaku pasar menggelora.


Adam Smith mengatakan, pelaku ekonomi lebih dominan menampilkan watak asosial alias egois. Manusia egois cenderung mencari keuntungan diri (Baca : homo economicus). Karakter pelaku ekonomi yang cenderung asosial ini menurut ekonom Jhon M. Keynes (1983-1946) sebagai animal spirit. Setiap manusia ekonomi pasti memiliki spirit binatang. Maka, maling tambang potret animal spirit.


Kembali pada kondisi lokal NTT. Hampir semua media lokal dan nasional telah mengeskpose penjualan mangan ilegal dari NTT. Kapal hasil penjualan mangan ilegal di tahan aparat kepolisian di pelabuhan Tanjung Perak-Surabaya. Kapal itu berisi muatan mangan sebanyak 3.000 ton milik TNI AD (Timor Expres, 15/5/2011).

Selain itu, sebelumnya, polisi menggagalkan penjualan mangan ilegal dari NTT senilai 132 ton di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Mangan ilegal itu akan dijual ke China atas nama PT Bumi Karya Indonesia (Detik.Com, 3/1/2010).


Maling memang selalu mencari celah untuk mencuri dan itu terdapat pada UU Minerba. Pasal 43 Ayat 1 dan 2 misalnya, memberi kesempatan kepada pemegang IUP Eksplorasi untuk menjual mineral yang sudah tergali, meskipun ada penegasan, tambang hasil eksplorasi yang dijual wajib melapor pemberi izin (gubernur/bupati/menteri). Persoalannya, pemerintah lokal ikut bermain di dalamnya. Kadis Pertambangan NTT dijerat hukum lantaran terlibat kasus penjualan mangan ilegal (Kompas, 25/10/2010).


Menangkal maling sebenarnya mudah jika negara dengan seperangkat alatnya (hukum dan regulasi) selalu siaga. Namun, bagaimana menjaga maling jika aparat negara terlibat dalam penjualan mangan ilegal?

Political finance


Keterlibatan pemerintah lokal dalam penjualan tambang ilegal bukan tanpa alasan. Semua pihak paham, demokrasi kita mulai dari tingkat pusat-daerah telah diselimuti politik uang. Proses politik seperti ini membenarkan tesis Karl Marx (1818-1883) bahwa politik (supra-struktur) adalah hasil derivikasi dari basis (baca : penguasa ekonomi).


Mengikuti Marx, merebaknya tambang ilegal terkait langsung dengan political finance pada pemilu kada. Untuk biaya pemilu kada saja, seorang calon bupati harus mengeluarkan uang senilai Rp 5 miliar. Padahal, gaji bupati hanya mencapai Rp 7 juta per bulan. Di tengah sistem politik yang berhala kepada uang, pemerintah perlu memberi karpet merah kepada investor hanya untuk mencalonkan diri lagi ke pemilu kada berikutnya


Risikonya, rakyat menjadi korban dalam pembangunan. David Harvey dalam Enigma of Capital (2009) mengatakan, modal selalu bergerak mencari bahan baku dan pasar tenaga kerja murah. Di mana negara/daerah tidak melindungi pekerja, di situ modal merentangkan bisnisnya. Dari segi bahan baku, tambang mangan di NTT tidak perlu mengeluarkan biaya investasi besar dan metode peralatan modern. Mangan mudah ditemukan di permukaan tanah. Cukup dikeruk manual, mangan sudah dapat.


Pemegang IUP eksplorasi biasanya membeli mangan dari kerja petani pengumpul mangan seharga Rp 1,8 hingga 2 juta per ton. Harga ini tidak sebanding dengan harga mangan global yang mencapai US$ 2.850 per ton atau Rp 25.650.000 per ton dengan kurs Rp 9.000. Ini artinya petani mangan hanya mendapat secuil berkah dari harga mangan di pasar. Sementara yang mendapat keuntungan besar adalah para broker dan investor.
Dari segi pekerja, mereka tidak mendapatkan perlindungan dan upah tidak terjamin. Upah pekerja tambang di NTT hanya mencapai Rp 25.000-Rp 30.000 per hari.

Mereka hidup tanpa jaminan kesehatan dan jaminan kesejahteraan lainnya. Kondisi kerja buruh pertambangan yang begitu keras, bukan tidak mungkin membuat mereka sakit serta harus menanggung pengobatan dan biaya rumah sakit yang melambung tinggi. Implikasinya, perusahaan mendapat benefit besar, sementara cost ditanggung mahal para buruh.


Pemerintah lokal boleh saja berkilah, investasi tambang akan meningkatkan penerimaan darah karena mendapat royalti dari perusahaan. Namun, pengelolaan SDA di daerah itu tidak pernah transparan. Sampai saat ini, masyarakat tidak pernah paham berapa kapasitas produksi dan penjualan mangan setiap tahun. Jika saja publik paham informasi seputar pembukuan perusahaan, kalkulasi berapa royalti yang masuk ke kantong daerah bisa dilakukan dengan tepat.


Realitas ini disebut ekonom J. Stiglitz (2002) sebagai asimetri kekuasaan. Artinya, kekuasaan lebih memberi akses mudah kepada pemodal daripada rakyat. Akibatnya, konsesi pertambangan yang bertujuan pembangunan jangka panjang hanya dimenangkan penguasa ekonomi dan gagal mengangkat kesejahteraan rakyat.

Competive advantage


Pemerintah pusat tidak bisa menggeneralisasi semua daerah di Indonesia cocok untuk pertambangan. Maka, pemerintah pusat perlu menyusun strategi pembangunan di daerah berdasarkan keunggulan dan kelemahan setiap daerah (competive advantage).

NTT misalnya, hanya cocok untuk sektor pertanian dan periwisata. Potensi pariwisata di daerah itu sangat besar. Angkat saja Taman Nasional Komodo (Manggarai Barat), Danau Kelimutu (Ende) dan beberapa pesona wisata lainnya.


Investasi pertambangan justru merusak pesona wisata dan sektor pertanian yang sangat potensial bagi kemandirian ekonomi rakyat. Padahal, potensi pariwisata bisa meningkatkan devisa dan mengangkat kesejahteraan rakyat. Tinggal sekarang bagaimana pemerintah lokal menarik minat investor dengan cara mengangkat daya saing melalui pembangunan infrastruktur fisik, seperti transportasi, fasilitas listrik, pengaadaan fasilitas air minum dan prasarana fisik lainnya. *